Rabu, Oktober 9, 2024
ULASANPanggung Teater

OPINION Bengkel Mime, Pantomim Varian Delta

[M. Dinu Imansyah]. SATU-persatu penonton didatangi oleh wanita berdaster dengan topi bundar dan berkacamata hitam itu. Serta merta pedang pun dihunuskannya ke perut dan leher mereka. Tak cukup hanya itu, dia pun mengambil pistol dan meledakkan kepala mereka satu per satu tanpa terkecuali. Langit yang mulai meredup menjadi saksi kekejian si Nona Lisa.

Adegan di atas adalah repertoar pamungkas dari rangkaian pertunjukan pantomim tunggal Opinion dari Bengkel Mime Teater yang digelar di Warung Lohjinawi, Bantul, pada 27 Juni 2021. Pertunjukan ini adalah rangkaian pantomim tunggal yang dibawakan oleh Andy Eswe dan Ficky Tri Sanjaya, dua pentolan Bengkel Mime Teater.

Selain Nona Lisa, Andy Eswe juga membawakan Kesibukan di Ruang Bawah yang pernah dibawakan sebelumnya di seri Opinion sebelumnya. Sementara Ficky membawakan repertoar Kiri dan Memori. Keempat repertoar itu dibawakan secara berselang-seling a la site specific performance di ruang milik kurator dan penulis, Alia Swastika, itu.

Pertunjukan digelar secara terbatas mengingat pandemi Corona masih belum membaik. Bahkan, ketika pertunjukan ini digelar, kasus korban infeksi virus Corona di Yogyakarta ini semakin meningkat. Keterbatasan jumlah penonton tetap dijaga demi mencegah penularan virus agar tidak semakin menjadi-jadi.

Andy Eswe - Nona Lisa
Andy Eswe, membawakan nomor Nona Lisa

Opinion kali ini adalah kali kedua aku menontonnya. Sebelumnya, aku pernah menyaksikan pertunjukan yang sama—khususnya nomor Kesibukan di Ruang Bawah—di penghujung tahun 2020 lalu saat digelar di bekas Angkringan Wongso yang kala itu sudah menjelma menjadi Ong Art Center milik seniman Ong Harry Wahyu.

Jika Opinion-versi-angkringan Wongso yang aku saksikan sebelumnya digelar secara “keroyokan”, Opinion-versi-Lohjinawi ini menjadi ruang bagi Ficky dan Andy untuk menampilkan karya mereka secara individu. Sebuah upaya yang sudah sekian kalinya dilakukan oleh Bengkel Mime demi mewadahi karya tunggal tiap personilnya.

Sayangnya aku belum sempat mewawancarai Andy atau Ficky lebih lanjut mengenai alasan dipilihnya tajuk Opinion sebagai rangkaian gelaran karya mereka. Bisa jadi alasan pemilihan tajuk ini dikarenakan karya-karya yang ditampilkan merupakan opini mereka atas situasi tertentu. Namun, bukankah setiap karya seni pada dasarnya memang sebuah opini?

Dibawakan dengan gaya khas Bengkel Mime yang berpantomim non-klasik yakni tanpa harus mengenakan pakaian serba lorek, bermakeup serba putih (kecuali pada nomor Kesibukan di Ruang Bawah dan Nona Lisa), bersarung tangan putih, “membisu”, dan tak berproperti. Ruang imajinasi tak sepenuhnya ditampilkan dengan gesture belaka layaknya pantomim klasik, tapi juga dengan bantuan properti dan bahkan sedikit selentingan kata-kata berbahasa Jawa dari Andy Eswe yang jenaka—yang bisa jadi tak selalu bisa ditangkap oleh orang-orang yang tak bisa berbahasa Jawa.

Bisa jadi, pemilihan penggunaan (sebagian) properti serta atribut pantomim non-klasik itu memang dimaksudkan demi membangun imaji yang lebih puitik. Memang, Bengkel Mime terkenal dengan karya-karya pantomimnya yang sering memasukkan bahasa puitik ke dalam narasinya. Sebuah upaya yang tidak mudah untuk dilakukan dengan gaya pantomim yang mengandalkan imajinasi tinggi seniman dan penontonnya.

IMG20210627165724 | OPINION Bengkel Mime, Pantomim Varian Delta
Ficky Tri Sanjaya dengan karya Kiri

Kiri menjadi karya pembuka gelaran yang disaksikan kurang dari 20 orang penonton itu. Diawali sebuah “embrio” atau biji yang mulai merekah. Saat pertama kali menyambut dunia, sang embrio hanya bisa membuka mata kirinya lalu diikuti oleh bagian tubuh lain yang ternyata hanya sebelah kiri belaka yang bisa digerakkan. Sang embrio pun tumbuh dengan hanya mengandalkan bagian tubuh kirinya.

BACA JUGA:  Tegangan Kediaman dan Mobilitas dalam Cabaret Chairil Vol. I

Pertunjukan Kiri mengajak beberapa penonton untuk merasakan ke-kiri-annya. Seperti meminta penonton untuk meminta penonton yang lain mengenakan sandal kirinya, lalu fist-bump dengan tangan kiri, sampai meminjam goodie bag salah satu penonton untuk dimain-mainkan di atas ruang pertunjukan dengan mencangklongkannya di bahu kiri.

Tidak terlalu jelas apa yang ingin disampaikan Ficky dengan Kiri-nya itu. Bisa jadi Ficky memang hanya ingin mengeksplorasi bagian tubuh sebelah kirinya dan syukur-syukur bisa jadi karya yang menarik atau memang mungkin saja dia ingin membicarakan persoalan kaum minoritas seperti anak cucu PKI atau kaum minoritas lain yang sudah dicap “kiri” sejak lahir hingga akhir hayat mereka gara-gara “dosa-dosa” yang dilakukan nenek moyang mereka.

Kesibukan di Ruang Bawah menjadi repertoar selanjutnya. Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, pertunjukan ini pernah dibawakan di gelaran Opinion sebelumnya. Membawakan premis yang sama—maafkan saya jika saya salah menangkap—yakni berkisah tentang pergulatan manusia dengan waktu. Bagaimana manusia berjibaku dengan waktu dan kemudian menjelma menjadi waktu itu sendiri lalu waktu melahirkan manusia dan begitu seterusnya.

Dengan mengenakan “topeng” berbentuk jam dinding, tampaknya Andy SW ingin berbicara tentang persoalan absurditas manusia yang berkelindan dengan time-loop yang begitu-begitu saja. Kita hidup untuk bekerja dan bekerja untuk hidup. Ada love-hate-relationship antara manusia dengan waktu. Hingga akhirnya kita lupa mana kita mana waktu.

IMG20210627171028 | OPINION Bengkel Mime, Pantomim Varian Delta
Andy Eswe menutupi wajahnya dengan jam dinding kayu dalam nomor Kesibukan di Ruang Bawah Tanah

Kedua repertoar di atas digelar di halaman samping Lohjinawi yang dulunya sempat difungsikan sebagai warung hingga akhirnya terpaksa tutup (sementara?) karena kasus Covid yang meningkat. Hingga saat nomor ketiga, Memori, digelar, penonton diajak untuk masuk ke dalam ruang.

Pertunjukan Memori berkisah tentang seorang yang menjalani rutinitasnya dari rumah ke kantor dengan mengendarai motor butut kesayangannya—motor butut ini tentu hanya di imajinasiku belaka, namanya juga pantomim, penonton bebas memaknainya menjadi apa saja. Ficky juga sempat menyelipkan adegan sang tokoh yang mengenakan masker sebelum berangkat bekerja. Ada pula adegan sang tokoh kehabisan bensin di tengah jalan lalu meminta bantuan penonton untuk meminjaminya “uang” demi membeli bensin.

Memori mungkin ingin menandai bahwa pernah terjadi satu era di mana kita tertatih-tatih karena sebuah virus “flu premium”. Tatanan dunia yang berubah dengan tekanan disrupsi digitalnya yang melajut cepat. Tidak semua orang bisa mengejar kepesatan yang serta merta ini. Beberapa harus berhenti dan meratapi. Beberapa langsung bisa banting setir dan mempertahankan diri. Beberapa masih bisa tetap tegak berdiri. Yang jelas, tidak ada jalan mundur, waktu terus berjalan, setiap detik memori baru lahir. Tak ada kata henti untuk mencipta memori.

BACA JUGA:  Distorsi, Realisme dan Surealisme dalam Monolog "Prita Istri Kita" oleh Teater Nasional Medan

Rangkaian pertunjukan ini ditutup dengan Nona Lisa, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Lagi-lagi penonton diminta untuk berpindah tempat. Kali ini ke teras depan. Andy SW yang berdandan bak perempuan centil berdaster bunga-bunga dengan topi bundar dan kaca mata hitam, melenggak-lenggok dengan manja lalu dipungkasi dengan “pesta darah” saat dia “membantai” penontonnya satu per satu dengan pedang dan pistol.

Tidak jelas apa yang ingin disampaikan Andy di sini. Aku sendiri belum sempat berdiskusi lebih lanjut dengannya soal repertoire yang gelarannya bertabrakan dengan adzan maghrib ini. Google pun hanya mampu menunjukkan sebuah lagu dari Chrisye saat aku mengetikkan judul yang sama.

Apakah Andy ingin membicarakan tentang perempuan yang menari-nari di atas kubangan darah seperti Srintil di novel Ronggeng Dukuh Paruk atau tokoh simbah dalam novel Larung? Bisa juga Andy sekedar ingin berbicara persoalan suara perempuan yang sering diabaikan hingga menjelma menjadi jeritan yang tak terbantahkan? Ah, entahlah. Njenenengan mau ngomong apa to, kang?

IMG20210627172535 | OPINION Bengkel Mime, Pantomim Varian Delta
Memori, nomor pantomim Ficky Tri Sanjaya

Pantomime Varian Delta

Kalau boleh berseloroh, menurutku, ada empat varian pertunjukan pantomim saat ini:

Varian Alpha: pertunjukan pantomim konvensional, tanpa properti dengan make up putih tebal, berbaju lorek-lorek dan bersarung tangan putih; Varian Beta: pantomim kontemporer yang tidak harus selalu mengenakan make up dan sesekali mengenakan properti; Varian Gamma: baik varian Alpha maupun Beta yang tidak berani manggung karena pandemi Corona; dan Varian Delta yakni varian Beta yang tetap nekad berpentas walau situasi pandemi belum sepenuhnya mereda.

Ya. Pentas Opinion kali ini merupakan salah satu pentas pantomim “Varian Delta”. Pertunjukan digelar tepat seminggu sebelum pemerintah memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada medio tahun 2021 ini. Pertunjukan ini juga bertepatan dengan mulai meningkatnya lagi kasus korban yang telah terinfeksi virus corona dengan varian terbaru: Varian Delta.

Pertunjukan ini terbilang berani. Bukan sekedar soal isu yang dibawakan tapi juga soal pergelarannya itu sendiri. Virus Corona varian Delta dikenal sangat ganas dan bisa menulari seseorang dalam waktu yang jauh lebih cepat dari varian Alpha. Hanya dalam kurun waktu sehari sampai tiga hari, virus ini sudah cukup kuat untuk melemahkan korbannya. Tidak seperti varian Alpha yang membutuhkan waktu sekurangnya 2 minggu untuk berinkubasi dan berubah menjadi mematikan.

Meski upaya pembatasan penonton sudah dilakukan, ada beberapa tindakan yang tampaknya masih cukup membuat ketar-ketir saat menyaksikan pertunjukan ini. Tindakan itu adalah soal interaksi fisik yang dilakukan antara seniman dengan penonton. Di beberapa kesempatan, tampak Andy dan Ficky melakukan kontak fisik dengan penonton secara gamblang, tanpa pelindung apapun.

BACA JUGA:  12 Juri: Sebuah Satir dan Suara Hukum

Ambil contoh di nomor Kiri, seperti yang diceritakan sebelumnya, Ficky meminta salah satu penonton untuk mencoba sandal penonton yang lain. Ada pula saat Ficky meminjam goodie bag salah satu penonton yang kemudian digunakannya sebagai property. Lalu pada nomor Memori, Ficky diberikan dompet oleh salah satu penonton saat dia “meminta uang” demi beli bensin. Hingga dipungkasi dengan Andy sebagai Nona Lisa yang menyentuhkan pedang dan pistol dari satu penonton ke penonton yang lain. Tanpa sadar, tindakan ini membantu penyebaran virus (atau sekurang-kurangnya bakteri) dari satu penonton ke penonton lain.

Aku paham. Salah satu kerinduanku dan juga penggemar pertunjukan panggung yang lain tentu adalah interaksi langsung dengan seniman dalam sebuah ruang peristiwa pertunjukan. Alasan yang sama pulalah yang membuatku tetap nekad mau memirsa meski kasus Corona Varian Delta mulai merajalela. Kerinduan.

Namun, apakah interaksi harus selalu dalam bentuk kontak fisik? Sama halnya masih banyak yang masih memaknai interaksi sebagai “ngobrol langsung” dengan penonton. Gerak-gerik imajinatif yang dibangun pantomim adalah upaya interaksi juga. Bagiku, pantomim adalah salah satu bentuk interaksi yang paling intim. Sebab dia menyasar langsung ke imajinasi, bukan sekedar audio visual. Bukankah kedekatan itu terbukti ketika kita sudah mendekam di imajinasi seseorang?

Apapun itu, terimakasih Bengkel Mime sudah memungkasi kerinduanku atas dunia panggung. Semoga kita semua sehat-sehat dan bahagia selalu. Amin

M Dinu Imansyah
Latest posts by M Dinu Imansyah (see all)

M Dinu Imansyah

Aktor dan dramaturg. Menempuh pendidikan pasca sarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa ISI Surakarta. Aktif bersama kelompok Kalanari Theatre Movement Yogyakarta dan beberapa komunitas lain di Jogja dan Malang.