Rabu, Oktober 9, 2024
ULASANPanggung Teater

Mensyukuri Kebutaan bersama Pantomim “Buta” karya Pupuh Romansa

[M. Dinu Imansyah]. Waktu tidak berhenti saat lelaki itu terjatuh hingga dia kehilangan penglihatannya. Waktu masih di genggaman teman setianya, seekor hewan serupa panda. Lelaki itu lalu melanjutkan perjalanan hidupnya meski matanya tak lagi mampu menikmati realita. Pada akhirnya, selalu saja ada hal bisa disyukuri. Waktu tak akan hilang begitu saja selama masih ada yang membersamai kita untuk menjinjingnya.

Kisah di atas adalah potongan alur dari pertunjukan pantomime “Buta” karya Pupuh Romansa. Pertunjukan pantomime tunggal ini dipentaskan di Sanggar Seni Asrita pada Sabtu, 31 Agustus 2024 lampau. Pertunjukan ini adalah bagian dari program bulanan Sanggar Seni Asrita yang menurut pendirinya, Asita Kaladewa, bagian dari upaya untuk selalu memproduksi karya di ruang pertunjukan sekaligus rumah tinggal pantomimer kelahiran Kudus itu.

Buta photo by M Dinu Imansyah | Mensyukuri Kebutaan bersama Pantomim “Buta” karya Pupuh Romansa
Pupuh Romansa membawakan “Buta”. Foto oleh M. Dinu Imansyah

Melalui obrolan dengan Pupuh pada 2 September 2024 lalu, diceritakan bahwa ide dari pertunjukan pantomim berjudul “Buta” ini terinspirasi dari semangat berlatih salah satu adik kelasnya di jurusan teater Institut Seni Yogyakarta yang memang seorang penyandang tuna netra. Diceritakan bahwa suatu hari, Pupuh mengajak adik kelasnya untuk berlatih olah tubuh di kosannya yang sempit itu. Sang adik kelas tampak tidak ragu-ragu untuk memaksimalkan kemampuan tubuhnya demi mengeksplorasi arahan-arahan yang diberikan Pupuh padanya meskipun ruang geraknya sangat terbatas.

Pupuh menyadari bahwa seseorang dengan keterbatasan fisik seperti itu saja masih memiliki semangat yang luar biasa, lalu kenapa kita yang berkemampuan fisik yang lengkap ini mudah sekali menggerutu? Karya “Buta” ini adalah jalan meditasi pantomimer asal Madura itu untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya bersyukur.

Proses “Buta” sejatinya sudah dimulai sejak bulan Juni yang lalu. Saat itu, Asita pernah menantangnya untuk membuat produksi karya sendiri. Selama ini Pupuh memang dikenal sering membantu proses teman-teman pantomimer senior seperti Asita sampai Tiaswening Maharsi. Namun, proses penciptaan yang intens memang baru benar-benar dilakukan dua pekan sebelum “Buta” dipentaskan, aku pantomimer bernama asli Pupuh Hadi Mulya itu.

Ruang pertunjukan di Sanggar Seni Asrita memang tidak besar. Dengan kapasitas maksimum 20-an orang itu, pertunjukan “Buta” memang terasa lebih intim dan hangat. Terlebih lagi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, karya ini adalah sebuah perenungan kita semua akan pentingnya untuk senantiasa bersyukur.

Yang menarik, dua pertiga bagian terakhir pertunjukan ini dilakoni Pupuh dengan mata tertutup–setidaknya itu yang tampak dari mata penonton–demi menampakkan sosok orang buta. Pertunjukan pantomim yang sejatinya sangat kental dengan nuansa visualnya itu harus menampilkan seseorang yang kehilangan kemampuan visualnya. Pupuh tetap bisa tampil dengan cukup “aman” meski dia harus memerankannya dengan menutup mata.

BACA JUGA:  “Tirto : Tiga Pengasingan” dan Ironi Ruang Aman Bagi Jurnalis

Penulis sempat tergelitik untuk bertanya kenapa Pupuh memutuskan judul “Buta” sebagai karya tunggalnya itu. Apakah dia tidak takut menyinggung mereka yang berkemampuan khusus dengan penggunaan diksi yang cukup gamblang seperti itu? Terlebih lagi, “kebutaan” bukanlah satu-satunya tema yang diangkat di pertunjukan ini. Ada nunasa persahabatan, kesetiaan, dan tentunya rasa syukur tadi.

Menurut Pupuh, pilihannya untuk menggunakan kata “Buta” saja sebagai judul karyanya adalah karena memang ingin membuka intepretasi seluas-luasnya bagi penonton dalam memaknai karyanya. Buta di sini tidak sekadar dijadikan sebagai realita fisikal tetapi juga metafora akan keterbatasan atau hambatan-hambatan yang seringkali membuat kita terlalu fokus padanya, alih-alih menghargai hal-hal baik di luar itu.

Buta 2 photo by M Dinu Imansyah | Mensyukuri Kebutaan bersama Pantomim “Buta” karya Pupuh Romansa
Foto oleh M. Dinu Imansyah

Pantomime dan Imajinasi Lintas Batas

Ibarat gambar, sejatinya pantomim memang selalu membuka peluang imajinasi dan interpretasi seluas-luasnya. Hal ini dikarenakan pantomim berupaya membentuk imaji di ruang kosong menggunakan keterampilan, kreativitas dan estetika ketubuhan aktornya. Apapun yang berupaya dihadirkan oleh seorang pantomimer bisa dimaknai dengan apa saja, tergantung imaji apa yang muncul di kepala penikmatnya.

Itulah kenapa di hampir setiap pertunjukan pantomim yang digelar oleh Sanggar Seni Asrita ada penonton anak-anak yang turut menikmatinya. Bahkan meskipun pertunjukan digelar di malam hari, anak-anak itu tampak tetap antusias menikmati pertunjukan dengan khidmat. Ini adalah bukti bahwa pantomim sejatinya tidak terbatas usia. Imaji apapun yang berupaya dibangun olehnya, akan diinterpretasi sama asyiknya oleh anak-anak.

Apa yang berupaya ditampilkan oleh Pupuh di karya “Buta”nya ini juga bagian dari lintasan-lintasan imaji yang tak terbatas, termasuk persoalan bagaimana “orang buta” berpantomim. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, pantomim adalah seni yang sifatnya “sangat visual”. Itulah kenapa pertunjukan ini tidak bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan. Berbeda dengan teater (verbal) yang masih memiliki kekuatan audio dan diksi yang bisa dinikmati mereka yang berpenglihatan terbatas misalnya seperti di pertunjukan Teater “Margi Wuta” oleh Teater Gardanalla beberapa tahun yang lalu itu.

BACA JUGA:  Menjadi Bystander dalam Post Truth – Catatan atas Pertunjukan Post-Teater karya Eka Nusa Pertiwi

Gesture tubuh “orang buta” yang ditampilkan oleh Pupuh di pertunjukan ini juga cukup akurat. Diceritakan bahwa tokoh di cerita ini sebelumnya terlahir bisa melihat, tetapi karena sebuah kecelakaan, tokoh ini menjadi buta. Dengan demikian, sejatinya tokoh ini masih memiliki memori visual dan gesture tubuh sebelum dia menjadi buta yang kemudian masih dia bawa dan lakukan saat dia sudah kehilangan penghilatannya. Hal ini akan berbeda dengan mereka yang terlahir buta. Biasanya, mereka yang terlahir buta memiliki gesture yang khas karena sejatinya mereka tak pernah memiliki memori visual sehingga gerakan-gerakannya sebagian besar lahir dari upaya menyikapi lingkungan dengan segala keterbatasan mereka.

Buta 3 photo by M Dinu Imansyah | Mensyukuri Kebutaan bersama Pantomim “Buta” karya Pupuh Romansa
Anak-anak khusyuk menyimak. Foto oleh M. Dinu Imansyah

Fixed Point dan Kesetiaan

Pupuh mengaku bahwa dia merasa tidak terlalu khusyu’ saat melakoni karya ini. Di beberapa kesempatan, dia merasa kurang bisa memaksimalkan performativitasnya. Hal yang sejatinya malah aku tangkap sebaliknya sebagai penonton. Meski dia mengaku hanya berlatih intens selama dua pekan, tetapi pertunjukan ini terbilang cukup mulus dan enak untuk dinikmati.

Dalam pantomim, ada sebuah istilah khas yang dikenal dengan sebutan fixed point. Istilah ini untuk menggambarkan “kesetiaan” seorang pantomimer dalam menentukan sebuah titik imajiner sebagai tumpuan dalam menggambarkan adegan tertentu. Ambil contoh, dalam adegan membuka pintu, seorang pantomimer harus konsisten dalam menentukan titik letak gagang pintunya. Seberapa tingginya, besarnya, sampai “berat”nya. Fixed point inilah yang mampu menentukan seberapa meyakinnya imaji eksistensi sebuah benda.

Meski mengaku baru beberapa tahun mendalami pantomim, kemampuan Pupuh dalam memainkan fixed point cukup baik. Salah satu adegan yang bagi penulis cukup fenomenal adalah saat dia menggambarkan bagian menjahit baju untuk hewan kesayangannya itu. Jari-jemarinya cukup “setia” untuk menggambarkan letak jarum, kain, dan benang sehingga seolah-olah Pupuh benar-benar memegang kain dan jarum-benang untuk menjahit.

Kesetiaan yang sama ditampilkan oleh “hewan peliharaan” si tokoh buta. Hewan berbentuk panda inilah yang kemudian menemani si tokoh buta dalam melewati masa-masa kritis peralihan dari kecelakaan yang membutakan matanya sampai melewatkan sisa-sisa hidupnya dengan penuh semangat. 

Sayangnya, pilihan Pupuh untuk memilih boneka panda sebagai metafora dari hewan peliharaannya agak membiaskan imajinasi yang sudah dibangun oleh pantomim itu sendiri. Terlebih lagi, Pupuh juga belum terbiasa dengan hal-hal teknis terkait penggunaan boneka sebagai pendukung pertunjukannya itu. Sehingga di beberapa bagian, tampak kekhidmatan pantomim yang dimainkannya terganggu oleh upayanya untuk menjaga boneka itu agar tidak jatuh saat dia letakkan di bahunya–layaknya Si Buta dari Gua Hantu dan Kliwon, monyet kesayangannya.

BACA JUGA:  The Amazing Suparman: Kosmopolitan Berbalut Kemiskinan

Pupuh mengaku bagian itu memang kurang dia persiapkan dengan matang. Selain itu, sejatinya dia tidak ingin menggambarkan hewan spesifik sebagai pendamping sang buta, tetapi karena pilihan propertinya hanya ada boneka panda itu, maka jadilah mau tidak mau imaji penonton akan mendefinisikannya sebagai panda juga.

Alangkah baiknya jika kehadiran “hewan pendamping” si buta digambarkan dengan pantomim pula tanpa perlu benar-benar menghadirkannya dalam manifestasi boneka. Kalaupun tetap dibutuhkan boneka, hematnya jika bonekanya memiliki bentuk yang lebih abstrak tanpa perlu menggambarkan secara spesifik bentuk hewan tertentu.

Selamat untuk Pupuh Romansa atas karyanya. Semoga kesetiaanmu pada pantomim akan melahirkan karya-karya lain yang tak kalah monumentalnya.

M Dinu Imansyah
Latest posts by M Dinu Imansyah (see all)

M Dinu Imansyah

Aktor dan dramaturg. Menempuh pendidikan pasca sarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa ISI Surakarta. Aktif bersama kelompok Kalanari Theatre Movement Yogyakarta dan beberapa komunitas lain di Jogja dan Malang.