SEEKING W, Jalan Bersama untuk Menyatakan ADA
[Renee Sari Wulan]. Ada masa di garis sejarah kesenian saya muncul ide tentang sekolah tubuh. Saya membayangkannya sebagai arena belajar dan kreativitas di mana tubuh adalah sumber informasi utama. Tubuh yang saya maksud di sini adalah manusia dalam perspektif sosok yang menyimpan catatan sekaligus pelaku ulang alik antara sentuhan (interaksi) dengan dunia di luarnya, dan pengolahan pengalaman interaksi tersebut dalam dirinya. Pengolahan ini bisa berujung pada arsip tubuh dan ekspresi (lontaran kembali pada realita di luar tubuh; di sini kesenian berperan sebagai salah satu mediumnya).
Angan-angan sekolah tubuh terhenti sampai di situ karena saya asyik berkepanjangan melakukan pembongkaran dan penjelajahan sana-sini, mengumpulkan perbendaharaan aneka perbincangan perihal tubuh. Sampai beberapa waktu lalu saya terhubung dengan sebuah aktivitas kesenian yang dilakukan oleh Paradance Platform (Yogyakarta) dan Biloura Collective (Italia). Aktivitas ini berupa residensi lima koreografer perempuan (Italia, Austria, Bali, Sleman, Sukabumi) di Yogyakarta 14 Januari – 27 Februari 2024. Saya diijinkan narasumber, Nia Agustina (Direktur Paradance Platform), mengumpulkan data guna menjaring informasi secukupnya dari segala aktivitas di residensi tersebut.
Data-data mampu membuat saya merasakan–mengalami interaksi di antara mereka (lima koreografer). Sebuah saling keterhubungan yang sengaja didesain organik (berlangsung natural, apa adanya, wajar mengikuti ritme situasi). Maka proses ketubuhan pun terjadi, dan di situlah saya menemukan kelengkapan “puzzle” ide sekolah tubuh.
Interaksi lima koreografer saya rasakan sangat organik. Cita-cita menuju tubuh baru di akhir proses pun bukan hal yang musykil. Saya bergumam sendiri dan menyepakati bahwa interaksi semacam inilah yang tepat sebagai metode pembongkaran tubuh. Salah satu poin penting adalah kesadaran mereka berlima bahwa tak boleh ada paksaan dan ketidaknyamanan. Saya menangkap metode ini berhasil mengeluarkan informasi-informasi di arsip tubuh mereka dan terjaga keorganikannya. Hal yang biasanya menggoda adalah hasrat ingin terlihat lebih (bernas, keren, serius, penting, intelek, dll sesuai ukuran selera masing-masing) dari yang ada itu. Pencapaian hadir dengan wajar ini menjadi amunisi artistik yang kuat dalam eksplorasi mereka di proses kreatif penciptaan. Di sinilah saya dapatkan perspektif tari yang telah meninggalkan panggung sebagai orientasi utama.
“Panggung diletakkan”, apa maksudnya? Uraian berikut berupaya menjawabnya.
Melalui proses mereka di ruang artistik maupun non-artistik, terasa sekali bahwa mereka mengutamakan proses interaksi. Perjumpaan lima tubuh didesain kuat dalam bingkai relasi. Gerak, persentuhan (non fisik), pembacaan, penyelaman, pengenalan, pemahaman, dan penggalian, adalah materi proses yang mendominasi praktik artistik mereka dalam rentang masa yang panjang. Kondisi kenyamanan bernar-benar mereka perjuangkan untuk mencapai keberlangsungan proses yang optimal. Persentuhan-pembongkaran tubuh memproduksi temuan-temuan yang menjadi isian materi artistik mereka. Temuan adalah dalih (reason) yang mendasari gerak artistik.
Terasa benar bahwa orientasi utama di sini adalah proses. Jika mereka merasa belum mantap dengan temuan itu, maka “momen pementasan” (panggung) belum mereka munculkan. Inilah jawaban/maksud dari “panggung diletakkan”; ia tak menjadi prioritas utama dalam proses tersebut.
Perjumpaan tubuh di residensi ini saya simpulkan memiliki tema pokok: luka, tubuh, perempuan.
Lalu, apakah luka?
Sebelum sampai pada pembahasan itu saya ingin mendekatinya terlebih dahulu dengan tubuh artistik yang mereka bawa untuk menyampaikan luka, yaitu tubuh baru. Tubuh baru menjadi penting karena saya menangkap ada niat, tujuan, dan capaian lima koreografer perempuan yang berangkat dari bentangan beragam. Berpijak dan beranjak dari lima bentangan keberagaman tubuh, menemukan kesadaran dan kesediaan untuk bersama menuju pada tubuh baru, adalah hal yang ingin saya urai di sini.
Saya mengawalinya dari perjumpaan atau interaksi. Di sana ada garis :
- Tubuh – tubuh. Di dalamnya ada perjumpaan tubuh geografis dan kultural, identitas, karakter, tubuh inferior-superior, perilaku/kebiasaan hidup.
- Tubuh – ruang (realita, imajiner). Di dalamnya ada ruang/wilayah geografis (internasional, nasional), kebangsaan (sejarah, kultural), individu (deep circle, general circle).
- Tubuh – pengalaman (realita, imajiner). Di dalamnya antara lain terdapat luka, asing, sendiri, terisolasi, terikat, terbelenggu, suram, absurd, objek pelecehan, …
Mereka menghadapinya baik ketika menyoroti tubuh mereka sendiri maupun tubuh peserta residensi lainnya.
Temuan-temuan tersebut muncul kala saya mejumpai kalimat-kalimat berikut dari peserta:
“Ketemu Angie dan Silvia ada rasa penasaran dalam diri saya, akan seperti apakah residensi ini berjalan? Mereka saklek atau nggak ya? Pertanyaan itu muncul karena jelas kami beda negara dan beda budaya juga.”
“Residensi ini bukan hanya sekedar tempat untuk mencapai hasil akhir (karya), tapi lebih kepada ruang yang memungkinkan kita untuk benar-bernar berbagi, mengenal satu sama lain, dan mengeksplorasi proses dengan kedalaman sangat berarti.”
“Di sini kami tak hanya menghadapi satu sama lain sebagai individu dengan identitas masing-masing, tetapi lebih kepada perempuan yang membawa pengalaman hidup unik dan berharga.”
“Lebih dari sekedar berbagi, dalam proses ini juga kami berkesempatan mengenal ketubuhan masing-masing dengan lebih dalam.”
“Dengan mengenal proses mereka, saya merasa terkoneksi.”
“Menelisik lagi tentang bagaimana kemudian pandangan luar terhadap ‘keperempuanan’ kita. Bagaimana perempuan disudutkan, dianggap lemah, dianggap murahan, dan segala stigma lainnya.”
“Biloura pun hadir bukan sebagai orang asing yang mencoba menatap kami dengan modal intelektual yang mereka miliki.”
“Dalam prosesnya, secara konteks kami menemukan bahwa sebagai perempuan, tubuh perempuan, rentan terhadap hal-hal yang membelenggu atas nama kewajiban, keharusan, tidak boleh ini, harus begini, dan lain hal atau yang biasa kita sebut patriarki.”
“Proses ini semakin membawaku jauh ke dalam diri. Merasakan lagi apa yang selama ini sedang aku rawat (riset), mendengarkan tubuh, merasakan setiap bentuk fisik yang melekat dalam tubuh ini, dan mencoba merasakan konektivitas di dalam dengan sesuatu yang berada di luar tubuh.”
“Aku pikir keberanian untuk mengatakan ‘ya/tidak’ bukanlah hal mudah untuk kami yang berada dalam teritori wilayah dengan budaya timur yang dikenal ramah tamah.”
“Memikirkan perasaan orang lain mungkin menjadi budaya yang tanpa kita sadari melekat begitu erat.”
“Residensi ini di satu sisi juga menyentil emosionalku tentang bagaimana cara kita berbagi ketika berada dalam situasi yang jauh dari wilayah kita. Aku dengan tubuhku, sejarah, memori, dan apa yang dilakukan saat ini akan selalu bisa dibagi sekecil apapun.”
“Bagiku Biloura seperti wajah Italia yang sedang kutatap.”
“Caraku membayangkan dan mengenal negara itu melalui apa yang selalu mereka tuturkan.”
“… melalui mereka aku seperti sedang terhubung dengan sesuatu yang berada di sana.”
“Resonansi dari segala sesuatu yang sudah kami bagi rasanya tidak hanya sebatas tubuh, namun juga wilayah.”
Kompleksitas terjadi kala interaksi itu mengeluarkan informasi sedemikian melimpah. Maka tak heran jika kemudian mereka menghadirkan peran sutradara dan dramaturg secara bergantian di antara mereka sendiri. Perlu pengolahan tepat terhadap segala informasi tersebut, untuk disusun menjadi bangunan ide-konsep yang terstruktur. Pemilihan informasi bersumber-berdasarkan irisan-irisan perjumpaan tubuh mereka yang terbentuk sendiri secara organik.
Tubuh baru pun menemukan maknanya:
- Tubuh individu yang bergeser, terfokus pada kolase pilihan
Di sini tema/ide keputusan bersama adalah upaya membangun sesuatu. Di tengah jalan ada ide baru yang ditemukan, yang dianggap paling penting untuk disampaikan pada masyarakat.
- Tubuh bersama berisi kolase irisan-irisan lima tubuh yang disepakati
Masing-masing berbagi pengetahuan untuk menemukan jalan/cara bagaimana menjahit rangkaian kolase tersebut.
Lima tubuh berupa bentangan yang memuat poin-poin kompleks yang mereka bawa dalam dialog proses. Poin-poin tersebut antara lain:
- Benturan identitas
- Kegagapan interaksi
- Tubuh geografis
Kompleksitas di poin-poin itu mereka selesaikan satu demi satu. Di ujung interaksi lima tubuh menajam pada satu percakapan utama: luka
Ini adalah percakapan tentang luka dan tubuh perempuan:
“Tubuhku kini serpihan”
“Peristiwa-peristiwa menceraiberaikannya”
“Lihatlah, aku sedang mengumpulkan—menata serpihan-serpihan itu. Menuju entah. Mungkin berdiri atau bangkit saja adalah cukup … walau tak tegak”.
“Kali ini saya adalah serpihan … lalu apaaaaa???”
“Ada apa dengan saya sehingga ditatap seperti itu?!?!?!”
“MENGAPA?????”
Ini adalah tubuh terdampak
Ini adalah tubuh terancam
Unsecure
“Tubuhku adalah Objek” ia ada di medan rapuh dan dipenuhi titik-titik rentan
“Tubuhku ada dalam tegangan dua tatapan”. Tatapanku. Tatapan mereka.
“Ruang aman adalah surgaku”. Di mana?
Filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik. Hal tersebut berkaitan dengan pandangannya tentang kesadaran. Setiap kesadaran mempertahankan subjektivitas dan dunianya sendiri. Setiap pertemuan antara kesadaran merupakan dialektika subjek-objek. Dalam dialektika itu terjadi saling mengobjekkan.
Sarana yang penting dalam konflik / situasi konflik tersebut adalah: tatapan/sorot mata (le regard). Tatapan merupakan kehadiran orang lain yang menonton, menatap, menyelidiki, dan mengobjekkan aku. Bagi dia, aku adalah orang yang termasuk dalam dunianya, objek yang memiliki sifat-sifat tertentu. Dia sendiri adalah subjek. Dan sementara dia menatapku, aku menemukan diriku sendiri, aku masuk ke dalam dunianya, kebebasanku membeku.
Dari pengalamannya sendiri, Sartre berpikir tentang situasi manusia pada umumnya: manusia ditentukan oleh cara pandang orang lain. Entah positif, entah negatif, cara pandang itu mengobjekkan manusia, memampatkannya dalam sebuah konsep, atau ide, atau situasi tertentu yang di luar jangkauan manusia itu sendiri. Ada sesuatu yang berkurang dalam diri manusia akibat tatapan mata orang lain yang mengobjekkan. Apa itu? Kebebasan.
Pengertian kebebasan atau indeterminasi diri adalah diri manusia yang tidak ditentukan, yang tidak diembel-embeli apapun. Kebebasan manusia berkurang karena tatapan mata orang lain yang menciptakan embel-embel. Ia mereduksi diri manusia menjadi sekedar A atau B atau C, dan itu artinya menjatuhkan manusia dari indeterminasi dirinya yang “asli”.
Kebebasan dalam arti indeterminasi diri memang berkurang, tetapi tidak hilang. Menurut Sartre, pada saat diobjekkan, manusia tetap tahu bahwa dia bukan objek. Karenanya timbul perasaan terluka.
“SEEKING W” di Medan Artistiknya
Pada wilayah artistik saya dibuai irama peristiwa yang hadir kuat di pentas. Dengan irama itu lima tubuh berhasil menuju satu: tubuh baru. Melebur. Kalimat-kalimat luka yang mereka mainkan tak lagi membuat saya memisahkan antara tubuh Sleman-Bali-Italia-Austria-Sukabumi. Tubuh meniti medannya sendiri. Di luar maupun di dalam dirinya. Mengeja-membaca lukisan sebagai tubuh terdampak-tercemar-ternodai-tergores-terancam-tak lagi merasa aman, apalagi nyaman.
Tubuh yang membaca lukanya sendiri tak lantas hadir sebagai tubuh melankoli. Ia pun tak memilih diam. Makin terasa istimewa ketika mereka tak terpengaruh hasrat untuk menjadi “tubuh yang meraih puncak”; yaitu tubuh super power yang berhasil mengatasi segala-galanya. Mereka menyepakati “tubuh organik di dalam proses oganik”. Di sini perjalanan tubuh berproses diserahkan sepenuhnya pada waktu. Kondisi tubuh dibaca dan dinyatakan dengan jujur. Saya kutip beberapa kalimat organik mereka (saya sunting tanpa mempengaruhi makna):
“Kami merefleksikan bersama bahwa menjadi perempuan bagai menari di atas piring. Perempuan tak pernah benar-benar keluar dari kerapuhan. Tubuh serta pemikiran perempuan terus berdinamika, bergulir dalam kerapuhan itu. Repertoar ini ingin berkisah bagaimana tubuh perempuan berdinamika dalam kerapuhan dan keterbatasan. Kami memaknai upaya sebagai repertoar berjalan. Repertoar ini adalah awal dari repertoar yang akan terus berlanjut.”
SEEKING W. Salah satu makna “W” yang mereka sematkan pada judul adalah “ways” (jalan, cara menyikapi sesuatu). Maka “seeking ways”: mencari jalan.
Saya tertarik dengan diksi “ways”. Ia terhubung dengan perspektif mereka terhadap repertoar ini sebagai sesuatu yang tengah terus bergerak. Luka, trauma, benturan, kompleksitas tertentu, … apapun, disikapi dengan cara mengajak tubuh terus bergerak melangkah, memasuki dimensi-dimensi berikutnya, sehingga memar tak semakin menebal.
Di pentas, lima tubuh berhasil membangun satu warna besar: tubuh baru berbicara luka. Di dalamnya aneka “jalan ekspresi” muncul, menyenandungkan puisi masing-masing untuk dibawa bergerak keluar, menjumpai titik-titik keterhubungan dengan penonton dan semesta.
Daftar Pustaka
Wibowo, A. Setyo dan Majalah Driyarkara. 2011. Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Jakarta: PT Kanisius
Sudah baca yang ini?:
- SEEKING W, Jalan Bersama untuk Menyatakan ADA - 1 Juni 2024
- PALU MENARI FESTIVAL 2022 : Kesadaran Tentang Tubuh Sebagai Kata Kunci - 20 Mei 2023
- Festival Mentari 2022: Kala Tubuh Mendekati Kata-Kata - 9 Februari 2023