Tubuh Estetik Disabilitas: Menuju Subjek
[Renee Sari Wulan]
Pendahuluan
Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar program berupa festival berskala internasional. Program itu bertajuk Jakarta International Contemporary Dance Festival. Ia adalah sebuah konsep festival dengan strategi kolaborasi kerja kreatif seniman. Salah satu bagian dari festival tersebut adalah program workshop yang mempertemukan dua komunitas tari para penyandang disabilitas, yaitu mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) di Jakarta-Indonesia, dengan Tanpopo di kota Nara, Jepang. Mereka melakukan workshop secara virtual melalui zoom, dari bulan Agustus sampai Oktober 2021. DKJ menginginkan ada catatan terhadap proses workshop tersebut, dari perspektif artistik dan perspektif psikologi. Saya mendapat tugas membuat catatan proses dari perspektif artistik.
Tubuh Estetik
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan dua hal. Pertama, pilihan DKJ menyoroti proses gerak yang dilakukan oleh dua komunitas tari penyandang disabilitas adalah poin yang menggugah keingintahuan saya. Ini berkaitan dengan hal kedua yaitu wilayah artistik yang menjadi fokus pembahasan. Ketika mendapat penugasan ini, saya dihadapkan pada pertanyaan: proses gerak seperti apa yang mereka lakukan? Pertanyaan tersebut menggiring saya pada semacam “tuntutan” bahwa gerak yang dilakukan-dihasilkan adalah sebuah ekspresi, bukan peniruan. Di wilayah ekspresi itulah saya baru bisa memulai pencatatan dari perspektif artistik. Saya mulai melakukan pengamatan dengan bekal pertanyaan-keraguan tersebut. Tanggal 9 September 2021 adalah kali pertama saya mengikuti proses mereka secara langsung di zoom. Selebihnya pengamatan dan pembacaan saya lakukan melalui rekaman proses mereka.
Dalam proses itu saya melihat gerak hadir beragam. Ada yang meniru, ada yang bebas. Sampai di sini saya sedikit lega. Kemudian yang mendominasi perhatian saya adalah para peserta PNJ yang berproses di kediaman masing-masing. Mereka memiliki latar belakang ruang yang menarik secara visual. Hal ini lantas mengingatkan saya akan keterhubungan tubuh dan ruang keseharian. Dalam hidup, tubuh bergerak bersama sejarah dan ruang. Ketiganya saling berinteraksi tanpa henti. Bahkan interaksi itu kebanyakan terjadi di luar kesadaran tubuh itu sendiri. Saya pun menjadi semakin menelusuri lebih dalam. Tentunya tubuh para individu disabilitas ini memiliki kekayaan keunikan tubuh yang terpendam. Hasil dari interaksi mereka dengan sejarah dan ruang selama bertahun-tahun (sepanjang usia mereka). Maka menjadi jelas bagi saya bahwa kemungkinan untuk “membongkar” tubuh mereka adalah hal yang sangat mungkin dan terbuka lebar. Tugas instrukturlah bagaimana membuka jalan didapatkannya temuan-temuan gerak unik yang berangkat dari narasi perjalanan mereka yang kuat. Ini membutuhkan riset khusus. Diperlukan metode pengamatan dan partisipasi, serta wawancara. Ketiganya dilakukan untuk mendapatkan gambaran tubuh peserta berada dalam lingkaran macam apa. Hal ini akan menjadi data yang memandu mereka mengeluarkan kekayaan gerak unik tersebut. Yang saya maksud dengan “gerak unik” adalah gerak yang memiliki muatan khusus, hasil dari cerminan perjalanan hidup mereka. Bentuknya berupa ekspresi: tubuh yang bergerak, mengungkapkan bagian-bagian dari narasi besar mereka, namun bukan tubuh yang bercerita secara mentah dengan menampilkan gerak keseharian. Narasi hidup menjadi pemantik, motivasi, stimulan mereka menghasilkan gerak. Para peserta melakukan proses workshop ini di kamar tidur, kamar baju, ruang tamu, ruang tengah, dll. Namun saya tidak merasakan tubuh mereka terpisah dari segala ruang yang menjadi latar belakang tersebut. Karena itulah ingatan saya tentang narasi tubuh muncul. Tubuh tumbuh bersama-sama ruang, sejarah, dan memproduksi narasi tertentu.
Selanjutnya ketika saya melihat rekaman proses mereka, saya semakin lega. Apa yang saya bayangkan tentang tubuh otonom, tubuh sebagai subjek yang bergerak, berbicara di wilayah ekspresi, hadir di sana. Tentu saja belum mencapai gambaran yang seutuhnya, namun gejalanya menunjukkan bahwa proses ini bukan mengarah ke wilayah tari sebagai peniruan (imitasi). Mereka hadir dengan tahapan masing-masing. Ada yang diam saja, ada yang sedikit bergerak, ada yang meniru, mengikuti irama, merespon peserta lain, ada yang bergerak bebas.
Saya menangkap dari proses itu tahapan-tahapan yang bisa dilakukan ketika kita bermaksud memberi dorongan pada mereka membuat karya tari (koreografi) mereka sendiri.
- Mendengarkan musik. Di sini terjadi stimulasi tubuh terhadap irama.
- Melihat objek lain bergerak di layar laptop atau ponsel (instruktur, peserta lain). Di sini terjadi stimulasi bentuk, irama, energi, ruang, kecepatan, rasa, dll).
- Meniru. Peserta bergerak mengikuti objek yang ia lihat.
- Mengikuti beragam instruksi. Di sini peserta belajar mengikuti arahan instruktur yang mengajak mereka bergerak dengan kondisi tertentu. Misalnya hanya menggerakkan anggota badan tertentu, atau peserta diminta bergerak dengan duduk/berdiri saja, kemudian peserta diminta hanya menampakkan bagian tubuh tertentu saja di kamera, peserta diminta bergerak bebas, peserta diminta bergerak dengan properti tertentu, di bagian lain peserta diminta berinteraksi melalui gerak dengan peserta lain (merespon peserta lain), dll.
- “Melepas genggaman”. Di sini peserta dibebaskan menentukan sendiri geraknya (berdasarkan memori gerak dari instruktur). Peserta diberi kesempatan menampilkan beragam gerak pilihan mereka sendiri.
- Memasuki ruang yang lebih bebas. Di sini peserta diarahkan “menerobos batas”. Misalnya dengan bergerak tak hanya di satu ruangan saja. Mereka didorong untuk mencoba bergerak dengan melintasi beberapa ruang. Lalu peserta bergerak dengan menggunakan lebih dari satu kamera. Di kesempatan lain peserta bergerak dengan menggunakan properti yang lebih kompleks, dll.
- Mengenal dan menambah kosa gerak. Di sini mereka belajar mencari kemungkinan gerak lain yang tidak ada pada “simpanan”/arsip gerak mereka.
- Membuat karya tari (koreografi)
Segala stimulasi dan arahan yang diberikan kepada peserta adalah upaya mendorong mereka memproduksi geraknya sendiri. Selain itu juga memberi akses pada mereka berinteraksi dengan hal-hal di luar tubuh mereka.
Menyaksikan mereka bergerak dengan keterbatasan masing-masing, saya justru melihat keterbatasan itu sebagai tanda yang memudahkan mereka membingkai ruang dan geraknya. Bingkai ini akan membantu mereka fokus menggali tubuh dan karakter-karakter di dalamnya. Bingkai dan fokus mengarahkan mereka menemukan tubuh estetikanya. Pada latihan 26 Agustus 2021 instruktur meminta salah satu peserta untuk fokus bergerak dengan tangan saja. Ini karena instruktur tersebut melihat bahwa kecenderungan peserta itu bergerak adalah pada tangan. Inilah suatu upaya penggalian untuk menemukan tubuh estetik peserta. Apakah tubuh estetik? Dalam konteks ini ia berupa tubuh yang bergerak berdasarkan narasi tubuh, dalam bentuk serangkaian kosa-gerak yang khas/unik. Tubuh estetik bisa dibaca dalam pengertian yang lebih luas, yaitu tubuh yang sedang memunculkan kesadaran tentang estetika yang dikandungnya. Cara mengungkapkan muatan estetika tersebut beragam; salah satu di antaranya adalah tari.
Ini adalah sebuah langkah penanaman memori tentang tari. Hal tersebut bisa memberi persepsi baru pada mereka jika selama ini mereka mengenal tari dari persepsi umum masyarakat dan media. Di masyarakat umum pemahaman tari sebagai ekspresi tidak dikenal dengan baik. Publik lebih memahami tari sebagai kemampuan bergerak dengan keterampilan tertentu. Ukuran pencapaiannya adalah kompetisi (keterampilan tinggi). Teman-teman disabilitas yang memiliki pemahaman ini tak lagi melihat tari sebagai harapan keterlibatan mereka.
Ruang dan Kamera
Temuan pertama yang mengusik perhatian saya dari proses mereka adalah tentang ruang. Justru karena mereka hadir di ruang keseharian, maka itu menjadi menarik. Latar belakang ruang itu menyatu dengan tubuh mereka. Selanjutnya kesadaran ruang penting ditumbuhkan. Ruang pun menjadi bagian penting untuk dipertimbangkan dalam penampilan visual mereka. Apalagi jika dalam keseharian ada keterkaitan yang cukup kuat antara ruang dan tubuh. Ruang mampu berperan sebagai “partner interaksi” tubuh tari.
Ruang yang saya bicarakan tersebut adalah ruang fisik. Pada kenyataannya di era pandemik ini penari tak hanya bergerak di ruang fisik, namun juga ruang virtual. Kehadiran ruang virtual membuka kemungkinan eksplorasi yang kaya terhadap ruang. Kamera memiliki kekuatan menghadirkan beragam ruang. Ketika instruktur menanyakan kepada mereka posisi (duduk, berdiri) apa yang nyaman bagi mereka untuk bergerak, ini sebenarnya adalah sebuah pertanyaan ruang. Posisi menentukan ruang, posisi pun bagian dari elemen ruang tari (level). Dalam konteks ini tubuh tak harus selalu tampil utuh di kamera. Tubuh juga tak harus selalu bergerak; bisa kamera yang bergerak mengeksplorasi bagian-bagian tubuh, atau interaksi antara tubuh dan kamera — baik ketika keduanya diam maupun bergerak. Kamera bisa digerakkan sendiri oleh penari. Hal ini akan jadi “solusi kebosanan-keengganan”. Ketika peserta merasa jenuh sehingga enggan menggerakkan tubuhnya, mereka berpeluang melakukan “visual gerak” dengan memakai kamera.
Pada proses Latihan Bersama tanggal 27 Agustus 2021 saya melihat kolaborasi menarik. Mereka adalah Candra-Agil (Jakarta) dan seorang ibu di kursi roda (Jepang). Dalam pemahaman saya ibu tersebut penyandang celebral palcy. Karena kondisinya, ia terbatas melakukan gerak. Namun pendamping terus memberi jalan bagi tubuhnya untuk berekspresi, memanfaatkan kamera. Pertama ia diajak mendengarkan musik. Lalu diarahkan untuk bergerak mengikuti irama dan meniru gerakan pendamping. Kemudian stimulasi juga dilakukan dengan melakukan sentuhan-belaian pada tangan. Selanjutnya saya melihat ibu itu mampu mengangkat tangan kirinya. Pada bagian lain, kamera didekatkan pada wajah sang ibu, di sana ia leluasa menampilkan wajahnya. Ia menikmati proses itu. Saya membayangkan di waktu yang akan dating sang ibu akan mengarahkan sendiri kemana kamera harus bergerak: menvisualkan bagian-bagian tubuh pilihannya, mengatur sudut pandang kamera, mengatur gerak kamera (melayang, bergetar, bergelombang, …), dsb. Tak masalah jika yang menggerakkan kamera itu orang lain, namun arahan dilakukan oleh sang ibu. Jadilah ia seorang kreator! Ia menghasilkan karya-karya dengan kamera. Tak perlu terhambat dengan tubuh yang terbatas atau bahkan tak mampu bergerak. Kamera akan membantu tubuh berekspresi.
Tubuh yang bergerak di kamera adalah tubuh yang mengalami-berinteraksi dengan teknologi. Apa yang terjadi ketika tubuh bergerak dalam “frame” kamera? Ini artinya akan ada persinggungan antara ruang fisik dan ruang virtual. Ruang fisik berkaitan dengan tubuh yang bergerak: mengalami- merasakan apa. Ruang virtual berkaitan dengan “tubuh dan ruang harus tampak bagaimana dan memberi kesan/dampak visual apa?”. Menyampaikan narasi apa? Di sini akan ada tegangan antara keinginan-kebutuhan merasakan gerak dalam proses, dengan keinginan-kebutuhan apa yang tampak di kamera. Dua hal ini tak selamanya sejalan. Ini tantangannya.
Penutup
Menuju Subjek
Dalam sebuah wawancara yang saya dapatkan di internet, Min Tanaka (seorang penari-koreografer Jepang berlatarbelakang Butoh) menyatakan bahwa “tari ada dalam setiap tubuh”. Ia menemukan estetika tari di tubuh nelayan, tukang batu, tukang kayu, termasuk individu berkebutuhan khusus. Saya mencoba menterjemahkan apa yang ia maksud dengan “estetika tari” dalam pengertian yang lebih luas. Melalui perjalanan panjang selanjutnya saya menemukan bahwa di wilayah ekspresi kesenian (untuk membedakannya dengan ekspresi keseharian), estetika tari ada dalam tubuh dan ia muncul melalui gerak (diam termasuk bagian dari konsep gerak). Ini bukan gerak yang kosong, melainkan gerak yang lahir dari tubuh yang berproses tiada henti. Yang dimaksud dengan “tubuh yang berproses tiada henti” bukan tubuh yang berlatih olah gerak, teknik atau ketrampilan tari tertentu, namun pengertiannya adalah sebagai berikut: tubuh hadir di tengah sebuah lingkaran besar semesta. Ia hadir tidak sebagai sesuatu yang diam (pasif), namun sesuatu yang bergerak aktif “menyerap”. Apakah yang ia serap? Tubuh menyerap apapun yang ia jumpai, dengan kesadaran individu pemiliknya dan juga ketidaksadaran (sesuatu yang berlangsung otomatis sebagai kerja natural tubuh). Hasil serapan ini yang entah berapa “banyak” jika harus “dijumlah”, tersimpan di memori tubuh. Hasil serapan tubuh dapat terbaca di wilayah ekspresi; baik di wilayah ekspresi keseharian maupun ekspresi kesenian. Di wilayah ekspresi keseharian, ilmu yang memiliki kapasitas membacanya adalah psikhologi dan psikhiatri. Di wilayah ekspresi kesenian, estetika tari hadir. Apa yang selama ini dikenal masyarakat umum sebagai “tari” adalah salah satu bagian saja dari “estetika tari” tersebut. Masih banyak lapisan-lapisan estetika dalam tubuh yang menanti penggalian para seniman/kreator.
Estetika tari yang saya temukan meliputi dua hal. Pertama adalah sebagai “bahasa” atau cara berungkap melalui gerak yang khas-unik-berkarakter-berkaitan dengan konsep tertentu, yang berbeda dengan bahasa gerak keseharian. Inilah yang saya duga ditangkap oleh Min Tanaka dari tubuh nelayan, tukang batu, tukang kayu, dan individu berkebutuhan khusus. Ada gerak maupun bentuk-bentuk tubuh dalam diri mereka yang sudah tertanam bertahun-tahun, tanpa mereka sadari. Gerak dan bentuk tubuh yang khas tersebut “dibingkai” oleh Min Tanaka dan ia masukkan dalam “arsip estetika tari”. Memang pada awalnya gerak maupun bentuk tubuh tersebut hadir sebagai bagian dari perilaku keseharian; namun kemudian seniman seperti Min Tanaka melihatnya sebagai bahasa keindahan (estetik). Di Indonesia seniman tari yang memiliki kepekaan menangkap keindahan dalam tubuh semacam itu adalah Sardono W Kusumo. Bisa ditelusuri bagaimana ia menemukannya di tubuh masyarakat Dayak dan Asmat.
Kedua adalah nilai. Gerak maupun bentuk tubuh tersebut membahasakan sesuatu, yaitu segala hal yang diserap tubuh selama bertahun-tahun dan terolah di dalamnya; bisa berupa pengalaman, peristiwa, emosi, trauma, luka, sesuatu yang misterius, kegamangan, kegairahan, keyakinan, mitos, perasaan ganjil, dll. Narasi tubuh yang saya sebutkan di bagian awal tulisan, masuk di wilayah ini. Itulah nilai dalam pengertian saya, pada konteks tari sebagai ekspresi individual.
Seorang individu bisa berada dalam posisi objek maupun subjek dalam laku penggalian estetika tari tersebut. Ketika ia di posisi objek itu berarti ia menyerahkan tubuhnya untuk digali dan diekspresikan menurut selera/kehendak pihak lain. Jika ia di posisi subjek maka ia akan melakukan sendiri proses penggalian dan penciptaan ekspresinya.
Apa yang saya ikuti dari proses kolaborasi teman-teman PNJ dan Tanpopo, saya menangkap bahwa instruktur mengarahkan mereka menjadi subjek. Arahan ini dilakukan sesuai dengan keadaan masing-masing peserta. Ada tahapan-tahapan yang diberlakukan. Bagi saya ini sesuatu yang positif. Upaya penggalian estetika tari dari tubuh mereka dilakukan berbarengan dengan upaya mengarahkan mereka sebagai subjek kreator. Dengan catatan yang telah saya sampaikan di halaman-halaman sebelumnya, “pekerjaan rumah” ini memiliki peluang besar mencapai tujuannya, yaitu memberi ruang kreativitas seluas-luasnya pada teman-teman disabilitas untuk nantinya mereka isi sendiri dengan laku kreativitas mereka. Sebuah laku kreativitas berdasarkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman mereka sendiri terhadap tubuh. Bahwa di dalam tubuh ada narasi dan bahasa estetika. Selanjutnya mereka menentukan sendiri akan berbincang apa, melalui tari, pada kita semua.
Malang, 14 Oktober 2021
- SEEKING W, Jalan Bersama untuk Menyatakan ADA - 1 Juni 2024
- PALU MENARI FESTIVAL 2022 : Kesadaran Tentang Tubuh Sebagai Kata Kunci - 20 Mei 2023
- Festival Mentari 2022: Kala Tubuh Mendekati Kata-Kata - 9 Februari 2023