fbpx
Rabu, April 24, 2024
Panggung TariULASAN

Festival Mentari 2022: Kala Tubuh Mendekati Kata-Kata

[Renee Sari Wulan]. Festival Mentari ke-2 telah digelar 2022 lalu. Dimulai dari webinar pada Juni 2022, workshop online (Ruang Reka Cipta) Juni – September 2022 dan pertunjukan pada Oktober 2022. Berikut adalah catatan panjang Renee Sari Wulan atas perhelatan tersebut.

Pendahuluan

Yayasan Seni Tari Indonesia merupakan sebuah kelompok yang resmi dibentuk tahun 2020 di Jakarta. Institusi ini bergerak di wilayah seni tari, dibangun atas pengamatan dan riset terhadap persoalan-persoalan dunia tari di Indonesia. Sepanjang yang teraba, persoalan-persoalan tersebut bersinggungan dengan distribusi pengetahuan, perluasan kesempatan, dukungan untuk pengembangan, penambahan ruang apresiasi dan ruang ekspresi, stimulasi munculnya kreativitas baru, dan mendorong aksi regenerasi seniman tari yang berkualitas di seluruh Indonesia.

Menelisik hal-hal tersebut, tak heran jika tahun 2022 ini mereka menggelar perhelatan Festival Mentari yang kedua dengan tema “Setelah Kata-Kata”. Ini adalah festival yang dilahirkan sebagai ruang bagi penciptaan tari koreografer muda Sumatera Barat dengan program di dalamnya berupa Webinar “Sastra Minang Sebagai Sumber Inspirasi”, Ruang Reka Cipta (online), Pertunjukan di Gedung Hoerijah Adam Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang Sumbar, dan workshop tubuh-koreografi di hall Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padang Panjang.

Tema “Setelah Kata-Kata” pada dasarnya mendorong delapan peserta Festival Mentari melakukan dua hal, yaitu mengunjungi sastra Minang dan mengambil salah satu untuk dijadikan inspirasi berkarya. Mereka dibantu melakukan proses tersebut melalui tahap Ruang Reka Cipta yang di dalamnya berupa workshop online dengan pembagian topik: Ide Gagasan, Dramaturgi, Koreografi, Artistik dan Musik.

Webinar

Webinar dilaksanakan 26 Juni 2022 dengan menghadirkan dua pembicara yaitu Adinda Luthfianti dan Esha Tegar Putra. Esha berbicara mengenai sastra Minang itu sendiri. Ia menyebutkan bahwa sastra Minang terdiri dari tradisi (sastra lisan) dan modern (sastra tulis). Tradisi memuat filosofi adat; ia lebih mengikuti pakem, banyak hal yang tidak bisa (tidak boleh) diubah, berbeda dengan sastra modern yang punya ruang eksplorasi.

Dia menjelaskan, dasar-dasar sastra Minang ada tiga:

  1. Pepatah. Ia tumbuh di masyarakat. Merupakan alat melahirkan pikiran dan perasaan masyarakat sehingga diperlukan rasa bahasa yang tinggi.
  1. Mantra. Merupakan media manusia dengan kekuatan gaib. Di sini pembaca mantra melafalkan kata-kata yang bersifat ilahiah.
  1. Pantun. Merupakan suatu bentuk kelisanan yang sudah mendarah daging. Pantun dimiiki oleh masyarakat luas; sedangkan pepatah dan mantra hanya dimiliki (dikuasai sebagai kemampuan) oleh orang-orang tertentu saja.

Di Minangkabau terdapat hubungan antara sastra dengan seni pertunjukan. Bentuk hubungan tersebut ada pada Randai, Dendang, Tari Adho’, dan Sapelong, sedangkan Sendratari merupakan lanjutan dari tiga hal dasar yaitu pepatah, mantra, dan pantun. Sastra dalam tari kontemporer bisa dilihat pada karya-karya Hoerijah Adam dan Gusmiati Suid. Keduanya menghadirkan judul-judul yang “berisi” cara pandang dunia creator. Gusmiati Suid misalnya, beliau melahirkan dua karya yaitu Kabar Burung dan Api dalam Sekam. Bukan hanya judul, tapi cara mereka menghadirkan koreografi juga berbeda. Ada lompatan-lompatan pada karya Gusmiati Suid, yang artinya beliau mampu melompat ke arah manapun dia suka, termasuk menggarap struktur sastrawi.  Namun di sisi lain ada pula kelengkapan filosofi. Berbeda dengan fenomena yang terjadi sekarang; judul yang ditawarkan sastrawi, namun koreografi tidak mencerminkan demikian. Esha menyodorkan harapan bagaimana sastra dalam koreografi tidak menjadi alih wahana saja, namun bisa lebih dari itu.

Pada perbincangan berikutnya Adinda Luthfianti menyatakan pandangannya bahwa sastra perlu dikenali berikut konteksnya. Di platform Festival Mentari hal tersebut dilanjutkan dengan memproduksi karya. Ia menyebutnya: karya setelah kata-kata. Berkaitan dengan itu, ada dua tahap yang sebaiknya dilakukan:

1. Mencermati diri sendiri   

Hal-hal yang dilakukan di sini adalah meriset gagasan, tema, judul, lalu membuat lanskap kreatifnya. Lakukan dengan cermat untuk menghindari pengulangan dan peniruan. Koreografer berfokus pada berbagai unsur kata-kata, bisa dipertanggungjawabkan isinya, dll. Semua dilakukan sambil mencurigai diri sendiri, apakah kreativitas itu bisa dikembangkan sebagai bekal pengetahuan? Kata kuncinya: ide adalah sesuatu yang dekat dengan kita.

2. Mencermati segala hal di poin 1) dengan konteks-konteksnya.

Di sini peserta mengandaikan tema, menganalisis (tubuh tari memasuki teks, ada konflik).

Kata kunci: kemampuan menganalisis, banyak bertanya, 5W + 1H (menggali informasi lebih mendalam melalui kata tanya kunci: What (apa), where (di mana), why (mengapa/kenapa), when (kapan), who (siapa) dan how (bagaimana))

Contoh:

Pilihan pepatah-Petitih: nasi dimakan raso sakam

Arti: penderitaan dalam waktu yang lama

Pepatah petitih tersebut tautkan dengan diri kita; bersatunya badan dan ruh. Pilih mana yang terasa sekali. Lebih spesifik lagi adalah mengenai penyandang disabilitas fisik yang tidak memiliki kaki dan duduk di kursi roda.

  • Apakah penderitaan batin yang lama itu? Melihat orang menari di kursi roda, dll.
  • Di mana dan kapan disabilitas itu terjadi? Di mana hal yang menyakitkan itu terjadi langsung?

Ada konflik batin muncul di rumah sendiri: merasa kalah, tidak mendapat simpati. Lantas berkembang menjadi pertanyaan:

  • Siapakah subjeknya?
  • Mengapa itu terjadi? Karena kurangnya empati keluarga. Fasilitas atau ruang publik yang kurang berpihak pada penyandang disabilitas.

Pertanyaan mendasar kemudian terhadap itu semua:

  • Bagaimana menubuhkannya?

Menyusun pun harus spesifik. Misalnya sebagai berikut:

  • Adegan subjek kehilangan nalar
  • Ia berdiri tegak di atas kursi roda. 
  • Adegan berputar di tangga
  • Ekspresi kemarahan. Misalnya, subjek turun dari kusi roda karena tidak menemukan apa-apa. Ia berusaha naik tangga, ingin membakar tangga, menyalakan-mematikan korek api.

Selanjutnya, tulis adegan sebagai materi yang didiskusikan.

Kelas Gagasan

Setelah webinar, Festival Mentari memasuki kelas mentoring. Ini adalah tahap-tahap pendampingan yang mengawal proses peserta membuat karya. Kelas pertama adalah Kelas Gagasan yang dipandu Heru Joni Putra. Pada pengantarnya Heru mengatakan bahwa dalam proses berkarya sangat penting memahami kondisi. Dalam belajar juga boleh salah asal jangan melakukan kesalahan yang sama. Belajar adalah  proses kita sedang memahami suatu hal; kehendak memahami sesuatu. Dalam konteks kesenian, pertentangan yang dialami seniman adalah: keasingan dan kenyamanan. Ciptakan gangguan-gangguan yang produktif, apapun caranya. Ia lebih suka memahami-mendekati kerumitan. Lalu mencoba metode-metode yang baru. Seni meliputi kebebasan dan kreativitas, namun memerlukan disiplin.

Berikutnya peserta dibimbing membuat kertas kerja. Dalam kertas kerja terdapat hal-hal sebagai berikut:

  • Pepatah yang dipilih
  • Makna dasar
  • Latar belakang sosial budaya
  • Referensi ketubuhan
  • Referensi kebendaan
  • Pilihan isu
  • Penjelasan dan hubungan dengan pepatah
  • Posisi creator

Contoh Kertas Kerja Penciptaan

1. Data Umum

Nama Koreografer: Siska Veronika Rosa

Contoh Pepatah:

capek kaki ringan tangan,

capek kaki indak panaruang,

ringan tangan bukan pamacah

Makna Dasar:

tentang sifat penolong yang penuh inisiatif dan tanpa pamrih

Latar Belakang Sosial Budaya:

Kehidupan masyarakat Minang di dalam dan di luar rumah, tanah lapang, perkakas dan lingkungan sekitar.

3. Data Muatan Teks

Referensi Ketubuhan:

Kaki dan tangan yang bergerak cepat, gerakan tersandung, pola gerak yang cepat.

Referensi Kebendaan:

Pecah belah, benda kecil yang bisa membuat tersandung, batu kecil, benda berat, kaki dan kaki.

3. Data Kontekstualisasi

Pilihan Isu Koreografer:

Penindasan berlapis kepada kaum perempuan yang dilecehkan.

Penjelasan Kondisi Hari Ini:

Dua remaja putri berbelanja di toko aksesoris, uang mereka tidak mencukupi. Pemilik toko menawarkan memberi aksesoris tersebut dengan syarat mereka membuka hijabnya. Tawaran itu disetujui. Selanjutnya pemilik toko melakukan pelecehan seksual terhadap mereka. Peristiwa itu direkam dan disebarkan ke media sosial. Ayah remaja mengetahui hal tersebut. Ia merasa malu dan berdosa, kemudian menembak kedua remaja putrinya tersebut hingga meninggal.

Posisi Koreografer Terhadap Isu:

Koreografer berpihak pada korban tewas (remaja puteri). Ia berpendapat bahwa seharusnya dua remaja itu dilindungi dan diberi keadilan. Seharusnya sang ayah menuntut, membela, melindungi.

4. Konsep Dasar

Apa?

Karya tari ini menceritakan tentang dampak pelecehan remaja putri yang dilakukan oleh pemiik toko; berdalih menolong namun mengharapkan imbalan. Berkaitan dengan pepatah Minang “capek kaki ringan tangan capek kaki bukan panaruang ringan tangan bukan pamacah”, yang artinya lebih melekat pada bantuan yang diberikan bukan untuk mengharap imbalan.

Di mana?

Karya akan dipentaskan di gedung pertunjukan. Koreografer memandang gedung pertunjukan sebagai ruang tertutup, yang ia identikkan dengan kondisi perempuan yang mengurung diri. Ruang semacam ini juga dipilih karena membantu dalam fokus berproses.

Siapa?

Siapa penarinya? Mereka adalah siswa SMP-SMA, dipilih karena mewakili perempuan usia remaja yang baru merasakan kebebasan sekaligus rentan terhadap pelecehan seksual. Ini adalah generasi yang masih gamang bertindak, bergaul, dan labil pemahamannya perihal nilai baik-buruk.  

BACA JUGA:  Open Call : Hibah Seni PSBK 2018

Mengapa?

Tema ini dipilih koreografer karena menurutnya remaja kurang mendapatkan perlindungan dan keadilan.

Bagaimana (wilayah dramaturgi)?

Kelas Dramaturgi

Pada praktik-praktik dramaturgi yang biasa terjadi, seorang dramaturg menanggapi suatu proses karya yang sedang berlangsung. Dalam perjalanan proses itu kreator dan dramaturg membangun-menyusun suatu kerangka artistik bersama-sama. Keduanya melakukan diskusi mendalam atas buah pikir (ide) masing-masing terhadap karya yang sedang berproses tersebut.

Di platform Festival Mentari proses dramaturgi terjadi sebelum proses studio dilakukan. Saya yang bertugas sebagai mentor di kelas dramaturgi menindaklanjuti proses peserta di kelas gagasan.  Kertas kerja yang telah mereka buat berujung pada suatu gagasan. Dari sinilah titik tolak praktik kekaryaan mereka. Di sesi ini harus sudah terbayang format pertunjukan yang akan terjadi secara garis besar. Peserta saya arahkan menyusun kertas kerja dramaturgi sebagai panduan untuk memudahkan pekerjaan mereka berproses di studio.

Contoh Kertas Kerja Dramaturgi

Siska Veronika Rosa.

Gagasan Pokok: Pelecehan terhadap perempuan

Sub Gagasan:

  • Perempuan-perempuan yang belum mendapat masalah berat
  • Pelecehan dan penindasan terhadap perempuan
  • Dampak atau akibat bagi perempuan korban pelecehan
  • Usaha perempuan bangkit dari peristiwa pelecehan yang menghantui, melanjutkan gerak menuju kehidupan yang diinginkan.

Bagian 1

  • Menggambarkan aktivitas beberapa perempuan di tempat kos

Adegan: enam penari perempuan bergerak di tengah pentas

Durasi: 3 menit

Suasana: tenang

Musik: techno live, tempo lambat ke sedang

Lampu dan Cahaya:  ellipsoidal dengan cahaya merah dan frasenel cahaya kuning.

Kostum: baju panjang dan celana panjang warna putih, menggambarkan kesucian dan harga diri perempuan

Tata Pentas (setting): panggung kosong dengan latar belakang layar hitam

  • Menggambarkan aktivitas remaja di sekolah

(Adegan, suasana, lampu dan cahaya, musik, kostum, tata pentas)

Bagian 2

  • Menggambarkan penindasan dan pelecehan perempuan

(Adegan suasana, lampu dan cahaya, musik, kostum, tata pentas)

  • Menggambarkan kesedihan dan akibat yang dialami perempuan korban pelecehan

(Adegan, suasana, lampu dan cahaya, musik, kostum, tata pentas)

Bagian 3

Menggambarkan perjuangan perempuan menaklukkan hati dan pikiran yang menghantui, bergerak bangkit dan maju menuju hidup yang diinginkan

(Adegan, suasana, lampu dan cahaya, musik, kostum, tata pentas)

Workshop Gerak, Tubuh, dan Koreografi
  1. Extended Body

Pemateri: Alisa Soelaeman

Perhelatan Festival Mentari juga diisi dengan workshop pada 14 Oktober 2022. Di sesi pertama Alisa Soelaeman memberi materi tentang peluasan tubuh (extended body). Ada beberapa materi gerak yang ia berikan antara lain meliuk, ular kobra, peregangan (stretch), air mancur, swing, tendu, shake, contract-release, flek-point, speed, irama, tangan lurus (atas-bawah-samping), memori otot (mengisi), keseimbangan (balancing).

Kemudian dia melanjutkan dengan materi dasar gerak/teknik tari modern (modern dance), teknik badan vertikal seperti benang (badan didorong ke atas), teknik mengartikulasikan bagian-bagian tubuh, teknik gerak berguling lalu angkat badan (tengkurap, lutut diangkat, tumpuan pada tangan dan ujung kaki saja), teknik mendorong (perpindahan berat badan, bahu ke bumi), teknik kaki spiral, lompatan-ayunan, sinkronisasi gerak, kesadaran ruang, rangkaian gerak kombinasi, pendinginan.

Workshop sesi pertama ditutup dengan diskusi dan tanya jawab. Diawali dengan pertanyaan peserta tentang apakah tradisi di karya tari kontemporer. Alisa menjawab hal tersebut bisa berupa bentuk dan gerak, filosofi, hal-hal keseharian. Kemudian menjawab pertanyaan tentang tari modern yang “dicampur” dengan kreasi, Alisa menjawab bahwa itu hanyalah masalah kreativitas, bagaimana agar keduanya bisa selaras (smooth), tidak “patah”. Mengenai ide dan gerak, Alisa percaya bahwa tidak ada yang “baru”. Yang ada adalah mencari kemungkinan/ jalan/ cara lain. Tak masalah dengan adanya pengaruh orang/ paham lain dalam konteks kreativitas. Alisa mengakhiri diskusi itu dengan membagi pengalaman berkeseniannya.

  1. Sinkronisasi Gerak dan Kesadaran Tubuh tentang Ruang Bergerak

Pemateri: Eyi Lesar

Sore hari 40 peserta melanjutkan workshop sesi kedua. Dipandu Eyi Lesar, mereka mengawali dengan pemanasan berupa peregangan (stretching), melibatkan:  kepala, torso, tangan, kaki.

Materi pertama berupa teknik putar (spot). Di sini kesadaran yang perlu dikuatkan adalah mengenai tumpuan dan observasi terhadap tubuh lain (untuk pantulan diri).

Hal lain adalah meneropong kecerdasan tubuh melalui serangkaian gerak berayun (swing) kanan-kiri (bisa fleksibel batasnya). Selanjutnya Eyi menjelaskan tentang perlunya kesadaran dan kendali tubuh, dipraktikkan dalam materi step bebas (mundur-maju) menggunakan ilusi (illution). Saya amati di bagian ini peserta bergerak dengan spirit bermain. Eyi mengatakan banyak hal harus dilakukan, banyak hal bisa dilakukan; membuka ruang, mencoba ruang. Di sini saya melihat Eyi mendorong peserta menggunakan gerak yang lepas dari hitungan. Materi eksplorasi juga diberikan dengan mendorong tubuh merespon musik, memunculkan gerak dari dalam tubuh dan dari luar tubuh. Eksplorasi mengeluarkan ekspresi. Bagi Eyi estetika tari tak bisa hadir tanpa teknik gerak. Workshop ditutup dengan diskusi kecil, antara lain memperbincangkan tentang: apakah tari? Menarik ketika Eyi mengemukakan bahwa modal tari adalah berupa pertanyaan pribadi kita masing-masing.

Review Pertunjukan
  1. Meretas Jalan Adat

Koreografer: Ipra Ganis

Melihat karya Ipra, saya tertarik dengan potongan-potongan tubuh yang ia hadirkan mulai bagian awal. Namun selanjutnya, sampai akhir, saya tidak mampu menangkap apa yang ia bicarakan. Saya pun membaca sinopsis dan Kertas Kerja Penciptaan miliknya. Dari kedua teks tersebut saya menangkap jejak ide tentang peretasan. Di Kertas Kerja Penciptaan Ipra mengutarakan gagasan utama karya, yaitu tentang praktik peretasan di dunia maya (media sosial). Ia memilih ide tersebut untuk membuka ruang ekspresi dari pengalamannya sendiri sebagai korban peretasan. Sastra (pepatah) yang ia jadikan inspirasi/persinggungan: “jalan dialiah dek urang lalu, cupak dipapek dek urang manggaleh” (Arah jalan ditukar oleh orang yang numpang lewat; cupak dipepat oleh orang yang berjualan). Pepatah tersebut mengandung makna dasar: perubahan terjadi di suatu tempat disebabkan hal-hal di luar tempat itu; perubahan terjadi atas sesuatu hal karena tak ada lagi yang mampu menjaganya.

Di sinopsis Ipra mengutarakan konsep peretasan dalam konteks dunia media sosial hari ini dan di wilayah kebudayaan. Kemudian ia bicara tentang dampak peretasan yang menimbulkan keterpisahan (ambigu). Saya pun kembali kepada memori pertunjukan yang saya saksikan. Di sana konsep keterpisahan memang terbaca nyata dengan dimunculkannya potongan-potongan tubuh. Mereka ada waktunya bergerak sendiri, di waktu lain saling berinteraksi. Ada ungkapan-ungkapan lokal, oleh suara maupun raga, yang mengingatkan saya pada Randai. Selebihnya adalah ketidakjelasan. Karya sebagai sebuah “alur perbincangan” tidak saya dapatkan. Secara keseluruhan saya hanya menangkap potongan-potongan perbincangan. Tentang peretasan di dunia maya saya tidak menangkapnya. Jika dikaitkan dengan sinopsis, maka karya ini bagi saya lebih tertangkap sebagai perbincangan tentang keterpisahan (ambiguitas). Peretasan budaya lebih saya rasakan disuguhkan sebagai “bacaan umum”, bukan kasus tertentu (pengalaman pribadi koreografer) yang dihadirkan di pertunjukan.

  1. Perempuan Di Nagari Ban

Koreografer: Aditya Warman

Karya ini beranjak dari pepatah, “nasi dimakan raso sakam, aia diminum raso duri” (nasi dimakan rasa sekam, air diminum rasa duri). Sang kreator, Aditya Warman, melihat adanya persinggungan antara pepatah tersebut dengan situasi-pengalaman yang terjadi pada seorang perempuan. Di lembar Kertas Kerja Penciptaan sampai dengan sinopsis, Adit konsisten dengan gagasan yang ingin ia sampaikan melalui karyanya. Menarik ketika ia menyoroti benturan budaya yang dialami seorang perempuan dalam sebuah pernikahan. Ketentuan adat, terutama yang berkaitan dengan ekonomi keluarga, mampu menjadi tekanan bagi perempuan dari budaya yang berbeda. Tekanan ini disimbolkan dengan “ban”. Pilihan “ban” sebagai material simbolik adalah hal yang tepat dan menarik. Terlihat di pentas bagaimana dengan “ban” Adit leluasa menyampaikan ekspresi, pernyataan, dan penggambaran situasi pelik perempuan tersebut. “Ban” ia perlihatkan mampu bersinergi dengan tubuh.

Di sisi lain Adit monoton berasyik-asyik dengan ban. Adegan-adegan pun menjadi kehilangan kekuatan karakternya. Terasa hambar dan tidak tampak permainan alur antara transisi, tema pokok, dan konteks. Karya ini juga ditutup dengan ending yang tidak memberi kesan apa-apa. Saya kira ini dampak dari keasyikan bermain simbol tersebut, sehingga kreator kehilangan arah.

  1. Belenggu Jiwa

Koreografer: Siska Veronika Rosa

Ungkapan sastra (pepatah) yang dijadikan acuan karya ini adalah “capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tangan bukan pamacah”. Makna dasar pepatah tersebut adalah mengenai sifat penolong yang penuh inisiatif dan tanpa pamrih.

BACA JUGA:  Mother or Earth, Tinjauan dari Kursi Penonton Mother Earth Produksi Mila Art Dance

Ini menarik ketika Siska melihat irisannya dengan realita di sebuah negara. Pepatah tersebut bermakna sebaliknya dan melahirkan tragedi. Penjual di sebuah toko melakukan pelecehan seksual pada perempuan berjilbab; ia viralkan foto pembeli perempuan yang ia tekan untuk melepas jilbabnya. Foto viral tersebut diketahui sang ayah. Ia merasa malu dan timbul emosi tak terkendalikan, sampai-sampai ia menembak putrinya sendiri hingga tewas.

Di pentas Siska mampu menggambarkan ide itu dengan pas. Ia tak terperosok dalam sajian naratif. Keputusannya tepat ketika memilih bahasa simbolik sebagai ekspresi kisah tersebut. Berpijak pada pilihan sikap berpihak pada perempuan korban pelecehan dan pembunuhan. Siska memilih ekspresi situasi dalam tiap adegan. Diawali dengan wilayah kepolosan perempuan yang belum mengalami “kejutan-kejutan hidup”. Kemudian dilanjutkan dengan penggambaran dampak situasi dari tubuh yang ternoda tersakiti; diakhiri dengan sikap kuat meninggalkan luka, dan melanjutkan hdup menuju lapisan-lapisan kualitas.

Pada diskusi di kelas dramaturgi, saya katakan padanya bahwa penggambaran situasi di tiap adegan harus kuat tersampaikan agar bisa dirasakan penonton.  Ia pun mengerjakan PR itu dengan baik. Baju putih dengan bercak-bercak darah, adegan tragedi di siluet layar, adalah penterjemahan dia atas diskusi tersebut.

  1. Hilang

Koreografer: Diva Amanda Putri

Koreografer mengulik pepatah “labuah luruih jalannyo pasa jan manyimpang suo’ jo kido” (lebih lurus jalan ke pasar, jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri) sebagai bahan awal proses. Pepatah tersebut mengandung makna dasar: keputusan yang sudah diambil harus dijalankan, jangan menyimpang dari itu.

Di sinopsis Diva menyebutkan perihal keharmonisan keluarga yang tak lagi mampu dijaga, karena kondisi perekonomian yang ambruk. Hal tersebut mengakibatkan depresi pada sang anak perempuan tunggal. Judul “Hilang” yang disematkan di karya ini akhirnya menyentuh beberapa konteks: harmoni keluarga, ekonomi, dan depresi.   

Pertunjukkan karya ini diawali dengan penggambaran yang cukup baik tentang keharmonisan keluarga. Memasuki bagian konflik, musik tidak memberi suasana khusus.  Terasa monoton walau tetap terhubung dengan adegan. Bagian akhir adalah ruang kegalauan sang anak perempuan yang mengalami depresi. Ada konsep-konsep yang menstimulasi tubuh bergerak; memberi emosi. Lagi-lagi musik menjadi titik lemah karya karena koreografer hanya menggunakan satu musik dari awal hinga akhir. Di adegan ini ekspresi kegalauan hadir berarut-larut (terlalu panjang). Hal itu bisa disusun kembali berbarengan dengan eksplorasi musik.  

  1. In Cycle

Koreografer: Alisa Soelaeman

Ini adalah satu-satunya karya yang menggunakan slide di layar sebagai “partner” pertunjukan. Interaksi tampilan visual pada layar dan tubuh, dalam bingkai satu panggung, adalah sebuah perbincangan tersendiri. Ia bukan murni karya panggung, juga bukan murni karya video/film tari, atau video performance. Ketiganya berpotensi menghadirkan tubuh di wilayah ekspresi masing-masing, dengan disiplin yang berbeda. Sejauh yang mampu saya tangkap, layar di panggung Alisa menyuguhkan garis, air, simbol posisi (kursi), gambar potongan-potongan tubuh di layar, cahaya, cairan merah seperti darah.

Tema yang dibicarakan adalah lahirnya ritual baru di kehidupan modern. Yang menciptakan adalah perempuan, karena menginginkan pengalaman penguatan energi feminin, dilakukan bersama perempuan-perempuan lain.

Pepatah yang menjadi titik tolak In Cycle adalah “sakali aiy gudang, sakali tapian berubah”. Hal ini mengandung makna jika terjadi sesutu yang cukup besar dampaknya (seperti air bah), maka hal tersebut akan mengubah tatanan.

Sebagai tontonan, karya ini terasa melebar. Saya belum merasakannya sebagai kesatuan yang memusat. Terutama jika dikaitkan dengan “ritual untuk mencapai penguatan energi feminin”. Namun jika dilihat dari perspektif elemen-elemen yang memberi sebab (aksi) dan dampak dari aksi tersebut, karya ini menjadi semacam kolase. Potongan-potongan kolase hadir di layar, membentuk narasi yang mengikuti pernyataan-ekspresi tubuh panggung. Di sisi lain “tubuh panggung” bergerak dalam atmosfer “ruang feminin”.

Secara keseluruhan saya mencoba menyerap sajian karya ini sebagai suatu ekspresi. Menyerap ungkapan media visual dan musik; menangkap pergulatan dan damai (negosiasi). Sempat muncul kebimbangan ketika mendengar teks tentang tragedi dan kemuraman: saya harus menempatkan diri di mana? Arus emosi atau estetika rupa yang terbangun dari awal? Saya kemudian menemukan “perahu” yang membawa saya menyusuri arus pementasan; menyerap rupa di permukaan, terkadang tenggelam di pusaran emosi … lalu muncul lagi ke permukaan.

In Cycle merupakan karya undangan, bukan bagian dari peserta Festival Mentari. Ide menyandingkan karya peserta dengan karya undangan sebagai pembanding adalah hal yang baik, di sana akan terjadi pantulan terutama untuk koreografer peserta.

  1. Sasak

Koreografer: Oki Satria

Tarandam-randam indak basah, tarapuang-rapuang indak hanyuik” (terendam-rendam tidak basah, terapungapung tidak hanyut), adalah pepatah yang mendasari lahirnya karya “Sasak”. Makna dasar pepatah tersebut menyoroti permasalahan yang tidak didudukkan cara penyelesaiannya, sesuatu yang tidak jelas ujung pangkal persoalannya. Semacam lingkaran setan problematika yag tak ada ujung solusi/penyelesaiannya. Hal ini memicu ingatan dan kegelisahan koreografer tentang satu problematika di masyarakat yang sangat mengganggu, yaitu sampah. Problematika ini tak hanya merujuk pada sampah sebagai objek/benda, namun terutama pada perilaku manusia yang berdampak munculnya lingkaran setan persoalan tersebut. Pandemi membuat lingkaran problematika itu semakin tebal. Perilaku masyarakat terhadap sampah masker semakin menambah kesesakan problematika sampah.

Di panggung rangkaian gagasan tesebut hadir dalam sajian yang kurang kuat fokusnya. Karakter masing-masing adegan masih lemah. Hal itu menyebabkan karya ini hadir dengan alur yang kurang bisa dinikmati. Koreografer bekerja dengan irama yang terburu-buru. Menjelang akhir, adegan seorang penari laki-laki memukul-mukul dan menggulingkan tong sampah, diisi dengan musik yang cukup bagus. Bagian penutup di mana penari bergerak maksimal di tengah sampah, terasa hadir tubuh-tubuh yang berenergi. Hal ini cukup kuat menyampaikan pesan sikap perlawanan terhadap kondisi ketidakberdayaan manusia di hadapan lingkaran setan problematika sampah.

  1. Bapadanan

Koreografer: Yogi Nefrian

Di karya ini Yogi Nefrian mengkritisi sebuah pepatah Minang yang berbunyi, “anak dipangku, kamanakan dibimbiang” (anak dipangku, keponakan dibimbing). Pepatah tersebut mengandung makna dasar fungsi ganda seorang laki-laki dewasa di Minangkabau, dituntut kemampuan menyeimbangkan peran sebagai ayah dan paman (mamak). Anak dan keponakan diberi bimbingan dan perlindungan agar kelak bisa menjadi manusia yang berguna.

Diksi “anak dipangku” bagi Yogi menjadi semacam utopia ketika realita yang dialami menunjukkan hal yang berbeda. Sebagai anak laki-laki ia memiliki bayangan kedekatan hubungan dengan ayahnya, sebagaimana bunyi pepatah “anak dipangku”, namun hal tersebut tidak ia rasakan.

Ide semacam ini memiliki potensi besar melahirkan karya yang melankolis. Di awal proses berupa tatap muka di kelas dramaturgi, Yogi menyatakan bahwa ia akan menggunakan bilah-bilah papan. Dalam bayangan saya saat itu, bilah papan lebih mengisi peran dekoratif, permainan pergantian ruang, menyesuaikan dengan kebutuhan suasana yang ingin dihadirkan. Di sisi ini saja, saya memberi poin bagi Yogi dalam konteks pilihan kreativitas. Dalam proses selanjutnya sampai pada tingkat pertunjukan, bilah-bilah papan tak hanya memenuhi unsur dekoratif, namun ia pun mengisi peran-peran metafor yang mengungkapkan emosi, rintangan, dan kerinduan kasih sayang dalam kedekatan hubungan anak laki-laki dan ayah.

Ada lompatan cukup signifikan ketika di pertunjukan Yogi mampu menciptakan adegan-adegan dengan karakter yang kuat. Ia berhasil untuk tidak larut dalam irama ketergesaan, maupun godaan mobilitas tubuh tanpa makna. Alhasil adegan-adegan tersebut mampu hadir sebagai ruang yang memberi tempat bagi ungkapan-ungkapan emosi dalam. Gagasan karya ini menuntut bahasa ungkap berupa ruang yang cukup lebar bagi munculnya emosi-emosi dalam (kesedihan, harapan panjang tak berujung, kegalauan). Karya ini juga tidak jatuh pada wilayah sentimentil/kecengengan. Permainan tubuh dan papan mampu menciptakan beragam warna adegan. Bilah-bilah papan adalah bagian dari kecerdasan karya ini. Puncaknya ada pada bagian akhir: ibadah yang dilakukan bersama antara ayah dan anak laki-laki seakan menjadi klimaks dari segala angan-angan.

  1. Run How

Koreografer: Cici Wulandari

Dima bumi dipijak, di situ langik dijunjuang” (di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung). Makna dasarnya, penyesuaian diri di tempat yang baru/berbeda dengan cara menghargai aturan, budaya, dan norma tanpa meninggalkan jati diri kita sendiri. Oleh koreografer makna dasar tersebut ditarik ke dalam konteks perantau Minang. Pelakunya bisa laki-laki maupun perempuan.

Di karya ini koreografer mengangkat fenomena perempuan Minang yang merantau.  Hal ini “bertentangan” dengan ketentuan adat yang justru mengondisikan perempuan Minang yang pergi merantau. Perempuan Minang oleh adat ditempatkan di kampung, karena sistem matrilineal menentukan posisi perempuan mendiami   tanah keluarganya dengan tugas-tugas tertentu, dan untuk itu dicukupkan segala kebutuhan ekonominya. Di kelas dramaturgi saya menanyakan pada Cici: apa yang menyebabkan perempuan Minang merantau, jika mengingat kehidupannya yang sudah dijamin oleh adat. Cici mengatakan bahwa ternyata realita hari ini tak lagi menguatkan keinginan adat untuk mencukupkan kondisi ekonpmi perempuan Minang. Hal itulah yang membuat perempuan Minang pun akhirnya harus merantau; ia harus bekerja untuk hidupnya (dan juga keluarganya di kampung), sebagian lain merantau untuk menuntut ilmu.

BACA JUGA:  PTSK, TRAUMA, STRESS DAN TERAPI

Kala menyoroti perempuan merantau Cici memandangnya sebagai sebuah perjalanan; di dalamnya ada perjuangan, kerja keras, adaptasi, pengembangan wawasan. Segala laku tersebut dibingkai oleh nilai dan pandangan hidup sebagai perempuan Minang.

Di Kertas Kerja Dramaturgi telah membuat pengadeganan dengan perbincangan yang cukup jelas pada masing-masing adegan. Mulai dari situasi (keterbatasan ekonomi) yang mendorong perempuan Minang memutuskan merantau, gambaran pergulatan di daerah rantau (termasuk pertarungan diri dengan kerinduan pada kampung halaman), sampai akhirnya ia memutuskan kembali ke kampung halaman. Namun di pentas, semuanya menjadi kabur (buram). Koreografer terjebak pada “mobilitas adegan”. Ia menghindari “tuntutan dalam” dari tiap adegan. Jika ia konsisten (bersetia) dengan desain yang ia buat di Kertas Kerja Dramaturgi, maka akan terbaca bahwa masing-masing adegan memiliki ruang percakapan, berpijak pada gagasan-turunan gagasan yang diusung. Di sana ada makna dan tema dibarengi tuntutan emosi dan karakter tertentu. Akhirnya karya ini hanya berupa pergerakan badan, tanpa bicara apa-apa.

Run How sebenarnya dibuka dengan adegan yang menyodorkan perbincangan krusial, yang berpotensi menghadirkan diskusi kritis perihal realita yang tak lagi bersesuaian dengan “ramalan adat”. Bagian ini menuntut sebuah penggambaran yang kuat tentang keterdesakan ekonomi yang dialami perempuan Minang di kampungnya, yang awalnya ia diposisikan sebagai ‘penjaga pusaka’ sesuai sistem matrilineal yang berlaku di masyarakat Minang.

Bagian selanjutnya juga menuntut adanya penggambaran yang kuat perihal perjuangan dan dilema yang dialami perempuan Minang di tanah rantau. Di sini juga memuat perbincangan kritis yang membentangkan tegangan antara perjuangan melanjutkan hidup atau mengikuti desakan emosi bagian dari ikatan diri pada “rahim” (kampung halaman).

  1. Journey Culture Limpapeh

Koreografer: Ahmad Iqbal

Lupo bacamin diri, harago diri luluah lantak indak bararti” (lupa bercermin diri, harga diri luluh lantak tak berarti). Peribahasa tersebut menjadi pilihan koreografer ketika ia memiliki kegelisahan cukup kuat terhadap pergeseran perilaku perempuan Minang hari ini. Muncul pertanyaan mendasar: seberapa jauh perempuan Minang menghayati sifat yang melekat pada Bundo Kanduang? Bundo Kanduang merupakan suatu konsep mengenai nilai-nilai yang dilekatkan masyarakat Minangkabau terhadap perempuan. Dia merasa kehilangan figur perempuan “masa lalu” yang masih sangat kental dengan nilai-nilai tersebut.

Di salah satu diskusi kami dalam kelas dramaturgi, saya menyampaikan kepada Iqbal pandangan saya setelah saya menyaksikan video rekaman proses dia yang pertama. Di video tersebut bagi saya justru yang terbaca adalah gambaran sejarah Minangkabau yang berhadapan dengan desakan pengaruh globalisasi saat ini. Menurut saya isu ini lebih mengena daripada sekedar mempertentangkan perempuan Minang dahulu dan sekarang. Keduanya pada hari ini menghadapi persoalan yang sama, yaitu globalisasi di hampir semua sektor. Di tengah pergerakan zaman, tak ada manusia yang final dengan nilai tertentu, karena setiap saat nilai itu akan diuji dengan perubahan; dipertanyakan kembali, apakah masih valid atau tidak dengan kondisi jaman.  

Iqbal sepakat dengan pandangan itu, namun dalam amatan saya dia masih berjarak cukup panjang dengan pemahaman isu tersebut. Di sinopsis dia masih berbicara soal pertentangan nilai “perempuan Minang dahulu-sekarang”. Di panggung tak ada yang berubah cukup radikal dari video proses pertama yang saya tonton. Namun kehadiran adegan-adegan terasa mengapung, ada-terlihat di wilayah permukaan, sekaligus terasa tak menjangkar-mencengkeram pijakan. Saya pikir ini disebabkan oleh faktor “pemahaman berjarak” yang saya singgung di atas. Perlu riset dan studi panjang-luas-dalam tentang isu globalisasi, kebudayaan, perempuan — hal mana akan berujung pada kehadiran adegan-adegan dalam karya dengan perbincangan yang kuat.

  1. Which Is Actually Fun For Me

Koreografer: Eyi Lesar

Saya menikmati karya ini, namun gagal memahaminya. Karya ini juga merupakan karya undangan sebagaimana In Cycle karya Alisa Soelaeman. Pepatah yang dijadikan inspirasi adalah “alah limau dek binalu”, artinya pohon limau sebagai simbol peradaban telah dikalahkan oleh benalu. Di sinopsis Eyi mengutarakan gagasan tentang kehidupan anak Jakarta Selatan (kehidupan malam dan kesehatan mental). Ada realita yang mengganggunya hingga memunculkan pertanyaan tentang ketangguhan mental manusia saat ini yang rendah, atau justru mereka sesungguhnya sedang menyimpan kebenaran namun terdominasi hal lain, sehingga tak pernah ada yang memunculkannya sebagai perbincangan terbuka di wilayah publik. Sebagai penonton saya tak menangkap hal apakah yang dimaksudkan koreografer. Di panggung saya hanya mampu melihat dan menikmati dua penari laki-laki bergerak dengan musik.

Penutup

Realita dalam Tubuh dan Kata-kata.

Saya melihat sastra, dalam hal ini peribahasa atau pepatah-petitih, sebagai hal yang mendekatkan masyarakat Minang dengan realita. Kata-kata ungkapan tersebut menjadi media masyarakat menyampaikan pembacaannya atas realita tertentu. Realita yang kompleks dipadatkan dalam satu sampai beberapa baris kalimat pendek (rata-rata 1-3 kalimat). Pepatah juga saya lihat sebagai warisan sejarah. Ia dibaca oleh generasi zaman selanjutnya, yang kemudian mencari padanan dengan realita yang membersamai mereka di jaman itu.

Para koreografer peserta Festival Mentari 2022 adalah bagian dari generasi masyarakat Minang yang menerima pepatah sebagai warisan sejarah. Sikap mereka beragam dalam mendampingkan pepatah tersebut dengan realita yang mereka jumpai. Tak semuanya menyandingkan secara paralel, ada yang memperlakukan secara asimetri, menautkannya dengan realita yang merupakan kebalikan dari maksud pepatah tersebut.  Contohnya adalah Siska Veronika Rosa dan Yogi Nefrian. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan sekaligus dugaan saya mengenai kemungkinan ke depannya pepatah bisa disikapi dengan beragam sudut pandang (tafsir), juga kemungkinan bahwa ia akan terkubur – tak terpakai lagi, dan muncul pepatah yang lain (baru). Jika benar terjadi demikian, maka pepatah akan terus berperan sebagai pembaca sekaligus ungkapan tubuh sosial.

Proses penciptaan karya tari yang didesain dalam platform Festival Mentari saya lihat sebagai upaya membantu koreografer melakukan tahapan-tahapan yang lebh rapi dan tertata. Tahapan yang paling kritis adalah di Ruang Reka Cipta dan Dramaturgi. Di kedua wilayah ini segala gagasan yang abstrak dialihkan menjadi sesuatu yang “konkrit”. Kertas Kerja yang dihasilkan dalam dua tahapan tersebut menjadi panduan koreografer bekerja di studio.

Dari segi waktu, tentu saja apa yang ada di desain Festival Mentari bukanlah hal ideal. Namun setidaknya rangkaian proses tersebut bisa menjadi acuan koreografer dalam proses mereka selanjutnya.

Renee Sari Wulan

Renee Sari Wulan

Renee Sari Wulan lahir di Malang, Jawa Timur, tahun 1973. Menari sejak usia 6 tahun. Lulus dari Institut Kesenian Jakarta program studi Antropologi Tari. Menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (2006-2012) di Komite Tari. Memiliki ketertarikan pada riset dan penulisan tari, terutama kajian tubuh tari Indonesia. Tahun 2017-2018 terlibat sebagai editor buku tari Ikat Kait Impulsif Sarira yang ditulis oleh Eko Supriyanto. Kemudian ia diminta terlibat sebagai dramaturg dalam proses kerja koreografi dari tiga koreografer Indonesia, yaitu Hartati ("Wajah #2" 2017), Tulus ("Pasir" 2018 - sekarang masih berproses), dan Eko Supriyanto ("Ibu Ibu Belu Body of Border" 2019 sedang berproses).