Pintu Tertutup – Teater Akhir Pekan: Visualisasi atau Peristiwa Teater?
[Syahruljud Maulana]. Berkenalan dengan sebuah naskah drama asli maupun terjemahan, atau saduran, atau adaptasi, bukan tentang berpikir bagaimana memainkannya, tapi juga bagaimana menghidupkannya di atas panggung. Pasalnya, saat kita memasuki naskah drama luar tidak cukup hanya bermodalkan keterampilan vokal, eksplorasi ketubuhan, penghayatan peran, dan seterusnya, melainkan juga kita harus memahami seluk-beluk disiplin khusus, segala macam tetek-bengek persyaratannya dan batasan-batasan yang harus terpenuhi.
Untuk itu diperlukan suatu keluwesan dalam menelaah struktur dan sosiologi cerita dari sekedar upaya merekonstruksi ulang beberapa sumber terjemahan yang bersangkutan. Kemudian proses mencari pola bentuk pemanggungan, sambil terus mengolah kemungkinan sutradara dan ide-idenya, lalu dipungkasi dengan masalah yang sangat fundamental yakni sikap artistik yang terkandung dalam pembahasan sebagai sarana ekspresi. Karena begitulah upaya menghidupkan sebuah naskah drama berarti suatu usaha yang mengacu pada bentuk, barangkali memang bentuk dalam teater adalah kehidupan itu sendiri. Meskipun sebagian dari kita telah mengakui adanya bahwa tak ada realisme yang mampu merumuskan realitas.
Akan tetapi, dalam hidup selalu ada kemungkinan untuk menemukan kekinian dan di sini, sebagaimana lakon “Pintu Tertutup”-nya Jean Paul Sartre yang dipentaskan oleh Teater Akhir Pekan, sutradara D. Alfiant Hariyanto, di Gedung Kesenian Miss Tjitjih, pada 7 September 2024. Kehadirannya tidak sedang mendekatkan naskah dalam sebuah pertunjukan yang menjadi kini dan di sini. Itu karena kekinian juga dapat dijangkau secara titis apabila kita menjauhkannya atau mengambil jarak. Yang dalam kepercayaan lakon tersebut dinamakan suatu pengasingan. Di mana setiap manusia akan terus mencari makna dan tujuan dalam kehidupannya sendiri.
Lakon itu mengisahkan tentang tiga orang yang telah meninggal dunia, alih-alih akan ditempatkan di surga atau neraka, malahan mereka dibawa dan dimasukkan ke dalam sebuah bunker. Sebagai sesama orang asing mereka dikumpulkan dalam satu ruangan itu, mereka sama tidak tahu untuk apa ia ke sini dan mengapa ia berada di sini.
Salah satu dari mereka ada yang mengira sedang mengantri hukuman dari neraka, ada yang mengira ternyata neraka tidak seperti yang terbayangkan sebelumnya, dan adapula yang mengira neraka adalah terkurung dalam ruangan yang pengap bersama orang yang tak dikenal. Sampai pada akhirnya, neraka yang dialami oleh tiap pemain berakhir dengan pengertian yang sama akan neraka adalah orang lain.
Singkatnya, teknik penekanan dalam segi-segi dramatiknya itu hanya berlandaskan “tidak tahu”, padahal sangat mungkin sekali bisa dipertebal dengan mendayagunakan rasa “penyesalan” hidup sebelum mati begini. Hal ini mungkin dapat lebih bergelimang rasa teater karakter, juga akan lebih menebalkan konflik batin tiap aktor secara pribadi, maupun yang tumbuh dalam atmosfer pertunjukan.
Lakon tersebut terlalu dibebani “ketidaktahuan” demi menciptakan suatu kondisi dan menuruti anggapan banyak orang tentang tema-tema keterasingan, absurd, kecemasan, keputusasaan, dan lain-lain yang terkandung dalam naskahnya. Tetapi dari “ketidaktahuan” itu justru kita dapat melihat manusia-manusia pemeran yang berpotensi menghidupkan lakon tersebut dengan penuh pengabdian dan kejujuran. Secara pemeranan, para aktor boleh dikatakan telah berhasil membawakan sosok peran secara jelas dengan kecenderungan-kecenderungan sikap rohaninya.
Meskipun tak dapat dipungkiri juga bahwa mereka (ketiga aktor itu) seperti terjebak dalam kemauan sutradara dan naskah luar—yang banyak basa-basi, bertele-telenya. Selama dua jam lebih mereka intens berdialog, bercakap-cakap tentang apa saja yang penting asal dibicarakan. Tapi kehilangan dinamika dan suspensi dramanya. Tak ada ritme dan tempo yang bisa membuat penonton untuk duduk tahan menonton hingga usai, selain karena apresiasi penonton adalah menunaikan tontonannya.
Padahal, ada penata cahaya yang tidak sekedar menerangi, tapi juga berperan dalam memantapkan tiap ekspresi, secara pribadi maupun kelompok, atau atmosfir pertunjukan. Ada para pemusik yang seharusnya tidak semata-mata sedang main dalam suatu program resital, karena yang tampil dan berbicara belum tentu semata-mata bentuk. Plus perangkat teknik artistiknya pun tampak sederhana, semuanya dalam setting kursi yang statis, berbeda dengan kostum dan rias yang lebih kepada meniru aslinya. Juga para pemain telah ditata sedemikian rupa dalam pola bloking yang harus hidup sesuai dengan nafas suasana pertunjukannya. Tetapi atmosfir pertunjukan hanya tercipta apabila lakon yang dimainkan dengan tingkat permainan yang optimal, bertenaga dan berpengaruh. Ia tidak sekedar bergerak menyeruak ruang dan waktu, melainkan juga mampu berkomunikasi secara estetis maupun emosional dengan penontonnya. Sebab kreativitas itu bukanlah menyendiri, melainkan lahir dari kebersamaan proses yang terus menerus, ini suatu kondisi rohaniah yang penuh misteri.
Betapapun kekurangan-kekurangan itu telah disiasati dengan berbagai teknik dan cara, toh ternyata kita juga masih dapat melihat kelemahan-kelemahan teknik pemanggungannya, meskipun lakon yang dimainkan merupakan karya terbaik dan monumental. Menjadi jelaslah bahwa lakon tersebut bukanlah sekedar visualisasi sastra semata, melainkan juga memiliki peluang untuk diwujudkan menjadi peristiwa teater. Kalau dalam sastra ruang itu mengisi imajinasi, sedangkan di dalam teater ruang itu media yang hidup dan dihidupi secara insan, ialah yang kita sebut sebagai sarana ekspresi, yang harus diperlakukan secara kreatif.
Tentu saja hal-hal yang telah disebutkan di atas amat tergantung pada ide-ide kontekstual yang terarah pada kebutuhan format dan bentuk pemanggungan itu sendiri. Yang kemudian sejalan dengan panduan ketat antara pemahaman atas ruang dan kepekaan sutradaranya mengenai kebutuhan ruang, serta keterampilannya dalam menyederhanakan keperluan lalulintas pemanggungan sampai pelaksanaan dari wawasan filosofisnya. Memang dalam ruang dan waktu, lakon tersebut terasa hangat, tapi belum sampai “mengakrabkan” pertunjukan dengan penonton. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan, bahwa di masa yang akan datang, lakon tersebut akan menjadi ajang pertemuan energi yang hangat antara penonton dan atmosfir pertunjukan yang menjadi peristiwa teater dengan pemaknaan yang lebih luas, utuh dan menyeluruh sehingga hidup lebih kerasan.
Sudah baca yang ini?:
- Pintu Tertutup – Teater Akhir Pekan: Visualisasi atau Peristiwa Teater? - 13 September 2024
- 12 Juri: Sebuah Satir dan Suara Hukum - 17 Juli 2024