Trem Bernama Desire: Female Gaze dalam Spektakel Warna-Warni
34.682 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan pada tahun 2024. Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan ini mengungkap fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah serius di negeri ini.1 Dan kepedihan para korban kekerasan seperti menemukan ruang untuk bersuara dalam pertunjukan Salindia Teater berjudul Trem Bernama Desire.
Mengadaptasi lakon klasik karya Tennessee Williams A Streetcar Named Desire, Salindia Teater menghadirkan interpretasi yang segar dalam menyoroti isu kekerasan terhadap perempuan. Pemilihan lakon ini sendiri merupakan sebuah pernyataan kuat akan relevansi isu kekerasan terhadap perempuan dalam konteks masyarakat kita. Pertunjukan lakon yang pernah melambungkan nama aktor legendaris Marlon Brando ini memang bukan debutnya di panggung Indonesia. Namun, adaptasi Salindia Teater kali ini menawarkan pendekatan yang berbeda. Tidak seperti adaptasi-adaptasi lainnya yang memakai saduran penyair tahun 50-an Toto Sudarto Bachtiar yang diberi judul Pusaran Cinta, Salindia Teater memilih untuk menerjemahkan ulang naskah aslinya.
Judul Trem Bernama Desire bukan sekadar terjemahan literal, melainkan sebuah pernyataan artistik yang menarik. Dengan mempertahankan kata Desire dalam Bahasa Inggris, Salindia Teater dengan cerdas menerapkan “campur kode” bahkan sejak pemilihan judul—menciptakan lapisan makna baru yang mengundang interpretasi.2 Kata yang berarti “hasrat” atau “keinginan” ini seolah diisolasi sebagai sesuatu yang tetap asing, tapi kemudian dimaknai ulang melalui female gaze sehingga memungkinkan penonton untuk melihat dunia melalui pengalaman perempuan yang seringkali terabaikan.3 Selain itu, pilihan judul ini juga menunjukkan keberanian dalam bereksperimen dengan bahasa dan menjanjikan nuansa kosmopolitan dalam pertunjukan.
Dan janji itu benar ditepati. Sepanjang pertunjukan kurang lebih 2 jam, penonton disuguhkan dialog dengan bahasa campur-campur. Para aktor berganti-ganti menggunakan Bahasa Indonesia, Inggris, beberapa frase Bahasa Spanyol, serta bahasa sehari-hari yang akrab di telinga. Ini mengingatkan penulis dengan Jakarta yang kosmopolitan yang seringkali dijumpai di dalamnya orang-orang yang dengan santai switch dari satu bahasa ke bahasa lain—dari Bahasa Indonesia, ke Bahasa Inggris, bahkan ke bahasa daerah. Namun di luar itu, tidak ada Jakarta di atas panggung, tidak juga trem-trem yang pernah melintasi jalan-jalannya di era kolonial dulu. Salindia Teater mempertahankan latar waktu dan tempat kejadian sesuai dengan konteks naskah aslinya.
Warna-Warni Kebebasan di Balik Bayang-Bayang Patriarki
Panggung dibuka dengan energi yang memukau, memikat penonton melalui ensembel para pemain yang berpadu dengan musik latar yang energik. Perpaduan set-prop, komposisi cahaya, dan kostum yang vibrant, serta gerak dan dialog para pemain yang memberi kesan cheerful, menciptakan nuansa khas drama musikal. Namun, ini bukan drama musikal. Saya berasumsi, Salindia Teater meminjam bentuk ini karena dianggap sesuai dengan latar cerita, yaitu French Quarter, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat—sebuah kawasan multikultural yang memang vibrant, baik dalam arti “hidup” atau “ramai”, maupun secara harfiah “berwarna-warni”.

Kesemarakan yang berlebihan ini agak sedikit mengganggu, tapi mungkin ada maksud tertentu di baliknya. Barangkali ini adalah sindiran terhadap nilai-nilai patriarki tradisional Amerika yang mendapat energi kembali seiring optimisme yang muncul selepas Perang Dunia II. Sindiran ini tampak dalam ensembel para aktor dalam adegan pembukaan. Para laki-laki, dengan gestur maskulin yang lucu, lalu-lalang di gang sempit. Sementara para perempuan tampil heboh beradu panco di dalam rumah. Mereka seolah merayakan kekuasaannya ketika dominasi laki-laki tidak terasa. Namun, dominasi laki-laki tak lantas absen. Kegiatan perempuan tetap digambarkan tersentral di rumah. Sebaliknya, laki-laki digambarkan bebas berkeliaran. Mereka datang seenaknya, menggotong perempuan, atau bahkan menjambret tasnya.
Cerita berpusat pada kehidupan Blanche DuBois (Nadin Nadilla, pemeran utama sekaligus sutradara), seorang perempuan halu yang jatuh miskin.4 Kehidupan lamanya yang mewah telah hilang, sehingga memaksanya untuk bergantung pada adiknya, Stella (Litany Audrey Nainggolan). Saat ia tiba di New Orleans untuk tinggal bersama Stella dan suaminya, Stanley Kowalski (Firqi Hidayatullah), ketegangan pun muncul. Ia segera menyadari bahwa dunia barunya didominasi oleh laki-laki seperti Stanley, yang tidak segan menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Blanche, yang masih mempertahankan citra kelas sosial lamanya—mengumbar pernak-pernik sosialnya seperti sastra dan kehalusan budi untuk melindungi dirinya dari kenyataan pahitnya di masa lalu—berbenturan dengan Stanley yang merupakan perwujudan machismo primitif: kasar, dominan, dan pragmatis. Blanche membenci Stanley sebab kelas sosialnya yang rendah, serta sebab sikap merendahkannya kepada perempuan. Di sisi lain, Stanley membenci Blanche karena penghinaan yang ditujukan Blanche kepadanya mengusik kelelakiannya.
Tidak seperti Stella yang telah sepenuhnya berbaur dengan kehidupan kelas bawah—lengkap dengan segala bentuk toxic masculinity-nya, Blanche, dengan segala ke-halu-annya, berusaha mempertahankan martabat serta gaya hidupnya yang lama. Ia pun menghadapi perlawanan sengit dari Stanley, yang berusaha menekan ruang geraknya untuk mengusirnya.
Mewarnai Realisme dengan Feminisme
Sebagai pertunjukan realis, pementasan Trem Bernama Desire ini cukup kuat. Ketiga aktor utama, Nadine, Litany, dan Firqi, cukup piawai memainkan perannya masing-masing. Penggunaan code-mixing dan code-switching di hampir keseluruhan dialog tidak menghambat perkembangan karakter dan cerita, justru membuat dinamika percakapan lebih berwarna. Kemungkinan, ini disebabkan para aktor memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang mumpuni. Selain itu, pilihan penggunaan Bahasa Indonesia yang baku untuk dicampurkan dengan Bahasa Inggris mencegah dialog terdengar sekadar ke-jaksel-jaksel-an—yang menurut penulis lebih dekat dengan nuansa aksen California ketimbang New Orleans yang klasik dan elegan. Dan ketiga aktor tadi tampaknya sudah terlatih mengunyah Bahasa Indonesia yang baku supaya tetap terdengar luwes dan natural.
Nadine berhasil menghidupkan karakter Blanche dengan kompleksitas emosional yang kaya, dari keanggunan yang dibuat-buat hingga kerentanan psikologisnya yang merayap perlahan. Blanche oleh Nadine tidak sekadar ditampilkan sebagai perempuan anti-hero yang pick-me dan halu, melainkan juga sosok yang mempertahankan martabatnya dalam dunia yang menuntut perempuan untuk selalu menyesuaikan diri.5 Ini terpantul dalam penolakannya terhadap Stanley yang memintanya membuatkan lelucon di hari ulang tahunnya—menunjukkan bahwa ia tidak mau merendahkan dirinya untuk menyenangkan laki-laki itu: “Aku rasa kau juga tidak akan suka dengan leluconku karena leluconku tidak vulgar”.

Sementara itu, Litany menghadirkan interpretasi yang anti-mainstream terhadap karakter Stella. Alih-alih lemah dan pasrah akan dinamika rumah tangganya, Stella justru tampak sebagai sosok yang memiliki agensi. Dalam interpretasi Litany, Stella bukan sekadar istri yang tunduk pada Stanley, tetapi perempuan yang secara sadar memilih untuk bertahan dalam pernikahannya—meskipun itu beracun. Dalam beberapa adegan, terutama saat berhadapan dengan Blanche, Stella tampak lebih tegas dan berani menarik batas antara dirinya dan kakaknya.
Salah satu momen paling menonjol adalah ketika Stella menghadapi dilema setelah insiden kekerasan yang dilakukan Stanley. Litany berhasil menangkap ketegangan emosional Stella. Jeda yang panjang dalam gerak tubuhnya, ekspresi wajahnya yang berubah-ubah antara amarah dan kerinduan, menunjukan kompleksitas perasaan. Tidak ada tangisan yang berlebihan atau kepasrahan mutlak, melainkan kesadaran penuh akan konsekuensi keputusannya kembali ke pelukan suaminya.
Di sisi lain, Firqi berhasil menciptakan kontras kekasaran dan kegetasan sosok Stanley. Ia tetap menampilkan Stanley yang dominan, kasar dan sangean, namun ia juga menghadirkan perasaan insecure yang tersembunyi. Salah satu adegan yang memperlihatkan kerapuhannya adalah setelah pertengkaran hebatnya dengan Stella. Di sini Stanley berubah menjadi sosok menyedihkan yang kehilangan kendali atas dirinya. Dengan raungan penuh keputusasaan, Stanley memanggil-manggil nama Stella, menangis dengan keras tanpa malu di dalam kamar—ekspresi ketakutan yang nyata akan kehilangan cinta dan kestabilan.
Yang menarik adalah adegan selanjutnya, ketika pemilik rumah yang mereka tempati, Eunice, turun dari balkon, masuk ke kamar, dan tanpa ragu mengolok-ngolok Stanley. Dengan nada mengejek, ia menirukan tangis Stanley. Pada titik ini, topeng kekerasan dan maskulinitas Stanley benar-benar runtuh. Ia yang terbiasa mengendalikan orang lain, kini menjadi objek ejekan seorang perempuan asing—seseorang yang bukan istrinya, bukan Blanche, bukan siapa-siapa. Adegan ini bukan hanya memperlihatkan sisi lemah Stanley, tetapi juga menggambarkan bagaimana perempuan lain di luar dinamika kuasanya melihatnya: bukan sebagai pria kuat, melainkan laki-laki yang pantas ditertawakan.
Hanya saja, Firqi tampak terlalu rapi dan tertata. Dari gestur hingga intonasi suaranya, Stanley versi Firqi lebih terasa seperti orang yang berasal dari lingkungan yang nyaman, jauh dari kerasnya kehidupan jalanan yang seharusnya melekat pada karakter ini. Stanley lebih menyerupai anak mami yang sok keras—tetapi mudah merengek ketika keinginannya tidak terpenuhi, daripada seorang laki-laki red-flag yang tumbuh di lingkungan kelas bawah.6
Di luar ketiga tokoh utama, karakter-karakter lainnya kurang mendapatkan porsi. Mitch (Supriyadi), misalnya, mengalami pemangkasan adegan yang signifikan sehingga perkembangannya sebagai karakter pendukung terasa kurang. Sementara teman-teman Stanley lainnya, seperti Steve dan Pablo, lebih terasa seperti NPC dengan kostum warna-warni.7 Mereka tak ubahnya figuran pemanis lain yang numpang lewat di gang di depan dan samping rumah saat adegan utama berlangsung di dalam.
Pengecualian mungkin boleh diberikan kepada Seorang Pemuda (Abimanyu Sadefa), yang berhasil mencuri perhatian penonton dalam perannya sebagai seorang penjual majalah yang polos. Meskipun hanya muncul dalam satu adegan, kehadirannya cukup menciptakan kesan tersendiri. Selain itu, penampilan Eunice (Ilona Ardanari) dalam adegan meledek Stanley juga patut diapresiasi.
Coklat Warna-Warni Tumpah Di Atas Panggung
Menonton Trem Bernama Desire, penulis merasa seperti diberi sebungkus coklat M&M warna-warni. Momen ketika tirai diangkat terasa seperti menyobek kemasan M&M, lalu butiran coklat manis warna-warni itu mencelat keluar dengan liar. Tapi rasa manis dari coklat seolah sudah hadir di lidah bahkan ketika butir-butirnya jatuh ke lantai. Rasa manis yang terbayang ini bukan saja berasal dari ensembel para aktor, melainkan juga spektakel lainya.
Desain panggung menghadirkan rumah dengan fasad orange memberikan kesan cerah, dengan tangga spiral yang memberi akses ke balkon di lantai atas. Area tengah dan kamar tidur di sebelahnya didominasi warna abu-abu. Namun ruangan-ruangan tersebut terkesan kosong, menciptakan kesan minimalis yang mungkin tidak disengaja. Ini mengingatkan penulis pada rumah-rumah minimalis modern dengan eksterior warna-warna cerah khas kelas menengah di Indonesia—manis untuk dipandang, tetapi terkesan terlalu bersih dan teratur.
Kehadiran musik latar dengan nuansa New Orleans tetap memainkan peran penting yang menambah pengalaman menonton. Musik latar yang dimainkan secara live memberikan nuansa yang ringan namun menyenangkan, menjadi pengiring, yang sekali lagi, manis di banyak adegan. Walaupun ada di beberapa adegan volume musik terasa terlalu keras, sehingga terasa bersaing dengan dialog dan akting para pemain di atas panggung.
Panggung yang meriah, ceria, dan penuh warna—ditambah musik dan akting yang ciamik—cukup memanjakan mata dan telinga penonton. Tapi entah kenapa semuanya terasa terlalu manis. Memang benar ada aforisme berbunyi, “A little too much chocolate is just about the right amount”. Tapi bukankah sejak kecil kita juga diajarkan untuk tidak makan terlalu banyak cokelat kalau tidak ingin sakit gigi? Dan sekalipun coklat, dia tidak selalu manis tetapi juga pahit?

Di balik spektakel yang manis ini, terasa terbentang jarak pertunjukan ini dengan realitas kehidupan kelas bawah di French Quarter. Iklim New Orleans yang panas dan lembab terasa tidak hadir di atas panggung. Para pemain seakan tidak pernah berkeringat, seolah mereka hidup dalam kulkas—yang malah absen di atas panggung—atau dunia yang ber-AC. Busana warna-warni yang mereka kenakan tampak terlalu bersih dan cerah, tanpa kesan pudar, kusam, atau jejak keringat dan debu jalanan.
Hal ini memancing kecurigaan: jangan-jangan dunia yang dihuni Stella dan Stanley dalam pertunjukan Salindia Teater ini tidak jauh berbeda dengan dunia glamor tempat Blanche berasal? Bukankah dunia kelas bawah yang keras dan pahit—sekalipun berwarna-warni—menjadi latar kontras bagi fantasi-fantasi Blanche?
Menangkap yang Terlupakan
Masalah kekerasan, kemiskinan, dan kesehatan mental yang diangkat dalam Trem Bernama Desire tetap sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini, di mana kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, kelas menengah terus menyusut, dan krisis kesehatan mental semakin mengkhawatirkan. Namun, persoalan-persoalan ini agaknya perlu juga didekati secara hati-hati sehingga beresonansi dengan lebih kuat. Untuk itu, adaptasi perlu dilakukan secara lebih kontekstual. Dengan demikian, cerita klasik yang manis ini dapat berkembang menjadi narasi yang lebih inklusif—bukan hanya untuk penonton secara umum, tetapi juga untuk mereka yang paling rentan dan paling termarginalkan dalam struktur sosial.
Pada akhirnya, usaha Salindia Teater dalam menghadirkan adaptasi yang segar sangat patut diapresiasi. Dan pertunjukan ini membuktikan bahwa karya klasik seperti A Streetcar Named Desire masih relevan untuk terus dibaca ulang dalam berbagai perspektif. Trem Bernama Desire oleh Salinda Teater adalah sebuah eksperimen yang berani. Ia mengingatkan kita bahwa di balik gemerlap warna-warni kehidupan urban nan kosmopolit, ada kisah-kisah getir tentang perempuan yang berusaha bertahan di dunia yang tidak memihak mereka. Salindia Teater berhasil menangkap kegetiran itu, membawanya ke atas panggung, dan menghidangkannya dengan penuh warna—dan dengan gaya Broadway? Ah, saya belum pernah menontonnya.
1. “Komnas Perempuan: 34.682 Perempuan Jadi Korban Kekerasan Sepanjang 2024” https://nasional.kompas.com/read/2024/08/13/05445101/komnas-perempuan-34682-perempuan-jadi-korban-kekerasan-sepanjang-2024. (diakses pada 30 Januari 2025, pukul 03.33)
2. “Campur kode” atau code-mixing adalah pencampuran bahasa dalam kalimat yang sama. Contohnya, “I am one hundred percent sure dia tidak tahu apa yang dia lakukan”. Berbeda dengan “alih kode” atau code-switching yang melibatkan peralihan bahasa antar kalimat. Contohnya, “Dan kau pasrah pada keadaan, Stella. Oh, come on”.
3. Female gaze atau “cara pandang perempuan” adalah cara melihat dunia dari perspektif perempuan. Ini berarti tokoh perempuan tidak hanya digambarkan dari sudut pandang laki-laki, tetapi dari pemikiran, perasaan, dan pandangannya sendiri terhadap dunia.
4. Halu, atau halusinasi, adalah istilah gaul yang berarti delusional.
5. Pick-me adalah istilah gaul yang berarti seseorang yang berusaha mendapatkan perhatian, pengakuan, dan validasi dari orang lain.
6. Red flag adalah istilah gaul yang berarti seseorang yang menunjukkan perilaku tidak sehat atau manipulatif.
7. Awalnya, NPC atau Non-Playable Character adalah istilah dalam video game untuk karakter yang tidak bisa dimainkan. Dalam istilah gaul, NPC berarti mereka yang hanya mengikuti perintah yang sudah diprogram, seperti karakter NPC di game.
Sudah baca yang ini?:
Pooh Pooh Somatic : Rasa Yang Pernah Ada
Merajut Kembali Robekan Baju Siti Rukiah Melalui Performatif Mirat Kolektif
Kami Bu-Ta, Karya Terbaru APDC 2017
Ara-ara Bubat dan Pencarian Wiswakarman : Catatan Atas Pertunjukan “Ara-Ara Bubat” ̵...
In Transit: Meminjam Rangkaian Peristiwa
The Philosophical Enactment 1&2: Membongkar Tubuh, Mendudukkan Wacana dan Gerak
- Trem Bernama Desire: Female Gaze dalam Spektakel Warna-Warni - 26 Februari 2025