Kenyataan Samar di Balik Bisul Semar: Catatan atas “Bisul Semar” – Teater Koma di FKY 2023
[Ahmad Raditya Alam]. Peristiwa politik akhir-akhir ini begitu lekat dengan masyarakat. Dampak kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah sangat terasa hingga akar rumput. Beberapa kebijakan membuat kita tertawa, beberapa yang lain memaksa kita untuk mengelus dada. Parahnya banyak di antaranya membikin benar-benar sakit kepala. Tak terkecuali kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam pementasan Bisul Semar oleh Teater Koma.
Setelah sekian waktu tidak mementaskan pertunjukan di Yogyakarta, Teater Koma akhirnya melakonkan naskah Bisul Semar di atas panggung Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta. Pentas yang diselenggarakan pada Rabu malam (4/10/2023) tersebut merupakan bagian dari rangkaian pertunjukan Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2023. Oleh karena itu, beriringan dengan tajuk FKY 2023 yang mengangkat aktivitas pangan di masyarakat, Bisul Semar menjadi representasi fenomena pangan yang likat dengan masyarakat akar rumput.
Saya datang dan mendapatkan tempat duduk tepat ketika panggung mulai ditinggalkan pembawa acara. Tak lama setelahnya lampu LED menyorot ruang tengah panggung Concert Hall. Nampak Semar sedang lesu di atas ranjang dikelilingi oleh kelurganya. Istri Semar, Sutiragen, menjelaskan bahwa Semar sedang terkena bisul misterius di kepalanya. Selanjutnya, Sutiragen, Gareng, Petruk, dan Bagong malantukan koor yang menjelaskan keaadaan yang terjadi.
Ketika lantunan koor semakin pelan, lampu panggung lekas terang di semua sisi. Semar kemudian bangun dari tidurnya dan mengeluhkan bisul yang terasa semakin besar di kepalanya. Dia melantur dengan menyalahkan semuanya. Mulutnya seolah menjadi moncong senjata yang siap menyerang siapa saja, bahkan penguasa. Setelahnya ia kembali duduk di kursinya dengan menanggung rasa sakit bisul di kepalanya.
Di adegan selanjutnya, Sutiragen menjelaskan proses Semar menderita penyakit misterius ini. Sutiragen menerangkan bahwa pada malam sebelumnya Semar menonton acara jazz di televisi dengan penyanyi yang aduhai. Melihat acara tersebut membuat hasrat Semar meningkat dan lantas mencolak-colek istrinya. Dan seperti kita ketahui bersama, hal semacam ini tidak akan selesai dengan sekadar colak-colek biasa. Sayangnya ketika ingin tancap gas, Semar tiba-tiba nge-rem mendadak karena ia merasa ada bisul tumbuh besar di kepala. Seperti sebuah virus yang merusak isi kepala. Bisul di kepala Semar benar-benar kesialan yang membuat otaknya tak lagi seperti biasanya. Bukan sekadar penyakit yang membuat penderitanya tak bisa bangun dari ranjangnya. Bukan rasa sakit yang membuat penderitanya menjerit. Bukan pula penyakit yang mengantar penderitanya berada di ambang kematian. Bisul misterius di kepala Semar justru semacam mesin pencuci otak atau malah mesin pembuat orang bicara secara terbuka. Bisul ini membuat penderitanya tak mempunyai selera dalam melakukan apapun, bahkan untuk mengikuti pemilu. Celakanya berkat bisul di kepalanya, Semar semakin liar dalam melontarkan kenyataan-kenyataan yang tabu untuk dikatakan.
Di tengah bisul yang semakin membesar di kepalanya, Semar berpidato panjang lebar menyoal ketimpangan yang ada di masyarakat. Dengan nada sarkastik, Semar menyenggol pemerintah di negerinya yang tak melulu kerja dan sering lalai dengan tanggung jawabnya. Tak sampai di situ, Semar kemudian semakin liar ketika berdialog dengan para anaknya–panakawan (punakawan) lainnya (Gareng, Petruk, dan Bagong). Ada dua pernyataan yang dilontarkan Semar ketika itu, pertama, apa tugas panakawan? Lantas dengan guyon para panakawan menjawabnya untuk bekerja di atas panggung. Sedang untuk pertanyaan kedua Semar menanyakan mengenai perbedaan petani dan ketua partai. Lalu disambung dengan penjelasan panjang soal hasil kerja petani yang bisa dirasakan ketua partai, sedangkan hasil kerja ketua partai belum tentu bisa dirasakan petani. Tentu saja, kalau para anggota–petugas–partai uring-uringan, maka petani hanya bisa nurut saja.
Budi Ros, selaku sutradara, penulis naskah, dan pemeran Semar benar-benar cerdik dan berani menyenggol sana-sini dengan eksplisit. Semacam keberanian yang tak pernah habis dan menjadi ciri khas Teater Koma dari masa ke masa. Tentu kritik yang ekplisit tidak disampaikan dengan atos di muka penonton. Melainkan dipertunjukkan dengan jenaka dan penuh banyolan, sehingga kritik yang keras pun akan membuat yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Namun, bagi pihak dikritik akan tersentil hatinya. Namun, sekali lagi tawa itu universal, walau nampak getir rasanya.
Sepanjang pementasan kritik–baik keras maupun lembut–dibawakan dengan satir yang ditimpali dengan canda. Itu pula yan terjadi ketika bisul Semar kambuh dan langsung membuatnya mencerca partai yang hanya mencari proyek saja. Lantas Bagong mencairkan suasana dengan gimmick untuk ber-cosplay menjadi ketua partai yang sedang berpidato. Karakter yang sangat kontras dengan karakter yang dibangun Bagong sejak awal cerita membuat penonton tidak bisa menahan tawa melihat adegan ini.
Jika keberhasilan raksasa suatu bangsa itu terjadi maka itu merupakan hasil kerja seluruh rakyat. Itulah kira-kira yang diteriakkan para panakawan dan Sutiragen setelah mendengar ceracau Semar. Sedangkan di layar belakang ditampilkan berita-berita tentang keberhasilan penemuan yang spektakuler. Seperti kita tahu itu semua hanyalah berita palsu atau blow up media untuk penemuan yang akhirnya gagal pula. Mulai dari beras plastik sampai mobil Esemka silih berganti tampil di layar belakang mengiringi teriakan koor. Untuk mengobati bisul di kepalanya yang semakin membesar, datanglah seorang dokter ke rumah Semar. Dokter itu bersedia mengobati Semar dengan cuma-cuma bahkan memberi makanan untuknya yang belum makan selama tiga hari. Pemberian makanan ini membuat para panakawan cemburu karena mereka pun sebenarnya belum makan. Walau para panakawan sebetulnya tahu makanan itu diberikan agar Semar bisa minum obat. Namun naluri orang kelaparan seringkali melupakan logika-logika sederhana.
Dokter itu bernama Srimul. Seorang dokter muda dan rupawan. Setelah mendiagnosa penyakit bisul di kepala Semar, ia malah menuduh Semar gila. Pemeriksaan yang ia lakukan dengan seksama menyibak kenyataan yang mengejutkan. Ternyata bisul yang selama ini dikira berada di kepala Semar sebenarnya tidak ada. Dokter Srimul menganggap Semar hanya mencari sensasi dan kegaduhan. Mendengar penjelasan dokter Srimul, Sutiragen dan para panakwan marah tidak terima.
Bisul di kepala Semar nyatanya adalah kegelisahan orang-orang kecil yang tak bisa makan. Itulah yang membuatnya berceracau dan mengutuk orang-orang partai. Namun, apa yang sesungguhnya terjadi? Apa iya berbagai masalah yang terjadi, termasuk ketidakbisaaan Semar sekeluarga makan merupakan salah orang partai? Atau jangan-jangan yang bermasalah adalah Semar sekeluarga, para petani, dan rakyat kecil sendiri yang bermalas-malasan menghadapi keadaan. Hanya menyalahkan orang lain tanpa melakukan usaha untuk memperjuangkan hidupnya. Padahal sebenarnya keluarga Semar memiliki lahan sepetak yang malah tak digarap. Toh, alam akan baik hati kepada siapa saja yang mau memelihara.
Di akhir cerita Semar mulai mengenali wajah dokter Srimul. Ia menyadari bahwa dokter Srimul merupakan penyanyi jazz yang dilihatnya di televisi sebelum bisul di kepalanya muncul. Setelah menyadari itu, bisul di kepala Semar kembali membesar dan semakin membesar. Ada pertanyaan yang menggantung ketika pentas ditutup, apakah nasib kita akan berubah setelah semua yang terjadi? Apakah perubahan sikap kita untuk memperjuangkan hidup berguna? Ataukah benar, nasib kita berada di tangan orang-orang partai?