fbpx
Sabtu, April 27, 2024
Panggung TeaterULASAN

Panembahan Reso: Tahta di atas Kubangan Darah

[Y.E. Marstyanto].

 

“Sungguh menyedihkan! Baru di saat terakhir aku menyadari bahwa aku, Anda, Reso, Raja Tua, dan juga semua pangeran dan panji, mengira dirinya berjuang untuk rakyat. Semua mengaku membela rakyat. Tetapi, sebenarnya rakyat tak pernah kita ajak bicara. Rakyat tak pernah punya hak bicara! —Astaga! Kita semua telah bertarung mati-matian TIDAK untuk kedaulatan rakyat, tetapi untuk kedaulatan tahta semata!”

teater, panembahan reso
Salah satu adegan Panembahan Reso. Foto oleh: Daniel SW (@wong.panggung)

Itulah ucapan Panji Tumbal tak lama setelah ia berhasil diringkus oleh Pangeran Bindi. Salah satu pejabat kerajaan itu telah mengobarkan pemberontakan pada kerajaan. Raja Tua memerintahkan Pangeran Bindi, salah satu puteranya memadamkan pemberontakan itu. Tapi Panji Tumbal mendapati bahwa Pangeran Bindi sendiri juga berhasrat menduduki singgasana kerajaan.

Panembahan Reso menjadi kisah suksesi kekuasaan dengan konflik rumit. WS Rendra berhasil membangun sebuah kisah penuh intrik dan ketegangan dalam perebutan kekuasaan. Tokoh Panji Reso (yang kelak berjuluk Panembahan Reso) adalah petualang politik nan cerdik dan lihai di tengah keadaan yang kacau. Dia adalah orang biasa yang memiliki tekad dan upaya yang gigih demi meraih cita-cita.

Panji Reso hanya setia dan percaya pada dirinya sendiri. Ia meninggalkan Panji Tumbal berjuang seorang diri meruntuhkan ketidakadilan dari wilayah pinggiran. Padahal Panji Reso dan Panji Tumbal sudah sepakat melakukan gerakan yang sama. Belakangan, Panji Reso memilih menghancurkan pemerintahan yang telah terlalu lama berkuasa dari jantung kekuasaan. Bahkan ia menjadikan gerakan Panji Tumbal sebagai tumbal demi ia meraih kekuasaan yang lebih tinggi sebagai Panembahan Reso.

Panembahan Reso adalah naskah karya WS Rendra yang pertama kali dipentaskan oleh Bengkel Teater di Istora Senayan Jakarta, 26-27 Agustus pada tahun 1986. Setelah 34 tahun, Panembahan Reso hadir untuk keduakalinya di Ciputra Artpreneur di kawasan Kuningan Jakarta pada (25/01).  Pementasan kali ini merupakan gabungan aktor-aktor dari Solo, Yogyakarta dan Jakarta. Pimpinan Teater Gidag Gidig Solo, Hanindawan memperoleh kepercayaan sebagai sutradara.

BACA JUGA:  Sejarah Indonesia Modern Sekali Klik : Catatan Mengalami Peristiwa Hal-19 Bersama Kalanari Theatre Movement)

Sejumlah aktor Yogyakarta seperti Whani Darmawan, Jamaluddin Latif, dan Ignatius Zordy bertemu dalam satu panggung dengan sejumlah aktor Kota Solo. Mereka di antaranya adalah Gigok Anurogo, Meong Purwanto, Djarot B. Darsono, dan Sruti Respati. Selain itu beberapa aktor ibu kota juga menjadi bagian dari pertunjukan ini.

Hanindawan meracik Panembahan Senopati sesuai dengan publik penonton masa kini. Sutradara dan Pemimpin Teater Gidag Gidig Solo ini meringkas pertunjukan Panembahan Reso sepanjang 3 jam. Padahal, Bengkel Teater mementaskan naskah ini selama 6 jam pada tahun 1986. Di samping itu, pertunjukan ini memberikan ruang bagi seni tari dan pedalangan dalam beberapa adegan. Koreografi tari menjadi penting dan menarik secara visual untuk kepentingan pergantian adegan dan penggambaran suasana. Demikian pula permainan siluet dari boneka wayang yang bisa memperkuat pesan sebuah adegan.

Hanindawan selalu memberi makna tersendiri pada kehadiran tokoh perempuan dalam sebuah naskah. Ia sering memberi daya tarik bagi tokoh perempuan dalam karya pemanggungan. Tengok saja keunikan tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karyanya, seperti Bukan Boneka Patah, Calon Arang, Gulipat dan lain-lain. Demikian pula dalam Panembahan Reso ini, Hanindawan menemukan ruang kreatif untuk memoles tokoh-tokoh perempuan di sana. Meskipun di sisi lain, naskah WS Rendra ini sudah cukup kuat melukiskan tokoh-tokoh perempuannya. Selera Hanindawan ini bukan kebetulan didukung aktor-aktor  perempuan dengan jam terbang tinggi di dunia pertunjukan, seperti Sha Ine Febriyanti, Ucie Sucita, Maryam Supraba (putri WS Rendra), Ruth Marini, dan Sruti Respati.

Ratu Dara (Sha Ine Febriyanti) adalah tokoh perempuan antagonis cukup menonjol dalam lakon ini. Dia adalah istri ke-3 Raja Tua (Gigok Anurogo). Raja Tua sangat memberi perhatian lebih kepada Ratu Dara. Selain dia isteri termuda, ia juga istri yang memberi keturunan pertama kali. Ratu Dara memanfaatkan perhatian raja itu untuk memenuhi ambisi pribadinya. Ratu Dara sangat mendorong Pangeran Rebo (Jamaluddin Latif), anaknya untuk segera menduduki tahta raja.  Di sisi lain, para pangeran yang lahir dari Ratu Padmi (Maryam Supraba) dan Ratu Kenari (Sruti Respati) merasa punya hak atas tahta juga. Apalagi Raja Tua pernah membuat maklumat bahwa ketiga istrinya tersebut kedudukannya sama dan mereka semua tidak memiliki status permaisuri.

BACA JUGA:  Pagi yang Bening, Cinta yang Hening : Ulasan “Pagi yang Bening” -Teater STEMKA di Linimasa #5

Rendra mengambarkan Pangeran Rebo sebagai lelaki yang tidak berwibawa dan cengeng. Raja Tua sebagai ayahnya tidak menyukai perangai Pangeran Rebo ini. Sikap raja ini membuat pangeran-pangeran lain makin bernafsu menjadi pengganti Raja Tua.

sikap lemah Pangeran Rebo semakin kelihatan  ketika ia menghadapi pemberontakan dari salah satu daerah yang dipimpin oleh Pangeran Bindi (Ignatius Zordy). Saat itu, Raja Tua sudah mati dan ia menggantikan tahta ayahnya. Rebo menawarkan perundingan damai ketimbang sebuah operasi milter.

Ratu Dara mengalami jalan buntu membuat Rebo bersikap sebagai lelaki yang tegas. Ia kehilangan kesabaran dan pada puncaknya, Ratu Dara menghabisi nyawa puteranya sendiri itu. Akibat perbuatan ini, Ratu Dara harus meregang nyawa di tangan Panji Sekti. Ratu Dara dianggap mengkhinati kerajaan dengan membunuh raja.

Meskipun Ratu Dara sudah menjalin persekongkolan dengan Panembahan Reso untuk meraih kekuasaan, tetapi peristiwa tragis ini tidak menyurutkan niat Panembahan Reso.  Ia justru menemukan jalan lebih lapang untuk menuju puncak kekuasaan.

Ratu Dara bukan perempuan satu-satunya yang memiliki ikatan asmara dengan Panembahan Reso yang hidupnya berakhir tragis. Bahkan Nyi Reso (Ruth Marini) istri Panembahan Reso pun mati dengan tidak wajar. Siti Asasin (Ucie Suciati) membunuhnya dengan racun atas permintaan Reso! Panembahan Reso adalah gambaran orang yang gila kekuasaan akan mengecilkan arti apapun dan siapapun yang dianggap merintangi nafsunya.

Dalam naskah asli, semua istri Raja Tua dalam lakon Panembahan Reso ini mati. Ratu Padmi melakukan bunuh diri di depan istana usai ia mendapati Raja Tua menghukum pancung Pangeran Dodot dan Pangeran Gada. Raja Tua murka mengetahui kedua putra Ratu Padmi itu melakukan tindakan makar. Ratu Kenari juga menikamkan keris ke tubuhnya sendiri setelah ia menghabisi Panembahan Reso. Ratu Dara meninggal oleh keris di tangan Panji Sekti seusai ia menghabisi Maharaja (Pangeran Rebo).

BACA JUGA:  Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal

Hanindawan  rupanya “menghidupkan” Ratu Kenari (Sruti Respati) dalam garapannya. Ratu Kenari mengakhiri Reso saja ketika Sang Panembahan berbincang soal keberlanjutan suksesi dengan Panji Sekti. Ketika itu sudah banyak nyawa melayang dan Panembahan Reso dipastikan jadi Raja. Tapi semuanya ambyar ketika Ratu Kenari yang seperti telanjang sambil menembang lagu kesedihan datang. Ia tikam Panembahan Reso sekaligus Panji Sekti. Ratu Kenari tegak berdiri sambil terus menatap kehancuran negeri hingga tirai panggung turun.(ye)

 

Keterangan:

Foto Panembahan Reso oleh Daniel SW IG: @wong.panggung

 

 

Y.E. Marstyanto

Y.E. Marstyanto

Penulis lepas dan seniman teater di Surakarta, Jawa Tengah.

One thought on “Panembahan Reso: Tahta di atas Kubangan Darah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *