Kamis, November 14, 2024
ULASANLintas DisiplinPanggung Tari

Ini Pesona Bapak Budi

Ulasan menonton pertunjukan daring “Pesona” dari Eka Wahyuni dan “Ini Bapak Budi” dari Megatruh Banyumili.

[M. Dinu Imansyah]. SEORANG perempuan berbaju putih-putih menari-nari di atas sebuah gong, sementara di tempat lain bapak dan anak laki-lakinya berdebat tentang hakikat kebahagiaan ideal. Saat mata kamera ponsel mengabadikan bagian-bagian tubuh si penari dengan banal dan binal, si anak lelaki pelan-pelan menjelma menjadi sosok bapak yang dia benci. We become what we hate.

Kisah di atas adalah kombinasi dua pertunjukan daring yang aku saksikan beberapa waktu belakangan: Pesona garapan Eka Wahyuni dan Ini Bapak Budi ciptaan Megatruh Banyumili. Ya. Ini masih masa-masa pandemi. Masa-masa di mana seni pertunjukan harus menjelma ke dunia digital.

Pertunjukan daring Pesona mengangkat persoalan pesona erotika dalam tarian Gong, Kalimantan Timur. Di karya ini, Eka Wahyuni (atau yang akrab dipanggil Echa) ingin membongkar persoalan konsepsi dominan tentang “keindahan” tubuh dan gerak perempuan melalui eksperimentasi terhadap perspektif kamera—kurang lebih itu pernyataan yang aku comot dari caption postingannya komunitas Salihara di Facebook-nya.

Pesona, karya pertunjukan digital oleh Eka Wahyuni.
Pesona, karya Eka Wahyuni.

Ya, karya Pesona ini adalah salah satu karya yang ditampilkan dalam pergelaran Helatari Salihara 2021. Karya ini menjadi sajian pamungkas dari festival tari dua tahunan itu selain tiga karya koreografer lain yaitu Densiel Lebang (Jakarta), Krisna Satya (Bali) dan Leu Wijee (Jakarta). Keempatkarya tari itu bisa diakses di channel YouTube “Salihara Art Center” secara gratis—selama belum di-takedown, tentunya.

Disiarkan secara premiere pada tanggal 4 Juli 2021, karya Pesona yang berdurasi kurang lebih 27 menitan itu lebih banyak mengeksplorasi koreografi dari segi teknik pengambilan gambarnya—alih-alih keterampilan mengolah bahasa tubuh layaknya karya koreografi tari pada umumnya.

Karya ini berusaha menggabungkan antara dunia panggung konvensional dengan dunia media rekam. Pertunjukan digelar di sebuah ruang yang dikelilingi oleh backdrop hitam dengan tata cahaya yang cenderung monoton. Beberapa kamera diletakkan di beberapa sudut untuk merekam peristiwa yang terjadi di atas panggung. Belum lagi tambahan kamera ponsel yang digunakan oleh beberapa pemain yang diibaratkan Echa sebagai “tatapan penonton”

Hasilnya? Karya ini tidak sekedar berbentuk dokumentasi konvensional dari sebuah pertunjukan panggung melainkan juga berpadu dengan penyuntingan sedemikian rupa demi menunjukkan “tatapan” yang berbeda dari para pemainnya. Ada beberapa bingkai video yang ditampilkan dengan layout tertentu demi menunjukkan tatapan siapa dan bagaimana.

Di tempat lain, sekitar dua pekan sebelumnya, pertunjukan daring Ini Bapak Budi karya Megatruh Banyumili diputar. Jika Anda beruntung, Anda pun masih bisa menyaksikannya dengan gratis di situs jagonganwagen.psbk.or.id atau di chanel YouTube-nya Indonesiakaya.

Screenshot 94 | Ini Pesona Bapak Budi
Megatruh Banyu Mili dalam karyanya Ini Bapak Budi.

Pertunjukan Ini Bapak Budi menyentil persoalan penyeragaman pola pendidikan yang menghambat potensi dan daya kreatif seseorang. Megatruh menyadari bahwa ternyata akar dari pendidikan timpang ini bukan dari pendidikan formal tapi dari keluarga.

Karena membicarakan persoalan pendidikan dalam keluarga, Megatruh pun mengajak ayahnya sendiri, Gendon Tohyora. Bagaimana dominasi kekuasaan sang ayah lambat laun menjelma dalam diri Megatruh sendiri meski awalnya ditolak mentah-mentah. Dialog-dialog yang disajikan di perdebatan antara Megatruh dengan Gendon begitu luwes dan alamiah. Apakah memang tema yang mereka bincangkan itu dari kenyataan yang mereka alami sendiri? 

BACA JUGA:  Koreografer dari Kolektif Arungkala terlibat dalam Residensi Sinematografi Teater “The Last Sira”

Meski dikenal sebagai penari dan koreografer, di pertunjukan ini Megatruh pun tidak banyak mengeksplorasi tubuh sebagai medium dalam mengungkapkan ide-idenya. Beberapa upaya untuk memain-mainkan koreografi memang ada tapi ide-ide lebih dominan diungkapkan melalui dialog verbal antara dia dan Gendon. Sepanjang kurang lebih 30 menit untuk total durasi pertunjukannya, dialog antara Megatruh dengan Gendon ini mengambil porsi yang cukup besar.

Berbeda dengan Pesona dari Echa yang menggabungkan antara pertunjukan panggung dengan suntingan lay out bingkai tertentu, Ini Bapak Budi digarap dengan lebih filmis. Dengan menggunakan metode cut to cut dan sorotan kamera dari berbagai sudut maupun detail layaknya penggarapan film, bisa dibilang pertunjukan yang digelar dalam rangka gelaran bulanan “Jagongan Wagen” ini lebih cocok dikategorikan sebagai film pendek alih-alih pertunjukan panggung.

Screenshot 102 | Ini Pesona Bapak Budi
Gendon Tohyora sang Bapak bersama putranya, Megatruh dalam Ini Bapak Budi.

Tubuh Digital, Tubuh Interdisipliner

Persoalan klasik tentang mana dunia media rekam dengan panggung memang semakin menajam saat pandemi Corona ini menyerang. Sejak tahun lalu, saat virus Covid-19 “original” menyerang tatanan dunia, jagat seni pertunjukan diguncang dengan hebatnya. Himbauan (sekaligus larangan) untuk melakukan kontak fisik berimbas pada ditangguhkan atau dibatalkannya sebagian even-even pertunjukan panggung. Beberapa seniman terpaksa banting setir menjelajahi usaha dan profesi lain, sedangkan beberapa seniman masih bertahan dengan terus berkarya. Sebagian yang kedua inilah yang mau tidak mau harus memasuki dunia digital untuk bisa terus mendistribusikan karya mereka—nir atau dengan laba.

Hingga tulisan ini dibuat, saat Corona sudah mulai beragam variannya, belum juga ditemukan rumusan dan konvensi pasti tentang bagaimanakah hakikat “seni pertunjukan digital” itu sejatinya. Meski demikian, hal ini tak lantas membuat beberapa seniman menyerah untuk terus berupaya menemukan karya “pertunjukan digital” yang pas. Bahkan beberapa seniman sudah mulai menemukan kenikmatan berkarya di dunia digital. Selain pendistribusian karya yang lebih mudah dan massif, ini juga bisa sekaligus menjadi upaya pengarsipan karya-karya mereka dengan “sekali jalan”.

Aku sendiri, sebagai penikmat seni pertunjukan, sempat merasa kebingungan bagaimana menempatkan diri sebagai pengulas pertunjukan digital semacam ini. Jika di dunia seni pertunjukan, aku lebih mudah menempatkan diri sebagai penonton yang cerewet dan mengalami langsung peristiwa pertunjukan yang ada. Sedangkan sebagai penonton pertunjukan digital aku ditantang untuk menikmati pertunjukan dengan perspektif kesadaran pertunjukan yang lebih “kaku”. Aku tidak bisa menikmatinya sebagaimana memirsa film-film di Netflix, video-video YouTube atau konten-konten di Instagram.

Untuk mengritisi seni pertunjukan digital itu sendiri juga dibutuhkan perspektif baru yang lebih dari sekedar proses membedah seni pertunjukan konvensional. Ada dimensi dan medium yang berbeda yang harus dipertimbangkan. Ada proses pemahaman akan tata ruang dan tata visual tertentu dari karya-karya yang disajikan. Kenapa si seniman memilih penyajian visual dengan cara ini, kenapa tata suaranya harus dibuat seperti itu, kenapa cara kita berinteraksi dengan karya harus dengan cara tertentu—misalnya pertunjukan digital berbasis interaktif via website atau zoom meeting dan lain sebagainya.

BACA JUGA:  Sejarah Indonesia Modern Sekali Klik : Catatan Mengalami Peristiwa Hal-19 Bersama Kalanari Theatre Movement)

Dengan kata lain, disrupsi digital, yang meningkat secara membabi buta sepanjang pandemi Corona ini, memaksa seniman maupun penikmat karya-karyanya untuk menjelajahi ruang disiplin yang berbeda-beda. Seniman seni pertunjukan harus sudah mulai paham bagaimana kamera bekerja, hingga pada penguasaan akan keterampilan menyusun plotting/storyboard dan penyuntingan gambar.

Kesadaran pentingnya penguasaan lintas disiplin inilah yang kemudian diamini oleh Echa dan Megatruh dalam membuat karya-karya mereka di atas. Mereka paham bahwa ketika sudah berada di medium yang berbeda, tubuh mereka pun harus menyesuaikan dengan medium yang ada. Penari tidak cukup mengeksplorasi gesture dan gerak tubuh untuk mengomunikasikan ide dan rasa, dia juga harus tahu bagaimana kamera mampu menangkap dan menerjemahkan tubuh dari sudut tertentu demi mengomunikasikan informasi yang diinginkan.

Upaya yang dilakukan Echa dengan Pesona-nya sebenarnya sudah cukup menarik. Dengan menyorot gerak tubuh penari dari berbagai sudut dan karakter, agaknya Echa sadar bahwa membuat “film tari” bukan sekedar mendokumentasikan gerak penari, tapi teknik shoot dan framing juga merupakan bagian dari koreografi. Apapun yang tersaji secara visual di dalam layar adalah koreografi. Itulah kenapa setiap scene dan gambar harus diperhitungkan dengan sangat matang.

Sayangnya, apa yang dicita-citakan Echa untuk menggambarkan tatapan (erotis?) penonton terhadap tari Gong ini sendiri masih belum tereksplorasi maksimal. Dari hasil diskusi pasca penayangan premiere-nya, Echa mengaku jika karya ini terinpirasi dari pengalamannya sebagai penari yang merasa bahwa sepertinya kebanyakan penonton lebih fokus menikmati visual atau tubuh penari daripada apa yang ada di sebalik tari itu sendiri. Echa ingin menggali seberapa besar pengaruh tatapan itu pada karya.

Untuk merepresentasikan tatapan dari sudut pandang yang berbeda itu, Echa mengundang empat orang aktor yang mewakili satu orang laki-laki, dua orang perempuan dan satu orang transpuan. Setiap aktor mewakili tatapan gender mereka masing-masing. Selain mereka masuk ke panggung dan mendokumentasikan si penari, mereka juga saling mendokumentasikan. Ini tampak di saat tertentu kamera ponsel mereka tidak hanya diarahkan pada sang penari tapi pada aktor yang lain.

Hal tersebut terasa menjadi bias karena fokus penonton dibingungkan untuk menonton banyak hal. Meski ada upaya untuk menunjukkan beberapa pandangan itu berasal dari aktor tertentu, misalnya seperti saat transpuan lebih fokus mendokumentasikan perempuan lain yang mendokumentasikan sang penari—yang mungkin menyimbolkan cita-cita sang transpuan untuk menjadi perempuan yang utuh. Upaya untuk menampilkan “tatapan penonton” pada tari Gong itu sendiri menjadi ambigu. Sebenarnya penonton dituntun untuk menatap apa?

Mungkin karena terlalu fokus menggarap tatapan penonton inilah Echa jadi tidak banyak menggarap tubuh dari penari itu sendiri. Kalaupun ada sedikit koreografi, itu tampak saat para aktor di satu waktu bergerak dalam satu baris dengan langkah tertentu. Alhasil, tari Gong di sini terkesan sebagai tempelan saja. Bahkan akan sangat mungkin jika tari ini digantikan oleh tarian apapun lainnya. Mengingat fokus lebih banyak diberikan pada shoot kamera.

Screenshot 53 | Ini Pesona Bapak Budi
Kolase Screenshot dari karya Pesona oleh Eka Wahyuni

Apakah Echa tidak cukup percaya bahwa tubuh bisa mewakili ide-ide yang dia ingin sampaikan?

BACA JUGA:  Diary Monsoon Ayu Permata Sari

Ketidakpercayaan yang sama agaknya dirasakan pula oleh Megatruh dengan Ini Bapak Budi-nya. Meski di awal video sudah dengan gamblang dituliskan bahwa ini adalah “sebuah pertunjukan” alih-alih “sebuah pertunjukan tari”, aku yang sudah kadung mengenal Megatruh sebagai penari dan koreografer itu agak kecewa saat ide-idenya disampaikan lebih banyak lewat dialog dramatik, bukannya melalui koreografi.

Mungkin inilah yang menjadi tantangan seniman-pertunjukan-digital, khususnya seniman tari, saat ini. Tidak hanya bagaimana mereka harus mau mempelajari bagaimana caranya berkarya secara digital tapi juga bagaimana mereka tetap bisa membahasakan ide-ide mereka dengan tubuh sebagai medium utama seorang seniman seni pertunjukan.

Apapun itu, aku tetap salut dengan upaya yang dilakukan Echa dan Megatruh yang terus berkarya di masa pandemi yang tidak ada habisnya ini. Aku yakin, semua karya pada dasarnya adalah karya on progress—sebagaimana yang disampaikan Echa yang tertarik menggali tari Gong sejak tahun 2016 dan Megatruh yang ingin menyentil dunia pendidikan sejak tahun 2018 itu. Pun dengan dunia seni pertunjukan, kita masih terus berupaya menemukan bentuk medium dan ruang yang tepat untuk mewadahi potensi yang selama ini kita erami sebelum corona menyerang.

Aku tunggu karya-karya Echa dan Megatruh pun teman-teman seniman lainnya. Silahkan mampir ke tautan di bawah ini (jika masih berlaku) untuk menikmati karya dua temanku yang luar biasa ini.

Tetap sehat dan bahagia semuanya!!

Yogyakarta, 9 Juli 2021

Ba’da isya’

Tautan karya:

Ini Bapak Budi: https://www.youtube.com/watch?v=V4utqNoDycA&t=754s#0 atau https://jagonganwagen.psbk.or.id/ruang-jagong-jw-juni-2021/

Pesona: https://www.youtube.com/watch?v=Wgdt05DgzHs&t=1622s#0

M Dinu Imansyah
Latest posts by M Dinu Imansyah (see all)

M Dinu Imansyah

Aktor dan dramaturg. Menempuh pendidikan pasca sarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa ISI Surakarta. Aktif bersama kelompok Kalanari Theatre Movement Yogyakarta dan beberapa komunitas lain di Jogja dan Malang.