Jazz dan Teater Itu
[Yuga Anggana]. 30 Oktober 2021, malam hari. Begitu ruangan menggelap menyisakan cahaya dari lampu di atas panggung, sebuah melodi dari instrumen terompet mengalun membuka pementasan teater bertajuk Jazz, Trotoar dan Polisi Itu, persembahan Bengkel Aktor Mataram di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Nusa Tenggara Barat. Setelahnya, dua sejoli terlihat duduk di dua kursi yang berbeda. Sang pria duduk di kursi panjang dekat tiang lampu jalan, sedangkan si wanita duduk di kursi dengan meja yang dilengkapi makanan. Properti dan ornamen pertunjukan yang sederhana dan minimalis namun cukup mencitrakan trotoar dan kafe. Meski tanpa sinopsis khusus namun judul pertunjukan yang tertera pada poster – Jazz, Trotoar dan Polisi Itu – berhasil menyugesti pikiran saya bahwa pertunjukan ini akan berbicara tentang peristiwa di perkotaan.
Dialog pertama dari aktor pria memvalidasi hipotesa saya. Kriminalitas menjadi topik awal yang dibicarakan aktor: soal pengrusakan yang terjadi di toko pizza dengan senjata api yang dilakukan oleh sekelompok orang. Tentu saja kita hanya akan menjumpai toko yang menjual hidangan gurih dari Italia itu di perkotaan, tidak di pedesaan. Terlebih tindakan kriminal dengan penggunaan senjata api adalah kekhasan kejahatan di perkotaan. Kursi meja dan makanan di hadapan aktor perempuan melukiskan suasana kafe, menjadi unsur tambahan suasana perkotaan. Dialog demi dialog yang terjadi di atas panggung terus menerus menyebutkan unsur-unsur perkotaan; kriminalitas, transportasi kereta api, kemewahan gedung perkantoran dan perhotelan, orang-orang yang depresi hingga konflik rumah tangga akibat perbedaan ideologi. Seolah pembicaraan kedua aktor adalah pesan-pesan subliminal[1] yang hendak meng-eksis-kan kota dalam pikiran penonton. Namun dialog pada pertunjukan teater tersebut ternyata tidak serenyah mengunyah pizza. Terdapat banyak absurditas percakapan. Beberapa dialog dibuat tidak nyambung meski kedua aktor seolah mengerti satu sama lain. Jika yang satu berbicara mengenai kereta api misalnya, yang lain menanggapi dengan pembicaraan tindak kriminal. Sedangkan musik jazz terus mengalun mengiringi peristiwa demi peristiwa di atas panggung. Sesekali memecahkan titik fokus saya pada dialog yang ingin saya cermati secara serius.
Kedua tokoh itu ialah Tse Un dan Gun, sepasang suami istri dengan kebiasaan yang berbeda. Sang perempuan yang hobi duduk di kafe mendengarkan musik Jazz, dan si pria yang senang melamun sembari mengamati kejadian demi kejadian dari kursi trotoar. Kebiasaan keduanya memang tidak terhubung, tak berkaitan. “Banyak orang selalu ingin mengaitkan sesuatu agar semua hal bisa dihubung-hubungkan secara logis” ungkap Gun saat Tse Un ditanya apa hubungan lagu-lagu Jazz dengan pizza. Kalimat tersebut bagi saya menjadi salah satu pembuka untuk memahami dan menikmati pertunjukan lebih jauh. Bahwa terkadang segala sesuatu tidak harus selalu dimengerti, tetapi cukup dinikmati. Termasuk pertunjukan Jazz, Trotoar dan Polisi Itu, dengan segala kerumitan Bahasa dari percakapan para aktor yang membuat penonton mengerutkan dahi.
Teater yang Seperti Jazz
Di tengah kebingungan terhadap percakapan kedua aktor, lambat laun musik Jazz pengiring pentas mulai terasa berfungsi sebagaimana mestinya. Bukan karena musik itu menghilang atau menjadi pelan, tetapi berbaur dengan setiap adegan dan dialog para aktor. Musik Jazz menjadi pintu gerbang untuk menikmati pentas teater malam itu. Jazz, sebuah genre musik yang menjadi salah satu kata pada judul pertunjukan adalah simbol musik perkotaan pada hari ini. Simbol musik yang hanya digemari oleh kalangan menengah ke atas secara kelas sosial, finansial juga intelektual. Jazz dianggap sebagai sebuah musik yang eksklusif, mewakili komunitas sosial tertentu. Riwayat musik Jazz begitu panjang, dan kisah panjang Jazz diwarnai dengan perjuangan dan perlawanan kelas orang-orang kulit hitam sebagai kaum minoritas di Amerika. Jazz menjadi musik hasil pembauran budaya, kombinasi elemen musik Afrika dan Eropa. Definisi musik ini masih debatable hingga sekarang. Ada yang mengidentikannya dengan romantisme dan seksualitas, namun ada pula yang mengaitkan jazz dengan kebebasan jiwa. Keterkaitan Jazz dengan kebebasan mungkin karena gaya permainan solo improvisasi yang dominan dalam musik Jazz. Permainan musik yang dimainkan secara serta merta tanpa persiapan apapun, dengan pola melodi yang kerap keluar dari tangga nada standar. Spontanitas permainan musik Jazz yang out of the box memunculkan kesan rumit, tidak teratur, absurd, abstrak dan penuh kejutan. Corak permainan improvisasi pada musik Jazz menandakan identitas pemain yang khas dan bersifat individualistis. Dalam Jazz akor yang biasa digunakan untuk mengiringi improviasai musik Jazz adalah akor tujuh (misalnya: Dm7 – GMaj7 – CMaj7 – dst.), akor ini memiliki kesan yang ganjil, miring, menggantung, mengambang seolah enggan mencapai titik akhir.
Bagi saya, deskripsi mengenai Jazz di atas mewakili kesan saya terhadap pertunjukan teater Jazz, Trotoar dan Polisi itu. Pembicaraan perkotaan pada Jazz, Trotoar dan Polisi Itu layaknya bermain musik Jazz yang rumit, absurd, tidak teratur, dan penuh kejutan. Dari mulai cara aktor berdialog, juga persoalan kota yang menjadi topik pembicaraannya. Dialog antara kedua aktor dibuat tidak beraturan, obrolan yang tidak nyambung, tetapi seakan-akan keduanya tetap saling mengerti, saling menyahut menimpali. Begitulah musik Jazz, jika iringan musik memainkan progresi akor C Major, pemain solo bisa saja memainkan pola pentatonik A minor beserta nada-nada kromatis blue note-nya[2]. Semua pemain musik profesional biasanya memahami hal ini, dan Bengkel Aktor Mataram telah menggunakan pola tersebut dalam pertunjukan teaternya.
Seni Ekslusif di Pulau Lombok
“Naskah teater ini adalah hasil transformasi dari cerpen saya dengan judul yang serupa. Begitulah sastra.” ungkap Kongso Sukoco di sesi diskusi. Pernyataan Kongso selaku penulis cerita sekaligus sutradara adalah upayanya menjelaskan kebingungan para penonton yang bertanya soal ketidaknyambungan dialog. Terkait kebingungan-kebingungan penonton yang terungkap di sesi diskusi sebenarnya tidak saja terjadi pada pertunjukan teater garapan Bengkel Aktor Mataram, beberapa karya teater lainnya yang saya saksikan di Lombok selalu menyisakan kerut dahi dan segudang tanya dari penonton. Bahkan dalam beberapa sesi diskusi mengenai Teater permasalahan tentang kegamangan penonton akan kesan yang mereka dapat kerap menjadi perbincangan. Misalnya saja pada sesi diskusi bertajuk “Darurat Bencana Seni Pertunjukan NTB” yang digelar oleh komunitas Teater Insomnia pada bulan Maret 2021, para pembicara menghasilkan konklusi: “Apa guna sebuah pertunjukan yang indah, namun tak mampu masuk dalam ruang sunyi kerakyatan”. Tentu perlu penelusuran lebih dalam untuk mengetahui jawaban mengapa banyak karya teater di Pulau Lombok yang terkesan ekslusif hanya bisa dinikmati oleh sebagian kalangan. Namun layaknya pentas musik Jazz di hari ini yang memiliki kekhususan apresiator, mungkin begitu pula dengan beberapa karya teater di Pulau Lombok yang sebaiknya mempertimbangkan sasaran audience untuk siapa pentas tersebut ditujukan. Batasan memang hal yang aneh dalam pertunjukan seni yang cenderung merdeka, maka sinopsis sebagai pengenalan awal sebuah pentas menjadi penting. Setidaknya penonton mampu mengukur, menakar dan memposisikan diri dalam arena pertunjukan. Siapa mengira Jazz, Trotoar dan Polisi Itu memiliki tingkat kerumitan layaknya improvisasi musik Jazz yang membuat bingung sebagian kalangan apresiator.
Namun saya sepakat pada pernyataan Kongso Sukoco bahwa pentas seni hadir tidak saja sebagai bentuk katarsis atau hiburan, tetapi juga memiliki tujuan untuk membuat orang tidak malas berpikir sehingga mengalami krisis nalar. Hanya saja jika pertunjukan yang baik adalah yang mempunyai kekuatan untuk mengubah dari bentuk fisik hasil tangkapan indera menjadi bentuk kesan maupun konsep hasil proses psikis, maka diperlukan motivasi dan pengalaman penonton sebagai panduan. Soal empiris itulah yang menjadi sorotan, karena dalam kacamata saya referensi pertunjukan seni di Pulau Lombok masih sangat minim, literasi seni sulit didapat, dan sekolah seni – perguruan tinggi jurusan seni – baru-baru ini saja berdiri. Maka hal yang wajar jika musik Jazz yang rumit itu – misalnya, masih berjarak dengan masyarakat yang kadung terbiasa mendengar musik pop. Karya-karya putra Lombok ini bisa saja memiliki nilai dan kesan yang berbeda jika dihidupkan di kota lainnya seperti Yogyakarta atau Bandung, dimana semua literasi seni lebih mudah di akses, termasuk masyarakat seni pada tataran akademis. Kajian komparasi pertunjukan seni – teks dan konteks – antar kota menjadi PR kita bersama.
[1] Pesan tersembunyi yang disisipkan pada sebuah objek atau media tertentu, pesan ini bertujuan untuk mempengaruhi pikiran alam bawah sadar audience
[2] nada yang dimainkan sedikit melenceng dari nada standar
- ANAMANA-Insomnia Theater: Ritus Spiritual dan Hancurnya Simbol Tradisi di Sumbawa - 16 Oktober 2024
- Jazz dan Teater Itu - 27 November 2021
- Seni Kebangru’an; Seni dari Alam Gaib - 7 April 2021