Medium dan Memori Tubuh Penari : Catatan atas “Tubuh-Tubuh Setempat” karya Melynda Adriani
[Raihan Robby]. MATA kita sedari awal telah dipersiapkan untuk sebuah ekshibisi—baik pameran maupun pertunjukan—ketika memasuki Galeri Pascasarjana ISI Yogyakarta pada 15 Juni 2023 lalu. Sebagai ekshibisi, kita tak akan menemukan catatan kuratorial—yang menjemukan dan membenamkan pengalaman personal akan karya—pada pintu masuk galeri. Melainkan sebuah poster pementasan karya tugas akhir penciptaan seni tari “Tubuh-Tubuh Setempat” oleh koreografer dan penari Melynda Adriani yang menyambut kita.
Ruang galeri itu pun digunakan sebagaimana fungsinya untuk memamerkan karya. Mata kita menangkap dua bagian ruang yang sepenuhnya dipisahkan oleh alur cahaya. Terang dan remang. Pada bagian paling terang, mata kita menyusuri instalasi berupa dokumentasi foto yang sangat personal dan tanpa teks dinding. Kita seolah dibiarkan tersesat—atau diajak bermain-main—mata kita pun menangkap tanda-tanda yang ditinggalkan oleh susunan dokumentasi foto itu: kenangan masa kecil sewaktu mengikuti acara menari, bentangan alam kampung halaman, tangkapan layar pada koran lokal yang memberitakan prestasi, hingga pose-pose statis tarian yang tertangkap beku oleh mata fotografi.
Namun, ada ruang kosong di antara foto-foto itu. Seolah dibiarkan sepi. Teka-teki pun perlahan membentuk sebidang pertanyaan: mengapa ada lanskap—baik yang berupa pemandangan maupun peristiwa—dalam dokumentasi foto itu yang membentang dari Berau (Kalimantan Timur), Jembrana (Bali), Banyuwangi (Jawa Timur), hingga Bandung (Jawa Barat)? Apa yang dimaksud dari ‘tubuh-tubuh setempat’? Lebih jauh, apakah tubuh-tubuh dalam dokumentasi foto ini akan menjadi jalinan spektrum pertunjukan tari? Bagaimana menjahitnya? Dan bukankah kita tengah menonton ‘Indonesia kecil’ melalui dokumentasi foto ini?
Meski tanpa teks dinding, dan jika kita cermat, pada wilayah remang, kita dapat melihat empat penari mengenakan pakaian serba hitam berdiri di samping kubus putih. Serupa pakaian untuk latihan menari. Seketika kita memahami, dengan melihat foto-foto itu, sesungguhnya kita tengah melihat arsip personal keempat penari tersebut. Namun, arsip di sini masihlah sebagai sesuatu yang beku. Yang menurut pandangan esai Helly Minarti, “Mengingat Tubuh: Tubuh Tari Sebagai Arsip” dalam buku Arsipelago! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia (2014), modernisme abad 20 menciptakan medium fotografi untuk ‘membekukan’ tari ke dalam pose-pose statis yang membuat tarianmenjadi beriak secara penafsiran, dan melesapkan kompleksitas serta konteks kultural dari tarian itu sendiri.
Seperti mata kita yang memandang arsip-arsip itu, kita tak memahami detail kompleksitas dari tarian yang dibawakan, belum lagi turunan kultural di dalamnya. Arsip foto yang beku itu, membuat tarian jatuh dalam gerak pose yang tampak sederhana.
Itulah mengapa kita dapat berinteraksi lebih jauh dengan para penari. Kita seolah tengah memasuki sebuah pameran, dan juga sebuah persiapan dari serangkaian pertunjukan. Kita dapat melihat di atas kubus putih itu terpajang kain jarik, celana olahraga, torso, kerudung, sandal jepit, sebilah tongkat hingga atribut dan aksesori penari.
Kita dapat juga bertanya, misalkan: corak batik pada kain itu berasal dari motif apa? Mengapa kostum dipajang, alih-alih dikenakan? Akankah ada tarian tradisional setelah ini? Atau kita juga bisa sekadar bertegur sapa.
Dalam ekshibisi awal itu, jelaslah kita dipersiapkan untuk masuk ke sebuah ruang pameran. Melihat ke ‘belakang panggung’ para penari sejak mereka sedang bersiap, hingga ke masa lalu yang berupa dokumentasi foto sebagai gambaran arsip autobiografis para penari. Ya, sebentar lagi kita akan diantar memasuki perjalanan tubuh para penari.
Etnografis Setempat
Melynda Adriani membuka lecture / narrative performance-nyadengan memberi pengantarsingkat: Sebagai penari yang mempelajari beragam tari di Indonesia, pengalaman ini membawa saya pada pengetahuan-pengetahuan tentang transmisi teknik tari. Pengalaman dari Putu, Reni dan Ame yang berasal dari pulau Jawa dan Bali membawa saya untuk menitihnya.
Setelahnya, Melynda menuturkan tubuh biografisnya. Ia berasal dari Berau, Kalimantan Timur, dan terlahir sebagai suku Banua. Awal pertemuannya dengan tari tradisional bermula ketika ia diajak oleh temannya Siti, untuk bersama-sama mempelajari tari tradisional Dalling. Pada umur 11 tahun itu, ia telah mempelajari tari tradisional yang berasal dari suku Bajau. Suku yang bermukim di sekitar pantai di Berau. Sementara suku Banua, banyak menghuni area sungai di Berau. Ia mempelajari tari Dalling dengan cara menirukan gerakan tari pada kaset video.
Seperti halnya dialog yang saling bersahutan dan bersambung. Kini, giliran Ni Putu Aristadewi yang menceritakan tubuh biografisnya—mendengar namanya kita tentu familier dengan Bali—Ia berasal dari Jembarana. Dari tempat asalnya itu, sejak umur lima tahun, ia mempelajari tari tradisional Bali melalui sanggar tradisional. Setiap kali hendak berlatih, ia harus menempuh jarak delapan kilometer dengan berjalan kaki untuk diajarkan oleh gurunya, seorang penari perempuan yang tegas dan keras.
Reni Wiritanaya menarasikan biografis tubuhnya yang sejak umur enam tahun telah mengakrabi tari tradisional Banyuwangi: Gandrung Jejer Jaran Dawuk, ia juga mempelajari tarian ini dengan cara meniru gerak pada kaset video. Ia bahkan telah menari sejak perpisahan Taman Kanak-Kanak.
Pengenalan dilanjut pada Amerisa Andayani yang berasal dari Bandung, sejak umur sebelas tahun ia telah menggandrungi tari tradisional Sunda. Pada tahun 2013, ia pun mempelajari sendiri tarian Jaipong Kembang Tanjung melalui kaset video, serupa dengan Melynda dan Reni.
Dengan cara tuturan biografis ini, kita seolah diajak memasuki memori tubuh para penari. Seperti yang disampaikan Helly dalam esai yang sama: bahwa tubuh manusia, termasuk tubuh yang menari, menyimpan ingatan di mana sejarah dan kekinian saling melintas. Memori itu pun dibuka perlahan melalui kata-kata dan tarian.
Di akhir dari pengenalan dirinya, Ame melempar pertanyaan kepada Putu, bagaimana rasanya belajar menari di sanggar?
Putu mengambil kamen yang ia lilitkan pada tubuh bagian bawahnya, setelahnya ia eratkan torso agar postur tubuhnya tetap terjaga. Tongkat pramuka yang sedari awal kita lihat, ternyata juga menyimpan memori, tongkat itu digunakan Putu saat awal mula belajar menari untuk menyangga tangan dan menahan posisi cengket tubuhnya. Kedisiplinan yang indah dan keras itu terlihat melalui kelihaian jemari, kelincahan bola mata, hingga keteguhan kaki.
Ia menunjukan bagaimana pengajaran tari di sanggar yang keras dan tegas. Guru penarinya dulu, bahkan tak segan akan meluruskan tubuh Putu menggunakan kaki. Ia seolah menjelma gurunya itu ketika mencontohkan kedisiplinan yang ketat pada tubuh penonton dan Ame sebagai partisipan.
Putu lantas melakukan pola gerak latihannya sewaktu di sanggar, ia menyanyikan gending, menghitung tempo. Dalam susunan komposisi geraknya itu, sebagaimana yang dikatakan Putu dengan logat Balinya yang khas, telah terkandung wiraga, wirama dan wirasa. Putu melemparkan tanya kepada tiga temannya itu. Lantas, bagaimana pola latihan menari secara mandiri?
Melynda menanggapi pertanyaan Putu. Ia belajar menari di rumah Siti, tidak adanya pelatih, membuat ia belajar secara mandiri dengan cara meniru gerakan tari Dalling melalui kaset video. Sembari terus bercerita, ia mengenakan celana olahraga asal sekolahnya dulu. Ia menari sehabis pulang dari sekolah, sambil menunggu bapaknya menjemput. Kemudian ia mengambil kaset video itu, berjalan menuju ruang lengang di pojok galeri.
Sepotong video pun terputar, terdengar musik Igal Addat Bangsa Ta yang dinyanyikan oleh Den Bisa, seorang penyanyi dari Malaysia. Melynda kemudian menceritakan latar antropologis musik ini dengan suku Bajau-Semporna yang berada di Malasyia. Pada suku Bajau-Berau, musik ini biasa dipakai untuk mengiringi tari Dalling. Maka, telinga kita pun seolah menangkap nada Melayu, nuansa maritim, hingga proses migrasi yang membuat suku Bajau di Indonesia, Malaysia, juga Filipina, merasakan kerinduan, akan tradisi; akan musik ini.
Seperti yang dapat kita saksikan pada kanal YouTube ini https://www.youtube.com/watch?v=nvEtuL_BS4w. Video yang diunggah 16 tahun lalu itu, menjadi semacam nostalgia, dan ruang temu virtual bagi masyarakat suku Bajau, atau yang pernah akrab dengan suku itu. Melynda, lebih lanjut menceritakan bahwa tari Dalling, konon diciptakan ketika para nelayan tengah menunggu hasil tangkapan ikan di laut, di atas perahu. Itulah mengapa kita dapat menemukan gerak yang berombak pada tubuh Melynda, kita dapat menangkap keseimbangan yang indah.
Musik yang lain, yang juga sudah menubuh sejak dulu pada diri Melynda adalah, musik Pakitong-Kitong, berasal dari kaset video yang sama. Ia lantas mengenakan mahkutta, dan kuku janggayan untuk menari. Ia mengingat kembali perkataan ibunda dari Siti, jika anak-anak dapat menari Dalling mereka akan diberi uang sepuluh ribu rupiah. Melynda menari sembari disawer oleh Putu dan Reni, tariannya tetap mendayu, meski tak seberombak seperti yang awal tadi.
Melalui gerak bahu, lambaian tangan dan pinggulnya, kita dapat merasakan unsur lain, serupa semilir angin, atau sirkulasi udara laut yang disikapi dengan tenang. Begitulah, bagaimana tubuh Melynda sebagai penari Dalling seturut menyimpan respons terhadap alam melalui gerak.
Reni melihat kesamaan pola gerak pada tari Dalling dan tari Gandrung Jejer Jaran Dawuk. Berkat dukungan orang tuanya, ia pun membeli kaset video yang pada tahun 2012-2013 banyak dijual, dan mempelajari tari Gandrung dari sana. Ia melakukan pemanasan tubuh sesaat, menonton sepintas video tari tersebut pada ruang di pojok galeri. Lantas berdiri dan menari, ada keselarasan antara tubuh Reni dengan kaset video itu. Tubuh Reni tampak lebih cekatan, karena tempo cepat dari musik Gandrung Jejer Jaran Dawuk yang juga diselingi banyak senggakan.
Setelah dari Banyuwangi, kita ke Bandung. Ame bercerita tentang Pasang Giri Jaipong, semacam festival bergengsi yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan untuk melihat potensi anak-anak usia 7-15 tahun yang berasal dari sanggar, koreografer, sekolah, ataupun komunitas tari. Dalam perhelatan ini, panitia biasanya memberikan materi berupa lagu jaipong yang akan diolah menjadi tari kreasi oleh para peserta. Ame sempat merasa minder, karena ia tak berasal dari sanggar/komunitas tari manapun. Namun, ada dorongan kuat untuk mencoba menari Jaipong setelah menonton festival tersebut.
Ame muda pun menari di hajatan saudaranya, ia mendapat dukungan dari neneknya. Ia lantas membeli kaset Neneng Fitri—seorang Juru Kawih dan juga penyanyi Pop Sunda yang terkenal—berjudul Kembang Tanjung dan mempelajari tari Jaipong dari kaset video itu. Ame menjelaskan latar antropologis dan teknik dalam tari Jaipong. Tari yang menurut Ame sebagai tari hiburan, khususnya di Jawa Barat. Ada banyak teknik gerak dalam tari Jaipong, yang paling menarik perhatian Ame, berupa hentakan pada pinggul atau biasa disebut gitek. Juga geol, yang berupa goyangan pada pinggul seperti cara mengulek. Yang terakhir adalah kepret, kedua tangan yang dibuka lebar-lebar dengan cara dihentakkan.
Hening sesaat. Musik Sunda tiba-tiba berubah menjadi musik Bali. Telinga kita mengalami perpindahan peristiwa dari kulit hewan yang ditepuk (kendang) ke peristiwa olahan perunggu, besi hingga kuningan yang ditabuh (gamelan). Putu lantas menarikan tari Condong. Tari yang menurut penuturannya sebagai pembentuk teknik dasar tari Bali, tarian yang harus dipelajari oleh para pemula. Karena hampir seluruh ragam gerak tari Bali ada dalam satu penuh komposisi tarian ini. Tubuhnya menyusuri ragam gerak itu: agem kanan, agem kiri, sledet, nyereksek, ngumbang, dan masih banyak lagi.
Tubuh Sebagai Arsip Autobiografis
Instalasi yang berupa dokumentasi foto dan sebagai arsip itu, dihidupkan—atau dicairkan—melalui cerita dan tubuh para penari. Dengan cara ini, setidaknya Melynda telah melakukan apa yang disebut Foucault sebagai ‘arsip’. Dalam The Archaeology of Knowledge, istilah arsip bukanlah sebatas pada kumpulan dokumen atau catatan yang statis. Namun, arsip dipandang sebagai sistem yang dinamis, yang dapat berubah dengan cara membentuk dan dibentuk oleh pernyataan. Arsip adalah sistem yang mengatur jaringan yang kompleks dan heterogen dari hubungan, pola, dan keteraturan yang juga mengatur tiap pernyataan ke dalam kelompok, figur dan formasi yang berbeda.
Maka, bentuk pertunjukan tari yang digunakan Melynda adalah lecture / narrative performance menjadi tepat. Karena sebagai suatu proses, ia melakukan pendekatan akademik, seperti pengumpulan data, pemetaan, berangkat dari teori, dan sebagainya. Namun, capaian proses akademik itu ia ramu melalui daya cipta kreatif dirinya dan para penarinya yang lain. Ia mengolah ranah etnografis tari hingga cerita-cerita personal. Itulah mengapa bentuk cerita atau naratif dipilih, karena subjek langsung yang menarasikan sekaligus merepresentasikan tubuhnya melalui tarian.
Jika sebelumnya narasi etnografis tari beserta teknik yang bersinggungan dengan tubuh lebih banyak diceritakan. Perpindahan narasi secara halus, seolah mengajak kita untuk memasuki keintiman yang lebih dalam pada tubuh penari. Putu mengingat bagaimana ia dahulu ditegur, sebab postur tubuhnya yang sedari kecil tampak macho dan tomboi dipandang tak cocok menari sebagai putri halus, ia lebih cocok menari putri gagah. Ia menceritakan sifat kompetitif di antara para penari Bali, sebab menari Bali adalah salah satu tolok ukur gengsi di sana.
Setelahnya kita dapat melihat Reni sedang memakai jilbab berwarna cokelat, ia melakukan duduk simpuh serupa sinden. Dan benar saja, ia menyinden dengan lirih dan menyentuh. Ia lantas mengenakan kain jarik, sampur dan sabuk lilit. Melakukan gerak latihan dengan cara menghitung satu sampai delapan. Ia juga bercerita, bahwa saat SMP, sekolahnya lebih memilih siswi penari Gandrung yang cantik dan tinggi.
Standarisasi dan stigma yang dialami Reni, juga dialami oleh Ame dan Putu. Ame, yang tak pernah bergabung di sanggar tari, merasa dikucilkan oleh teman-temannya yang bergabung dengan sanggar, ia bahkan diremehkan sebab terbiasa mengikuti ekstrakulikuler voli sebelum beralih ke kesenian tradisional. Putu tak diizinkan mengikuti perlombaan oleh gurunya sebab ia terlalu gendut. Selama satu tahun, agar dapat mengikuti perlombaan serupa, ia fokus melakukan diet, yang sampai pada taraf menyiksa tubuh dan mentalnya sendiri. Pun juga Reni yang dipandang sebelah mata karena menari Gandrung dengan tetap menggunakan jilbabnya.
Kita tak hanya diajak menyusuri memori dari tubuh para penari, tetapi juga trauma yang menyelimutinya. Sekali lagi, kita diajak melihat hal-hal esensial dalam tubuh seorang penari: pengetahuan etnografis, ragam teknik, hingga harmonisasi tubuh dan rasa. Namun, selain itu, kita juga diajak melihat lebih dalam lagi, lebih simpatik, bagaimana tubuh tari itu terbentuk melalui memori dan trauma yang menyusunnya, hingga bagaimana para penari bisa memaafkan dan berdamai dengan hal tersebut.
Melalui tuturan para penari, kita juga dapat melihat bagaimana peran sekolah kejuruan, dan sekolah umum membentuk disiplin tubuh mereka. Reni dan Ame semisal, yang berasal dari sekolah kejuruan tari atau seni tradisi, para pelatih mereka cenderung galak, tegas dan disiplin. Serupa Putu di awal tadi, tak tanggung-tanggung para pelatih tari itu akan memukul dengan sandal, atau menepak-nepak anatomi tubuh yang kurang selaras, untuk membenarkan postur tubuh dari para penari. Reni dan Ame seolah menggunakan teknik verbatim yang dengan persis meniru kegalakan dari para pelatih mereka. Bentuk pembelajaran institusi (baik sekolah maupun sanggar) memberikan kekhasan dan tantangan sendiri bagi tubuh penari. Semisal, sedari awal Melynda, Reni dan Ame mempelajari tari melalui kaset video yang dijual bebas. Kaset video ini dapat dipandang sebagai penyebaran wacana tari dengan cara yang paling murah dan bebas akses. Bermodal latihan mandiri, ketiganya pun cenderung santai tak terikat oleh kedisiplinan yang ketat. Itu sebelum mereka memasuki institusi, seperti yang dirasakan Putu sedari awal menari. Mereka pun, mau tak mau harus ‘bersaing’, mau tak mau juga harus disiplin dan mengikuti perintah para guru.
Kita dapat dengan mudah dan berterima terhadap wacana etnografis, autobiografis (termasuk memori dan trauma), kritik terhadap institusi, gender, dan alternatif yang dihadirkan melalui tubuh para penari ini, sebab disusun dengan sangat rapih dan halus oleh dramaturg Eka Wahyuni. Tari pada pertunjukan ini memaksimalkan keseluruhan potensi tubuh, baik yang terpendam maupun yang ditampilkan.
Maka, ketika para penari memasang foto-foto mereka dalam instalasi yang semula dibiarkan sepi itu, juga pada kubus putih. Sesungguhnya arsip itu telah menjadi sistem yang sedikit-banyak merangkum jalan hidup para penari hingga berada di titik ini. Suatu kilas balik yang panjang dan berliku, suatu cara menatap masa depan dengan terus berkembang. Untuk itulah bentuk lecture / narrative performance diambil, sebab pertunjukan ini bukanlah hasil pasti dari penelitian. Pertunjukan ini pun juga bagian dari penelitian kreatif Melynda Adriani.
Dalam kesenyapan itu, para penari bersama-sama menarikan tarian yang telah menubuh dalam diri mereka hingga lampu perlahan padam. Setelahnya, kita dapat beranggapan bahwa Melynda Adriani, telah lancar mempresentasikan hasil penelitiannya ini sebagai tugas akhir Magister Seni di Pascasarjana ISI, di hadapan dosen pembimbingnya, Prof. Rachmi Diyah Larasti, Ph.D. Juga telah lancar mempresentasikan tubuh-tubuh setempat yang menjadi wacana penting dalam diskursus tari kita dewasa kini.
Daftar Bacaan:
- Wardani, Farah & Yoshi Fajar Kresno Murti (Ed. 1). 2014. Arsipelago! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia. Yogyakarta: Indonesian Visual Art Archieve (IVAA).
- Foucault, Michel. 1972. The Archaeology of Knowledge. (translated by A.M Sheridan Smith). New York: Patheon Books.
Dukung kami dengan donasi sukarela. Scan QR di samping atau klik tautan berikut :
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024