Kamis, Desember 12, 2024
Lintas DisiplinPanggung TariPanggung TeaterULASAN

Srawung Tanpa Simbah

Mengenang Suprapto Suryodarmo melalui Srawung Seni Candi Sukuh.

Dinu Imansyah.

SLOWLYslowly” kata-kata itulah yang kerap terdengar tiap kali Mbah Prapto meminta para peserta workshop untuk mengakhiri ekstase gerak mereka dengan alam. Sebuah logika bahasa Indonesia yang dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Idiom yang mencerminkan ikatan kultural yang kuat sang penutur dengan tanah air, betapapun semua benua telah beliau jelajahi. Beberapa hari yang lalu, 29 Desember 2019, beliau itu berpulang menghadap Sang Maha Bahasa.

Buat yang belum pernah mengenal siapa itu Mbah Prapto. Aku hanya bisa memberikan sedikit pengantar tentang beliau secara pribadi. Mohon maaf dan silahkan dikoreksi kalau ada kesalahan informasi. Mbah Prapto, yang bernama lengkap Suprapto Suryodarmo, adalah seorang Maestro seni gerak dari Solo, Jawa Tengah. Beliau sering diundang ke berbagai negara untuk memberikan workshop gerak meditatif. Salah satu ajaran beliau adalah bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan diri sendiri, orang lain dan alam melalui gerak tubuh. Bagaimana kita bisa merendahkan diri dan hati di hadapan alam semesta. Sejauh yang aku tahu, dua anak beliau, yakni mbak Melati Suryodarmo dan Galih Naga Seno menjadi seniman.

SUprapto Suryodarmo, sang maestro seni gerak
Mbah Prapto. Foto oleh Ibed Surgana Yuga

Perkenalanku dengan Mbah Prapto itu dimulai kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Semasa itu, aku diajak oleh teman-teman Kelompok Seni Teku (KST)—beberapa bulan sebelum sang sutradara KST membentuk ‘Kalanari Theatre Movement’, komunitas teater yang aku giati saat ini—untuk berpentas di acara ‘Srawung Seni Candi Sukuh’, Karanganyar, Jawa Tengah.

Srawung Seni Candi Sukuh (SSCS) adalah sebuah perhelatan seni budaya yang diinisiasi oleh Mbah Prapto sejak tahun 2003. Biasanya, dalam perhelatan ini, selain ditampilkan berbagai macam pertunjukan dari seniman lokal maupun mancanegara, ada kegiatan pembagian bibit pohon secara gratis. Kecintaan seniman sejati memang tidak hanya pada seni dan manusianya tapi juga pada alam semesta.

BACA JUGA:  Surat Cinta Untuk Dik Yogix dan Layer yang Terbengkalai: Catatan Atas Pertunjukan Julius Caesar – Shakespeare Project X RKBBR

SSCS selalu digelar dua hari saat pergantian tahun terjadi. Lebih tepatnya tiap tanggal 31 Desember dan 1 Januari. Entah apa yang menjadi alasan pemilihan tanggal tersebut. Pelaksanaannya juga selalu digelar pada saat hari terang, dari pagi hingga sore menjelang senja. Mungkin untuk memberikan kesempatan muda-mudi yang ingin merayakan tahun baru dengan cara konvensional.

Masih melekat kuat di ingatanku saat aku usai mementaskan ‘Joged Parikena arahan sutradara Ibed Surgana Yuga itu. Mbah Prapto datang menghampiriku dan memberiku selamat. Dengan singkat, beliau hanya berkata padaku sambil tersenyum, “Calon Maestro.” Aku tersipu. Aku tahu bagiku dan teman-teman lain ujaran itu mungkin biasanya hanya diucapkan untuk basa-basi untuk menyenangkan hati atau mungkin sekedar sindiran. Namun berbeda lagi jika yang mengucapkan adalah Sang Maestro gerak, Mbah Prapto, sendiri. Setiap kata dan perbuatan beliau selalu memiliki makna yang mendalam. Meski sederhana, namun kata-kata itu terus aku pegang sebagai penyemangatku dalam berkarya hingga saat ini.

Mbah Prapto adalah sosok manusia yang sebenar-benarnya. Beliau selalu menempatkan diri sebagai manusia biasa dan memperlakukan orang lain sebagaimana seharusnya manusia. Memanusiakan manusia. Tak pernah sekalipun aku mendengar ada kata-kata yang menyakitkan atau bahkan sekedar kritikan sederhana terlontar dari beliau. Bagi beliau, segalanya indah. Segalanya bisa dirangkul.

Tak pernah sekalipun beliau berusaha menempatkan diri sebagai tokoh besar. Sebaliknya, sebisa mungkin beliau selalu berupaya merendahkan diri di hadapan siapapun agar lawan bicara tidak merasa terintimidasi oleh kebesaran nama beliau. Maestro sejati tak pernah berkenan untuk dianggap sebagai maestro. Semua orang adalah maestro, setidaknya untuk kehidupan mereka masing-masing.

Srawung Seni Candi Sukuh
Upacara Pembukaan Srawung Seni Candi Sukuh 2019-2020. Foto oleh Dinu Imansyah

Kalanari Theatre Movement (KTM), komunitas seni yang tengah aku giati saat ini, konon juga lahir karena terinspirasi dari Mbah Prapto. Kecintaan Mbah Prapto terhadap alam, sedikit banyak memengaruhi kami dalam berkarya. Tidak heran jika kami lebih banyak memilih berkarya di ruang terbuka daripada di dalam gedung pertunjukan. Kebiasaan ini pula yang juga memengaruhi cara pandangku terhadap ruang. Segala yang terbentang di kehidupan ini adalah panggung dan kita semua adalah aktor-aktornya.

BACA JUGA:  PESTA BONEKA #8 DAN INGATAN-INGATAN ATAS PERJUMPAAN

Kemarin, untuk kesekian kalinya, aku bertandang ke Srawung Seni Candi Sukuh yang sudah menginjak tahun ke-16 ini. Untuk pertama kalinya SSCS digelar tanpa kehadiran Sang Maestro. Hampir semua seniman yang tampil nampaknya memodifikasi pertunjukan mereka untuk memberikan penghormatan terakhir pada Sang Maestro.

 

Ada puluhan seniman pertunjukan yang datang untuk memberikan bakti kasih mereka pada alm. Mbah Prapto. Beberapa di antaranya seperti Among Roso, David Chotjewitz dan Andreas Nitschke, Ananda Bench-Lab, Fajar Satriadi dan ASGA, Komunitas Solah Wetan, Wukir Suryadi dan Iwan Karak, Aldo Ahmad dan Mila Rosinta. Keseluruhan pertunjukan digelar pada hari kedua (1 Januari 2020), sedangkan hari pertama (31 Desember 2019) digelar Srawung Ngaca.

Galih Naga Seno dan Anna Thu Schmidt
Persembahan Galih Naga Seno dan Anna Thu Schmidt untuk mbah Prapto. Foto oleh Abiyyu Ammar

Salah satu pertunjukan yang paling menyentuh adalah pertunjukan dari Anna Thu Schmidt (Jerman) yang bekerja sama dengan putra Mbah Prapto, Galih Naga Seno. Mereka membawakan sebuah repertoire berjudul “Remember The Rain”. Dengan mengeksplorasi bedengan (alat yang biasa digunakan peternak bebek untuk berlindung dari terik matahari dan hujan turun), Anna, Galih dan seniman-seniman lain seperti Luqman Chakim, Dolly Nofer, dan Hanom Satrio, menghaturkan penghormatan terakhir mereka pada Sang Maestro.

Seperti air hujan, dia turun untuk membawa kesejukan dan kehidupan hingga kelak akan kembali lagi ke langit untuk memberikan kesejukan di kehidupan selanjutnya.

Sembah nuwun, Mbah Prapto.

Yogyakarta, 2 Januari 2019

BACA JUGA:  Ingin Menggugah Tapi Mengganggu : Catatan untuk “Waktu Batu – Rumah Yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di ArtJog 2023
M Dinu Imansyah
Latest posts by M Dinu Imansyah (see all)

M Dinu Imansyah

Aktor dan dramaturg. Menempuh pendidikan pasca sarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa ISI Surakarta. Aktif bersama kelompok Kalanari Theatre Movement Yogyakarta dan beberapa komunitas lain di Jogja dan Malang.

Tinggalkan Balasan