Apa Kau Percaya Kesakitan Ini Bisa Dibagi dan Disembuhkan Bersama Jalan Memutari Diri? | Catatan dari Kelas Kala Teater
[Alghifahri Jasin]. Ada banyak tempat untuk merasakan denyut dari sebuah kota. Kita bisa merasakannya dari jalanan, pasar, pelabuhan, bandara, atau bangunan situs sejarah. Mobilitas tinggi dari sebuah kota tidak jarang meluruhkan tenaga para warganya. Orang-orang menukar waktu dengan kebahagian-kebahagian yang mereka rancang. Buat saya, kota selalu spekulatif dan tidak henti-hentinya dijalani.
Jalan, Mengalami Makassar
Mental warga kota dibentuk dari bangunan ke bangunan, dari jalan ke jalanan, dan dari pinggir ke pinggiran. Pertumbuhan infrastruktur sangat subur di Makassar, tetapi mereka tidak menanam ruang terbuka lebih banyak. Proyek Strategis Nasional (PSN) 10 tahun belakangan dan reklamasi di Pantai Losari banyak mengubah wajah pesisir Makassar. Pada waktu tertentu, rasanya ada retakan di dalam diri kita saat menyadari Makassar ditumbuhi proyek-proyek yang tak seharusnya ada di sana.
Kami memulai kelas teater yang diselenggarakan Kala Teater atas kerja sama dengan Bina Budaya melalui program MTN (Manajemen Talenta Nasional) dengan berjalan kaki mengalami Makassar. Ada dua lokasi yang ditelusuri. Pertama, kawasan pecinan. Kedua, Pantai Losari. Kedua tempat ini tidak jauh dari Benteng Fort Rotterdam sebagai tempat utama kelas teater ini berlangsung.
Benteng Fort Rotterdam juga bisa dilihat sebagai monumen dari perkembangan kota Makassar. Dahulunya terdapat tiga kampung di wilayah Benteng Fort Rotterdam, seperti Kampung Cina, Kampung Arab, dan Kampung Beru. Hingga hari ini, beberapa bangunan kolonial masih berdiri di sekitar Benteng Fort Rotterdam. Sisa-sisa bangunan itu menjadi cerita untuk dituturkan sebagai pengetahuan. Saya kira, kota-kota bekas dudukan kolonialisme akhirnya menjadi ingatan kolektif warganya. Sialnya, ingatan itu selalu menjadi halaman pertama saat memperkenalkan kota ini.
Sebagai metode, berjalanan kaki membuat kami lebih lama merasakan peristiwa. Perjalanan kami juga dipandu oleh Ansar Mulkin Bas. Pengalaman saat berjalan kaki sangat variatif dirasakan oleh kami. Para peserta menukar asumsi dan pengalamannya selama berjalan. Selain itu, Shirotama Hitsujiya, seorang sutradara teater dari Jepang, juga menyenangi sesi tersebut. Pada malam pembukaan dia bercerita bahwa saat pertama kali sampai di Makassar, dia berkunjung ke sebuah salon untuk bisa mendengar bunyi-bunyi bahasa yang dikeluarkan oleh para pekerja salon. Baginya, berjalan kaki merupakan kesempatan untuk mendengar lebih banyak suara dari Makassar.
Berjalan kaki¾di jalur pedestrian yang masih minim¾menyisakan pengalaman bahwa pejalan kaki di kota ini masih diintai oleh sejumlah bahaya. Jalanan di kota ini belum ramah terhadap pejalan. Pengalaman ini pula yang diserap peserta yang seluruhnya punya latar belakang sebagai sutrada teater. Terhitung kurang lebih 15.000 langkah yang dijalani saat menyusuri kawasan pecinan dan Pantai Losari. Aktivitas berjalan kaki sepertinya menghubungkan kembali diri kita dengan kendaraan paling purba yang dimiliki manusia yaitu kaki.
Playback Theater:
Pada pengujung bulan, 31 Agustus 2024, kelas teater berlangsung di ruangan Capel. Dalam ruangan itu ada 16 sutradara dari berbagai wilayah di Indonesia. Enam belas sutradara itu adalah Anwari (Sumenep, Jawa Timur), Arifin Baderan (Palu, Sulawesi Tengah), Ibed S. Yuga (Bantul, DI Yogyakarta), Luna Kharisma (Solo, Jawa Tengah), Ni Luh Putu Wulan Dewi Saraswati (Denpasar, Bali), Nurul Inayah (Makassar, Sulawesi Selatan), Sartian Nuriamin (Kolaka, Sulawesi Tenggara), Silvester Petara Hurit (Larantuka, NTT), Sultan Mahadi Syarif (Jakarta Pusat, DKI Jakarta), Syamsul Fajri (Mataram, NTB), Tamimi Rutjita (Tangerang Selatan, Banten), Tya Setiawati (Padang Panjang, Sumatera Barat), Verry Handayani (Sleman, DI Yogyakarta), Wachid Adnan (Bangka Barat, Kep. Bangka Belitung), Wendy HS (Tanah Datar, Sumatra Barat), dan Muhammad Adil (Polman, Sulawesi Barat) yang tiba 1 September. Shirotama Hitsujiya dan Shinta Febriany bertindak sebagai fasilitator. Sementara itu, untuk mentranslasi bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Tomomi Yokosuka.
Hari kedua dan ketiga, konsentrasi kegiatan sepenuhnya di Capel Benteng Fort Rotterdam. Shirotama Hitsujiya meminta para peserta membuat lingkaran. Ia melayangkan pertanyaan, “Siapa di antara kalian yang suka makanan manis?” tujuannya membuat para sutradara bisa membangun dialog. Para sutradara mulai memeriksa diri mereka masing-masing. Pertanyaan Shirotama semakin lebar ketika makanan atau minuman manis itu menjadi lebih spesifik. Merekapun riuh membicarakan soal pertanyaan Shirotama. Kemudian, Shirotama menepi ke salah satu meja. Dia mengeluarkan sekantong camilan dari dalam tasnya, lalu dibagikan ke setiap sutradara. Pembicaraan berlanjut lagi tentang camilan apa yang sementara mereka pegang. Bungkusan camilan dengan tulisan Jepang di sana sangat asing bagi mereka.
Format lingkaran yang semula besar tadi kini lebih kecil. Ada empat lingkaran kecil terbentuk. Empat lingkaran itu adalah hasil pembagian kelompok. Mereka diminta berdiskusi selama 10 menit untuk mempresentasikan cerita rakyat dalam waktu semenit. Cerita-cerita yang dipresentasikan seperti Malin Kundang, Putri Mandalika, Rama dan Shinta, dan tentang persabungan ayam.
Shirotama Hitsujiya membagi pendekatan penciptaannya yang sementara dia lakukan akhir-akhir ini. Playback Theatre adalah metode yang Shirotama lakukan dalam penciptaan. Kerangka di dalam Playback Theatre membutuhkan satu pencerita/taler dan satu pendengar/kondaktur. Pencerita akan membagikan pengalaman tragis atau pengalaman trauma kepada kondaktur. Selanjutnya, kondaktur nanti akan menceritakan ulang kisah dari pencerita kepada aktor. Metode ini diadopsi dari psikiatri dalam menangani pasien. Shirotama memakai pendekatan Playback Theatre karena membaca tingkat bunuh diri yang tinggi di Jepang dan trauma seseorang.
Saya menangkap rasa bingung di wajah Shirotama Hitsujiya. Ia sementara mencerna apa yang dilihatnya saat itu. Mengapa para sutradara itu spontan menunjukkan tubuh yang terbuka dan ekspresi riang saat membicarakan makanan di awal tadi? Pemandangan itu mungkin berbeda dengan di Jepang. Orang-orang tidak langsung menunjukkan keterbukaannya dalam sekejap mata. Asumsi saya, tubuh kita punya akar-akar sosial yang kuat sehingga hal itu membuat kita menjadi komunal. Namun, saya tidak ingkari perlahan-lahan teknologi dan suhu politik mulai mengganggu laku sosial kita.
Saat itu, Shirotama Hitsujiya langsung mempraktikkan cara kerja Playback Theatre di hadapan peserta. Wendy HS mengajukan diri untuk bercerita. Beberapa bulan yang lalu ia menemukan kerabatnya meninggal karena banjir yang melanda kampungnya. Shirotama mendengarkan cerita Wendy HS dan meresponsnya dengan pertanyaan-pertanyaan rinci seperti, sekitar pukul berapa hujan turun dan banjir itu datang, apa perbincangan terakhir dengan almarhum. Kondaktur memposisikan dirinya untuk menggali objektivitas kejadian. Sementara itu, sisi emosi, simpati, dan perasaan hanya datang dari penceritanya langsung. Setelah bercerita, Wendy HS diminta menunjuk kawan sutradara untuk memerankan setiap tokoh dalam ceritanya. Dia menunjuk Anwari, Nurul Inayah, Ibed S. Yuga, Syamsul Fajri sebagai aktor, dan Luna Kharisma mengisi musik latar dengan gitar.
Mereka mempresentasikan cerita Wendy HS dengan alur cerita yang disimak sebelumnya. Para aktor membangun dialognya pada saat itu juga. Improvisasi mengalir. Proses Playback Theatre memiliki koridor kerja. Cerita dibangun dari tiga tubuh yang berbeda. Hal tersebut menampilkan jarak. Jarak itu diproses dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Keluaran dari metode ini adalah membuat penyintas, dalam hal ini pencerita, bisa menyembuhkan dirinya. Playback Theatre memperlihatkan bagaimana luka akhirnya dibagi dan disembuhkan bersama-sama.
Penawar Sakit:
Setiap sutradara membagi metode penciptaannya di kelas. Mereka diberi kesempatan 30 menit untuk presentasi. Selama dua hari para sutradara saling mengintip, mengulik, dan membagi pendekatannya. Shirotama tidak luput menyerap presentasi mereka. Dalam pendekatannya, para sutradara memeriksa kenyataan yang ada di sekelilingnya sebelum membungkusnya sebagai satu peristiwa di hadapan penonton. Desain kerja sutradara dimulai dengan aktivitas riset. Lalu, dilanjutkan dengan merembukkan hasil serapan selama riset berlangsung.
Karya akhirnya diciptakan secara bersama-sama. Hal itu yang saya temukan ketika menyimak seluruh presentasi mereka. Saya melihat penciptaan bersama ini memberi ruang perbincangan seluas-luasnya. Penciptaan yang dilakukan bersama-sama juga menetapkan mata saling melihat proses antar satu sama lain. Isu-isu marginal sering kali jadi pembahasan utama mereka dalam menetapkan suatu karya. Para sutradara atau seniman Indonesia, saya pikir, memiliki kepekaan dalam menanggapi permasalahan yang berada di sekitarnya. Terlebih isu-isu tersebut kerap kali diabaikan negara. Dan tidak jarang mereka justru membuka pertanyaan baru atas luka-luka besar yang diabaikan. Nampaknya, tubuh-tubuh kita disusun dari sejumlah ‘kekerasan’. Dalam kesakitan, kita berusaha memulihkan diri. Memulihkan masyarakat. Kesenian akhirnya salah satu penawar yang kita pilih.
Presentasi berlangsung selama dua hari. Tahap selanjutnya adalah membagi peserta menjadi empat kelompok. Pembicaraan terjalin intens pada saat pembagian kelompok. Tawaran yang muncul pada forum adalah apakah pembagian kelompok dilakukan oleh para peserta sendiri atas dasar rasa kecocokan metode penciptaan. Akan tetapi, tawaran lain muncul dari peserta. Tawarannya adalah mempersilakan Shirotama membagi kelompok tersebut. Shirotama membagi empat kelompok dengan mempertimbangkan hal-hal seperti gender, asal wilayah, nomor kamar hotel, pengalaman, dan metode penciptaan. Semua hal itu dihitung dalam keputusan siapa-berada- di kelompok-mana.
Kelompok Pallu Basa terdiri atas Ibed S. Yuga, Tyan, Muhammad Adil, dan Tya. Kelompok Rotterdam Rele adalah Tamimi, Silvester, Muhammad Adnan, dan Wendy HS. Kelompok Damn In Situ adalah Wulan, Anwari, Verry, dan Arifin. Kelompok Kuartet Studio adalah Nurul Inayah, Sultan, Luna Kharisma, dan Syamsul Fajri. Demikian format kelompok yang Shirotama bagi. Apa yang akan mereka lakukan selanjutnya mencoba metode Playback Theater untuk membuat garis narasi karya. Shirotama memantik forum dengan kalimat “Tempat ini adalah pertama yang pernah kaulihat”. Kalimat itu punya rasa de javu dan dimungkinkan setiap sutradara menginterpretasikannya.
Keempat kelompok menyisiri Benteng Fort Roterdam. Setelah menentukan piilihan, mereka mendiami tempat itu lalu berdiskusi. Kelompok Pallu Basa berada di bagian kepala Benteng Rotterdam, mereka bertukar pengalaman saat pertama kali tiba di Makassar. Kelompok Rotterdam Rele memilih situs makam dan mengobrolkan perilaku tubuh tradisi kita ketika melakukan ziarah. Kelompok Damn In Situ memilih Bastion Ambonia, mereka menangkap ada lintasan kematian dan kehidupan di tempat itu. Kelompok Kuartet Studio memilih taman di bawah Capel dan membahas bagaimana kebahagian kadang kali ditanggalkan. Nantinya, mereka mempresentasikan hasil kelas lab ini di hadapan publik.
Saya tidak melihat teks di atas kertas selama mereka membangun karyanya. Teks itu justru hadir dalam diri mereka, sebab mereka membangun dialog terbuka. Kemudian, tubuh teks diproses menjadi adegan. Keempat kelompok beserta Shirotama dan Shinta Febriany juga berdiskusi memperhitungkan alur penonton. Saya menyaksikan Damn In Situ intens mengsketsa ‘geografis’ panggung yang sementara mereka ciptakan. Mereka juga memakai mata kamera untuk mengukur mata penonton. Hal-hal kecil itu tidak sekadar dihitung. Saya pikir, sebagai ‘ruang antara’ teater bermain-main dengan kenyataan. Jika kenyataan jauh dari penonton, maka teater mendekatkan kenyataan itu. Apabila kenyataan dekat dari penonton, teater perlu bicara lebih banyak.
Sore, 4 September 2024. Garis matahari melengkung ke Barat. Presentasi dimulai di hadapan penonton. Sebagian saya kenali, tetapi lebih banyak wajah baru. Bagian itu menyenangkan saya karena penonton teater rupanya bertumbuh. Saya membayangkan, mereka pulang menukar pengalaman menontonnya dengan banyak kerabat atau membicangkan isu yang diangkat dalam presentasi itu di meja kopi. Kita akhirnya menemukan penawar untuk memulihkan diri kita dalam kekacauan ini.