Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Tasikmalaya
[Ridwan Hasyimi]. Sulit membedakan siapa yang bermain, siapa yang tidak: semua berdandan. Namun, karena berjudul pentas pantomim, mereka yang berias putih yang akan pentas malam itu, Sabtu, 19 November 2022 di Studio Ngaos Art.
Membuka acara, MC menjelaskan bahwa akan ada dua pertunjukan hasil lokakarya kolaboratif antara Andy S.W. dari Bengkel Mime Theater (BMT) dan Ngaos Art. Kecuali itu, pantomimer, penyair, dan penulis ini juga mementaskan empat nomor lama dan satu nomor baru secara tunggal.
Sebagai presentasi hasil lokakarya dua hari, Nehi-Nehi Acha-Acha dan Nakal-Nakal berhasil menyuguhkan pertunjukan pantomim pendek yang segar dan menghibur. Karena pantomim adalah nir-kata, maka gerak, rangkaian gestur, dan mimik adalah senjata utama penyampai cerita. Ditimbang dengan variabel ini, mereka yang baru kali pertama berpantomim itu terbilang berhasil. Ceritanya mereka susun sendiri, relatif ringan dan mudah dipahami walau sangat imajinatif dan agak absurd.
Lantaran penonton teater di Tasikmalaya masih asing dengan seni pantomim (kecuali untuk lomba-lomba tingat SD), pada pertunjukan pertama, Nehi-Nehi Acha-Acha, mereka (penonton) lebih nampak heran ketimbang menikmati. Selanjutnya, suasana makin terasa cair dan apresiatif.
Pada pertunjukan kedua, ketika Andy SW tampil perdana membawakan Dilarang Berburu, penonton mulai “berani” tertawa. Solo pantomim karya lama penulis lakon Mak, Ana Asu Mlebu nGomah! tersebut berhasil mengajak penonton bertualang mengarungi lautan imajinasi meski ia hanya duduk tak ke mana-mana. Onomatope yang pas makin merangsang imaji untuk membaca seluruh bahasa performatif Andy.
Posisi Andy yang tak beranjak jadi sesuatu yang melabrak harapan penonton. Biasanya, pantomim tidak akan jauh dari gerakan berjalan, minum, membuka pintu, atau memegang kaca. Andy mematahkan itu. Setidaknya bagi penonton pantomim awam macam saya. Labrakan itu makin terasa kuat pada I Hate My Self.
Secara bentuk, lakon ini memenuhi gambaran umum penonton akan pantomim: gerakan berjalan, membuka pintu, dan lain-lain walau Andy bermain pada arena sekira 1 x 1 meter saja. Ceritanya pun sangat “realis”, berkisah tentang aktivitas seseorang mempersiapkan diri pada pagi hari. Di akhir lakon, sang tokoh yang sudah rapi berbusana menembak dirinya sendiri seketika setelah keluar rumah. Absurd. Oh, ternyata pantomim bisa digituin, ya?
Saya menangkap sebentuk kritik pada rutinitas tanpa orientasi, hal yang acap kali juga dikritik dalam karya-karya seni kontemporer. Manusia dipangkas kediriannya atas nama keteraturan. Gelora, hasrat, dan letupan-letupan impulsif dalam diri manusia diabaikan atau setidaknya dicurigai. Sampai titik tertentu, inilah racun bagi kehidupan itu sendiri, meredupkan daya hidup dan membunuh vitalitas.
Walau “gelap”, I Hate My Self dibungkus dengan banyak gestur lucu. Ini agak berbeda dengan Kesibukan di Ruang Bawah, nomor ketiga yang juga karya lama. Lakon ini terasa lebih kompleks. Andy menggunakan area bermain yang luas, termasuk merespon tangga di bagian belakang Studio Ngaos Art. Kontras dengan nomor sebelumnya yang nir-properti, nomor ini justru kaya akan benda-benda. Ia hadirkan level dan penanak nasi sebagai set. Sementara, wajahnya ditutupi dengan (topeng) jam dinding.
Karena penuh simbol visual dan laku, lakon ini terasa lebih reflektif. Ia menggambarkan betapa pandemi Covid-19 menghilangkan banyak hal selain nyawa itu sendiri. Sekadar untuk makan bayinya saja, ia harus memungut air mata penonton untuk ditanaknya.
Nomor selanjutnya merupakan karya terbaru, perdana dimainkan malam itu: Garis Astagfirullah. Andy berjalan dari pojok ruangan menuju pintu keluar, memukul-mukul topeng yang dikenakanya, lalu melucuti pakaiannya satu persatu sampai hanya tinggal kolor. Apa yang di-istigfar-i?
Menurut Andy, karya itu dimainkan dengan merespon bunyi dan situasi hic et nunc ‘di sini dan sekarang’. Lantunan ayat dan gesekan tarawangsa jadi stimulus yang membawa Andy melanglang ke belakang, ke masa kecil, ke masa dahulu yang “penuh dosa”. Ini yang di-istigfar-i. Lakon ini mengingatkan saya pada “perjalanan”. Garis itu adalah garis hidup yang, betapa pun, akan “berakhir di pintu keluar”.
Di luar—setelah sangat spiritual di dalam—Andy menggila. Di halaman Studio Ngaos Art yang sekaligus jalan perumahan itu ia menembaki penonton dengan girang. Tubuhnya dibalut busana perempuan dengan rok dan sepatu hak tinggi. Kepalanya dibungkus topeng berbentuk kotak dengan “rambut” dan satu mata, seperti alien. Alih-alih mengesankan keindahan mata, topeng itu lebih memantik ingatan saya pada All-Seing-Eye yang biasa terdapat pada lembar dollar.
Mula-mula “mahluk” itu berjalan girang ke sana kemari. Lalu menghampiri saya dan mengajak berswafoto. Dor, saya ditembak! Setelah itu, saya tidak tahu apa yang terjadi sebab saya menolak hidup lagi sebelum penonton tepuk tangan.
Go to Hell with Love judulnya. Menyaksikan sosok “perempuan” yang dengan girang memembaki orang setelah sepasang demi sepasang ia jodohkan, pasti semua berpikir ia psikopat. Entah kenapa Harley Quin terlintas di kepala, kekasih Joker yang juga bekas psikiaternya. Tapi, Andy lebih gelap dan kompleks. Nyaris tanpa motivasi selain mengantar orang mati dengan cinta. Barangkali ini semacam bongkahan pengalaman pribadi yang boleh jadi dialami oleh banyak orang juga. Betapa pun cinta memabukan dan nikmat, sisi lainnya adalah derita dan keputusasaan.
Pada lakon ini, batas bentuk antara pantomim dan bukan pantomim menjadi sangat kabur. Go to Hell with Love juga pantas disebut performance art. Sebagian penonton menyebutnya teater gerak.
Sebetulnya, campur aduk bentuk sudah terbaca sejak pertunjukan ketiga, Kesibukan di Ruang Bawah. Ia pantomin—setidaknya gerak tubuhnya masih begitu—tetapi peristiwa yang dihadirkan di panggung dekat dengan bentuk-bentuk teater kontemporer yang tidak menyebut dirinya pantomim. Andai tak dijuduli pantomim, besar kemungkinan Garis Astagfirullah diidentifikasi sebagai pertunjukan teater tubuh, setidaknya bagi saya yang awam nonton pantomim.
Pada sesi diskusi Andy menjelaskan perbedaan pantomim dan tari kontemporer. Katanya, pantomim lebih verbal dari tari kontemporer. Apa yang diinginkannya terartikulasi dengan jelas melalu bahasa performatif khas pantomim.
Namun, melihat I Hate My Self, verbalitas itu justru menjadi enigma tersendiri. Yang verbal adalah geraknya, tetapi makna keseluruhan pertunjukan yang tersusun dari gerak-gerak itu tetap saja tersembunyi. Penonton punya banyak kemungkinan mendekati dan memahami pertunjukan.
Nomor lain kecuali Dilarang Berburu lebih kaya kemungkinan tafsir. Andai dibaca sebagai satu dramaturgi, Garis Astagfirullah yang spiritual itu lebih cocok disimpan sebagai pamungkas. Setelah bunuh diri (I Hate My Self), dibunuh waktu (Kesibukan di Ruang Bawah), dan membunuh (Go to Hell with Love), barulah beristigfar.
Lepas dari semua catatan itu, lima nomor yang Andy sajikan dalam gelaran OPINION#2—pertunjukan pantomim tunggal BMT—memberi warna tersendiri bagi khazanah seni pertunjukan di Tasikmalaya.
Sebagian besar penonton yang hadir berkomentar, termasuk saya: oh, ternyata pantomim bisa digituin, ya?
- Resiko Lakon yang Ditulis Kemudian - 4 Juni 2023
- Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Tasikmalaya - 8 Januari 2023
- Absurditas “Amanat Galunggung” dalam Pertunjukan “Leu Low” - 23 September 2022