fbpx
Minggu, April 28, 2024
ULASANLintas DisiplinPanggung Teater

Menakar Ludus dalam “Adang : Ludens Body” — Komunitas Kembali

[Rizal Sofyan]. Videotron di bagian belakang panggung menampilkan footage hajatan pernikahan sebagai bagian pembuka dari pertunjukan Adang: Ludens Body karya Komunitas Kembali. Makanan di meja prasmanan dan dekorasi tenda pernikahan menandai peristiwa hajatan di kampung. Para tamu undangan bersuka ria dan menikmati berbagai jenis sajian makanan seperti nasi, rendang, gulai, soto, dan acar. Seiring dengan videotron diputar masuk 3 orang aktor perempuan sambil membawa properti pertunjukan seperti janur, aseupan, dan pocongan padi yang digantung di sebuah gerobak dari bambu dan kayu.

Setelah barang-barang tersebut disimpan, mereka mulai menari memakai tongkat kayu sepanjang 1 meter. Tidak hanya itu, mereka pun membuat suara dengan menghentakan ujung tongkat bagian bawah ke lantai panggung. Suara yang mereka buat menyesuaikan tempo musik pengiring. Tarian dan membunyikan properti berlangsung repetitif. Karena tidak hanya 3 aktor perempuan tadi, 2 aktor laki-laki dengan kostum telanjang dada dan memakai topeng besek bambu melakukan hal yang sama. Mereka memukul-mukul piring dengan sendok sambil melakukan gerak-gerak teatrikal.

image002 | Menakar Ludus dalam “Adang : Ludens Body” — Komunitas Kembali
Gambar 1. Aktor dan Footage Hajatan Pernikahan dalam Adang: Ludens Body. Dok. Komunitas Kembali

Selama pertunjukan, peristiwa di panggung diisi oleh permainan aktor dan footage memasak masyarakat rural. Pada saat footage diputar penonton akan difokuskan untuk menonton, saat lalu footage selesai penonton akan difokuskan pada permainan aktor. Komposisi tersebut dilakukan berulang-ulang. Hanya beberapa bagian saja peristiwa di panggung dan videotron dikolaborasikan. Konten dari dua media tersebut saling melakukan pengulangan isi. Peristiwa memasak di layar kemudian dihadirkan kembali pada peristiwa di panggung, peristiwa mencari bahan masakan di panggung kemudian tampilkan kembali di layar.

Pertunjukan yang dipentaskan pada Festival Budaya Surosowan di hari Sabtu tanggal 14 Oktober 2023 ini membuat saya jenuh. Pengulangan yang hadir tidak menjadi perpanjangan narasi melainkan hanya mengulang narasi yang sama – kesannya menjadi terlalu banyak peristiwa tetapi masih bicara itu-itu lagi. Sehingga narasi utama dalam pertunjukan ini tidak muncul sama sekali. Dalam sinopsisnya sendiri, Adang: Ludens Body ingin bercerita mengenai peristiwa budaya memasak nasi dengan kapasitas besar di desa Bumijaya, Kabupaten Serang yang terkenal dengan produksi gerabah tanah liat. Jikapun pengulangan tersebut adalah bagian dari penebalan, ini terlalu tebal dan bertele-tele. Ditambah antara footage dan peristiwa di panggung tidak sinergis.

BACA JUGA:  The Amazing Suparman: Kosmopolitan Berbalut Kemiskinan

Terlebih landasan tubuh yang digunakan adalah tubuh ritus dan kolektif masyarakat rural. Saya tidak menemukan usaha untuk membaca unsur ludus atau hubungan antara tubuh ritus dan ludus yang kemudian dihadirkan ke dalam panggung. Walau Huizinga menyebut bahwa ritus dan ritual memiliki asal-usul dari permainan, justru dalam pertunjukan ini tidak menyentuh hal tersebut. Apakah Adang berasal dari ludus yang kemudian menjadi produk budaya? Peristiwa apa saja yang dinilai sebagai elemen ludus dalam Adang? Ada baiknya landasan filosofis berangkat dari sana terlebih dahulu. Misalnya Huizinga mencontohkan asuransi yang merupakan perkembangan dari permainan judi. Di mana seseorang membayar sejumlah uang sebagai jaminan saat nasib buruk datang. Secara tidak langsung asuransi berkonsep seperti judi karena yang namanya nasib tentu tidak ada yang tahu dan begitu abstrak. Hanya saja bantuan asuransi memang pasti jika memang nasib buruk itu benar terjadi. Sementara semua yang ditampilkan dalam pertunjukan Adang: Ludens Body adalah ekspresi dan peristiwa budaya masyarakat. Jikapun unsur ludus itu ada, bagi saya masih terlalu implisit dan kabur.

image003 1 | Menakar Ludus dalam “Adang : Ludens Body” — Komunitas Kembali
Gambar 2. 2 aktor sedang membunyikan piring. Dok. Komunitas Kembali.

Terlepas dari segala kekurangan, Komunitas Kembali membuka kemungkinan jalan kolaborasi antara film dokumenter dan pertunjukan teater. Penayangan video semi dokumenter di videotron dan pertunjukan di panggung memberi gambaran bagaimana film dan peristiwa panggung menjadi expanded media. Saya pikir ini temuan yang perlu dikembangkan oleh Komunitas Kembali, melihat konten video yang bagus karena memperlihatkan aktivitas Adang dari awal hingga akhir oleh masyarakat Bumijaya. Tugas besar untuk memikirkan bagaimana dua media itu dikolaborasikan dalam satu sajian karya.

BACA JUGA:  (PERCAKAPAN) Ingatan Tubuh, Dokumentasi, dan Keberlanjutan dalam Karya Museum I: Waves
Rizal Sofyan
Latest posts by Rizal Sofyan (see all)

Rizal Sofyan

Rizal Sofyan (l. Rangkasbitung, 1996) adalah seorang performer, sutradara, dan peneliti dari Rangkasbitung, Lebak, Banten. Karya dan penelitiannya berbicara mengenai isu identitas kultur dan poskolonial. Ia mengeksplorasi isu tersebut dengan seni partisipatoris sebagai laku kolaborasi antara seniman dan penonton untuk membuat karya seni bersama. Ia merupakan lulusan dari Program Pascasarjana Instutut Seni Yogyakarta. Hingga sekarang dia aktif di Tilik Sarira Creative Process sebagai kepala departemen riset dan pengembangan.