Karya-karya Arifin C Noer Dalam Konteks Hari Ini
[Ficky Tri Sanjaya]. Dinas Kebudayaan dan Taman Budaya juga dibersamai Indra Tranggono membuat acara membaca Arifin C Noer, 28 Mei 2021, di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Acara ini diselenggarakan secara langsung dengan penonton terbatas dan penerapan protokol kesehatan. Kata-kata terakhir mengenai protokol kesehatan sangat penting sebab menjadi penanda penyelenggaraan event yang masih dibayangi oleh adanya wabah Covid 19. Masa Pandemi tampaknya membuat dunia seni pertunjukan sedikit kehilangan semangatnya untuk tumbuh. Acara itu setidaknya menjadi pelipur lara. Gelaran ini diselenggarakan secara langsung, bukan model Hybrid, jadinya banyak orang tidak bisa mengikuti acara ini secara daring. Maka tulisan dan catatan panjang ini direncanakan sebagai sarana berbagi. Ada dua agenda diskusi pada acara “Membaca karya Arifin C Noer” ini; sesi pertama di siang hari pukul 13.00-15.00 WIB dengan narasumber Dr. Chairul Anwar (akademisi teater), Erlina Rahmawati (penulis Lakon), Indra Tranggono (pemerhati budaya), Dr. Nur Iswantara (pengamat Teater), Mustofa W Hasyim (pengamat teater) dimoderatori oleh Latif S Nugraha. Sedangkan di sesi malam ada Very Handayani (Sutradara Teater), Muhammad AB (pengamat teater) dan Andhika Anandha (aktor teater), dimoderatori oleh Hamdy Salad.
Ketika tiba diskusi di siang hari orang yang datang secara langsung bisa mengisi daftar presensi, setelahnya disodori foto kopi makalah oleh panitia; berisi tulisan dari para narasumber, beserta snack, dan sebuah amplop kecil. Acara dihelat secara seremonial, diawali dengan sambutan diteruskan salam pembuka secara sederhana. Panggung TBY tampak menjadi latar dengan layar yang tertutup, di bawahnya ada kursi-kursi berjajar menghadap penonton disinari cahaya lampu berwarna, serta dilengkapi pengeras suara. Setelah acara seremonial, pembawa acara mempersilahkan para pemateri dan moderator yang kemudian maju tampil duduk lalu berbicara.
Moderator berbaju kerah lengan panjang, rambutnya gondrong terurai memulai pengantar perkenalannya pada karya-karya Arifin, lebih jauh dia kemudian mengulas sedikit pengantar mengenai beberapa karya-karya Arifin yang diketahuinya. Setelah dia, para nara sumber bergantian menyampaikan pandangan atau lebih tepatnya menyampaikan secara lisan apa yang mereka tulis dan telaah mengenai karya-karya Arifin C. Noer. Kurang lebih hal yang sama terjadi di sesi diskusi malam hari. Salah satu atau dua penonton secara terbatas juga diberi kesempatan berinteraksi dengan para narasumber, sebelum diakhiri dengan pementasan dramatik reading “Sumur Tanpa Dasar”.
Arifin C Noer memang sosok seniman yang sangat paradoks dan kontroversial melalui beberapa karya-karyanya seperti Sumur Tanpa Dasar, Kapai-Kapai, Mega-Mega, Kocak-Kasik dan banyak lagi. Tentu saja Arifin bukan satu-satunya seniman legendaris, masih banyak pula seniman-seniman lain yang sempat disebut pula dalam diskusi. Maka jika anda seorang seniman tampaknya menjadi paradoks dan kontroversial dalam menciptakan karya, adalah syarat pentingagar nama anda dapat dikenang dan dibicarakan di masa depan. Sederet nama seniman lain yang muncul seturut dalam diskusi sebut saja WS Rendra, Umar Kayam, Umbu Landu Paranggi, Mohammad Diponegoro, Sapardi Joko Damono, Gunawan Muhammad dan banyak lagi, yang mungkin atau bisa jadi asing bagi generasi ‘milenial’ saat ini.
Arifien adalah seorang aktor, sutradara pertunjukan dan film serta penulis; ia begitu produktif berkarya semasa hidupnya. Bisa jadi berkarya adalah bagian tanggung jawab dari kerja-kerja yang menghidupi dirinya, keluarga, komunitas dan masyarakat. Hamdy Salad menyampaikan bahwa sosok seniman seperti Arifin ini dalam berkarya “selalu keluar masuk,” ujarnya berusaha mensarikan obrolan dalam sesi malam saat memoderi. Lebih jauh maksud yang ia sampaikan adalah bahwa Arifin dalam pemanggungan naskah dramanya dapat menyajikan pertunjukan “bolik-balik atau keluar masuk, kadang realis kadang surealis, kadang sebagai aktor kadang pula sebagai sutradara.” Sehingga hal tersebut mempengaruhi proses kreatifnya dalam menyusun karya. Chairul Anwar di sesi siang menyampaikan dengan tandas bahwa “persentuhan dan pergaulan Arifin dengan seniman, serta orang di luar lingkaranya, referensi bacaan, serta fenomena sosial yang diamati turut andil besar mempengaruhi pemikirannya dalam berkarya.
Mustofa W. Hasyim bahkan mengutarakan bahwa Arifin yang lahir di Cirebon adalah seorang yang unik, hal tersebut dapat terbaca melalui penanda wilayah. “Secara kultural karakteristik orang kelahiran Cirebon ini unik, secara kultural ada di antara” ujarnya. Dengan tegas Mustofa menyampaikan keunikan informasinya mengenai wilayah Cirebon yang tidak Jawa dan tidak pula Sunda. Melalui produk budayanya seperti karya keris Cirebon misalnya ada penanda naga, burung, yang berbeda dengan berbagai keris di daerah lain, juga bentuk pertunjukan tari topengnya. Dalam salah satu tulisannya pada sebuah buku yang diterbitkan oleh FKY berjudul Ideologi Teater Moderen Kita sebagai sutradara bahkan Arifin secara eksplisit mengutarkan tertulis ketertarikannya kepada aksen-aksen bahasa daerah yang kaya ragam dan menarik dikaji sebagai metode ekplorasi praktik vokal dalam teater.
Muhammad AB seturut Hamdy menyatakan dalam penelitian pada teks naskah seperti Mega-Mega, Sumur Tanpa Dasar, Kapai-Kapai yang di tahun karya tersebut lahir, Arifin relatif masih muda. Usia kurang lebih belum genap 30 tahun. Muhammad AB menyisir di sekitar naskah Arifin, kala itu masih masuk pada sebutan naskah drama. Baginya informasi tersebut unik. Sebagai penanda banyak informasi teks mengenai penggambaran latar ruang dan identitas tampak secara sengaja digambarkan oleh Arifin dengan cara kabur atau disamarkan. Melengkapi sediki keterangan Muhammad AB melalui Wikipedia bahkan ternyata di masa itu ada sekitar 25an karya lain Arifin juga lahir seperti puisi, naskah drama, maupun film pada rentang tahun 1963-1979. Lebih jauh AB menambahkan pernah membawakan salah satu naskah Arifin berjudul Kapai-Kapai dimainkan di hadapan publik di Inggris bersama para seniman di sana. Saat itu menurutnya teks bunyi pada naskah Arifin menjadi bagian penting, bahkan ia menegaskan bahwa bisa jadi, naskah Kapai-Kapai merupakan naskah Arifin yang dimulai dari ekplorasi bunyi.
Hamdy Salad semakin menegaskan AB bahwa bunyi yang di ulang-ulang tersebut bisa jadi adalah doa dan representasi dari agama di mana Arifin sebagai tokoh tidak bisa lepas dari Teater Muslim. Nur Iswantara berpendapat lain “membaca karya-karya Arifin kita harus berusaha memahaminya secara menyeluruh, tidak bisa hanya dibaca secara struktural, baik dari alur, atau dari dialog kata-katanya saja. Tetapi telaah lebih jauh bisa dibongkar pula melalui penanda pada nama-nama tokohnya salah satunya Abu (adalah sisa atau ampas dari pembakaran pabrik).” Lebih Jauh Andhika Ananda mengutip salah satu sumber penulis Jawa, berusaha memaparkan “dalam kultur struktur Jawa dalam kosmologi wayang dunia bawah, tengah, atas karya-karya arifin sangat Posmo”. Bahkan ia menambahkan catatan kutipan lagi, dari tulisan R. Sarjono menyampaikan bahwa karya-karya Arifin sangat dangdut sekali.
Elyandra secara serius menolak beberapa telaah kajian yang hanya dibaca dalam salah satu sesi diskusi siang dari segi teks dan intertekstual saja, menurutnya “mengkaji naskah Arifin bisa pula menggunakan pengetahuan postmodern salah satunya menggunakan teori pemikiran Zizek dari Lacan dalam psikoanalis.” Pada naskah Mega-Mega misalnya dapat dilihat bagaimana pandangan subjektivitas dibentuk dalam tokoh-tokoh itu, salah satunya Koyal; lebih tandas dapat dikaji menggunakan cara pandang teori fase cermin, imajiner, simbolik, dan fantasi. Ghozali secara lebih santai dan percaya diri, mendorong pembacaan teks naskah Arifin ke konteks sosial, melalui konteks kode dan bahasa Arifin yang ditengarainya telah bergeser. Dalam pengalamannya bermain dan meneliti, secara detail naskah-naskah Arifin sebagaimana Nur Iswantara, Ghozali menyampaikan pembacaan detailmya yang menyeluruh pada karya naskah Arifin Kapai-Kapai membawanya menemukan penanda-penanda adanya pertempuran hegemoni ideologi komunis, agama dan kapitalis, di mana suasana proses kerja kreatif Arifin tidak bisa lepas dari itu. “Salah satunya mengenai perulangan tanda tahun yang selalu berulang dari naskahnya, nama emak jika diulang-ulang menerus secara bunyi terdengar Marx.” Ghozali menengarai secara yakin yang dialakukan Arifin melalui karyanya justru berusaha menyuarakan pemikiranya pribadi, yang dengan cara meningkahi bahasa, berusaha keluar dari semua hegemoni ideologi yang ada.
Adhika sedari awal telah menyinggung perjumpaannya pada Arifin yang menakutkan yaitu melalui film G30S PKI. Di dalam pembacaan karya-karya Arifin justru film ini yang luput dikaji dari banyak nara sumber. Skenarionya bersama Nugroho Noto Susanto bagi saya, sejalan dengan Ghozali sampai di sini tampak jelas, bahwa sosok arfin yang kontroversial dan ‘sangat berani mengambil resiko’ terutama pada karya film ini, sosok ini tampak jelas menuai hasil keputusan yang diambilnya, praduga ini muncul dapat karena skenario dan produksi film ini lahir setelah menuliskan Kapai-Kapai. Kesenimanan Arifin sebagaimana wacana dalam karya teks yang dilahirkan dalam era naskah drama, tampak kabur pula penilainya dalam karya film ini. Lebih jauh ada yang menyatakan bahwa Arifin sebagai seniman dalam tekanan militer, ada pula yang beranggapan dia menyetutujui dan bermain dalam proyek tersebut, sementara ratusan seniman Lekra jauh sebelum film tersebut diproduksi sedang menjalani pengasingan politik di pulau Buru.
Bukan tanpa resiko proyek film tersebut diambil, justru dari banyak penyampaian nara sumber memberi sinyal dan arah yang tidak tabu untuk dibicarakan. Tentu Arifin sebagai seniman melalui karya-karya tulisnya sangat mampu lebih leluasa keluar masuk menggunakan media seni untuk menyatakan pendapatnya pada sebuah fenomena salah satunya peristiwa peralihan kekuasan politik tersebut. Saya setuju bahwa dalam konteks karya film ini dia juga berusaha menegaskan diri dan posisinya sebagai seniman. Lepas dari benar atau keliru, saya kira dengan penuh perhitungan berkarya, bisa jadi rezim Orde Baru juga memanfaatkannya pun sebaliknya Arifin mengerti benar momen tersebut. Meski di sekitar 2017 ketika booming isu kebangkitan PKI, dalam media-media banyak muncul pernyataan dari Eros Djarot yang menyatakan Arifin kecewa pada hasil film yang dibuatnya dan menyatakan tidak akan memprodsi film lagi. Dalam aspek tertentu seperti yang kita pahami; media seni juga bisa menjadi sarana politik, sebagamana rezim sebelumnya pun melakukannya. Arifin adalah seniman yang cerdas dan teliti. Melihat latar belakang pendidikan akademisnya yang pernah berkuliah di Fakultas Sosial dan Politik di Universits Cokroaminoto Yogyakarta, tipis kemungkinan Arifin tidak dapat berkelit melalui karyanya menghadapi rezim yang baru, yang membuatnya jadi terkenal dan dimitoskan itulah Arifin Paradoks dan kontroversial.
Menurut koran nasional Tempo yang ditulis oleh tempo.co 17 September 2017 “6 Fakta Tentang Film G 30 S PKI yang wajib diketahui” dalam surveinya di tahun 2002 menunjukan, setidaknya 97 persen dari 1001 siswa yang telah disurvei telah menyaksikanya dan sekitar 87% menontonya lebih dari satu kali. Tentu saja banyak sekali kejanggalan-kejanggalan dalam karya fim tersebut, yang aneh kita justru jarang memperbicangkan dalam ranah teks skenario, tetapi hasil filmnya. Anggapan saya Arifin sangat sadar dimana posisi seni sebagai media memiliki ruang antara, bagaimaapun film adalah karya seni, dan karya seni adalah fiksi semirip apapun dengan realitas, film, skenario tetaplah bukan kenyataan itu sendiri. Arifin dan Noto Susanto beserta rezim Orde Baru melahirkan film tersebut dalam konteks zaman yang tampaknya mungkin dulu mereka rasakan juga sama samar-samarnya dan kabur. Bukti jelas kita saat ini tahu bagaimana kekuasan Orde Baru yang korup, otoriter, dan penuh manipulasi sejarah disana-sini selama 32 tahun dijalankan, runtuh digulingkan oleh demo mahasiswa, kerusuhan etnis dan resesi ekonomi dunia.
Politik bisa jadi menurut Arifin saat itu juga sesuatu yang samar dan kabur, rezim juga tidak kalah pintar dalam memanfaatkan momen. Salah satu alasan yang terbaca di media dari rezim yang menunjuk pembuatan film tersebut adalah menganggap Arifin adalah salah satu seniman independen yang tidak berafiliasi dengan partai manapun. Rezim yang memiliki perangkat dan kekuatan lengkap akan menggunakan berbagai cara salah satunya “Cermin Tipu Daya” Kejanggalan-kejanggalan dalam setiap rezim akan selalu ada dan berulang dengan berbagai gaya dan keanehannya pun masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Poin tersebut, membuat saya teringat akan satu hal yang disampaikan oleh seniman visual, Ong Hari Wahyu. Pada kesempatan ngobrol ngalor-ngidul di suatu sore bersama beliau, keanehan politik sebenarnya masih bisa kita temui di masa kini, salah satu yang bisa ditandai yaitu peristiwa berakhirnya pertarungan pilpres 2019. Saat itu pemilu dimenangkan oleh Jokowi-Maruf, tetapi tidak lama setelahnya Prabowo sebagai rival calon presiden kemudian menerima pinangan Jokowi untuk menjadi Mentri Pertahanan.
Erlina membaca karya-karya Arifin C Noer sangat berbeda dengan banyak nara sumber kebanyakan, secara yakin dia menegaskan diri menggunakan mata pandang perempuan untuk mendekati berbagai teks, “sangat diperlukan untuk membaca naskah-naskah Arifin dalam telaah kekinian.” Bagaimana tokoh dan ruang perempuan dalam konteks hari ini dapat dikonstruksi ulang, melalui berbagai telaah naskah Arifin untuk membicarakan isu-isu perempuan yang pada masa Orde Baru mengalami peran Domestifikasi. Lebih Jauh lagi Very Handayani sebagai sutradara, yang pernah memiliki pengalaman bersentuhan dengan naskah Arifin, mendorong kita lepas dari sisi kelampauannya, bagaimana banyak karya Arifin dapat dibaca dan dikontekstualisasikan dengan berbagai medium dan cara-cara yang digandrungi anak muda saat ini. Ghozali memgutip temuan Shinta Febriani dalam sebuah penelitian “terdapat kurang lebih 1000 kelompok atau komunitas pernah mementaskan karya-karya Arifin.”
Bagi saya membaca dan mengenang 26 tahun meninggalnya Arifin, dan lebih dari 50 tahun untuk karya-karyanya yang masih kita bicarakan dalam koteks hari ini, Arifin C Noer adalah sosok paradok dan kontroversial. Ia bisa bolak-balik dengan berbagai cara dan medium seni, main-main secara asyik keluar masuk sebagai seorang aktor, sutradara dan penulis. Soekarno sebelum meninggal pernah meminta pada elit rezim penguasa yang menggantikannya. Soekarno berpesan agar elite tidak membunuh para seniman sebagai tahanan politik, bagi Soekarno jasa seniman adalah sosok penting. Ia berpendapat bahwa melahirkan seorang seniman, tidak seperti halnya melahirkan manusia dengan profesi lain, belum tentu akan lahir kembali seniman-seniman terbaik negri ini dalam jangka 100 tahun di masa depan.
Seniman melalui karyanya dapat menjadi penanda zaman. Suatu rezim hanya mampu bertahan 32 tahun. Sementara karya-karya seni yang dibuat para seniman secara sungguh dan sadar, dapat bersifat abadi. Karena, karya seni yang diciptakan secara sungguh dan sadar, akan selalu relevan dan dapat dibicarakan dari masa ke masa; sebagaimana karya-karya Arifin C. Noer. Bahkan, menurut hemat saya beberapa karya Arifin tampak telah menjangkau masa depan, melampaui zamannya. Membaca Arifin dalam karyanya pada konteks hari ini; dapat kita dekati dengan melihat ulang penanda teks dalam media virtual. Banyaknya pengguna yang membanjiri sosial media seperti Tiktok, Instragram, Twitter, Facebook, dan sebagainya untuk mengunggah kata dan visual, tak ubahnya ketika kita membaca teks Arifin. Gejala dan kekuatan permainan kata dalam media virtual tersebut, sebenarnya dapat kita lihat juga dalam banyak karya Arifin. Media virtual dicita-citakan sebagai sarana berdemokrasi, di mana setiap orang bisa bermain-main dengan dirinya sendiri dalam ruang antara (batas nyata dan maya). Pembebasan permainan kata dalam banyak karya Arifin pun juga memiliki semangat yang sama, yaitu keluar dari stuktur kuasa kata untuk menciptakan karya sastra (fiksi dan nyata).
Beberapa cara kerja media virtual memiliki kemiripan dengan beberapa pola kerja kreatif Arifin. Pertama, siasat menghadapi struktur dengan ‘bermain-main’. Karya sastra di tangan Arifin diremat menjadi remahan fantasi yang beraneka rasa. Itulah yang menjadi pemacu adrenalin pembaca, aktor, peneliti, penonton, dan masyarakat lainnya sembari asyik menyelami karyanya. Begitu juga dengan media virtual melalui permainan alogaritma, artificial intelegence, yang memicu keinginan untuk terus masuk dalam kenikmatan labirinnya. Kedua, menciptakan pola ‘semena-mena’. Arifin memahami bahwa sebuah kata bisa sangat arbitrer. Begitu pula media virtual dengan kekuatan big data-nya, dapat membuat pengguna dapat menerima dan menyampaikan jutaan informasi yang tak terduga.
Teks Arifin adalah ruang sebagaimana media virtual. Keduannya menyediakan ruang pelarian bagi berbagai jenis dan ragam orang untuk ‘bermain-main’ dengan ‘kebebasan’ di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraihnya. Pertanyaan mengganjal, yang menurut saya penting justru lahir dari sini; di zaman yang penuh ‘kebebasan’ banjir teks, milenial, teknologi 4.0, dan melalui pola konsumtif terhadap penggunaan media virtual. Jika pada suatu hari Sapardi pernah berujar bahwa teks-teks Arifin itu seperti puisi, yang kata-katanya memiliki unsur puitis, lalu dalam konteks hari ini, bagaimana merasakan keputisan teksnya? Bagaimana pula merasakan estetika karya-karya Arifin dalam konteks masyarakat hari ini? Sedangkan sudah jelas bisa kita rasakan bersama, pola kerja Arifin yang keluar masuk dengan berbagai cara dan media artistiknya sangat menarik. Tetapi hal itu justru membuatnya menjadi bias idenditas–menjadi manusia diantara–di ambang atau di batas era yang selalu berubah, sebagaimana masyarakat hari ini atau generasi milenial yang dinamis dengan perkembangan teknologi. Akankah kebiasan itu menjelma bagai kehadiran dua tokoh ‘Abu’ dalam lakon Kapai-Kapai yang pernah diproduksi Kalanari Theatre Movement?
Ah, ternyata membaca karya-karya Arifin sungguh berliku dan terjal. Dan pada saat yang bersamaan dengan acara Mengenang 26 Tahun Wafatnya pujangga Teater Arifin C Noer dengan Karyanya, membuat alarm ingatan saya berbunyi akan pertunjukan Kocak-Kacik yang diproduksi Bengkel Mime Theatre Yogyakarta (Hela Teater Salihara, 2015). Mereka mempertontonkan karya Arifin yang riuh teks tersebut dengan ‘transformasi teks’; menghidupkan teks menggunakan tubuh. Sudahlah, mungkin hanya lewat. Belum tentu menjawab keterjalan tadi. Pada akhirnya, tulisan ini saya didedikasikan bagi para pegiat seni yang masih selalu di garis perjuangan. Bahkan pada masa pandemic seperti ini. Juga pada kucingku Kiku yang sudah hampir seminggu tidak pulang. Padahal, bersamanyalah saya sering ditemani menulis.