Sejarah Indonesia Modern Sekali Klik : Catatan Mengalami Peristiwa Hal-19 Bersama Kalanari Theatre Movement)
[Raihan Robby]. Setelah berhasil mementaskan Hal-19 dalam acara Djakarta International Theater Platform 2021 dan Festival Seni Bali Jani III 2021. Kalanari Theatre Movement pada seri ketiga kali ini, kembali menggelar pertunjukan dengan formula yang sama, yaitu Hal-19. Formula ini sengaja dirancang dan masih bersifat tumbuh kembang untuk “mengalami peristiwa” dalam hal ini mengalami peristiwa “menjadi Indonesia”.
Teks: 19 Sebagai Link Awal.
Pada seri ketiga ini Kalanari mencoba memeristiwakan teks dalam halaman 19 buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008 karya seorang Indonesianis M.C Rifcklefs yang diterbitkan penerbit Serambi. Izinkan saya mengutip halaman 19 dari buku itu sebelum memasuki peristiwa yang telah dirancang oleh Kalanari:
…bertarikh akhir abad XIX, tetapi dua di antaranya merupakan salinan dari naskah asli yang ditulis pada tahun 1730-an dan 1740-an. Seperti halnya dongeng-dongeng di dalam Babad Tanah Jawi, ada banyak peristiwa ajaib di dalam naskah ini, tetapi soal pengislaman tidak digambarkan secara eksplisit, dan tidak ada penekanan pada pengucapan dua kalimat syahadat, pengkhianatan, dan lain-lainnya. Cerita tentang asal-usul Sunan Giri menjadi perhatian Sejarah Banten. Menurut karya ini, seorang suci berkebangsaan asing yang bernama Molana Usalam datang ke Balambangan di Ujung Timur Jawa, suatu daerah yang belum menganut agama Islam sampai akhir abad XVIII. Penguasa Balambangan mempunyai seorang putri yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi putri itu ternyata sembuh ketika Molana Usalam memberinya buah pinang untuk dikunyah. Putri itu kemudian dinikahkan dengan Molana Usalam. Namun, ketika Molana meminta penguasa Balambangan untuk juga memeluk Islam, penguasa itu pun menolaknya. Oleh karena itu, Molana Usalam pergi meninggalkan Balambangan dan istrinya yang sudah hamil. Ketika putri melahirkan bayi laki-laki, bayi itu dimasukkan ke dalam sebuah peti dan dibuang ke laut, seperti cerita Musa (yang terdapat dalam Surah XX Alquran dan juga dalam kitab Injil). Peti itu akhirnya terdampar di pantai Gresik, tempat bayi itu kemudian tumbuh menjadi seorang muslim dan, belakangan, menjadi sunan yang pertama dari Giri. Perlu dicatat bahwa sejauh yang diketahui dewasa ini, dongeng-dongeng Melayu tidak memuat kisah-kisah seperti cerita Balambangan, di mana kekuatan gaib seorang suci yang berkebangsaan asing tidak cukup kuat untuk mendorong orang masuk Islam. Cerita-cerita dongeng semacam itu tidak dapat memberikan banyak penjelasan mengenai kejadian-kejadian sebenarnya sekitar kedatangan agama Islam, tetapi paling tidak dongeng-dongeng itu benar-benar merefleksikan bagaimana generasi-generasi kemudian dari kaum muslim Indonesia melihat kembali proses islamisasi. Ada suatu perbedaan yang nyata dan penting antara dongeng-dongeng Melayu dan Jawa: dalam dongeng Melayu, Islamisasi merupakan suatu titik balik penting yang ditegaskan dengan…
Setelah kita membaca halaman 19 pada buku itu, dan menggenggamnya sebagai pranala (link) awal, selanjutnya kita akan memasuki peristiwa pertunjukan yang telah dikonsep oleh Kalanari. Pada pertunjukan ini, Kalanari membungkus segala elemen pertunjukan dengan angka 19, seperti waktu pementasan yang dilaksanakan pada tanggal 17,18,19 September 2022 dan setiap pukul 16.19 juga 19.19 WIB. Tiket yang seharga Rp19.190 serta kuota penonton yang hanya 19 orang per sesi pertunjukan. Penonton yang membaca informasi tentang pertunjukan tersebut seakan diberikan terms and condition untuk mengikuti pertunjukan ini dengan syarat-syarat tertentu sebagai berikut: sudah berusia 19 tahun ke atas, dapat berbahasa Indonesia dan membawa satu buku bacaan favorit berbahasa Indonesia.
Memasuki Sejarah Indonesia Modern Hal-19
Ketika sampai di Stage Jurusan Teater ISI Yogyakarta, saya langsung mengonfirmasi kehadiran di meja depan, dan mengambil sebuah undian yang belum boleh saya buka sebelum sutradara mengizinkannya. Tibalah saat pertunjukan dimulai, Mas Ibed selaku sutradara dan penulis naskah menyambut kami tepat pukul 19.19. Jika sebelumnya para penonton membaca terms and condition dan menyetujuinya, maka posisi Mas Ibed di awal pertunjukan ini telah menjadi Cookie, ia menjadi serangakaian teks yang tersimpan dan menjadi bagian dari pertunjukan yang muncul pada laman awal ketika penonton membuka sebuah situs (website), ia menjelaskan dan berinteraksi tentang apa yang harus dilakukan penonton dan situasi yang akan dialami oleh penonton ke depannya.
Mas Ibed mempersilahkan kami untuk membuka undian, ternyata isi dari undian itu adalah nomor urut kursi yang akan kami tempati, sebelum tirai terbuka, kembali Mas Ibed memberikan intruksi untuk membacakan halaman 19 pada buku yang kami bawa.
Saat tirai terbuka, perpaduan cahaya berwarna merah dan biru kelam menyambut kami, terdengar suara soundscape yang menimbulkan kesan horor, di panggung melingkar yang setara tanpa levelitas itu, dapat kami lihat setting yang berupa dapur sederhana: ada kompor, sebilah golok, sayur-sayuran layu, hingga kran air. Lantas kami duduk sesuai dengan nomor kursi kami dan di hadapan kami sudah tergantung cermin yang retak, untuk kami menonton pertunjukan! Inilah eksperimentasi dari Kalanari yang memaksa penonton untuk menjalani peristiwa teater dengan melihat ke belakang melalui cermin yang retak itu. Sementara sudah terlihat satu orang tokoh dengan wajah pucat duduk di sebuah kursi, ia masih berdiam diri melihat para penonton agar segera membacakan halaman 19 pada buku yang kami bawa, suara-suara dari penonton yang kencang menimbulkan efek bertabrakan, bersinggungan, dan di satu titik tertentu menemukan keselarasan.
Setelah kami selesai membacakan halaman 19 di buku kami, barulah tokoh tersebut menyanyikan sebuah lagu “Selamat Ulang Tahun” yang telah diubah liriknya menjadi “Potong kulitnya… potong kulitnya… potong kulitnya biar mulia… biar mulia… biar mulia…” entah sudah berapa kali tokoh tersebut merepetisi lirik lagu itu dengan memberikan penekanan, mengeraskan dan juga melirihkan suara nyanyiannya, menimbulkan efek yang berulang dan membekas pula di benak penonton.
Tokoh yang berpenampilan seperti ibu yang lusuh dengan salah satu lengannya yang seolah-olah “cacat” itu kemudian bermonolog tentang ‘Tuan Pelindung’ yang telah memberikannya segala kenikmatan dan kecukupan hidup dalam bentuk sayur-sayuran yang lantas ia cacah, dan minyak untuk menggoreng sayuran itu menjadi makanan. Sebelum akhirnya tokoh perempuan yang lain masuk, dengan tampilan lebih muda dan kakinya yang pincang menyeret karung besar. Kita sebut tokoh perempuan yang pincang ini sebagai Kakak. Ia berbincang dengan tokoh Ibu tentang mati dan lain halnya, tak lama karung besar itu menggeliat dan muncullah sesosok tokoh perempuan yang lain, kita sebut saja ia tokoh Adik. Karena terlihat muda dan tak ada bagian tubuh yang terluka, namun ia memiliki kelambatan dalam berjalan dan merespon dialog seakan ada yang salah dengan otak dan mentalnya.
Apa yang coba dihadirkan oleh Kalanari dengan situasi panggung dan bentuk pertunjukan yang dalam pandangan saya serupa akan dunia pasca-kiamat atau post-apocalypse-nya“End Game” karya Samuel Beckett dengan segala absurditas tokoh dan perulangan peristiwanya. Lalu apa hubungannya pertunjukan Kalanari yang serupa pasca-kiamat itu dengan halaman 19 sejarah Indonesia modern bab ‘Kedatangan Islam’ yang ditulis Rifcklefs?
Sejalan dengan teks halaman 19-nya Rifcklefs yang bercerita tentang datangnya Molana Usalam dari negeri asing yang datang menyembuhkan putri dari Penguasa Balam di Balambangan. Hingga sang putri menjadi istri Molana Usalam dan memeluk islam, namun Penguasa Balam enggan untuk masuk islam sehingga Molana Usalam pergi dari Balambangan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Kelak ketika bayi itu terlahir, putri Balambangan memasukannya ke dalam peti dan membuang peti itu ke laut lepas, kelak bayi itu pula menjadi Sunan yang menyebarkan ajaran Allah.
Kalanari mencoba menghadirkan fragmen-fragmen peristiwa halaman-19 itu ke dalam bentuk varian-varian dialog tentang ‘Tuan Pelindung’ yang diagung-agungkan oleh tokoh Ibu dan Kakak. Konflik terjadi ketika tokoh Adik mempertanyakan hakikat dari ‘Tuan Pelindung’, siapa ayahnya, dan apa yang menjadikan ‘Tuan Pelindung’ begitu absolut. Hingga narasi-narasi besar tentang datangnya agama dan kemajuan teknologi dari Barat.
Kami melihat putaran peristiwa pertama itu melalui cermin yang retak! Yang menarik adalah penonton seakan dipaksa untuk melihat pertunjukan dengan cara yang tidak biasanya itu. Namun, sejatinya tidak ada “paksaan” dari pertunjukan ini, jika sedari awal penonton menyadari bahwa mereka telah menyetujui terms and condition hingga menerima cookie yang ditawarkan oleh Kalanari, hingga memahami bahwa pertunjukan ini adalah sebuah situs yang membatasi gerak penonton. Tak sampai di situ saja, ketika satu indera dipaksa untuk fokus secara tak nyaman, maka ada beberapa kemungkinan; indera tersebut (dalam hal ini pengelihatan) dapat memaksimalkan potensinya melalui retakan-retakan di kaca itu, atau membuat indera-indera yang lain menjadi lebih peka, dalam hal ini pendengaran, misalnya, yang terus menerus mendengar gema dari efek soundscape yang seolah-olah membuat penonton berada dalam dimensi yang lain.
Sebenarnya ada banyak eksplorasi yang masih dapat dilakukan oleh pertunjukan Kalanari, dengan ruang dan jarak pertunjukan yang sedekat itu, saya belum merasakan aroma dapur; aroma masakan yang menyeruak masuk ke dalam hidung. Selain indera penciuman, para tokoh yang bergerak leluasa bebas itu tak memberikan efek sentuhan kepada penonton, padahal ini dapat dimaksimalkan juga, sehingga para penonton dapat merasakan dan mempertanyakan kembali “apa itu jarak?”, “apa itu ruang?”, dan “apakah ini terjadi secara langsung?”
Setelah putaran pertama terlewati, kami menerima undian kedua, tokoh Adiklah yang mengantarkan undian kedua itu pada kami. Salah satu dari undian kedua itu berisi perintah untuk penonton membacakan kembali halaman-19 miliknya, dan sisa dari undian berisikan tawaran untuk penonton yang dapat berbalik arah menonton pertunjukan secara langsung tanpa melalui cermin, atau tetap melalui cermin yang retak itu.
Salah seorang penonton membacakan halaman 19 di buku yang ia bawa, para tokoh itu memperhatikan dengan saksama, dan “mengambil” tokoh lain di dalam halaman 19 yang dibacakan itu lalu menjadikannya sebagai sebutan lain untuk “Tuan Pelindung”, konflik berulang dengan dialog yang hampir sama. Mendekati akhir pertunjukan dan puncak dari konflik, ketiga tokoh merasa frustrasi akan kehadiran “Tuan Pelindung” yang kini menghilang dari atas panggung turun perlahan-lahan sebuah kapal/bahtera entah sebagai simbolisasi kedatangan yang menyelamatkan para tokoh itu atau pelarian yang dilakukan si “Tuan Pelindung”. Tokoh Kakak yang seakan lelah dengan Adik lantas menyeret paksa ia, dengan dialog yang masih mengagungkan “Tuan Pelindung” ia menggorok kepala si Adik, lampu lantas mati sesaat. Namun, sebagaimana pertunjukan absurd layaknya karya-karya Beckett bahwa awal adalah akhir dan akhir adalah awal, siklus lingkaran yang tak akan putus, tokoh Adik tak mati dan tetap hidup.
Angka 19 Sebagai Hipogram
Apa yang coba dihadirkan oleh Kalanari dan Mas Ibed selaku sutradara adalah formula-19 sebagai hipogram, angka itu berangkat dari ketidaksiapan menghadapi dan efek panjang pasca Covid-19. Yang membuat kita kembali mempertanyakan (dalam bentuk pertunjukan teater dan kehidupan); apakah jarak, apakah ruang, dan apakah langsung itu. Formula angka 19 itu menjadi hipogram yang merespon teks-teks sebelumnya, seperti buku-buku sejarah, ekonomi hingga politik sebagai teks baru untuk disampaikan secara fragmentatif, pembluran dan fiksional.
Menurut saya ini adalah “warisan” formula yang baru dan memperkaya khazanah teater Indonesia modern dalam memandang kembali asal muasal Indonesia dan “menjadi Indonesia” menurut para Indonesianis itu. Formula ini tentu dapat berkembang lebih jauh, dari pertunjukan yang telah saya ulas di atas, Kalanari dapat mengeksplorasi lebih jauh dan tidak tanggung dalam “memaksa penonton”, semisal; menghadirkan layar komputer yang memiliki bias atau efek tertentu, menghadirkan click-bait atau iklan yang berjalan hingga menjadi spamming, menautkan link-link (baca: buku) yang dibawa oleh penonton menjadi peristiwa yang lain, dan segala kemungkinan yang hadir pada sebuah situs online itu (website).
Ke depan formula-19 ini mungkin dapat benar-benar menggunakan eksplorasi akan Artificial Intelligence, bagaimana AI yang memiliki kesadaran itu menyusun teks-teks 19 dengan generator text hingga menimbulkan kesan, mana yang lebih manusiawi; manusia itu sendiri atau AI? Tentu permainan ini setelah Kalanari dan Mas Ibed selesai dengan wacana “menjadi Indonesia” itu tadi. Sebab formula-19 lahir dari Covid-19 yang juga telah membuat segala-galanya berubah dan tak lagi sama, manusia dipaksa untuk adaptif lebih cepat, proses yang semula evolusi hampir seluruhnya menjadi revolusi. Di tengah keterburuan itu, Kalanari menciptakan jeda untuk menengok kembali siapa kita sebagai manusia di sini.
Sudah baca yang ini?:
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024