Rabu, Oktober 9, 2024
ULASANPanggung Tari

PALU MENARI FESTIVAL 2022 : Kesadaran Tentang Tubuh Sebagai Kata Kunci

[Renee Sari Wulan]. Ketika mengetahui di Palu (Sulawesi Tengah) ada sebuah festival tari kontemporer lokal, saya segera terbayang tubuh lokal: tubuh Palu, seperti apa? Tubuh lokal yang saya bayangkan adalah tubuh dengan isian yang mengendap; isian itu berupa sejarah dan identitas yang tebal. Kedua hal itulah yang mendesak rasa penasaran saya ke permukaan. Kemudian saya berkesempatan melihat rekaman karya enam koreografer peserta di tayangan Youtube. Di situ saya menyadari pandangan romantis saya yang tidak tepat. Tubuh Palu tentu saja adalah tubuh yang bergerak. Enam karya tari kontemporer yang tersaji menyodorkan pembacaan  maupun ungkapan para koreografer atas diri mereka dan tubuh hari ini.

Tiga koreografer mengerucutkan gagasannya pada persoalan individual. Itu berarti tentang tubuh di ruang mereka hari ini. Muhammad Ikbal Daud (Gorontalo), Dian Anggriani Putri (Palu), Tasya Qumaira (Palu) adalah para koreografer yang langsung menukik pada gagasan tentang tubuh individu hari ini. Mereka masing-masing bicara tentang sejarah suram masa lalu, kekerasan di ruang publik, dan tegangan perempuan di ranah domestik. Mereka tak serta merta menyinggung budaya dan tradisi, walau tentunya tubuh mereka beririsan dengan dua konstruksi sejarah tersebut. Merujuk pada tema “Tubuh dan Ruang” yang diusung pada penyelenggaraan Palu Menari Festival (PMF) 2022, bagi saya jaman pun bisa dipandang sebagai ruang. Ia adalah episode di mana tubuh mengalami lingkaran persoalan tertentu yang berbeda dengan sebelumnya. Era sekarang adalah ruang tempat manusia dituntut untuk lebih menyadari segala hal yang terjadi pada tubuhnya. Kesadaran itu meliputi pengalaman, dampak, reaksi, dan upaya melanjutkan gerak tubuh dengan terus mencari jalan penyesuaian (adaptasi). Syarat utama adalah kesediaan individu membuka, memasuki-melihat-mempelajari, dan keberanian membongkar lalu menyatakan kondisi tubuh (minimal pada diri sendiri).

Tiga koreografer yang saya sebut tadi mewakili individu tersebut. Kesadaran dan keberanian mereka melihat tubuhnya, dengan lebih dalam dan bersungguh-sungguh, adalah hal yang patut dihargai dan diberi poin. Mereka berani dan mampu melihat tubuh apa adanya, lalu menyatakannya. Keberanian itu menghadiahkan kemerdekaan pada mereka dalam bersikap. Ini penting, karena tubuh yang hadir tak lagi palsu.

Tiga koreografer lain melekatkan tubuh pada dominasi kebudayaan dan tradisi. Ada tiga pandangan dari mereka yang saya tangkap: kritis, berdaya, naif. Pandangan kritis pada karya Sri Wulan Devi (Palu), berdaya pada karya Ardan (Donggala), naif pada karya Rintha (Buol). Sri Wulan Devi menyoroti sistem kasta pada masyarakat Hindu. Menarik ketika ia meletakkan tubuh kasta Sudra (kasta terendah dalam empat kasta Hindu) di lingkaran Bali dan lingkaran umum. Ia pun menemukan pernyataan dari sana bahwa tubuh mengalami perlakuan yang berbeda di dua lingkaran itu, dan sejatinya tubuh bisa dilepaskan dari pandangan hirarkis kasta; ia bisa berlaku-berperan sebagaimana manusia-manusia tanpa kasta; pun manusia yang diposisikan di kasta rendah mampu berperan sebagaimana manusia di kasta lain.

Ardan menemukan bahwa tradisi Nisinto memiiki peran penting bagi penguatan mental dan jiwa anak laki-laki akil balik. Menarik bahwa hal tersebut dilakukan melalui bunyi yang bersumber dari kekuatan diri manusia. Nisinto adalah sugesti spiritual melalui bunyi-bunyian yang ada dalam rangkaian ritual adat Toniasa. Toniasa merupakan ritual adat bagi anak laki-laki dan perempuan saat memasuki usia remaja. Proses Nisinto meliputi beberapa tahap yaitu:

  1. CURIGA : mengusir roh jahat dalam diri manusia
  2. KANCI : menguatkan hati agar tidak mudah sakit
  3. ANA BECCI: menjaga keseimbanga pikiran
  4. SINTO : penyatuan raga kepada Sang Pencipta

Saya melihat apa yang ditangkap Ardan di Nisinto sebagai upaya masyarakat memberdayakan manusia yang memasuki tahap remaja.

Rintha menghadirkan karya berjudul Pupusan (keputusan). Karya ini mengambil inspirasi cerita rakyat (dongeng) di Buol Sulawesi Tengah tentang gadis bernama Gaharu yang diperebutkan para bangsawan karena kecantikannya. Ia melakukan bunuh diri demi perdamaian, menghindari pertumpahan darah antara para bangsawan itu.

Bagi saya jika karya ini mau diletakkan di wilayah karya tari kontemporer, maka gagasan tak cukup hanya mengadopsi sesuatu, dalam hal ini cerita rakyat (dongeng). Sebagai penonton saya ingin mengetahui lebih jauh “apa keputusan/sikap” koreografer terhadap sumber gagasan tersebut: mendukung, menolak, mengkritisi, dll? Lalu apakah dasar/pijakan atas sikap tersebut. Akan semakin menarik jika koreografer/kreator melebarkan pandangan-sikap tersebut dengan menghubungkannya pada hal/fenomena lain yang ia temukan di era sekarang.  Maka bahan perbincangan akan semakin riuh. Karya seni kontemporer bagi saya adalah sajian yang tak melulu hadir sebagai hiburan maupun informasi, namun ia juga hadir sebagai tawaran pandangan-sikap kreator yang didialogkan-didiskusikan dengan masyarakat (penonton). Di karya ini kekosongan itu terjadi. Koreografer hanya menghadirkan temuan kisah semata. Jika dipaksakan dicari sikap/pandangan tertentu, atau penonton dikondisikan untuk “menelan” saja karya yang belum bicara apa-apa, maka saya mengatakan ini adalah pandangan yang naif.    

BACA JUGA:  Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta

Berikutnya mengenai eksekusi gagasan di panggung. Bagi saya yang paling “beres” adalah kepenarian. Tubuh-tubuh yang saya lihat tak lagi bermasalah dengan teknik maupun ekspresi gerak pilihannya. Namun sebagai karya koreografi kontemporer yang membawa pesan dan ekspresi, dengan bahasa estetika tertentu, ada beberapa catatan saya.

Di Tikam Jejak (Mohammad Ikbal Daud – Gorontalo) yang paling menonjol adalah kekuatan irama yang terjaga dengan baik dari awal hingga akhir. Ada intensitas irama yang bisa saya rasakan. Tubuh mampu berkomitmen mengikuti irama tersebut dengan baik. Pilihan irama tersebut memang jitu menghadirkan ruang bagi emosi tubuh ketika harus berbicara tentang masa lalu dengan kesuraman yang kompleks. Dalam ruang tersebut ada tubuh yang ditekan, dihempaskan, tangisan, …… Di sisi lain karya ini kehilangan konteks. Tak jelas apa yang terjadi di masa lalu sehingga sebagai penonton saya tidak mendapatkan “karakter luka”. Luka macam apa, akibat dari sesuatu yang seperti apa, sehingga harus dihapus-dihilangkan-ditikam jejaknya. Begitu banyak ragam luka di kehidupan manusia, yang dibicarakan luka yang mana?

Di sinopsis ada pandangan menarik dari koreografer ketika ia menyebut waktu kini sebagai proses, masa depan adalah mimpi. Namun saya tak menangkap penjabaran kedua hal itu secara lebih luas di panggung. Yang juga hilang adalah pembacaan ketiga waktu tersebut sebagai satu kesatuan isu.

Survival Reflex (Dian Anggriani Putri – Palu) berbicara seputar tubuh yang merespon sesuatu yang mengancam (trauma, dll), dan juga  perihal kekerasan di ruang publik. Ia mengundang penonton memenuhi panggung. Mereka semua berada dalam cahaya merah yang redup. Penari (satu orang) bergerak dalam kondisi tertutup matanya dengan kain hitam. Ia merespon keterbatasan ruang geraknya di tengah kerumunan penonton dan ruang yang terbentuk dengan potensi ancaman di dalamnya.

Karya ini saya tangkap sebagai sebuah uji coba tubuh. Namun, sekali lagi, apa yang tersaji di panggung hanya tertangkap sebagai informasi belaka. Saya (penonton) tak ikut terlibat dalam merasakan “tubuh yang terancam” maupun “tubuh yang dibatasi”. Jika saya coba lebarkan lagi kepada pembacaan koreografer atas keterbatasan dan ancaman, saya tidak menangkap kalimat lain yang merangkum temuan maupun pengalaman uji coba tersebut.

Katuvuana Mombine (Tasya Qumaira – Palu).  Di karya ini koreografer berbagi tangkapannya tentang  kehidupan domestik perempuan suku Kaili. Panggung terbagi dalam tiga ruang yaitu kamar tidur (tengah belakang), dapur (sisi kanan depan) dan ruang duduk  (ruang rias? di sisi kiri panggung). Melihat hal tersebut saya tak merasakan perbedaan dengan kehidupan domestik perempuan pada umumnya. Saya tak menangkap hal unik sebagai penanda khusus kehidupan perempuan Kaili di ruang domestik. Dengan demikian saya akan fokus pada perbincangan tentang perempuan dan ruang domestik.

Ada cerita tentang lelah dan marah. Di sisi lain juga bicara tentang kekuatan perempuan yang mampu bekerja lebih dari 24 jam. Jika kalimat kedua merupakan penunjuk terhadap utopia tertentu, maka kedua kalimat tersebut menyatakan sesuatu yang ambigu. Sampai hari ini saya masih merasakan kondisi dilematis tersebut menimpa para perempuan. Kalaupun koreografer tak mengkaitkannya dengan suku Kaili, isu ini masih kuat relevansinya dengan situasi perempuan sekarang. Namun di sisi lain ada hal menarik ketika ternyata konsep “kehidupan perempuan”  terdapat dalam kosa kata bahasa Kaili, yaitu katuvuana mombine. Keterbukaan koreografer mengangkat tema ini adalah sesuatu yang perlu saya tandai sebagai daya ungkap kejujuran personal perempuan. Apakah daya ini ia dapatkan dari interaksinya dengan perempuan/masyarakat suku Kaili? Saya menanti jawabannya.  

BACA JUGA:  TubuhDang TubuhDut: Ada Siapakah di Sana?

Di pentas tubuh penari bergerak bebas dan otentik. Pergumulan tubuh perempuan di ruang dilematis tampak mendominasi pertunjukan. Hal itu meningkat tekanannya pada akhir pertunjukan ketika penari membuang benda hingga pecah. Saya menangkap karya ini membentangkan narasi pergumulan perempuan dalam perannya; jika demikian maka yang belum terlihat adalah kompleksitas dari pergumulan tersebut. Seperti halnya dengan kebanyakan karya lain di festival ini, jangkauan koreografer baru sampai pada tataran memberi informasi, belum sampai pada kekuatan problematika yang dirasakan kreator hingga menjangkau penonton. Mengapa sampai muncul kemarahan? Hal/tekanan macam apa di baliknya?

Berikut adalah catatan saya untuk Ardan, Sri Wulan Devi, dan Rintha.

Kepada Ardan pertanyaan saya adalah penubuhan Nisinto yang ia lakukan di panggung untuk siapa? Untuk koreografer atau penonton? Sebagai penonton karya tari kontemporer, saya tak bisa mengatakan cukup jika karya tersebut berhenti pada penyampaian suatu tradisi yang menjadi sumber gagasannya. Saya akan lanjut bertanya: lalu apa? Mengapa Nisinto menjadi penting bagi Ardan? Apa relevansinya dengan dia sebagai manusia hari ini, atau penonton sebagai masyarakat sekarang?

Gerak pada karya Sri Wulan Devi bagi saya terlalu verbal ketika dihadirkan secara hitam-putih semacam itu. Di panggung penari hadir dengan dua gaya gerak, yaitu gerak tari tradisi Bali dan gerak eksplorasi tubuh bebas. Yang justru ingin saya ketahui lebih jauh adalah kompleksitas tubuh ketika harus berlari-lari antara lingkaran masyarakat tradisi dan lingkaran masyarakat umum. Jika koreografer mau melakukan studi tubuh di dua lingkaran tersebut dan pergerakan transformasinya, saya akan sangat bergairah menanti temuan-temuannya di sana.

Ketidakpuasan saya paling banyak adalah pada karya Rintha. Karena idenya lemah, hal itu mempengaruhi seluruh elemen pertunjukan. Tubuh yang hadir memang saya tangkap sebagai tubuh yang lepas, bebas dengan perbendaharaan gerak pilihannya. Kemudian tubuh terperangkap dengan kelemahan gagasan. Ada dua ruang yang digunakan penari, yaitu ruang di belakang layar dan ruang di depan layar. Pada mulanya cukup jelas perbedaan ruang tersebut: di belakang layar sebagai ruang imajinasi (harapan, mimpi, utopia), di depan layar sebagai realita. Namun kemudian penggambaran keduanya menjadi buram. Tidak jelas lagi apa yang diinginkan koreografer dengan pembagian ruang tersebut. Kelemahan gagasan memproduksi tubuh yang bercerita, dan berlama-lama dengan kegalauan. Saya menonton karya ini dengan kehampaan yang panjang. Ruang estetika saya tidak terisi sama sekali.

Artikel ini saya akhiri dengan dua catatan umum dari seluruh karya Palu Menari Festival 2022.

Pertama, saya menyoroti gagasan sebagai pijakan karya. Gagasan dan konsep adalah kata kunci pertama bagi karya tari kontemporer. Ini adalah  titik berangkat di mana koreografer telah memiliki kejelasan mengenai APA yang ingin disampaikan kepada publik. Kekuatan dan kelemahan gagasan akan mempengaruhi penyajian karya. Gagasan perlu dibagi menjadi konsep-konsep; hal ini membantu koreografer ketika menterjemahkannya ke dalam praktik di studio dan panggung. PMF  2022 memiliki tahapan mentoring yang mendampingi proses enam karya koreografer. Di tahapan ini terjadi pemberian materi kepada peserta berupa :

Ketiga materi tersebut sejatinya cukup memadai untuk “memanaskan” para koreografer dalam pembentukan gagasannya. Terbukti muncul gagasan menarik di karya Tasya Qumaira, Ardan,  Dian Anggriani Putri, dan Sri Wulan Devi.

  • Koreografi dan Penciptaan (sayangnya tak bisa terlaksana karena kendala narasumber)
  • Tubuh dan Ruang (sesuai dengan tema PMF 2022), pemateri Zulkifly Pagessa, seorang pelaku seni performans di Palu
  • Menulis untuk Nafas Panjang Sebuah Karya, pemateri Neni Muhidin, sastrawan Palu.

Kedua, perihal implmentasi gagasan ke dalam elemen-elemen pertunjukan. Di karya tari kontemporer elemen yang paling saya cermati adalah tubuh. Terlihat pada enam karya tersebut rata-rata terjadi kelemahan ketika tubuh harus menyampaikan gagasan kepada penonton. Di tari, tubuh tak bisa ditundukkan begitu saja mengikuti kemauan koreografer. Tubuh memiliki waktunya sendiri untuk sampai pada momen ia menubuhkan gagasan dan mengekspresikannya ke dunia di luarnya. Tubuh bukan mesin koreografer. Ia tak akan memanipulasi hal-hal instan yang dijejalkan kepadanya dan dipaksakan mengkomunikasikannya kembali kepada penonton. Praktik di studio adalah ruang bagi tubuh menemukan “pesan” yang dititipkan kepadanya. Jika belum tuntas waktu baginya untuk menyerap sepenuhnya titipan tersebut, maka ia pun tak akan bisa menyampaikan sesuai harapan koreografer, dan penonton tak merasakan apa-apa dari kehadiran tubuh di karya tersebut. Saya sudah menyampaikan secara lebih terperinci pada catatan saya untuk masing-masing karya.

BACA JUGA:  DUKUN-DUKUNAN DAN MATINYA KEPAKARAN

Tentang tubuh dan waktu ada pernyataan menarik dari Maurice Merleau-Ponty: we “live” time, so it is possible to say that we “are” time (“kita hidup di dalam/bersama waktu, maka sangat mungkin untuk mengatakan bahwa kita adalah waktu”). Pernyataan ini menyadarkan saya betapa tubuh melekat dengan waktu. Tubuh memerlukan waktu yang cukup untuk mengalami, menubuhkan pengalaman tertentu. Ini terkait dengan terminologi Ponty yang terkenal: body-subject. “The body does not belong to us but we are the body living its experience” (“tubuh bukan milik kita namun kita adalah tubuh yang menghidupkan pengalamannya”).

Saya pun teringat pada seorang koreografer Jepang yang berbasis butoh, Min Tanaka. Pada sebuah wawancara ia mengatakan bahwa sebagai kreator ia tak melulu memposisikan diri sebagai pihak penghuni panggung, namun ia juga memposisikan diri sebagai penonton. Ada masanya ia mengambil jarak dengan karyanya agar bisa lebih utuh menjadikan dirinya sebagai penonton, melihat karyanya dari kacamata penonton. Dengan demikian ia berusaha mengukur apakah hal yang ingin disampaikan oleh karya tersebut telah tertangkap oleh “mata penonton”.

Pada karya Dian Anggriani Putri, misalnya, tubuh perlu diberi waktu yang cukup untuk mengalami situasi keterbatasan, terancam, dan trauma; penonton perlu merasakan konflik apa yang terjadi di dalamnya, atau mungkin hal-hal semacam benturan, keterasingan, keganjilan, dll.

Renee Sari Wulan

Renee Sari Wulan

Renee Sari Wulan lahir di Malang, Jawa Timur, tahun 1973. Menari sejak usia 6 tahun. Lulus dari Institut Kesenian Jakarta program studi Antropologi Tari. Menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (2006-2012) di Komite Tari. Memiliki ketertarikan pada riset dan penulisan tari, terutama kajian tubuh tari Indonesia. Tahun 2017-2018 terlibat sebagai editor buku tari Ikat Kait Impulsif Sarira yang ditulis oleh Eko Supriyanto. Kemudian ia diminta terlibat sebagai dramaturg dalam proses kerja koreografi dari tiga koreografer Indonesia, yaitu Hartati ("Wajah #2" 2017), Tulus ("Pasir" 2018 - sekarang masih berproses), dan Eko Supriyanto ("Ibu Ibu Belu Body of Border" 2019 sedang berproses).