Sabtu, Desember 14, 2024
ULASANPanggung Tari

Hijra’h : Lengger Bersarung

[Michael HB Raditya]. Seorang penari menatap nanar ke arah penonton sambil membopong seonggok tubuh terbungkus sarung. Satu persatu organ tubuh yang terbungkus sarung tersebut menyelinap keluar, bersamaan dengan itu jugalah penari tersebut memaksanya kembali masuk ke dalamnya. Beberapa saat setelahnya, tubuh di dalam sarung justru tergendong di atas pundaknya, bahkan mendominasi arah gerak dan ekspresi. Tersenyum, merengut, riang, menyeringai berganti-ganti dari wajah tubuh bersarung bersamaan dengan gerak tari sang penari. Seakan tampak ekspresi yang kerap disembunyikan, serasa ada sesuatu yang menahan dan terus membatasi. Apakah perlu wajah yang lain untuk terus menutupi diri? Apakah perlu menjadi tubuh yang lain untuk menunjukkan diri?

Hijra’h, sebuah karya tari kontemporer yang membuat penonton merasakan bagaimana perjalanan tubuh yang bermigrasi atau berpindah. Perjalanan tubuh “di antara” tentang bagaimana gender dikonsepsikan. Dengan menautkan ekspresi gender dari tanah Sulawesi, Bissu, yang dipadankan dengan memori tubuh Lengger sang koreografer, Rianto, karya ini mengartikulasikan bagaimana perjalanan ekspresi gender terjalin. Digelar selama 65 menit, karya ini menjadi tawaran untuk para penonton dalam memahami jika migrasi atau perpindahan tidak tunggal dan sekejap, melainkan partikular dari satu orang ke orang lain, satu kelompok ke kelompok lain, dan seterusnya.

Dipentaskan dalam rangka gelaran Rising Melbourne yang dihelat selama empat hari, 9-12 Juni 2022 di The Capitol, RMIT University, Melbourne, Victoria, Australia, karya ini memberikan potret akan bagaimana gender dilalui dan dinegosiasikan. Hal yang menarik di karya ini, Rianto yang secara memori tubuh kuat dengan Lengger berkolaborasi dengan seniman asal Sulawesi, Abdi Karya, yang dikenal dengan Sarungnya—bahkan Abdi juga ikut menari dan bernyanyi.

Tidak hanya itu, Rianto juga kembali bekerja sama dengan Cahwati Sugiarto (vokal, musisi, dan komposer), Garin Nugroho (dramaturg), Iskandar Loedin (skenografer dan penata cahaya), Jeni Alim (penata cahaya dan manajer panggung), Jala Adolphus (produser), Joy Aluerto Ritter (rehearsal director), dan Hiroko Komiya (penata suara). Kolaborasi tersebut memperkaya selisik antara tradisi dan kontemporer, laki-laki dan perempuan, masa lalu dan masa kini.

BACA JUGA:  Demokrasi Tubuh Tari: Dari Veil sampai IDF 2018
Tertutup tetapi leluasa, terbuka tetapi terbatas

Pertunjukan dimulai dengan keadaan lampu yang teram-temaram. Sebuah rebana tersorot cahaya di tengah panggung, bersamaan dengan kedatangan Rianto, Abdi, dan Cahwati yang tengah merapal mantra. Hal yang menarik Rianto dan Abdi mengucap mantra yang berbeda, di mana Rianto dan Cahwati dengan mantra Lengger sementara Abdi dengan ululation serta mantra Bissu. Terdengar berbeda baik secara nada dan kata, tetapi terkesan harmonis sekaligus. Mantra-mantra ini membuat kesan cemas di sepanjang pertunjukan, apalagi alur di awal pertunjukan dibuat lambat dan perlahan.

Hal yang menarik, kehadiran sarung di dalam karya ini membuat gerak Rianto tidak dapat tertebak dan multitafsir. Bagi yang kerap menonton Rianto, gerak tari Lengger tentu selalu tampak jelas dan terlihat, seakan kita ditunjukkan secara langsung geliat gerak demi gerak. Sementara pada karya ini gerak-gerak itu menjadi lebih terbatasi tetapi justru menjalin beragam arti. Di sini, kehadiran sarung membuat gerak Rianto menjadi lebih tebal dalam pemaknaan, khususnya mengenai gender.

Semisal ketika Rianto menarikan beberapa dasar gerak lengger di dalam sarung, membuat kesan tertutup tetapi leluasa, sedangkan ketika tubuhnya tidak lagi dengan sarung, membuat pesan terbuka tetapi terbatas. Pun Rianto turut melakukan gerak yang sama antara di dalam sarung dan di luar sarung, hal ini membuat perbedaan impresi yang memiliki keasyikan tersendiri. Sarung menciptakan imajinasi ruang personal pada hamparan ruang publik, sekaligus membuat imajinasi publik pada ruang personal.

Riyanto n Abdi | Hijra’h : Lengger Bersarung
Riyanto (berdiri) menggendong Abdi Karya. Sumber Foto : Rising.Melbourne

Selain itu, bagian menarik lainnya adalah ketika rebana atau terbang—di awal pertunjukan—disematkan di wajah Rianto. Pada saat yang bersamaan rebana tersebut tersorot lampu disertai Abdi dan Cahwati yang datang dari belakang panggung memainkan Gandrang Makassar (kendang) dengan riuh dan bertempo. Serasa terjadi babakan perang pada diri atas tubuh yang berpindah, seperti Rianto tengah mengalami perjalanan panjang melelahkan dan tak tentu usai—sebagaimana video Bissu di awal dan akhir pertunjukan. Tentang sosok sentral yang perlahan dilupakan—atau sengaja dibuat terlupakan dengan pelbagai konteks kompleksitas masa kini.

BACA JUGA:  Menonton Senyap: Mewarisi Tubuh Pantomim Marcel Marceau — Catatan untuk “Urun Tumurun” Laboratorium Obah

Sementara rebana di wajah dan gerak lengger menjadi satu titik magis pertunjukan, yang membuat kesan klimaks akan tubuh yang berpindah. Di mana Ia bukan lagi Rianto atau penari bersarung, melainkan menjadi sosok baru yang terus dibentuk oleh takdir (yang ditandai dengan sorotan lampu). Namun ia perlahan menghilang bersisa suara, persis dengan bunyi dengung dari gasing-gasing yang diputar menutup pertunjukan malam itu.

Sederhana tapi Mengena

Ngilu di sepanjang pertunjukan rasanya melihat bagaimana tubuh harus terus bersembunyi dan disembunyikan. Bagaimana tubuh harus terus mencari dan bernegosiasi. Sebuah perjalanan berpindah yang tak mudah hingga tertinggal hanya suara. Terma “hijrah” tentu kerap terdengar di Indonesia beberapa tahun belakangan, tetapi Ia mempunyai dimensi yang lain tentang bagaimana perpindahan terjalin. Sebuah perjalanan dari satu titik ke titik yang lain. Pada karya ini, tim Hijra’h secara intens menghadirkan perjalanan tersebut pada pertunjukan mereka.

Namun bukan pertunjukan gigantik yang dihadirkan, justru pertunjukan dengan motif-motif sederhana tetapi justru mengena. Mulai dari sarung, rebana, gasing berdengung, hingga gerak di dalam sarung atau muka yang tertutup sarung, dan masih banyak lainnya. Ketika usai pentas, Garin Nugroho menanyakan bagaimana kesederhanaan yang ditampilkan. Bagi saya, “kesederhanaan yang dibawa di dalam pertunjukan justru melapangkan pemikiran di dalamnya”. Pun, bukankah perlu proses yang rumit membuat sesuatu yang kompleks menjadi sederhana tetapi bermakna? Saya pikir karya ini menempati posisi tersebut.

Tak lebih dari satu kilometer dari gedung pertunjukan, tengah digelar pameran bertajuk Queer di National Gallery of Melbourne. Satu karya yang menarik adalah “Mr Garrick in the character of Sir John Brute” karya John Finlayson (Mezzotintm). Karya ini menggambarkan sebuah pentas drama, dengan seorang laki-laki (Garrick) mengenakan pakaian wanita borjuis dan mengacungkan sebuah tongkat pada tujuh laki-laki lainnya. Karya tahun 1768 ini menunjukkan bagaimana publik menyadari adanya sosok yang tidak hanya sekadar laki-laki dan perempuan dalam seni pertunjukan.

BACA JUGA:  Sandilara dan Bagaimana Manifestasi Hari Rayanya: Catatan Atas “Ana sing Ra Ana” — Teater Sandilara

Sementara di tanah air, kita tidak bisa abai jika Bissu, lengger lanang, dan masih banyak lainnya juga berada di sekitar kita. Keberadaan mereka bahkan sudah terlacak sejak dahulu kala. Mereka telah hadir walau acap menempuh jalan yang panjang dan memutar untuk menjadi diri sendiri. Bagi saya, karya Hijra’h, telah membawa penonton pada secuil dimensi dari perjalanan yang mereka alami. Satu jam saja, tapi mengena![]

Michael HB Raditya

Michael HB Raditya

Penulis buku kritik seni pertunjukan yang bertajuk Merangkai Ingatan Mencipta Peristiwa: Sejumlah Tulisan Seni Pertunjukan (2018). Bekerja di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, UGM.