Tubuh Kota, Tubuh Kita : Selepas Festival Kala Monolog 2024
[Faisal Oddang]. Bisakah kita memandang kota dengan kacamata interseksional?
Pertanyaan tersebut muncul ketika saya menonton beberapa pertunjukan monolog dalam Festival Kala Monolog yang berlangsung 14-20 Oktober di Makassar. Sebagai upaya menjawab, ingatan saya tertambat pada sebuah tulisan yang terbit 1980 di jurnal Signs. Tulisan tersebut ditulis oleh Dolores Hayden, pakar perencanaan wilayah dan kota di Universitas California. Hayden, dalam tulisannya yang berjudul What Would a Non-Sexist City Be Like? Speculations on Housing, Urban Design, and Human Work, menguraikan dengan dalam pandangannya yang mengkritik cara kota dibangun, diatur, dan dikembangkan sebagai upaya kolektif mengafirmasi gagasan atau ide mengenai keluarga normal. Juga di tahun 1980, Willis, S, dalam tulisannya Homes Are Divine Workshop, menegaskan sekaligus berdiri di sisi yang sama dengan Hayden, bahwa: kota adalah laki-laki, dibangun atas penaklukan-penaklukan maskulin, melibatkan uang, kekuasaan dan korupsi.
Rumah sebagai bagian atau struktur kecil dari kota merupakan ruang tempat kekuasaan dan jalin kelindan nilai-nilai dimainkan. Seseorang yang tidak bisa merasakan rumah sebagai ruang aman, bisa jadi mengalami hal yang sama menakutkannya atau bahkan lebih parah ketika keluar menuju ruang yang lebih besar, yaitu kota. Potensi bahaya lebih beragam, praktik pelainan yang lebih banyak, serta peminggiran atas dasar kelas yang lebih kompleks. Sebagai upaya merespons hal tersebut, seni sering kali berupaya hadir sebagai ruang dialektika, upaya mitigasi dan alternatif solusi: yang menggugat, dan mengkritik ketimpangan interseksional dalam rumah, atau dalam kota.
Hayden, dalam tulisan yang diacu pada paragraf pertama tulisan ini, secara umum menggambarkan bagaimana kota memisahkan rumah sebagai ruang tinggal dan kerja domestik dengan kantor sebagai ruang kerja berbayar. Pemisahan tersebut semakin menguatkan pengabaian dan anggapan tidak pentingnya pekerjaan domestik yang sebagian besar dikerjakan perempuan. Lebih lanjut, desain rumah sub urban tampak ingin mengabadikan anggapan bahwa perempuan akan mengerjakan hampir semua (jika tidak semua) pekerjaan memproduksi manusia yang berfungsi, masyarakat yang modern: memasak untuk keluarga, membersihkan, berbelanja, mengantar dan menjemput anak sekolah.
Dia mengambil contoh desain dan penataan perumahan di Amerika Serikat kisaran tahun 80-an yang sebenarnya relevan sampai hari ini untuk tempat-tempat dan kota-kota lain, di Indonesia misalnya, di Makassar contohnya. Dengan pendekatan tata kota, Hayden menawarkan konsep kehidupan komunal. Salah satu proyeknya yang dibangun pada tahun 1972 adalah “Fiona House” di London, sebuah desain inovatif yang menggabungkan fungsi rumah, pusat penitipan anak, dan ruang publik: koridor berkarpet yang dipenuhi jendela apartemen berfungsi ganda sebagai ruang bermain untuk memudahkan pengawasan anak-anak. Interkom menghubungkan antar apartemen sehingga sesama tetangga dapat saling menjaga anak satu sama lain. Konsep ini didasari oleh gagasan bahwa pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak tidak harus terpisah dari kehidupan masyarakat. Hayden berargumen bahwa selama pekerjaan rumah tangga terus dibatasi di lingkungan rumah pribadi, perempuan akan terus terjebak dalam peran domestik dan sulit untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan publik.
Jika Hayden menggunakan pendekatan tata kota untuk menghilangkan diskriminasi kelas, gender, ras, dan usia, bagaimana seni, sastra, atau pertunjukan monolog menjalankan perannya?
Penonton Sebagai Subjek
Mengalami pertunjukan monolog di Festival Kala Monolog 2024, merupakan peristiwa yang membuat saya merefleksikan kembali makna otonomi penonton serta partisipasi penonton. Gagasan mengenai seni partisipatoris khususnya seni pertunjukan partisipatoris sejauh ini dibungkus dalam beragam istilah, mulai: participatory art, socially engaged art, dialogic art, dinamai pula community- based art, juga, littoral art atau experimental communities, atau interventionist art, collaborative art, hingga contextual art. Semua nama dan istilah tersebut, sama-sama melibatkan penonton dalam upaya capaian estetika dan pengartikulasian gagasannya.
Lalu pertanyaan berikutnya, keterlibatan seperti apa yang dimaksud? Apakah seperti Jeanne van Heeswijk (De Strip, 2001-2004) yang mengubah bangunan mal terbengkalai menjadi pusat kebudayaan untuk warga Vlaardingen, Rotterdam. Atau sama seperti Alfredo Jaar (Camera Lucida, 1996) ketika membagikan kamera sekali pakai kepada penduduk Catia, Caracas, yang gambarnya kemudian ditampilkan sebagai pameran pertama di museum lokal? Saya mencoba melihat jawabannya lewat monolog-monolog yang saya saksikan, mulai dari yang membicarakan sejarah kota, hingga yang menggugat mitos usang di Festival Kala Monolog 2024.
Hampir di semua tembok rumah ada tulisan huruf Arab, terus ada sajadah disampirkan di atasnya. Yang ana bingung, ternyata semalam sebelum kerusuhan itu bos toko tempat ana kerja sudah mengungsi ke Bali sama teman-temannya. Dari mana mereka tahu kalau besok akan ada kerusuhan? Ana sendiri ndak tahu, yang ana tahu hari itu ada tablik akbar di alun-alun. Dari sana kerusuhan dimulai.
Setelah kerusuhan itu, banyak orang yang punya toko di Ampenan, pindah ke Cakranegara. Ndak lama kemudian, mal pertama di Lombok berdiri. Di mana? Ya, di Cakranegara. Jadi kayak ada perpindahan pusat ekonomi gitu.
Kutipan di atas dituturkan Bagus Prasetyo dalam monolog Satu Kejadian di Kota Ampenan. Tanpa perlu dijelaskan lebih jauh, pertunjukan adaptasi cerpen Kiki Sulistyo tersebut mengarahkan kita untuk merujuk peristiwa kerusuhan 17 Januari 2000 di Ampenan. Tentu, tulisan ini tidak sedang ingin membahas jauh mengenai peristiwa tersebut, tetapi ingin mengkaji cara Bagus Prasetyo menggunakan sejarah sebuah kota sebagai rel untuk gerbong-gerbong berupa perbedaan kelas, konflik atas dasar identitas, serta pertumbuhan perekonomian. Ketiganya dibahas melalui tuturan pelaku sejarah yang terlibat dalam kerusuhan.
Monolog Satu Kejadian di Kota Ampenan berupaya membuka lorong untuk dimasuki penonton, hal itu berupa tawaran emansipatif dan tidak sedang melucuti kehendak diri penonton dengan paksaan dan jejalan informasi didaktis tentang yang terjadi di Ampenan dua puluh tahun lalu. Penonton, atau dalam hal ini, saya, mengalami percakapan yang setara, percakapan dengan gerak, tata cahaya, dan tuturan aktor. Atau seperti istilah Benny Yohanes (Metode Kritik Teater, 2017) tercipta komunikasi dialogisyang tidak mengeksploitasi otonomi penonton.
Pertunjukan berikutnya yang juga berusaha ikut melibatkan partisipasi sadar penonton, meski hanya dalam sahutan sesekali dan timpalan sepatah dua patah kata, ialah monolog Mutiara Pulau yang diperankan oleh Mega Herdianti, ditulis oleh Nirwana Aprianty dan disutradarai Muhammad Imran.
Perkenalkan saya Daeng Cia’, seorang pa’limbang. Pasti kalian heran, toh? Kenapa seorang perempuan menggeluti profesi pa’limbang? Menjadi pa’limbang, penjual kue, dan apa pun pekerjaan yang halal akan saya lakukan untuk memastikan meja makan kami selalu terisi. Saya adalah perempuan pemimpin keluarga!
Karakter Daeng Cia’ merupakan wujud dari kritik Hayden terhadap kota yang maskulin dan masyarakat patriarki, Daeng Cia’ merupakan perempuan dari kelas ekonomi bawah dan juga orang tua tunggal. Dia tidak menuntut banyak hal selain kesempatan untuk bekerja yang setara serta akses pendidikan yang mudah untuk anaknya.
Saya menawarkan diri untuk ikut pergi menangkap ikan bersamanya. “Tabe’ mauka ikut sama kita pergi melaut”. “Astaga Daeng. Cia’, janganmi, penyakitji itu dicari kah pekerjaan laki-laki ini,” istri si nelayan itu ikut berkomentar “di rumah mki saja bikin kue sama saya, baru dijualki. Biarmi itu laki-laki yang pergi melaut”.
Perlawanan Daeng Cia’ atas pemisahan peran perempuan dan laki-laki serta pelanggengan dikotomi pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan sejalan dengan argumen Hayden di paragraf terakhir tulisannya: perempuan harus mengubah pembagian kerja rumah tangga berdasarkan gender, dasar ekonomi domestik yang diprivatisasi, dan pemisahan spasial antara rumah dan tempat kerja di lingkungan mereka, jika ingin menjadi anggota masyarakat yang setara. Daeng Cia’ mungkin tak membaca tulisan tersebut, tetapi dia bekerja, berjuang, memprotes, dan tentu itu bukan sekadar tugas perempuan, tetapi tugas kita, tugas kota.
Di monolog yang lain, Annisa Effendi tampil bersama naskah Perempuan Etalase Mitos karya Nurul Inayah, dengan baju bodo dan sarung sutra merah, serta manekin-manekin terbungkus kain putih. Annisa langsung membuka ruang kontemplasi begitu lampu di atas panggung menyala, tuturan pertamanya menghunjam tanpa memberi kesempatan penonton untuk bersiap:
Pembukaan yang eksotis bukan? Pertunjukan ini bukanlah sebuah persembahan eksotisme budaya. Atau mungkin di antara kalian, ada yang berharap aku akan menari gemulai memperlihatkan betapa lentiknya jari jemariku dan betapa lekukan tubuhku juga bisa tetap kau nikmati meski sedang terbalut baju bodo yang longgar.
Sejak awal Perempuan Etalase Mitos hadir sebagai pelatuk yang telah ditarik, peluru-peluru yang membongkar stereotip dan mitos-mitos yang merebut ruang serta kendali diri perempuan, meluncur deras dan tajam. Di ruang gelap, penonton duduk menyerahkan diri untuk ditembus peluru tersebut, atau justru menghindarinya. Manekin-manekin yang terpancang pucat dan kaku di sisi belakang panggung, dihadirkan tidak sekadar sebagai tata artistik semata, tetapi menjadi representasi tubuh perempuan, representasi yang dilawan tokoh Lala dan ditegaskan sesaat sebelum lampu di atas panggung padam:
Aku sama denganmu, sebuah manekin, karena harus masuk dalam etalase mitos yang membingkai keluargaku. Aku harus berjalan dan bicara seperti apa yang dikatakan mitos dari mulut mamaku. Tapi aku adalah manekin gagal yang ditaruh di gudang. Kakakkulah yang dipajang di etalase.
Festival Kala Monolog 2024 ditutup dengan pertunjukan naskah Belanja Citra karya Nurul Inayah, Dwi Lestari Johan yang menampilkannya lewat penyutradaraan Arman Dewarti. Seperti pertunjukan-pertunjukan lain yang dibahas pada tulisan ini, Belanja Citra tampil sebagai gugatan dan kritik atas kota dan orang-orang yang mendiaminya. Tokoh Andi Bunga Petta Caya, hadir sebagai perempuan bangsawan yang dikungkung dalam ruang pengap dan sempit karena uang panaik. Stoples bening yang penuh uang koin bukan tanpa alasan dihadirkan di antara tumpukan buku pada sebuah meja panjang di atas panggung. Juga bukan tanpa alasan koin-koin itu kemudian terhambur ke lantai dengan denting yang riuh di akhir pertunjukan: stoples itu merupakan terungku di awal, dan koin-koin yang berserak di akhir ialah kemenangan Andi Bunga Petta Caya.
Meletakkan Belanja Citra sebagai penutup rangkaian pertunjukan selama beberapa hari di Festival Kala Monolog, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, merupakan sebuah pernyataan sikap dan tabuhan genderang perlawanan atas belenggu yang mengungkung. Belanja Citra sekaligus membuka ruang-ruang kemungkinan yang lebih jauh untuk membicarakan dan kalau perlu mendebat nilai-nilai yang tidak relevan dan meminggirkan kelompok tertentu.
Di pertengahan tulisan ini, dibahas mengenai pelibatan penonton dalam penciptaan seni: pelibatan yang sering dijumpai dan dibungkus dalam konsep participatory art, barangkali tidak secara signifikan dapat ditemui dalam monolog-monolog di Festival Kala Monolog 2024, jika konsep tersebut dimaksud sebagai kolaborasi seniman dan penonton untuk membangun sebuah karya seni atau dalam hal ini pertunjukan. Namun, ada pandangan menarik dari Grant H. Ketser, di bukunya, The One and the Many: Contemporary Collaborative art in a Global Context, ia melihat pelibatan penonton tidak sekadar untuk dimobilisasi untuk menempuh jalan yang menuju capaian estetika tertentu, tetapi juga untuk bersama-sama melawan ketimpangan, ketidakadilan, serta kompak mengamplifikasi gugatan atas ketidaksetaraan interseksional. Langkah awal untuk perlawanan dan gugatan tersebut ialah penghadiran wacana dan diskusi lewat seniman ke penonton sebagai subjek dalam sebuah pertunjukan: subjek yang tidak harus ada di atas panggung dan terlibat dalam plot atau tersorot lampu.
Tahun ini Festival Kala Monolog 2024 didukung oleh Dana Indonesiana, Kemendikbudristek, LPDP, dan Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional 2024.
- Tubuh Kota, Tubuh Kita : Selepas Festival Kala Monolog 2024 - 28 November 2024