Konvergensi Seni dan Teknologi dalam “Another Body – Another Space – Another Time” karya Densiel Lebang
[Rifa Fitriana]. Festival Tari Kontempoter Helatari oleh komunitas Salihara 2021 telah terlaksana pada hari Sabtu dan Minggu, pada tanggal 26-27 Juni & tanggal 03-04 Juli 2021, di kanal YouTube: Salihara Arts Center. Kali ini Helatari mempersembahkan empat koreografer terpilih yang mengusung tema seni tari berbasis digital dengan karya koreografi berbasis riset yang didasarkan pada pengalaman sang koreografer. Densiel Lebang misalnya, ia menampilkan karya koreografi dengan konsep yang menawan yaitu, hubungan antara tubuh dan ruang (spasial) dengan jarak dan temporalitas (waktu). Dalam wawancaranya dengan Helly Minarti setelah pemutaran karya, ia mengatakan bahwa karya Another Body – Another Space – Another Time memperlihatkan situasi sekarang ini di mana kemampuan tubuh dapat beradaptasi di segala macam situasi, seperti halnya berada di ruang yang sempit. Ia juga menambahkan konsep koreografi dengan videografi yang menunjukan detail ruangan dan gerak tari kontemporer.
Karya koreografi Another Body – Another Space – Another Time dimulai dengan reminder kepada penonton untuk melihat karya dengan layar penuh yang kemudian disambut dengan instrumen musik noise beserta lampu-lampu laser berwarna hijau neon secara bersahutan Nampak satu penari masuk ke dalam ruang pentas merespon cahaya tegas yang dihasilkan oleh lampu-lampu laser. Lampu laser kemudian memudar dan sorot kamera beralih kepada potongan-potongan tubuh yang muncul dari lubang berbentuk kotak di dalam ruang pementasan dengan cahaya lampu general berwarna putih. Diambil melalui empat bagian sudut pandang atas-bawah-tengah-samping melalui kamera, terdapat dua penari yang memiliki fokus gerak pada kaki dan satu penari lainnya pada gerak badan. Muncul ketiga penari ke ruangan pentas yang memiliki diameter cukup kecil untuk saling merespon. Mereka saling memberi ruang melalui keterbatasan dan kebebasan yang ada, hingga menyisakan satu penari berada di dalam ruangan. Satu-persatu tongkat hitam masuk dalam ruangan dan penari mulai bergerak menyelinap, bergantung, dan merangkul untuk melewati batasan-batasan kayu yang semakin mempersempit ruangan. Beberapa saat kemudian kamera menyorot sebuah ruangan yang lebih besar yaitu bagian luar ruang pementasan yang direspon oleh salah seorang penari. Ia memanjati rusuk ruangan serta bagian tongkat yang menonjol keluar secara menyeluruh dari atas hingga samping. Selang beberapa saat kemudian pertunjukan diakhiri dengan frame kamera yang memenuhi layar seperti efek manipulasi psychedelic art.
Bagi seorang koreografer, kecerdasan tubuh dalam mengenal dan merespon sebuah benda atau fenomena yang dirasa mengganggu sebenarnya menjadi sebuah moment kesempatan untuk berkreasi dan berkreativitas, tubuh juga mengenali hal tersebut bukan lagi menjadi ancaman melainkan mainan. Pertunjukan yang menunjukan konvergensi seni dan teknologi ini membawa penonton ke dalam ruang spectacle labirin yang dikombinasi dengan konsep science fiction yang epic. Jalinan antara ruang pertunjukan dan mata kamera mampu memunculkan gejolak rasa baru bagi saya. Gejolak tersebut sepertinya menganalogikan situasi sulit di masa pandemi ini dengan segala keterbatasan yang ada, hidup dalam ruang isolasi yang sempit, penekanan batin, dan bertarung dengan dunia informasi yang sangat cepat. Mengontrol tubuh dan dikontrol keadaan nampaknya menjadi dualitas dalam karya ini dengan kehidupan saat ini ketika dihadapkan dengan keterbatasan, ambang batas, dan tanpa batas manusia sebagai penengah kosmos.
Layaknya mengajak penonton ke dalam ruang pertunjukan digital masa kini, pertunjukan ini menawarkan sudut pandang kamera di beberapa sisi ruangan, namun belum diketahui tentang kesadaran bentuk dan volume ruang yang sebenarnya ingin dibicarakan. Penari nampak memiliki energi yang besar di antara ruangan pertunjukan yang didesain dengan ukuran yang kecil, sehingga detail-detail gerak jari-jemari, tangan dan kaki mampu menjadi pemecah fokus pertunjukan. Begitu juga sebaliknya penambahan detail kecil tubuh juga akan memberikan impact lebih dalam membangun suasana. Ilusi optik yang dihasilkan melalui lampu laser menunjukan bagaimana cerdasnya tubuh merespon sebuah benda maupun fenomena yang dihadapinya. Maka akan lebih menarik apabila properti yang ada seperti lampu laser digunakan sebagai media pelengkap tubuh atau ruang agar lebih hidup. Properti tongkat mengingatkan saya pada pertunjukan sulap spike box illusion di mana pada akhir pertunjukan orang yang berada di dalam box selamat meskipun harus ditusuk menggunakan kayu berkali-kali, hal ini mungkin bisa menjadi sebuah pertimbangan agar plot ini tidak menghilang begitu saja. Kecanggihan teknologi masa kini seperti penggunaan kamera dan editing pada komputer bukan hanya sekedar media rekam saja tetapi sebuah media kreatif yang mempunyai privilege untuk membuat karya seni lebih hidup melalui manipulasi objek. Terkait hal tersebut, karya semacam ini kemudian dapat mewakili digital live art yang menawan.
Note: Sampai dengan tulisan ini diunggah, pertunjukan tersebut masih ditayangkan di youtube link berikut : https://www.youtube.com/watch?v=krHNyqzxp6o
Thank you ulasannya