MUSIK INSTRUMENTAL PUISI ATAU MUSIKALISASI PUISI dalam Ngeswara Vol. 1
Sebuah gigs, semacam interupsi. Pertunjukan musik yang mengusik. Ngeswara Vol. 1 “Nada yang Membaca: Puisi Joko Pinurbo dalam Alunan Harmoni”, demikian tajuk acara debut itu. Pesta kecil bagi para musisi yang bertungkus lumus dengan musik instrumental: bahasa yang sesungguhnya tidak dengan mudah dapat segera dimengerti―tanpa lirik, tetapi bercerita lewat melodi yang harmoni. Bagaimana bisa? Lebih-lebih musik instrumental itu dibuat dengan mendayagunakan puisi. Bukankah puisi sendiri sebagai teks sudah susah dipahami?
Atau, inilah inikah musikalisasi puisi itu?
Mari dicermati. Arti kata “musikalisasi” di KBBI adalah hal menjadikan sesuatu dalam bentuk musik. Sesuai fungsinya, sufiks -isasi membentuk nomina proses, cara, dan perbuatan. Maka, pengertian “musikalisasi puisi” mestinya adalah hal menjadikan puisi dalam bentuk musik. Singkat kata, secara nalar kebahasaan, gubahan puisi menjadi musik instrumentral sesuai dengan pengertian musikalisasi puisi tersebut.
Namun begitu, pengertian itu berbeda dari yang ada di KBBI. Arti “musikalisasi puisi” di KBBI adalah pembacaan puisi yang dipadukan dengan musik. Hal ini berbeda lagi dengan yang tercantum pada buku Pedoman Festival Musikalisasi Puisi yang diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa―selaku lembaga penyusun KBBI―yang justru mengacu pada pendapat Ags. Arya Dipayana dari buku Panduan Praktis Apresiasi Sastra: Musikalisasi Puisi untuk Sekolah Menengah (Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, 2010) bahwa “musikalisasi puisi” tidak lain adalah suatu istilah untuk menyebut suatu kegiatan atau tindakan menciptakan suatu komposisi musikal berdasarkan karya sastra puisi, baik dengan tetap memanfaatkan puisinya atau pun tidak.
Bagaimana praktiknya? Yang disebut-sebut dengan musikalisasi puisi itu acap kali menampilkan komposisi musik dan lagu berdasarkan teks puisi. Artinya, sebuah puisi diinterpretasi secara musikal dan dinyanyikan dengan vokal. Itulah mengapa di kalangan sastra lazim disebut “musik puisi” tinimbang musikalisasi puisi. Meski diskusi mengenai istilah tersebut hingga saat ini belum paripurna, untuk membuka dan memasukinya dapat membaca ulang ulasan-ulasan dalam buku Musik Puisi dari Istilah ke Aksi (LKiS, 2005).

Untuk saat ini, pembahasan mengenai musik puisi agaknya terasa nglangut. Tetapi, justru dalam bengong itulah Ngeswara menjadi interupsi.
Ngeswara merupakan platform yang dibuat untuk mendukung musisi yang fokus pada musik instrumental dan bertujuan mengapresiasi dan mengakrabkan musik instrumental kepada masyarakat luas. Di dalam edisi perdana ini ‘tugasnya’ menjadi ganda, selain mengakrabkan musik instrumental juga mengakrabkan puisi ke ranah di luar sastra! Satu siasat jitu pun ditempuh: memilih nama besar Joko Pinurbo dan puisi-puisinya dalam buku Perjamuan Khong Guan (Gramedia, 2020). Ada sepuluh puisi yang dibagi, diurai, digubah, dan ditampilkan oleh lima grup band instrumental, yakni Tiupandawai, A6 Ensemble, Swarasoul, Koen the Guitar Band, dan Kecapi Tingang.
Disajikan secara khusus oleh band atau musisi instrumental dengan memadukan berbagai instrumen dan genre musik, puisi-puisi Joko Pinurbo yang dikenal ‘nakal’ merentang dari asal mula patokan-patokannya menjadi ‘lebih berbunyi’. Puisi Joko Pinurbo diperdengarkan dan dipertontonkan lewat irama instrumen musik sebagai pengalaman yang tak biasa dijumpai. Sebuah pertemuan yang mungkin, sekali lagi mungkin, tak lumrah bagi kalangan musisi dalam proses kreatif membuat musik instrumental dan bagi kalangan sastra dalam sajian pertunjukan puisi.
Sebagaimana diketahui bersama, musik disebut-sebut sebagai karya seni yang bersifat universal sehingga mampu melampaui batas-batas bahasa dan budaya. Dalam hal ini, musik tidak hanya menjadi medium ekspresi, tetapi juga alat interpretasi yang menerjemahkan keindahan puisi menjadi bunyi yang merdu dan berirama, juga menciptakan pengalaman artistik yang saling melengkapi. Tetapi, apakah musik instrumental benar-benar mampu menyampaikan makna dan emosi tanpa terikat pada kata-kata? Sejauh mana instrumen musik dapat menggantikan suara narasi dengan melodi, harmoni, dan dinamika yang mencerminkan suasana puisi? Dengan menggubah puisi menjadi musik instrumental, akankah gagasan yang hendak disampaikan dalam puisi jadi lebih bisa diterima? Pertanyaan-pertanyan tersebut menjadi sayatan tipis atau justru irisan tebal pada praktik “musikalisasi puisi” dalam format musik instrumental, mempertegas pernyataan dan pertanyaan pada pembukaan tulisan ini.

Lantas, seperti apa sepuluh puisi Joko Pinurbo yang menyuarakan kehidupan ganjil umat manusia ditampilkan dalam gigs Ngeswara?
Acara Ngeswara dimulai sejak sore, sembari menikmati kopi dan sepuluh puisi Joko Pinurbo yang juga dihadirkan dalam pameran visual. Dengan kertas putih yang dibakar sisi-sisinya, disiram kopi, dan dijemur pada bentang-bentang tali, lembar-lembar puisi menyambut para pengunjung, tak terkecuali istri mendiang Joko Pinurbo, Nurnaeni Amperawati Firmina beserta keluarga. Acara dibelah dalam dua sesi, yakni pertunjukan dan wicara, yang masing-masing dibagi dalam dua waktu, sore dan malam.
Swara Soul selaku penampil pembuka membawakan puisi “Patah Hati” dan “Keluarga Khong Guan”. Puisi “Patah Hati” menarasikan tentang perasaan yang tercampakkan hingga keinginan untuk berdamai dan menyembuhkan patah hati itu. Sedangkan puisi “Keluarga Khong Guan” menarasikan misteri keberadaan sosok ayah dalam kaleng Khong Guan yang didamba kepulangannya untuk sekadar makan bersama. Dengan instrumen musik gitar, keyboard, drum, dan bass, Swara Soul menampilkan short instrumental music ataspuisi-puisi Joko Pinurbo bernuansa jazz yang lembut. Penonton dibuat hanyut sembari sesekali melirik teks puisi Joko Pinurbo yang menabrak tembok. Setiap scale yang disusu komponis disesuaikan dengan interpretasinya terhadap makna dua puisi yang didapatkan.
A6 Ensemble menampilkan komposisi musik lewat eksplorasi nada yang bergairah dengan instrumen musik dobel gitar, bass, drum, suling, dan klarinet. Dua puisi Joko Pinurbo yang dimainkan A6 Ensemble adalah “Malam Virtual” yang mengungkapkan kegelisahan merasakan kegaduhan di dunia virtual pada malam Natal yang semestinya hikmat, dan “Perjamuan Khong Guan” berisi gambaran seorang ibu yang mencoba membahagiakan anak-anaknya ketika sosok kepala keluarga hilang tanpa keterangan. Entah mengapa terasa nuansa mistik dari reportoar yang ditampilkan. Diolah oleh komponis yang sama dengan Swara Soul, namun rumus penggubahan dari puisi menjadi musik instrumental untuk A6 Ensemble lain. Komponis membuat rumus atau formula baru dalam penciptaan karya musik dari puisi ini sehingga kaya dengan melodi. Kata-kata puisi yang memiliki kualitas perasaan itu coba disampaikan dengan musik yang (masih) ngejazz, namun dengan irama yang lebih bertenaga.

Sesi malam dibuka oleh Tiupan Dawai. Trio instrumental yang mengusung suling Sunda dan Bali sebagai bunyi utama ini menghidupkan puisi “Ninabobok” dan “Simbah Khong Guan”. Impresi terhadap puisi “Simbah Khong Guan” sebagai gambaran kesendirian usia senja yang merana di antara asyiknya anak cucu di dunia maya, dan puisi “Ninabobok” berupa puisi permenungan sekaligus kritik sosial terhadap negara yang menggunakan agama sebagai alat kontrol stabilitas negara, diekspresikan oleh Tiupan Dawai dengan apik. Gitar, kecapi, udu, dan suling Sunda membuat puisi-puisi Joko Pinurbo hadir dalam nuansa etnik. Namun, langgam Sunda dalam suling khas Tiupan Dawai justru memunculkan keganjilan. Sama sekali tidak ada nilai kesundaan baik dalam puisi “Simbah Khong Guan” maupun “Ninabobok”. Konstruksi visual puisi memang tidak mudah diterjemahkan ke dalam musik. Pemaknaan awal, kesepakatan yang muncul sebelum impresi yang kemudian diolah menjadi nada, belum tentu bersesuaian. Dalam hal ini terasa kalau musik yang dimainkan Tiupan Dawai dan puisi Joko pinurbo berdiri sendiri-sendiri.
Bukan sekadar menyuarakan puisi, pada penampilan Kecapi Tingang, puisi “Doa Khong Guan” dan “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya” diinterpretasi dalam sajian musik instrumental yang kental dengan petikan kecapi khas Dayak. Terang saja, grup musik tersebut beranggotakan para perantau Kalimantan yang tampil dengan kecapi Dayak yang dipadukan dengan kacapi Sunda, suling, cello, bass, dan perkusi. Namun demikian, instrumen yang dimainkan dengan rancak itu entah kenapa terasa tidak sedang memberi sentuhan pada puisi-puisi Joko Pinurbo, bahkan seperti tak bertemu. “Doa Khong Guan” menggambarkan masaknya doa ibu untuk anaknya yang berada jauh darinya. Puisi “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya” merupakan satu ungkapan yang kritis tentang kesibukan manusia dalam mengejar urusan dunia hingga melupakan Tuhan yang menciptakannya. Keindahan musik instrumental berupa melodi kecapi khas Kalimantan dengan puisi-puisi Joko Pinurbo yang juga khas, lagi-lagi, seperti berdiri masing-masing. Jika pun makna puisi Joko Pinurbo tersebut berhasil diinterpretasi, maka tafsir itu diseret memasuki nuansa identitas etnisitas Kecapi Tingang.
Koen the Guitar Band dalam Ngeswara menghadirkan interpretasi atas puisi “Jogja dalam Kaleng Khong Guan” dan “Dari Jendela Pesawat”. Puisi “Jogja dalam Kaleng Khong Guan” berisi larik-larik singkat tentang Yogya yang paradoks. Sedangkan puisi “Dari Jendela Pesawat” memperlihatkan tatapan terhadap Yogya yang senantiasa memberikan gairah atau harapan hidup pada setiap penghuninya. Koen the Gitar band menafsirkan dua puisi tersebut secara filosofis rasa puisi menjadi rasa musik. Mengambil sisi filosofi puisi untuk mendapatkan nada menjadi satu praktik bebas dalam menerabas jarak antara bahasa kata dengan bahasa bunyi. Melalui musik instrumental, pendengar diajak untuk memahami dan merasakan esensi puisi secara personal, dan membuka ruang interpretasi yang lebih luas dan mendalam. Ditampilkan dengan melodi-melodi yang energik, Koen the Guitar band menutup Ngeswara dengan epik.
Setelah acara Ngeswara paripurna, sejumlah catatan rasa-rasanya perlu digarisbawahi. Latar komponis dan instrument yang digunakan menentukan karakter dan genre musik yang dihasilkan. Di sinilah permasalahannya. Komponis dituntut untuk dapat membalik nalarnya dari kecenderungan itu ketika dipertemukan dengan puisi. Kenapa? Karena komposisi yang dihasilkan seyogianya menyesuaikan ‘irama’ puisi yang digubahnya. Bahwa puisi tidak bisa digeret ke dalam genre musik tertentu, melainkan musiklah yang mengikuti ‘suara’ puisi itu.
Dalam proses ini, apa yang sedang terjadi? Reportoar musik instrumental yang diciptakan dari puisi-puisi Joko Pinurbo atau musik instrumental yang terinspirasi dari puisi-puisi Joko Pinurbo?