fbpx
Jumat, April 26, 2024
ULASANPanggung Teater

Aktor Amatir: 2 x 1 Meter for Art and People

[Ridwan Hasyimi]. Panggung—sebagaimana kesenian—adalah dunia kemungkinan. Yang mustahil di alam realitas faktual dapat “menjadi” di panggung. Level 2 x 1 meter yang demikian kecil itu bisa jadi lorong petualangan ke berbagai dunia kemungkinan. Demikian yang diupayakan Ngaos Art melalui pementasan teater Aktor Amatir yang “menetas” pada Rabu, 13 Oktober 2021 di Studio Ngaos Art, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Disebut menetas sebab pementasan ini merupakan bagian dari program Menetas Sebelum Pentas yang dihelat Ngaos Art sejak September 2021.    

Pementasan dimulai pukul 19.30. Sebelum masuk ke ruang pertunjukan, penonton disambut instalasi berupa lukisan sosok manusia, kursi besi, dan topeng-topeng yang tergeletak di atas level. Sedikit bergeser, ada petugas yang memandu penonton dan mengingatkan agar terlebih dulu mencuci tangan dengan sabun di tempat yang telah disediakan. Mereka juga memastikan suhu tubuh penonton berada dalam batas normal sebelum masuk ke ruang pertunjukan.

Di ruang pertunjukan, penonton disambut temaram lampu panggung dan alunan musik.  Ada empat tumpuk level putih 2 x 1 meter di panggung. Hanya itu. Usai bersama-sama melantunkan sholawat, sutradara terlebih dulu menyampaikan gagasan proses kreatifnya kepada penonton. Hal seperti itu telah menjadi kebiasaan di Ngaos Art sejak beberapa waktu lalu, bukan suatu yang baru. Umumnya, sinopsis atau cerita proses kreatif tertulis dalam leaflet atau booklet yang dibagikan kepada penonton sebelum pertunjukan mulai. Ngaos Art mencoba mengalihwahanakan itu ke dalam tuturan lisan. Untuk konteks masyarakat dengan memori kolektif tradisi lisan yang lebih kuat daripada tradisi tulisan, hal demikian dipandang lebih cocok.

Memaparkan ide kreatif di awal menjadi cukup menarik sebagai bingkai atau konteks. Karya seni tanpa konteks ibarat panah tanpa sasaran. Di lain sisi, karya seni jadi memiliki juru bicara selain dirinya. Ia tidak cukup mempresentasikan dirinya oleh dirinya sendiri.

Akan tetapi, betapa pun otonomnya karya seni, ia adalah anak batin dari seniman penciptanya. Meski memberi ruang pengembaraan yang bebas, seniman tetap memiliki tendensi untuk memastikan anaknya “selamat sampai tujuan”.

Dengan urutan acara seperti itu, Ngaos Art percaya bahwa pertunjukan dapat diapresiasi dengan lebih khidmat alih-alih membatasi horizon interpretasi penonton. Apa yang hendak dituju kreator bisa lebih tepat sasaran meski masih sangat mungkin disalahpahami.

Aktor adalah…

Tujuh aktor dengan kostum kaos polos dan celena pendek menurunkan level dan meletakannya terpisah: tiga membujur dan satu melintang. Tiap aktor mengenakan kaos dengan warna yang berbeda: biru, merah, kuning, hijau, merah muda, ungu, dan toska. Tujuh warna di atas kanvas putih. Bahwa yang utuh dan yang satu itu terdiri dari ragam yang aneka.  

Tiga orang terlentang di tiga level berbeda. Dua berdiri dan satu duduk di level yang melintang. Bunyi-bunyi khas ruang ICU melatari adegan. Tujuh tubuh mempresentasikan tubuh yang sakit: menggeliat, mengerang, meraung, megap-megap, mengaduh, batuk, dan muntah-muntah.

BACA JUGA:  Dance with the Minotaur: Bertandak Tindak Tanduk yang Tunduk

Tapi mereka bukan pasien rumah sakit. Dialog mereka dengan jelas menunjukan bahwa mereka aktor yang mau pentas. Tubuh-tubuh sakit itu adalah proyeksi kegawatan aktor (amatir) menjelang pementasan: nafas mendadak tersendat, ingin pipis, mulas, keringat dingin, dan lain sebagainya. Sekilas, adegan itu terkesan hiperbolis. Namun, siapa saja yang pernah main teater akan cenderung  sepakat dengan segala kegawatan itu.

Adegan selanjutnya, empat level ditumpuk melintang. Sirine meraung. Satu persatu level disimpan perlahan. Enam aktor mengelilinginya seperti tawaf terbalik namun dengan kecepatan yang makin meningkat. Seketika, dua tubuh menjadi kursi. Tiga tubuh lain menjadi jam. Dua sisanya berperan sebagai orang sakit dan pensiunan aktor yang lantas menjadi “orang pintar”.

Di atas empat tumpuk level 2 x 1 meter itu semua adegan selanjutnya berlangsung. Ada tujuh fragmen dan enam adegan peralihan. Tiap kali itu, semua aktor memainkan peran yang berbeda tanpa mengganti kostum atau menambah properti. Hanya aktor.

“Kami kan punya imajinasi, Tad. Tadi jadi mayat, sekarang jadi sak semen,” kata salah satu aktor dalam salah satu fragmen.

Seperti tiadanya seting, properti, dan tata rias, tokoh juga tak bernama diri. Anonim. Hanya ada predikat: ustad, kapten, mayat, sutradara, aktor, anjing, dan lain-lain. Mereka yang anonimus berarti bisa siapa saja. Peristiwa yang dilakonkan di panggung bisa menimpa siapa saja. Penghapusan nama diri bisa jadi semacam strategi mendekatkan peristiwa ke penonton, agar larut dalam pertunjukan.

Tapi, anonimitas dalam Aktor Amatir tidak bermaksud mengajak larut. Tiap kali mereka membangun fragmen, tiap kali itu pula mereka menghancurkannya sampai tak tersisa. Penonton tidak punya waktu untuk larut sebab baru mulai sudah harus selesai. Tujuh fragmen enam transisi itu berlangsung hanya sekitar empat puluh menit. Alih-alih larut secara emosional, penonton terus digoncang dengan patahan-patahan tak terduga. Akibatnya, mereka terus terjaga, waspada, dan sadar bahwa apa yang sedang disaksikan di atas 2 x 1 meter itu adalah pertunjukan teater. Hal  semacam ini yang dalam khazanah teater acap kali ditahbiskan kepada gagasan Bertolt Brecht yang, tentu saja, anti Aristotelian

Kecuali aroma Brechtian, samar-samar tercium pula bebauan Jerzey Growtosky. Oleh aktor, apa saja bisa menjadi apa saja. Aktor dan perbuatan-perbuatannya adalah inti teater. Panggung jadi telanjang, tinggalah aktor dengan segenap tubuh lahir batinnya. Teater Miskin meninggalkan jejak tipis malam itu. Sayangnya, pada beberapa bagian, tujuh tubuh itu belum memiliki imajinasi kolektif yang koheren dan solid. Misalnya, ketika mereka memainkan fregmen “Kapal”. Tubuh putus asa karena tiga tahun terombang-ambing di lautan, kurang begitu kentara.

Meski berjudul Aktor Amatir, pilihan bentuk yang ditawarkan Abuy akan sukar dimainkan oleh aktor tanpa pengalaman panggung yang cukup. Pun demikian dengan kedalaman isi, sulit direngkuh oleh mereka yang masih kesulitan memahami dan mamaknai tanda baca dalam teks drama.

BACA JUGA:  Medium dan Memori Tubuh Penari : Catatan atas “Tubuh-Tubuh Setempat” karya Melynda Adriani

Dengan hanya mengandalkan aktor, tiap kata, tiap gerak, harus ditutur-lakukan aktor dengan penuh sungguh. Kekeliruan kecil dalam pelafalan, umpamanya, dapat mengubah keseluruhan makna. Tujuh tubuh itu tidak semata-mata merepresentasikan peristiwa faktual di atas panggung, melainkan mereka mempresentasikan peristiwa “saat itu” dan “di sana”. Pada titik ini, batas realitas faktual dan realitas artistik (panggung) menjadi tidak jelas dan tidak begitu penting.

“Fakta, fiktif. Tidak jelas siapa yang main, siapa yang nonton,” kata mereka bergantian.

Otokritik dan Segmentasi Penonton

Salah satu kemampuan terunik manusia adalah kesadaran. Manusia memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya. Dengan kesadaran itu manusia juga mampu membuat distansi dengan dirinya dan mengevaluasi diri. Singkatnya, melakukan otokritik. Aktor Amatir berikhtiar melakukan itu.

Mereka mengingatkan pelaku teater akan banyak hal yang dewasa ini boleh jadi acap kali dilupakan. Tangga dramatik Aristotelian yang dulu sakral kini sering dilupakan. Mereka mengingatkan hadirin dan diri mereka sendiri lewat dialog salah satu tokohnya, Yudi. Tak lama berselang, mereka justru meluluhlantakan tangga dramatik yang mereka bangun. Secara keseluruhan, pementasan malam itu anti-Aristotelian. Adegan dibangun, dikembangkan lalu dihancurkan. Alih-alih membangun tangga dramatik yang utuh dari awal sampai akhir pertunjukan, Abuy lebih memilih membuat titian kecil dalam fragmen yang pendek tanpa klimaks yang jelas.

Lewat aktor-aktornya, Abuy juga menggugat frasa lawan main. Kenapa harus dinamakan lawan main dan bukan teman main? Sejak malam itu, Ngaos Art menghapus frasa lawan main dari kamus teater mereka, menggantinya dengan teman main.

Hal yang juga jadi olok-olok adalah tentang seniman profesional versus seniman amatir. Siapa yang disebut seniman profesional? Apakah mereka adalah seniman yang sepenuhnya hidup dari karya seninya dan penuh waktu menjadi seniman? Seberapa banyak mahluk macam itu di Indonesia ini? Lantas, siapa yang amatir?

Sedemikian anak panah yang dilesatkan itu hanya akan menjadi uap bila salah mengenai target. Pada titik ini segementasi penonton menjadi hal tak terelakan. Aktor Amatir adalah potret sebagian dunia teater di Indonesia. Teater yang berhasil adalah yang mampu “klik” dengan penontonnya. Sebagaimana yang umum diketahui dalam ilmu komunikasi, agar komunikasi berjalan lancar, pengirim dan penerima pesan harus memiliki refesensi yang sama. Kode-kode dramatik yang disampaikan akan sia-sia, atau setidaknya disalahpahami, bila kreator dan apresiator memegang kamus yang berbeda.

Sutradara menyadari hal itu. Karenanya, Ngaos Art menjaring penonton yang sesuai deangan lakon yang dimainkan. Mereka yang menonton adalah para pelaku teater yang tentu tidak asing dengan istlah semacam introduksi, incrising action, krisis, klimaks, resolusi, konklusi, teknik proyeksi, menaklukan kata-kata, menghidupkan bahasa, dan lain sebagainya. Atau soal dilema antara dapur dan panggung bagi para pelaku teater.

BACA JUGA:  Sajian Imaji Kebudayaan Anak-anak Zaman Now

Karena punya kamus yang sama, komunikasi bisa berjalan baik. Bentuk dan tema teater tertentu, juga seni secara umum, harus berjumpa dengan segmen penonton tertentu juga. Memaksa penyuka  musik jazz mendengar death metal atas nama apresiasi seni justru malah penyiksaan. Meminjam istilah Putu Wijaya, teater harus menggunakan bahasa yang dimengerti masyarakat. Dalam konteks Aktor Amatir, masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat teater. Tetapi, apakah ini semacam onani kesenian?

Tidak juga. Sebagaimana ditulis di atas, seni tanpa konteks bagai anak panah tanpa sasaran. Ia melesat, namun, ke mana ia tertuju? Tidak jelas. Seni harus punya tujuan sebab ia bukan tujuan itu sendiri. Seni untuk seni (art for art) juga bukan tanpa tujuan, melainkan sangat jelas: mengabdi kepada Dewi Estetika. Apalagi seni untuk masyarakat (art for people).

Meski masih acap disalahpahmi, namun, dengan panggung 2 x 1 meter yang mungil itu, Abuy dan Ngaos Art berupaya merengkuh keduanya sekaligus, for art and people.

Ridwan Hasyimi

Ridwan Hasyimi

Ridwan Hasyimi lahir di Wonosobo, Jawa Tengah. Aktif berkesenian, khususnya teater, sejak duduk di bangku Madrasah Aliyah pada 2006 sampai sekarang. Mendirikan kelompok Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) pada 2010. Bersama istri, mendirikan dan bergiat di Gardu Teater sejak 2018–sekarang. Belajar menari di Padepokan Seni Budaya Rengganis Ciamis. Belajar menulis di Majelis Sore Malam (Marlam) dan Rumah Koclak. Menulis naksah dan esai budaya sejak 2014 serta menyutradarai dan bermain beberapa lakon teater sejak 2007 hingga kini. Tahun 2019 mengikuti lokakarya penulisan esai bertajuk Program Penulisan MASTERA: Esai. Beberapa tulisannya dimuat di Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya, Detik.com, The Columnist.id, Terminal Mojok.co, dan lain-lain. Blog pribadi https://ridwanhasyimi.blogspot.com.