fbpx
Sabtu, April 27, 2024
ULASANPanggung Tari

Tubuh dan Relasi dalam Paradance 28

[M. Dinu Imansyah] Seorang lelaki berkaus biru menghentak-hentakkan gelang kuningan sembari tangannya memilin udara bak Avatar Aang, sang pengendali angin. Sesaat kemudian, seorang lelaki memaki-maki penonton dengan bahasa Bangka sementara seorang lelaki lainnya duduk di atas sekarung pasir sambil menikmati sebatang rokok. Tak berapa lama, gemerincing gelang kuningan kembali terdengar, kali ini suaranya berjibaku dengan gesekan berat contrabass. Seusai perjibakuan itu, seorang lelaki memasuki ruang lewat kursi penonton sembari menenteng segumpal kain putih. Saat kain putih itu berlalu, tiga lelaki datang menyusul lalu saling mencoreng-morengi tubuh mereka dengan cat. Pada akhirnya, segala kecarutmarutan ini dipungkasi oleh seorang gadis yang menikmati kopi dengan ekstase dan durjana.

Adegan-adegan di atas adalah kilas rangkuman Paradance ke-28 yang digelar pada 27 Maret 2022 malam di Balai Budaya Minomartani. Gelaran yang sempat vakum selama kurang lebih dua tahun karena pandemi corona—masihkah orang sekarang menyebutnya ‘Corona’ atau sekedar ‘pandemi’?—ini akhirnya diselenggarakan kembali setelah situasi dirasa cukup kondusif (dengan rasio kasus covid yang menurun, penyebaran vaksinasi yang meninggi, dan perekonomian yang makin beragam rona-rona masalahnya itu). Penulis belum mengetahui pasti apakah gelaran pertunjukan semacam ini—yang notabene jelas menciptakan kerumunan manusia—sudah benar-benar diijinkan atau belum oleh pemerintah. Sebuah keputusan yang cukup berani dan patut diapresiasi.

Banyak yang terjadi di dunia seni pertunjukan selama kurun waktu dua tahun belakangan. Paradance 28 digelar tepat dua tahun setelah pemerintah mencanangkan lockdown yang namanya berganti-ganti itu. Meski pergelaran pentas live dilarang, selama kurun waktu itu pulalah Paradance (yang diinisiasi Nia Agustina dan suaminya, Ahmad Jalidu) tetap berupaya menjaga relasi berproses dengan para penari dan koreografer yang pernah atau berminat untuk terlibat dalam Paradance.

Ini terbukti dari beberapa kali Paradance (atau Nia?) tetap berupaya menyediakan platform gelaran virtual di awal-awal pandemi merangsek ke Indonesia dan dunia. Sesekali pula Paradance membagikan dokumentasi repertoire-repertoire Paradance yang pernah diselenggarakan sebelumnya sebagai pengingat bahwa seniman pertunjukan, khususnya tari, tak boleh menyerah pada pandemi yang sedikit banyak memengaruhi penghasilan itu. Penulis tak tahu apakah ada upaya lain dari Paradance untuk tetap menjalin relasi dengan para penari dan koreografer selain yang penulis sebutkan di atas.

Upaya membangun relasi inilah yang kiranya menjadi tema yang terasa sangat kental di gelaran Paradance 28 ini. Beberapa penari mencoba menautkan kembali relasi dengan penonton dan tubuh mereka sendiri melalui repertoire-repertoire singkat dan padat. Beberapa ada yang berupaya menawarkan konsep yang mendalam, sementara yang lain lebih memilih untuk bergerak bebas dan menikmati panggung dan tatapan penonton apa adanya—sesuatu hal yang mewah didapatkan oleh seniman pertunjukan di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini.

Penulis sendiri memang tidak berharap banyak dari gelaran Paradance 28 ini. Berbeda dengan saat sebelum pandemi terjadi, kala itu Paradance memang menjadi “Ruang pertaruhan konsep” dan eksperimentasi—sekaligus ruang untuk mencoba berkarya bagi koreografer pemula, tentunya. Di gelaran Paradance 28 ini, penulis memang hanya ingin merasakan atmosfer bergumul dengan puluhan manusia dalam sebuah peristiwa pertunjukan—sesuatu hal yang penulis yakini diniatkan pula oleh sebagian besar penonton lain.

Meski tak berekspektasi banyak, bukan berarti karya yang ditampilkan para koreografer dan penari di Paradance pertama selama pandemi ini ala kadarnya. Patut diakui bahwa beberapa karya yang ditampilkan mampu memberikan potensi yang menarik untuk dikembangkan lebih lanjut lagi.

Tubuh-tubuh dan Relasinya

Igal Paradance 28 | Tubuh dan Relasi dalam Paradance 28
Abib Habibi Igal. Foto oleh Julio

Paradance 28 ini dimulai oleh Abib Habibi Igal yang menawarkan konsep sakralitas dalam dunia virtual. Dengan meminjam diksi pertunjukan tari “Wadian Dadas”—maafkan saya jika ada kekeliruan penulisan—dari Kalimantan Tengah, Abib bermain-main di wilayah control dan uncontrol. Menurut pengakuan Abib pasca pertunjukan, gelang-gelang kuningan yang menimbulkan keriuhan sepanjang pertunjukan yang dia bawakan itu memang memiliki efek healing yang unik. Berbeda dengan terapi pada umumnya yang membutuhkan ketenangan, di tradisi yang diyakini Abib itu, keriuhan yang ditimbulkan justru mampu memberikan efek penyembuhan.

BACA JUGA:  Monolog KIDUNG PANGGUNG: Nyanyian dari Sudut Bangkrut

Sebuah konsep yang menarik. Apakah ini symbol dari kerinduan para seniman pertunjukan akan “keriuhan” panggung selama masa pandemic? Bisa jadi. Di saat sebagian orang menganggap pandemi sebagai ruang rehat dan menenangkan diri, sebagian besar yang lain, termasuk para seniman pertunjukan, menganggap pandemi sebagai ancaman atas penghidupan mereka. Tentu ini hanya pemaknaan penulis belaka, bagaimanapun sebuah karya seni tetap bisa dimaknai seluas-luasnya.

Karya ini, menurut pengakuan Abib, pernah dipentaskan sebelumnya secara virtual. Itulah kenapa konsep tarian ini adalah persoalan mempertanyakan konsep sakralitas di dunia virtual. Pertanyaanya, saat pertunjukan yang tadinya memang dirancang untuk dunia virtual lalu dibawakan di atas panggung secara langsung seperti pada Paradance ini, apakah pertanyaan sakralitas di dunia virtual itu masih relevan?

Isu tentang nasib penambang menjadi penampilan selanjutnya dari Rereziq Karim. Rereziq tidak sendiri, dia didampingi seorang pemusik yang mengawali pertunjukan dengan monolog dalam bahasa Bangka sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan ini. Tidak jelas apa yang disampaikan dalam monolog itu karena penulis—dan sebagian penonton malam itu—bukanlah penutur bahasa Bangka. Meski belakangan Rereziq menjelaskan jika “makian-makian” yang disampaikan itu sebenarnya lebih pada nasihat-nasihat alias petuah. Bukankah nasihat sebaiknya disampaikan dengan cara yang lebih mudah dipahami agar bisa diamalkan?

Rerezig Paradance 28 | Tubuh dan Relasi dalam Paradance 28
Rereziq Karim. Foto oleh Julio

Tidak jelas penambang apakah yang dimaksud oleh Rereziq di karya ini. Jika merujuk pada property yang digunakan yakni pasir, mungkin dia ingin membicarakan persoalan problematika penambang pasir—yang tentu saja juga bisa dimaknai sebagai tambang apapun dengan pasir sebagai simbolnya. Dengan iringan irama musik gambus melayu (lagi-lagi maafkan kekeliruan saya dalam mengidentifikasi jenis musik yang ditampilkan ini), Rereziq menari di atas pasir dengan sesekali memanfaatkan penutup kepala yang dikenakannya sebagai topeng dan memungkasinya dengan menari sembari merokok.

Penulis membayangkan jika pola kronologi pemanggungan yang ditampilkan Rereziq bisa diubah sedikit urutannya. Alih-alih dimulai dari pasir yang masih di dalam karung lalu ditaburkan ke tengah panggung, alangkah lebih relevannya pesan yang ingin disampaikan jika pasirnya sudah tersebar di panggung dan penari menyikapinya dengan memasukkannya ke dalam karung hingga semua pasir di panggung ludes terbungkus. Bukankah seorang penambang bertugas mengumpulkan bahan tambang dan bukan malah menebarkannya?

Penulis pun sempat heran pada keputusan menempatkan karya Rereziq yang berpasir ini di urutan kedua dari total enam penari/koreografer. Biasanya, karya yang menggunakan property yang berpotensi mengotori panggung atau membahayakan penampil selanjutnya akan ditampilkan di urutan pamungkas. Namun belakangan penulis baru sadar bahwa ternyata bukan hanya Rereziq yang bermain-main dengan “kekotoran”, masih ada dua penampil lainnya yang melakukan karya dengan pendekatan hampir serupa.

Tirta Nopa Paradance 28 | Tubuh dan Relasi dalam Paradance 28
Tirta Nopa Parani. Foto oleh Julio

Seusai pasir-pasir sisa karya Rereziq dibersihkan, panggung kembali digemuruhi oleh suara gelang Dadas sebagaimana yang dilakukan oleh Abib di awal acara. Kali ini yang memainkan gelang-gelang kuningan itu ialah Tirta Nopa Tarani. Dia tak sendiri, sebagaimana Rereziq, Tirta didampingi oleh seorang pemusik yang memainkan contrabass. Sesekali mereka bersinergi dalam tempo dan ritme yang sama meski lebih banyak berjalan sendiri-sendiri.

Berbeda dengan Abib, meski sama-sama menggunakan kalung Dadas yang sebenarnya digunakan dalam upacara ritual, karya Tirta terkesan lebih profan. Dia lebih banyak mengeksplorasi kemungkinan tautan antara musik tradisi yang diwakili oleh gelang dadas dengan musik Barat yang diwakili oleh contrabass. Tampak di beberapa kesempatan Tirta sangat menikmati tariannya meski berimbas pada tempo hentakan yang ritmenya terdengar berkejar-kejaran bahkan saling memburu dengan irama contrabass yang lebih santai.

BACA JUGA:  Batas Ruang dan Identitas (Catatan atas pertunjukan Identity Project - FAY)

Meski menggunakan tajuk “Jalan Sunyi Sang Pecinta”, apa yang disajikan Tirta tidaklah sesunyi judulnya. Kesunyian yang sesungguhnya barulah ditampilkan oleh Widi Pramono alias Clepret selanjutnya. Merangsek dari tengah ruang penonton yang kemudian disusurinya sepanjang bangku penonton itu, Widi menjinjing segumpal kain yang belakangan dimaknainya sebagai kain kafan. Pertunjukan ini hampir tak menggunakan iringan suara apapun kecuali suara celetukan-celetukan warga di sekitar Balai Budaya Minomartani yang tak pernah absen di setiap pergelarannya.

Widi Paradance 278 | Tubuh dan Relasi dalam Paradance 28
Widi Pramono. Foto oleh Julio

Secara ketubuhan, Widi memang terkenal sebagai salah satu koreografer dan penari yang sudah cukup matang. Di beberapa kesempatan, gerakan-gerakan yang dilakukannya saat menyikapi “kain kafan” yang dibawanya tampak “terlalu aman dan nyaman” bagi Widi. Ambil contoh saat melakukan gerakan membuka lipatan kain kafan saja dia menggunakan teknik leaning yang sangat rapi dan terukur. Tentu ini merupakan pilihan gaya stilisasi, tetapi rasanya tampaknya pilihan gerakan semacam ini kurang pas disandingkan dengan kesakralan kain yang dianggapnya sebagai kain kafan itu.

Karya ini, diakui oleh Widi sendiri, memang baru saja dicobakan untuk pertama kalinya di Paradance 28. Bahkan untuk menentukan judul karya saja Widi masih belum terpikirkan karena karya ini memang benar-benar masih dalam tahap awal pengolahan. Dengan kata lain, karya ini memang masih on progress. Karya ini terinspirasi dari pengalaman Widi sendiri yang sempat mencicipi menjadi tukang gali kubur semasa pandemi sebagai seniman yang “sepi tanggapan” demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Meski baru pertama dicobakan, Widi tidak main-main dengan karya yang dibawakannya itu. Dia bahkan sampai membawa sendiri fog machine alias gun-smoke untuk melengkapi karyanya itu. Sayangnya penempatan fog machine-nya agak terlalu jauh dari posisi Widi menari sehingga efek yang ditimbulkan kurang kuat terasa. Terlebih saat repertoire ini dipungkasi dengan siluet Widi yang dibebat kain kafan dengan sorot lampu dari belakang dan gumpalan asap fog machine yang tak terlalu tebal itu.

Iwan Paradance 28 | Tubuh dan Relasi dalam Paradance 28
Iwan Setiawan. Foto oleh Julio

Satu-satunya koreografer (sekaligus penari) yang tidak menari sendirian adalah Iwan Setiawan yang tampil seusai Widi. Dengan membawakan karya bertajuk “Poles”, premis yang ditawarkan sama lugasnya dengan tajuknya. Berbicara tentang persoalan bullying tentang persoalan tubuh penari, Iwan ditemani oleh dua orang penari lainnya.

Pemaknaan “poles-memoles” juga digambarkan secara konkrit oleh Iwan dkk dengan adegan memoleskan cat ke tubuh satu sama lain. Sebuah penggambaran makna yang sangat gamblang dan jelas. Bagaimana bullying hanyalah perkara pemaksaan standar image yang sangat subjektif kepada seseorang yang seharusnya memiliki keunikannya sendiri.

Yang patut disayangkan adalah kedua penari yang mendampingi Iwan tidak memiliki energi yang sama besarnya dengan sang koreografer. Alhasil, Iwan, yang memang sang empunya karya, tampak jauh lebih menonjol daripada kedua rekannya. Untungnya premis yang disampaikan cukup sederhana untuk dicerna penonton sehingga pesan yang diinginkan tetap tersampaikan.

Gelaran Paradance 28 ini dipungkasi dengan pertunjukan “debus” kopi dari Dea Tri Rahmawati dengan “Caffeine” (atau Coffeine?—sesuai yang terdengar selintas dari mulut pembawa acara). Premis dan bentuk pertunjukan yang ditawarkan cukup sederhana yakni perihal kecanduan seseorang akan kopi—kalau tidak salah tangkap, mohon maaf kalau ada disorientasi makna. Maklum, selain sebagai koreografer dan penari, Dea mengaku jika dia adalah seorang barista.

Pertunjukan dimulai dari Dea yang menikmati sesloki kopi lalu membagikannya pada beberapa penonton dan meminta mereka untuk mengekspresikan kenikmatannya dalam mereguk kopi layaknya minum segelas es sirup Marjan saat berbuka puasa. Barulah setelah itu Dea beranjak ke tengah panggung dan memulai koreografinya dengan merespon taburan biji dan bubuk kopi yang ditebarkannya di tengah panggung. Dea mengunyah mentah-mentah biji dan bubuk kopi yang tersebar sembari sesekali bergerak laiknya orang yang trance.

DEa Paradance 28 | Tubuh dan Relasi dalam Paradance 28
Dea Tri Rahmawati. Foto oleh Julio

Caffeine adalah sebuah zat yang terdapat di beberapa tanaman seperti biji kopi, daun teh, atau biji cokelat. Zat ini memiliki efek merangsang sel otak dan saraf untuk meningkatkan adrenaline. Itulah kenapa orang yang ingin bekerja lembur atau tidak ingin mengantuk biasanya mengonsumsi kopi.

BACA JUGA:  Merasakan Ombak Emosi dari Manah: Catatan atas Eksperimentasi Tari “Manah” — Bimo Wiwohatmo

Adrenalin yang sama juga ditawarkan oleh Caffeine-nya Dea dengan pertunjukan yang membuat darah berdesir saat dia mengunyah biji dan bubuk kopi mentah-mentah. Bahkan stimulus ini sudah terjadi saat dia mulai menebarkan bebijian kopi di lantai panggung yang sebelumnya sudah “dilapisi” dengan pasir dan cat itu.

Sebagai penikmat kopi, adegan menebarkan bebijian dan bubuk kopi seperti ini tentu memicu adrenaline tersendiri. Penulis membayangkan mungkin akan lebih menarik jika bebijian dan bubuk kopi itu tak hanya dikudap mentah-mentah oleh sang koreografer melainkan juga dibagikan ke para penonton agar mereka turut menikmati aroma kopi sepanjang repertoire digelar. Barulah seusai repertoire usai, sang koreografer bisa mendemonstrasikan cara mengolah bebijian kopi menjadi secangkir kopi lezat dengan bekal pengetahuan barista yang dimilikinya. Bukankah seorang barista memiliki “tarian”nya tersendiri?

Membangun Relasi, Membangun Komunikasi

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, relasi fisikal adalah sesuatu yang hilang sepanjang awal-awal pandemic Corona ini. Hal yang juga kemudian berimbas pada gelaran seni pertunjukan, termasuk Paradance.

Relasi adalah sesuatu yang juga berupaya dihadirkan oleh para penampil di Paradance 28 ini melalui berbagai macam medium. Abib dengan kekhidmatannya lewat gelang Dadas, Rereziq lewat pasir dan isu penambang di pulau Bangka, Tirta dengan musik Barat lewat gelang yang sama digunakan oleh Abib, Widi dengan dunia kematiannya, Iwan dengan penari dan orang-orang yang merundungnya,  dan Dea dengan jagad perkopiannya.

Kehadiran Paradance 28 ini menguatkan kembali akan pentingnya membangun relasi bagi seorang seniman. Seorang seniman sepatutnya memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana mereka mengomunikasikan ekspresi estetik mereka. Seni bukan hanya perkara kreativitas, melainkan juga soal membangun komunikasi dengan penikmatnya.

Para penampil di Paradance 28 ini sudah tampak upayanya untuk membangun relasi yang baik dengan penontonnya. Bisa jadi kerinduan akan dunia panggung dan segala peristiwa yang menyertainyalah yang mendorong para penampil untuk menciptakan karya yang lebih dekat dengan penontonnya. Bisa jadi pendapat ini bias pula dengan kerinduan penulis akan dunia panggung.

Apapun itu, terima kasih Paradance dan Paradancer atas pertunjukannya yang asyik.

M Dinu Imansyah
Latest posts by M Dinu Imansyah (see all)

M Dinu Imansyah

Aktor dan dramaturg. Menempuh pendidikan pasca sarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa ISI Surakarta. Aktif bersama kelompok Kalanari Theatre Movement Yogyakarta dan beberapa komunitas lain di Jogja dan Malang.