Rabu, Januari 22, 2025
ULASANPanggung Teater

Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024

[Ekwan Wiratno]. Sebuah kebetulan atau memang sudah takdir semesta bahwa ternyata banyak sekali unsur perempuan di acara Temu Teater Monolog yang merupakan rangkaian acara Indonesia Bertutur 2023-2024. Workshop dan pentas monolog yang diselenggarakan di Malang ini diselenggarakan 21-27 Agustus 2023.

DSCF0320 | Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024

Acara ini dibuka oleh Direktur Artistik Indonesia Bertutur, Melati Suryodarmo yang juga seorang seniman seni rupa pertunjukan asal Surakarta. Peran yang begitu besar tidak berhenti di sini. Ketua panitia adalah Elyda K. Rara yang merupakan punggawa Kamateatra Art. Fasilitator sekaligus penyampai materi kepada para peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia adalah Sha Ine Febriyanti dan Yudi Ahmad Tajudin. Kembali kita melihat peran perempuan di sana.

Peran perempuan paling sentral berikutnya ada di atas panggung. Para penampil banyak mengangkat isu-isu perempuan, baik dari sisi identitas, peran hingga posisinya di tengah masyarakat. Tanpa berusaha mengesampingkan para penampil laki-laki, saya akan fokus para penampil perempuan di pangkuan sang ratu, Ken Dedes.

DSCF0371 rotated | Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024

CANDI KIDAL DAN SINGGASANA SANG RATU

Setelah menjalani pelatihan selama beberapa hari, para peserta akan menampilkan monolog pada acara puncak. Dua tempat yang dipilih adalah Padepokan Seni Mangun Dharma dan Candi Kidal. Menurut saya yang paling spesial adalah Candi Kidal yang berdiri di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini.

Candi Kidal merupakan candi warisan dari Kerajaan Singosari atau Tumapel yang dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Anusapati yang memerintah pada tahun 1227-1248. Candi ini juga diceritakan dalam Negarakertagama pupuh 41, bait 1.

Yang membuat candi ini spesial adalah keberadaan relief Garuda yang menggambarkan cerita Garudeya. Garuda dan ibunya yang diperbudak untuk merawat 3 ekor ular yang sangat nakal. Karena merasa iba pada ibunya, maka Garuda menanyakan syarat agar mereka bisa bebas dari perbudakan. Ular-ular itu menjawab bahwa untuk menjadi bebas dia harus membawakan air suci amerta yang disimpan di kayangan dan dijaga para dewa. Mendengar itu Garuda lalu bertekat mendapatkannya. Para dewa lalu murka dan melawan garuda, tapi dengan kesaktian Garuda yang luar biasa maka mereka dapat dikalahkan. Tapi kemudian Dewa Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya kalah. Garuda lalu menceritakan maksudnya mengambil air suci tersebut. Dewa Wisnu iba padanya dan bersedia memberikan air suci dengan syarat Garuda mau menjadi tunggangannya. Garuda menyanggupi. Garuda lalu membawa pulang air suci untuk ditukar dengan kebebasan sang Ibu dari perbudakan Kadru.

BACA JUGA:  Pertunjukan Sandbox Bento: Disabilitas Bukan Objek untuk Dikasihani
DSCF0378 | Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024

Relief ini menunjukkan pengorbanan yang sangat tulus anak pada ibunya. Sebagaimana digambarkan dalam cerita perjuangan Anusapati yang sangat berbakti pada ibunya, Ken Dedes. Sejatinya Garuda adalah Anusapati dan yang digendongnya adalah Ken Dedes. Aspek perempuan kembali perlu di garis bawahi di sini.

PEREMPUAN BERCERITA DI DEPAN SANG RATU

Beberapa pertunjukan digelar di sekitar pelataran Candi Kidal. Hampir di setiap pertunjukan terdapat sesosok perempuan, baik sebagai aktor maupun sutradara. Beberapa sutradara perempuan itu adalah Wulan Dewi (Bali), Nirwana Aprianty (Makassar), Renny Destiany (Bangka Belitung), dan Udiarti (Surakarta). Sementara terdapat beberapa pertunjukan yang menampilkan para perempuan.

Pertunjukan berjudul Hau Ri Bae yang diperankan oleh Annisa Saskia dari Palu cukup mengambil perhatian penonton. Sang aktor yang secara konsisten menggunakan penutup kepala berupa kain panjang berjalan secara perlahan mengitari Candi Kidal. Seiring dengan itu dirapalkan dialog-dialog dengan bahasa lokalnya. Perputaran ini secara mistik mampu menggambarkan perputaran relief Candi Kidal, yaitu berlawanan jarum jam. Arah pergerakan yang berlawanan arah jarum jam ini sekaligus mengantarkan kita ke masa lalu sebab waktu dan perputaran bumi adalah searah jarum jam. Sejarah yang demikian banyak memberikan pelajaran harus sesekali ditengok dan dipelajari. Memang tidak banyak yang dapat ditangkap dari dialog yang diucapkan narator karena berbahasa lokal, tetapi pertunjukan ini cukup mampu memberikan nuansa mistik.

DSCF0382 | Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024

Kadek Desi Nurani yang berasal dari Bali mementaskan monolog dengan judul Dende. Monolog yang sangat agresif karena dibangun dari berbagai akrobat perasaan. Pertunjukan ini mampu menyajikan berbagai ketegangan yang diwujudkan dari kepiawaian sang aktris dalam mengelola ekspresi, gestur dan ekspresi. Hal ini menunjukkan pengalaman yang sangat memadai yang dimiliki oleh sang aktris.

BACA JUGA:  Ritual dan “Joker” dalam “Budi Bermain Boal” karya Megatruh Banyu Mili

Pertunjukan berikutnya yang diperankan oleh perempuan adalah Bentang Jalan. Pertunjukan ini disajikan oleh aktris Ma’rifatul Latifah yang muncul secara dramatis di salah satu sisi Candi Kidal. Penonton kemudian diajak menuju tempat pembuatan jamu yang berada di sisi lain. Pertunjukan ini menyajikan simbolisme perjalanan dan interaksi dengan penonton. Dua kontras yang unik. Pada fase awal, simbolisme perjalanan ditunjukkan dengan pola jalan aktor yang tertata dan lambat. Sementara di fase berikutnya penonton diajak untuk mencoba jamu yang telah dimasak. Beberapa penonton ikut mencicipi jamu dan memberikan komentar. Sementara di akhir pertunjukan, sebuah perjalanan kembali disajikan menjauh dari penonton. Meskipun terkesan “warna-warni” tapi pertunjukan ini masih sangat dapat dipahami dan dimengerti.

DSCF0442 | Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024

Pertunjukan terakhir yang menampilkan aktris perempuan adalah Jejak Purnawarman yang diperankan oleh Suwarni dari Jawa Barat. Pertunjukan ini merupakan salah satu pertunjukan yang cukup membekas. Sejak awal, pertunjukan ini telah menyedot perhatian para penonton dengan bermula dari kamar mandi. Sang aktris mengawali pertunjukan dengan berdialog di kamar mandi. Pertunjukan ini lalu berlanjut dengan keluarnya aktris dari kamar mandi dengan berjalan lambat ke arah Candi Kidal. Selama perjalanan, para kru menuangkan air ke kepala aktris. Air di sini sangat terkait dengan peran Raja Purnawarman yang membangun Kali Bekasi. Raja Tarumanegara ini sejak masanya telah berperan dalam mengatasi banjir di sekitar Jakarta. Hal inilah yang sepertinya ingin digambarkan oleh penampil. Meski demikian, dialog yang diucapkan dalam kamar mandi, sempitnya pintu yang tidak memungkinkan banyak penonton memiliki kenyamanan dalam menyaksikan, justru mengurangi daya tangkap penonton. Pertunjukan ini semata instalasi yang dipamerkan.

Sekali lagi saya ingin meyakinkan bahwa entah ini kebetulan atau takdir semesta, bahwa unsur perempuan sangat menonjol dalam acara ini. Meskipun, saya tentu berharap akan mendapatkan pertunjukan yang merupakan bentuk respons dari Candi Kidal, sebuah candi yang sangat penting hingga kini. Inilah yang kemudian menguatkan “mengapa acara harus digelar di Candi Kidal?” Terlepas dari itu, acara Temu Teater Monolog ini memberikan gambaran tentang Indonesia dengan berbagai cerita dan persoalannya. Ada Indonesia di pangkuan Candi Kidal. Disaksikan kegigihan dan pengorbanan Garuda pada kebebasan sang ibu. Di depan Anusapati yang begitu berbakti pada Ibunya.

BACA JUGA:  Pertunjukan Teater Karya Andy Sri Wahyudi "Puisi Energi Bangun Pagi Bahagia" dan Catatan Sejarahnya.
Ekwan Wiratno

Ekwan Wiratno

Ekwan Wiratno adalah Dosen Universitas Brawijaya, Malang yang juga merupakan kritikus teater, penulis naskah, dan sutradara. Selain sebagai kritikus, penulis merupakan pendiri Malang Study-Club for Theatre (MASTER) (IG: master.malang) yang berfokus pada upaya literasi dan pengembangan keilmuan teater secara umum. Kini tinggal di Malang dan membuka peluang komunikasi melalui account Instagram @ekwan_wiratno.