Menyaksikan Pertikaian Simbolik Pemimpin Dunia dengan Jenaka: Catatan atas Pertunjukan “BullyBully” – Maast Theater en Dans
[Ahmad Raditya Alam]. Kelakuan pemimpin dunia kadang menimbulkan gelak tawa. Seperti anak-anak yang berebut mainan dan akhirnya bertengkar. Bahkan kadang saling berargumen dengan pendapatnya yang konyol. Tak pelak bukannya menjadikan penonton iba dan hormat, justru malah menimbulkan adegan-adegan lucu penuh tawa.
Setelah menyelenggaran beberapa rangkain pertunjukan di Jambi dan Jakarta. Maast Theater en Dans yang didatangkan ke Indonesia oleh Erasmus Huis Jakarta akhirnya melakoni pentas pertunjukannya di Yogyakarta. Bekerja sama dengan Pendhapa Art Space, pertunjukan ini dilaksanakan selama dua hari dan di dua lokasi pula. Pertunjukan pertama (18/1) dilaksanakan di Auditorium Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta dalam satu sesi. Sedangkan untuk pertunjukan kedua (19/1) dilaksanakan di Pendhapa Art Space dalam dua sesi.
Bersama kawan Teater Terjal dan Bunker Collective Space, saya berkesempatan menyaksikan pertunjukan ini pada sesi kedua di Pendhapa Art Space (19/1). Melihat kesempatan mahal ini, saya bersama Fian Ulumul Akmal–yang nantinya memotret pertunjukan ini–berusaha mendokumentasikan pertujukan ini melalui catatan dan gambar. Sayang sekali jika kesempatan langka ini dilewatkan tanpa pendokumentasian begitu saja.
Begitu masuk ke ruangan Pendhapa Art Space nuansa karikatural langsung mencuri pandangan mata. Artistik berwarna hijau dan merah muda tampak mendominasi panggung pertunjukan. Lampu fresnel dan Par LED dari depan panggung berwarna kuning menyorot terang. Berdamping dengan lampu Par LED dari kiri-kanan panggung berwarna magenta cenderung merah muda menambah suasana khas kartun 2 dimensi.
Pertunjukan ‘teater musikal’ ini dikonsep dan disutradarai oleh René Geerlings, direktur artistik Maast Theater en Dans saat ini. Geerlings yang dikenal mampu membuat humor melalui hal-hal serius menawarkan konsep penuh simbolik dalam pertunjukannya kali ini. Simbol-simbol itu dia tawarkan melalui pengadeganan, warna, musik, gerak, dan cara tutur. Nyaris setiap bagian dari pertunjukan ini merupakan simbol yang menyimpan makna.
Penempatan torso[1] di tengah kanan dan kiri panggung cukup mencuri perhatian. Apalagi ditata dengan warna berbeda di atas backdrop dengan warna bertolak belakang. Semacam menempatkan bidak hitam di atas papan putih catur. Simbolisasi berlanjut di bentuk torso yang menyimbolkan dua tokoh dalam pertunjukan ini. Seorang pemimpin merah muda, berkulit putih, dengan mengenakan mahkota emas dan pemimpin hijau, berkulit hitam, dengan rambut keriting yang mengembang.
Melihat dua aktor di atas panggung bisa dilihat secara eksplisit simbol pertentangan. Dua aktor dengan karakter fisik sangat berbeda ini kemudian memainkan perannya. Mereka mulai memainkan adegan-adegan mengikuti iringan musik.
Kedua sosok pemimpin ini digambarkan memiliki ambisi penuh untuk berkuasa. Mereka saling menampilkan kebolehannya di hadapan penonton untuk menarik suara. Penampilan yang spontan, energik, dan ekspresif berhasil menarik fokus penonton. Namun, dalam eksekusinya malah nampak seperti anak-anak yang saling bersaing dan bermusuhan memperbutkan mainan. Ini mengingatkan saya atas celetukan Gus Dur yang menyebut bahwa DPR tak ubahnya bocah taman kanak-kanak. Politik sungguh begitu jenaka.
Selama dua jam, penonton disuguhi persaingan dua pemimpin yang berebut hegemoni dan kekuasaan. Mereka saling menampilkan adu tarian hingga orasi. Namun, ujung-ujungnya tetap menampilkan persaingan tidak sehat dengan saling menjatuhkan torso yang merupakan simbol kebanggan masing-masing. Saling mengejar untuk menangkap lawan. Bahkan berani untuk menutup wajah lawan politiknya. Babak ini dipungkasi dengan adegan saling menangis. Namun, akhirnya mereka berdua sepakat untuk saling membantu untuk membangun masing-masing simbol itu kembali.
Dalam eksekusinya, seolah-olah ini hanyalah permainan anak-anak. Dinamika petemanan yang penuh kecerdikan. Mereka saling mengejar, tertawa, dan menangis. Nampak sederhana, tetapi sarat akan simbol politis. Pertunjukan BullyBully ini benar-benar menampilkan pertunjukan yang enerjik sekaligus jenaka. Mengisyarakatkan bahwa beginilah persaingan kekuasaan pemimpin dunia saat ini yang disampaikan secara eksplisit. Pemimpin dunia tak ubahnya anak-anak yang sedang bermain kekuasaan.
Sepanjang pertunjukan teater musikal ini merupakan adegan-adegan terkonsep yang seolah spontan. Gestur tubuh, cara tutur, dan artistik tambahan benar-benar menyatu dengan musik dan suara pendukung. Ditambah dengan celetukan aktor dengan bahasa universalnya membuat panggung menjadi hidup. Demikian pula dengan interaksi dengan penonton yang begitu masif.
Musik dan suara pendukung benar-benar menjadi elemen vital dalam pertunjukan BullyBully. Suara pendukung ini mengisi celah kosong dalam berbagai sisi. Suara-suara ini membangun suasana, mengatur tempo permainan, menentukan gerak spontan, bahkan menggantikan dialog verbal aktor. Terlebih, pertuntujukan teater musikal ini nyaris tanpa ada dialog verbal. Komponen audio dan aktor saling membangun untuk mengadegankan makna-makna simbolik di atas panggung.
Di luar semua elemen yang sudah disebutkan di atas. Ada satu hal yang membuat saya kagum, yakni penataan penonton. Memang dalam ruangan Pendhapa Art Space telah disediakan tempat duduk berupa kursi. Tetapi karena membeludaknya penonton membuat banyak penonton yang memilih berdiri dan lesehan. Namun, yang menarik adalah ditempatkannya anak-anak kecil dan balita di depan panggung. Mereka dibiarkan menonton dan merespon pertunjukan BullyBully sesuai ekspresinya masing-masing. Bahkan beberapa kali anak-anak ini berusaha memegang bendera properti maupun melemparkan artistik yang terjatuh. Mereka benar-benar dibiarkan berinteraksi dengan aktor dan segala artistik pertunjukkan BullyBully.
Namun, hal paling menarik di akhir pertunjukkan ini adalah sesi tanya jawabnya. Jika biasanya yang diberikan kesempatan untuk memberikan respons, tanggapan, dan pertanyaan atas pertunjukkan merupakan seniman maupun kritikus, kali ini justru berbeda. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapatnya atas pertunjukan ini. Mereka dipersilahkan untuk mengekspresikan impresinya atas pertunjukan ini dengan lucu dan hangat.
Secara konsep pertunjukan BullyBully dari Maast Theater en Dans benar-benar tertata dengan rapi. Walau ketika saya menonton sempat ada kejadian tidak terduga namun pertujukan ini berjalan dengan baik. Pelibatan anak-anak menjadi poin yang perlu di-highlight. Seolah ingin menegaskan bahwa pemimpin dunia saat ini tak lebihnya anak-anak. Mereka menampilkan politik kekanak-kanakan yang menyampaikan omong kosong yang penuh kekonyolan. Meski begitu menyitir pendapat Gus Dur kembali, anak-anak itu suci, cerdas dan kreatif. Berbeda dengan golongan pemimpin–dalam hal ini legislatif–yang kotor dan kreatif mencari celah mencari uang.
[1] Patung setengah badan.