fbpx
Sabtu, April 27, 2024
ULASANPanggung Tari

“Ngeli” : Reinterpretasi Gondang Keli oleh Miftah Alif Pambudi dan Thea

[Lysandra Zulfa Anindita]. Ketika sinar matahari begitu menyengat di langit Surakarta, kegelapan justru melanda Gedung Teater Besar ISI Surakarta. Suara riuh di dalamnya nampak bersitegang dengan suara adzan di luar gedung. Terdengar pula celotehan penonton yang bersenda gurau, sembari menanti pertunjukkan akan dimulai kembali.

Sekitar setengah jam menanti, dengung mikrofon akhirnya terdengar. Menandakan presentasi karya segera beralih ke penampil selanjutnya. Pertunjukan yang sangat saya tunggu-tunggu akhirnya tiba, yaitu Ngeli. Pertunjukan tersebut akhirnya berhasil dipentaskan pada 11 Januari 2023 lalu.

Sang pranatacara membuka sesi-2 tersebut, sembari membacakan sinopsis karya Ngeli yang diksinya cukup membuat saya kaget. Bahkan mungkin telah membuat roaming para penonton di bangku tatapannya. Pertunjukan Ngeli dimulai, ketika suara tepuk tangan dari penonton menyusut dengan munculnya suara gamelan yang ditabuh secara crescendo.

Ngeli merupakan sebuah karya musik dan tari yang merupakan reinterpretasi dari salah satu tarian pada kesenian Lengger Wonosobo yang berjudul Gondang Keli. Meskipun ditujukan untuk tugas akhir oleh kawan-kawan kecil saya yakni Miftah Alif Pambudi dan pasangannya Thea. Namun kecintaannya terhadap kesenian tradisi, membuat mereka tak ingin berhenti pada formalitas akademik saja.

Alhasil atas dedikasi mereka, saya pun berinisiatif ingin mempersembahkan apresiasi. Yakni dengan mencoba mengartikulasikan dan merefleksikan karya kawan-kawan saya tersebut.

ngeli 1 | “Ngeli” : Reinterpretasi Gondang Keli oleh Miftah Alif Pambudi dan Thea
Narasi Utama Gondang Keli

Secara garis besar, Gondang keli sendiri merupakan sebuah lagu yang mengisahkan tentang pergumulan akan hidup dan matinya seseorang. Gondang keli diambil dari nama pohon dengan nama latin Ficus Variegata BL (pohon Elo) yang tumbuh di pinggir sungai, dan ketika buahnya jatuh lalu keli atau terhanyut mengikuti gelombang air. Buah yang jatuh dan hanyut tersebut merupakan pengibaratan manusia yang hanyut dalam perjalanannya menuju kematian. Namun jika dilihat dari alur syairnya, lagu ini berupaya menggambarkan manusia yang sedang mengalami sakaratul maut.

Apabila ditelisik dari diksi-diksi yang digunakan, lagu ini cenderung dibalut dengan ketakutan, kesedihan, dan kalimat – kalimat yang dapat membuat seseorang frustasi. Sehingga dapat menimbulkan depresi, anxiety, histeria, maupun trance.

Ditambah lagi irama gendingnya yang halus, mendayu-dayu, lirih dan mempunyai kekuatan untuk menghanyutkan perasaan pendengarnya. Hal ini dapat dilihat dari apa saja yang terjadi pada saat pementasan, seperti banyak yang mengalami trance atau kesurupan mulai dari menangis, mengamuk, kerasukan roh leluhur, meminta sesaji, dan lain sebagainya.

Beberapa pengakuan masyarakat mengenai pemaknaan dan respon mereka terhadap lagu ini pun sama, seperti yang telah dijelaskan diatas. Mereka seakan diingatkan kembali tentang kematian yang mengerikan itu, ditengah kemeriahan pertunjukkan lengger. Terkadang, ketika mendengar lagu ini, saya pribadi kembali teringat akan takdir misterius itu, di sela hiruk pikuk kehidupan sehari-hari.

Apalagi jika terlarut dengan syairnya yang mengekspresikan kecemasan diambang kematian dan kesedihan orang-orang yang akan ditinggalkan. Hal ini terkadang menjadikan Gondang Keli sebagai momok bagi penonton, maupun praktisi kesenian Lengger, karena lagu ini dapat menyentil psikologi dari para pendengarnya.

Kesurupan yang terjadi pada saat lagu ini dimainkan pun tidak hanya dari penarinya, namun bisa dari pengiring maupun penonton secara acak. Untuk itu banyak klaim yang mengatakan bahwa lagu ini cenderung berbahaya bagi pertunjukkan.

Namun di sisi lain, banyak juga kelompok kesenian Lengger yang menjadikan Gondang Keli sebagai primadona pertunjukkan, karena banyak terjadi fenomena yang dapat menarik perhatian. Sekaligus lagu wajib yang dimainkan guna menyisipkan nasihat atau pun pengingat kepada masyarakat yang datang.

BACA JUGA:  Postpartum : Pelajaran Pertama Membenahi Perut oleh Kala Teater

Setidaknya itu yang menjadi narasi umum dan arus utama, pada produksi pengetahuan masyarakat Wonosobo. Narasi dan kesan yang menjadi arus utama ini terus dijadikan kanon oleh masyarakat, para praktisi, agen-agen pemerintahan, maupun intelektual yang ada di Wonosobo.

Pemaknaan Gondang Keli yang menjadi arus utama ini, memantik pertanyaan kawan kecil saya: “Mengapa kematian dianggap menakutkan? Mengapa kematian dianggap menyedihkan?”. Pertanyaan diatas seakan memberikan konsekuensi logis tentang pandangannya terhadap kematian yang berbeda dengan masing-masing orang pada umumnya. Guna menghadirkan pemakanaan serta pertanyaan baru mengenai Gondang Keli, maka terciptalah karya Ngeli tersebut.

ngeli 2 | “Ngeli” : Reinterpretasi Gondang Keli oleh Miftah Alif Pambudi dan Thea
Re-Interpretasi Gondang Keli

Ngeli dalam upayanya melampaui narasi utama Gondang keli, mencoba mendekonstruksi pemaknaan umum terhadap kematian. Ngeli membangun ulang pandangannya terhadap kematian yang tadinya menyedihkan, menjadi suatu kebahagiaan. Karena menurut Alif dan Thea, ketika manusia mati maka ia telah kembali kepada Tuhan yang menciptakannya.

Maka karya ini berupaya mengandaikan betapa bahagianya seseorang ketika dipertemukan kembali oleh Tuhannya. Melalui pertunjukannya, Alif dan Thea membagi formnya menjadi tiga bagian diantaranya:

Bagian 1: Kecemasan akan kematian

Pada bagian awal mereka menggunakan unsur-unsur musikal, serta gerak tubuh yang masih mirip dengan Gondang Keli pada umumnya. Seperti alunan musik yang mendayu-dayu, penggunaan bende, melodi, dan gendhingnya yang masih menggunakan laras slendro pathet manyura. Syair pada bagian awal ini juga masih mengambil beberapa dari lagu aslinya, seperti “Ala Gondhang Keli” yang sangat khas dan dinyanyikan pada pembukaan lagu.

Disusul dengan pengarapan musiknya yang bernuansa hening dan khusyuk, sehingga membuat sakralitas pada lagu dan tarian ini sangat terasa. Kemudian didapati pula adanya ilustrasi vocal menggunakan sindhenan slendro minir. Ilustrasi tersebut biasanya digunakan pewayangan untuk menggambarkan kesedihan. Alhasil, suasana yang dibangun pada awal, cenderung didominasi dengan nuansa kesedihan, sebagaimana kanon yang ada di masyarakat Wonosobo sendiri.

Meskipun penyajian bagian ini cenderung menyerupai suasana Gondang Keli arus utama, namun pada kerja kompositorisnya tidak semena-mena menggunakan apa yang ada pada lagu aslinya, melainkan pengembangan dari cengkok-cengkok instrumen gamelan dengan konvensi karawitan. Apabila dielaborasikan dengan refleksi saya, bagian ini seperti menggambarkan pergumulan manusia atas kehidupan maupun hal-hal duniawi yang berhadapan dengan kematian, baik secara konsep maupun realitanya.

Bagian 2: Merayakan Kematian

Bagian kedua ini telah berhasil membuat saya tersentak. Seakankesedihan dan kekhusyukan yang dibangun pada bagian awalnya lekas dihancurkan pada bagian ini. Melalui spirit dekonstruksi, komposer mengubah garapannya mulai dari suasana yang dibangun, dinamika, melodi, vocal, ritmis, hingga penggunaan pathet.

Berawal dari modulasi atas repetisi melodi akhir pada bagian awal, bagian ini komposisinya lekas dibingkai dengan kesan bahagia. Sedangkan teknik kompositorisnya menggunakan sukat ganjil seperti 3/4, 6/8, 7/8 dan sinkopasi pada pola ritmisnya. Hal ini ditandai dengan sang komposer yang memberikan efek kejut ala iringan tari kreasi kerakyatan yang girap-girap, kemudian tiba-tiba diturunkan lagi dinamikanya. Komposer juga menggunakan beberapa cengkok sindhenan dan gerongan (koor vokal pria) khas kesenian lengger Wonosobo, yang disusun menggunakan konsep padang ulihan atau tanya jawab.

BACA JUGA:  Kepuasan Estetis Saja Belum Cukup : Catatan atas monolog “Ibu Bumi” – Teater Hampa Indonesia di Universitas Negeri Malang

Syair yang berbunyi, “Sing iling lan waspada, ana ing donya sepiro lawase, tinibarat wong dolan mung mampir ngumbe, mula kudu pada eling pangerane, kanggo sangu akhirate, dimen gampang melbu suwargane” telah dibalut dengan nuansa gembira serta tarian yang gesit, menandakan penerimaan seseorang terhadap takdirnya akan kematian serta bagaimana cara hidup kita dalam mempersiapkan diri ketika ajal menjemput. Suasana tersebut membuat saya merasakan adanya titik terang dari pergumulan, keterpurukan, dan kesedihan yang dibangun pada bagian awalya.

Hal ini diperkuat dengan sang penari yang tiba-tiba menyanyikan syair, “Garise pepati wus pinesti, tan bisa nyelak’i” yang artinya garis kematian itu sudah pasti, tanpa bisa disela. Penerimaan tersebut disambut dengan suka cita dan juga digambarkan sebagai wujud rasa bersyukurnya kepada Tuhan, karena telah memberikan kesempatan untuk hidup walaupun singkat. Ibarat “Wong dolan mung mampir ngumbe” alias hidup itu hanya sementara. Kita juga harus selalu ingat dan waspada dalam hidup, untuk bekal di akhirat maupun di kehidupan selanjutnya.

Bagian 3: Penyatuan Manusia dengan Tuhan

Masuklah ke bagian terakhir, dimana dinamika lekas berubah menjadi keheningan. Iringan bendhe dan lantunan sindhen yang menyanyikan syair “ana tangis kelayung-layung, tangise wong wedi mati, gedhongana kuncenana, wong mati mangsa wurunga” membuat bulu kuduk saya merinding. Seraya kesunyian yang dibawakan oleh para penampil, membuat saya diingatkan kembali oleh kematian. Entah itu kematian orang-orang yang sudah mendahului saya, ataupun kematian saya sendiri yang selalu berujung pada kepasrahan kepada Tuhan.

Keheningan terasa bertambah khusyuk ketika koor vokal pria masuk menyanyikan “E yola elo yaelola” berulang kali, menggunakan teknik kanon seperti berdzikir. Penarinya pun mengusung pola lantai melingkar, berputar, lalu berhenti mengikuti ritme vokalnya. Bagaikan detak jantung yang menandakan ritme kehidupan.

Tiba-tiba ketika musik diambang klimaks, sebait syair berbunyi “Hanyawiji nunggal rasa, Rama Rama Rama” lekas dinyanyikan memecah suasana. Seolah mengandaikan degupan jantung itu terhenti dan manusia mati, disitulah terjadinya penyatuan diri dengan Tuhan. Pada adegan ini sang komposer menggambarkan betapa bahagianya ketika kita sebagai manusia kembali menyatu dengan Tuhan.

Hal ini dilukiskan pula dengan syair yang berbunyi, “Pantes luwes polatane, lambehane solah bawane nyengsemake” yaitu betapa sempurna paras dan lambaiannya, seakan Tuhan menyambut dengan segala cinta kasih-Nya.

Selanjutnya, dawai siter dan saxophone lekas dimainkan dengan harmonis, membangun suasana pertunjukkan menjadi syahdu dan romantis. Hal ini ter-afirmasi dengan dilantunkannya syair berbahasa Indonesia yang berbunyi:

“Mengalir hanyut diterpa air, Sembunyi di relung hati, Bercumbu mesra hangat menyatu, Dalam lamunan kuterpaku. Cinta hanyut dalam jiwa, Berbuah indahnya, Mengapa kau berduka cita, Sedangkan ku bahagia”

Syair itu diiringi dengan musik megah yang keluar dari bilah-bilah gamelan yang dipukul dengan crescendo, lalu diakhiri dengan fade out. Mirip seperti ending lagu-lagu pop nostalgia 90-an.

Dari syair dan ilustrasi tersebut tergambar jelas romantisme yang dihadirkan, ketika seniman mengandaikan penyatuan manusia dengan Tuhannya. Terlihat juga maksud dari seniman dalam membuat karya ini, yang merupakan negasi atas pemaknaan Gondang Keli dalam narasi utama. Dengan menanyakan ulang, bagaimana jika kematian itu merupakan pertemuan kembali dengan Sang Pencipta, bukankah itu membahagiakan?

BACA JUGA:  Sang Prabu dan Songsong Emas Belok ke “Kiri” : Catatan atas Pertunjukan “Prabu Cakrabaskoro” — Kethoprak Srawung Bersama
ngeli 3 | “Ngeli” : Reinterpretasi Gondang Keli oleh Miftah Alif Pambudi dan Thea

Karya ini ditutup dengan “gong” yang unik, yaitu ketika koreografer membuat saya, penonton lain, dan para penarinya kebingungan. Pasalnya di tengah kesunyian panggung dan persiapan saya untuk bertepuk tangan, Thea yang berada di barisan para penari, tiba-tiba saja berjalan ke panggung bagian depan.

Ia meninggalkan rombongan penari lain yang sedang berpose, dan mengatakan gong penutup itu dengan lantang. “Yen angening atiku tan bisa dipenggah, mongko pasuryanmu tan mengas sajroning hening wanginanku.” yang artinya, “Jika kerinduanku tidak lagi terbendung, maka jangan palingkan wajah-Mu di keheningan ajalku.” Lalu lampu di panggung mulai redup dengan keheningan seper-sekian detik, tepuk tangan riuh menghantarkan para penampil menuruni panggung.

Interpretasi saya tentang karya Ngeli tidak jauh berbeda dengan maksud para seniman. Bahwa pada bagian ini, mereka menggambarkan ketenangan dalam proses menjelang kematian. Yaitu ketika seseorang melepaskan segala kesenangan maupun hubungan keduniawian, melalui perhelatan pikiran dan perasaan. Kemudian berserah diri dan berdoa menunggu kematian yang datang, sehingga keheningan dan kebingungan pada bagian penutup saya tangkap sebagai misteri dari kematian itu sendiri.

Ngeli: Upaya Melampaui Narasi Utama

Para pembuat karya ini mencoba mengonstruksikan pemaknaannya tentang kematian. Dengan mengartikulasikan konsep cinta Jalaludin Rumi, yang mungkin dihayati oleh sang seniman. Serta mengandaikan kebahagiaan dan romantisme antara manusia dengan Tuhan. Jalinan yang mungkin terjadi pada perjalanan hidup manusia menuju kematian ataupun setelahnya.

Namun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa cinta, kebahagiaan, dan romantisme tersebut, tetaplah menjadi sebuah misteri, sekaligus pertanyaan bagi semua umat manusia dalam memaknai kematian. Begitu pun sebaliknya pemaknaan tentang kematian yang mengerikan ataupun menyedihkan, hanya salah satu cara manusia yang hidup melihat kematian. Apa yang sebenarnya terjadi saat kita mati ataupun menjelang kematian adalah misteri dalam kehidupan manusia yang belum bisa terpecahkan.

Mungkin disinilah spirit lain dari lagu Gondang Keli. Lagu ini sangat terbuka untuk berbagai pemaknaan, sehingga kiranya tidak bisa dibekukan dengan satu interpretasi maupun narasi saja. Upaya Ngeli dalam memahami ulang lagu Gondang Keli pun pada akhirnya berhasil keluar dari narasi arus utama. Hal ini menunjukkan, pentingnya kita menanyakan dan memaknai ulang segala hal yang ada di sekeliling kita. Berkat fluiditas yang ditawarkan pada lagu ini, Gondang Keli saya rasa akan terus eksis  ada untuk mengingatkan kita tentang Kematian.

Lysandra Zulfa Anindita
Latest posts by Lysandra Zulfa Anindita (see all)

Lysandra Zulfa Anindita

Lysandra, saat ini sedang menjalani kariernya sebagai seorang musisi freelance yang tertarik belajar menulis dan mendalami kajian-kajian seputar kesenian, kebudayaan, sejarah, sosial, spiritual, kajian gender dan kajian interdisipliner lainnya. Alumni Jurusan Pendidikan Musik Universitas Negeri Yogyakarta ini berasal dari Wonosobo dan kini tinggal di Yogyakarta.