Postpartum : Pelajaran Pertama Membenahi Perut oleh Kala Teater
[Ibed S. Yuga]. Pertama-tama, harus diketahui bahwa tulisan ini dibuat oleh seorang sutradara teater, laki-laki, tidak menikah, tidak punya anak, minim sensibilitas terhadap keperempuanan, dilahirkan dengan bantuan dukun beranak, lahir di tengah ruang budaya yang menganggap perempuan yang baru melahirkan itu “kotor” secara spiritual, dan baru mengetahui arti kata postpartum beberapa saat sebelum menonton pertunjukan yang dibahas dalam tulisan ini. Dari sekian indentitas yang melekat tersebut, bisa diprediksi perspektif macam apa yang saya gunakan dalam membahas pertunjukan Postpartum karya Kala Teater ini—yang saya saksikan melalui Youtube pada 13 April 2022.
Pertunjukan ini menyadarkan saya akan peristiwa melahirkan sebagai bukan sekadar momen kemunculan manusia baru (bayi), tetapi juga kelahiran perempuan baru: ibu—perempuan yang telah mengalami “inkarnasi psiko-fisik-sosial”. Setelah peristiwa melahirkan, masa postpartum menghampar sebagai medan proses, musim ujian, langkah pertama, ruang setelah ambang yang menentukan keberhasilan dan kualitas inkarnasi itu. Bagi ibu muda, yang baru pertama kali melahirkan, postpartum merupakan pelajaran sekaligus pengalaman pertama dalam menyandang anugerah-sekaligus-beban sebagai ibu hingga akhir hayat. Dalam medan-masa postpartum itu, ibu adalah perempuan-subjek yang ringkih serta rentan dibiaskan menjadi objek oleh “oknum-oknum” dari ruang sosial, ruang habitat dengan para penghuni yang semestinya memiliki habitus yang memberi dukungan kesuburan bagi pertumbuhan perempuan cum ibu tersebut.
Dari Perut yang Tak Baik-Baik Saja; Selamat Datang di Kaki Ibu; Surga di Mana?
Seorang ibu muda mengucapkan selamat datang dengan mimik yang menyimpan kontradiksi. Menyebutnya sebagai buku panduan, ia membuka pertunjukan seperti seorang motivator memberi pengantar sebuah seminar motivasi. Ia memberi semangat pada hadirin, seakan mereka semua adalah ibu-ibu muda yang sedang membutuhkan energi penggugah. Dan pada banyak momen, motivasi-motivasinya lebih ditujukan pada dirinya sendiri yang seperti menahan sesuatu dalam perutnya:
Kamu bisa melakukan segalanya. Kamu luar biasa. Kamu segalanya. Di kakimu ada surga. Ibu pasti bisa. Oleh karena itu, mulai detik ini, saat ini juga, buktikan bahwa kau adalah ibu yang hebat, ibu yang luar biasa, ibu yang bijaksana. Selamat datang sekali lagi.
Sedangkan di sisi lain, seakan menjadi cerminan juga bagi si ibu muda tadi, dua ibu muda lain sedang membenahi perut mereka dengan gurita. Perut mereka sedang tidak baik-baik saja. Ada yang tidak bisa kembali ke kesemulaan setelah ada yang mengembang-melar selama sekitar sembilan bulan. Pada masa pospartum, pandangan ibu terhadap hal fisik—dalam hal ini: melalui perut—mesti dikondisikan, sama halnya dengan liang vagina yang sobek mesti dijahit, atau nanti payudara yang kendor setelah menyusui mesti di-treatment. Pandangan atau perspektif terhadap yang-fisik ini bukan perkara fisik semata karena ia menjadi cerminan dari yang-psikososial: ada banyak perubahan dalam diri dan dalam ruang sosial di mana diri-perempuan-yang-telah-menjadi-ibu berhabitat. Pembenahan perut (yang-fisik) pada masa pospartum adalah simbol bagi pembenahan diri-psikososial yang semestinya juga dibarengi dengan ruang sosial yang berbenah—untuk menyambut diri-perempuan-yang-telah-menjadi-ibu (baru) sebagai warga sahnya.
Namun, pada kenyataannya, ruang sosial itu tak (atau lamban) berbenah—setidaknya menurut pertunjukan ini. Ruang sosial yang semestinya menjadi habitat yang nyaman, yang menyambut dengan bahagia, justru menjelma menjadi semacam ruang perundungan dengan berbagai kontradiksi narasi tentang masa postpartum, tentang bagaimana memelihara anak dan diri yang baik dan benar. Ruang sosial—baik yang langsung maupun yang termediasi internet—seakan hanya memandang kelahiran sebagai perayaan, anugerah, hadiah, kebahagiaan, atau narasi mulia keberlanjutan hidup manusia. Ruang sosial tidak terlalu berempati, bersimpati, atau legawa terhadap kelahiran dalam faktanya sebagai beban, kesakitan, keterpurukan, penderitaan, atau bahkan kematian. Ruang sosial bukannya tidak punya kesadaran tentang fakta tersebut, tetapi kesadaran itu bukan berlanjut menjadi empati, simpati, atau kelegawaan, melainkan dinarasikan secara bias sehingga mewujud sebagai nasihat, motivasi, panduan, dogma, yang semuanya bersifat menekan:
Astaga, gemuk sekali sudah melahirkan.
Kenapa anaknya kurus sekali?
Bayinya nangis terus. Rewel sekali.
Ibunya pasti yang makan sembarangan, jadi anaknya juga sakit perut.
Itu karena anaknya dititip, jadi manja begitu. Pilih kerja soalnya.
Kita saja ini kan dulu biar 3 anak bayi sanggup kita urus. Masa biar satu saja kewalahan begitu.
Kita dulu tidak pakai susu botol, kita bisa menyusui lama.
Beri anakmu sufor, daripada menangis terus. Lapar dia itu.
Sufor itu yang kasi sakit perutnya anakmu.
Oh, tidak. ASI mu itu jelek.
Kenapa mandi terlalu pagi?
Rangkaian ucapan selamat datang yang dimuntahkan ibu muda yang membuka pertunjukan ini lahir dari pembacaan Nurul Inayah—sebagai penulis lakon dan sutradara—terhadap iklim ruang sosial yang demikian. Iklim yang membuat ekosistem dalam habitat ibu muda pada masa postpartum tidak berjalan secara mutualistik, tetapi jejaring-jejaringnya didayagunakan (baca: disalahgunakan) sebagai saluran-saluran social toxic yang konsentrasi formulanya terus diperpekat, baik melalui pemeliharaan “budaya mulut tetangga” maupun lewat polarisasi dan pertentangan cara lama dan baru. Kesadaran ruang sosial yang demikian oleh penghuninya kemudian hanya ditanggapi dan diwujudkan melalui narasi dan habitus penguatan yang justru—dalam atmosfer emosi postpartum tertentu—berbalik menjadi senjata yang menekan dan bahkan melemahkan seorang ibu:
Seorang ibu adalah berkat, anugrah, dan sebuah hadiah besar bagi perempuan. … Jangan takut, jangan ragu. Kamu itu sempurna. Seorang ibu itu penuh kekuatan. Energi. Kekuatan super. Kamu bisa melakukan segalanya. Kamu luar biasa. Kamu segalanya. … ibu yang hebat, ibu yang luar biasa, ibu yang bijaksana. … Ibu hebat dan ibu yang sempurna.
Narasi “surga di kaki ibu”, yang awalnya digubah dengan rasa kemuliaan, juga tak luput dari pemiuhan menjadi senjata yang menekan dan melemahkan. Narasi ini—sebagaimana diinterpretasi oleh pertunjukan ini—adalah semacam penghargaan sekaligus pil pahit bagi kelahiran seorang ibu. Ia menjadi hadiah bagi kesakitan demi kesakitan, semacam penyembuh mulia, tetapi juga menjadi beban kesakitan itu sendiri. Dari pemiuhan yang demikian, kata surga seakan lebih mendekatkan pada kematian—sebagai risiko melahirkan—daripada kemuliaan bagi seorang ibu. Dengan demikian, pada masa postpartum yang rentan dan kritis, surga dan neraka tiada bedanya.
Ketika hal yang kontradiktif tak bisa lagi dibedakan, salah satu jalan yang secara intuitif menguasai hasrat adalah kembali. Adegan ibu yang masuk dan meringkuk dalam tempat bayi—ranjang bayi, kereta bayi, tudung bayi—seakan mengatakan hasrat tersembunyi ibu untuk kembali, entah ke rahim, ke masa lajang, atau ke kepolosan bayi. Kembali adalah sebuah jalan menuju habitat berketenangan yang dirindukan di tengah kondisi yang sedang tak baik-baik saja, kondisi yang dipenuhi kerentanan yang mengancam keselamatan semua lini kehidupan diri seorang ibu: psiko-fisik-sosial. Tempat bayi adalah simbol habitat yang dirindukan—tetapi pada kenyataannya dipelihara untuk si bayi—oleh seorang ibu yang tengah berada dalam ruang yang selalu mengancam keselamatan psiko-fisik-sosial-nya.
Intonasi Google; Narasi-Narasi yang Berpeyorasi; yang Mana Curhat, yang Mana Keluh, yang Mana Rintih?
Pertunjukan Postpartum ini menyibakkan hal-hal lain di luar, di sebalik, yang tersembunyi dari yang secara umum dimafhumi sebagai kebahagiaan melahirkan anak: kekhawatiran, ketakutan, depresi, kesedihan, kesepian, tekanan sosial. Berbagai kondisi minor ini menunjukkan bahwa ada semesta permasalahan besar di sebalik kebahagiaan keluarga muda yang baru saja mengunduh anugerah momongan. Semesta permasalahan ini, jika diurai, berakar pada pola-pola sosial yang kehilangan atau abai pada empati terhadap siklus-siklus kemanusiaan tertentu.
Tensi dan nada pertunjukan yang merata dari awal hingga akhir menjadi cerminan dari kondisi-kondisi minor tersebut, yang mengontaminasi dunia ibu pada masa postpartum. Cakapan-cakapan yang tumpang tindih dan malastruktur, yang muncul dalam kondisi minor yang demikian, sering kali merupakan curahan keminoran dalam hati (curhat) yang penyalurannya tidak bisa lancar—barangkali seperti proses kelahiran bayi yang tersendat atau ASI yang tidak bisa selalu lancar mengucur keluar. Kondisi minor tersebut berimbas pada kegagapan bahasa, dan ini merupakan kondisi kritis dalam masa di mana semestinya seorang ibu membutuhkan kosabahasa untuk mengungkapkan eksistensinya. Ibu yang kehilangan bahasa barangkali setara dengan titik nadir eksistensi kemanusiaan.
Satu adegan di bagian awal pertunjukan yang—walau cuma sekilas—dengan cermat mengejawantahkan kondisi kritis tersebut adalah ketika salah satu ibu mengucapkan kalimat-kalimat dengan meminjam intonasi mesin suara Google, suara yang “terucap” dari rekaman per kata yang jika disusun dalam kalimat akan menjadi suara robot yang intonasinya tercerai berai. Masing-masing kata yang menyusun kalimat seakan-akan muncul dari dunia dan masa yang berbeda, lalu berkerumun dan beringsut dalam satu mulut yang sama. Kata, kalimat, narasi jadi berintonasi seragam dan seakan bukan diucapkan dari mulut manusia. Intonasi, intensi, emosi, suasana dari bahasa kemanusiaan seketika menguap sehingga bahasa cuma tinggal keseragaman bunyi kata yang hambar dan banal.
Intonasi mesin suara Google yang dipilih dalam satu adegan singkat pertunjukan ini merangkum dengan cerdas realitas bahasa yang ada di ruang sosial ibu-ibu pada masa postpartum. Narasi-narasi keutamaan hidup seorang ibu berpeyorasi secara drastis, dan yang paling parah dari kondisi ini adalah rasa kemanusiaan yang hilang dari narasi-narasi tersebut. Narasi motivasi menjadi sama dengan ejekan, nasihat tak berbeda dengan pedasnya “mulut tetangga”, curhat menjadi keluhan tanpa ujung, kontemplasi bisa berubah menjadi rintihan, kata-kata dukungan bermetamorfosa menjadi bahasa penindasan. Di sini, lagi-lagi, ibu ditimpa oleh bencana bahasa. Kondisi rentan dan kritis pada masa postpartum yang membuatnya mengalami kegagapan bahasa dalam mengucapkan eksistensi bukannya didukung dengan pembangunan atau penggugahan bahasa eksistensial oleh ruang sosialnya, melainkan justru ditindas dengan narasi-narasi yang telah berpeyorasi, yang muncul dari semesta bahasa sosial yang kehilangan rasa kemanusiaannya. Sampai di sini, saya masih bertanya-tanya, struktur macam apakah yang melakukan penindasan itu?. **