Catatan dan Ingatan Dramaturgis
**Ini adalah catatan presentasi saya di ACTive Encounter, sesi kedua ACT Shanghai Contemporary Theatre Festival X Asian Dramaturg Network (ADN): “Memori Dramaturgis, Studi Kasus dari Asia Tenggara”, 22 September 2024. Pembicara lain pada panel ini adalah Kok Heng Leun (Artis/Pendiri Drama Box, Singapura) dan Lim How Ngean (Pendiri Asian Dramaturgs’ Network, Malaysia/Australia). Sesi ini dimoderatori oleh Corrie Tan (Direktur Asian Dramaturgs’ Network).

“Disclaimer: Semua kutipan dalam presentasi ini dicantumkan dengan izin dari para seniman.”
[English Below]
Apa Yang Saya Ingat.
———————————————————————————
Saya duduk di halaman belakang rumah keluarga Ayu (Ayu Permatasari – Red) dan bersiap untuk menemaninya latihan. Kami biasanya menyempatkan diri untuk menyantap sarapan yang dimasak oleh ibu dan adik iparnya sembari mengobrol sebelum memulai. Mereka memang pandai memasak, tapi tidak dengan Ayu… hehehe…. Di tengah kami bersantap sambil ngobrol ngalor ngidul, ada kalimat dari Ayu yang sampai hari ini tertanam dalam memori saya, “Saya tidak bisa begitu saja meninggalkan budaya dan struktur ini karena keluarga dan teman-teman saya ada di sini. Mengapa kita tidak bisa menjadikan karya ini sebagai dialog yang membuka kemungkinan untuk mengubah budaya, alih-alih hanya tentang saya yang meninggalkan struktur ini, mbak*?”
Tahun 2020, setelah sekitar 10 tahun menempuh pendidikan dan bekerja di Yogyakarta, Ayu memutuskan untuk kembali dan menetap di kota kelahirannya, Kotabumi (Kabupaten Lampung Utara) provinsi Lampung. Dalam kepulangannya itu, ia menyadari bahwa ia telah membawa tubuh yang telah mengalami transformasi sejak kepindahannya. Ayu merasa bahwa ia membutuhkan ruang untuk mengidentifikasi posisinya dalam struktur tempat ia dilahirkan yang disandingkan dengan dirinya di masa kini yang memiliki pengalaman dalam berinteraksi dengan narasi yang lebih kompleks. Apa yang ia katakan dan saya kutip di atas, berasal dari pertanyaan beberapa orang yang menyaksikan latihan terbukanya untuk karya berjudul LOAD?.
LOAD? adalah sebuah karya yang ia ciptakan untuk memberi ruang bagi kebutuhan khusus ini. Ini adalah sebuah produksi pertunjukan yang menavigasi dialog antara konvensi suku Pepadun dan perjuangan perempuan secara general, termasuk anak perempuan Pepadun yang pertama-tama didasarkan pada pengalaman pribadi Ayu. Suku Pepadun adalah suku asli Lampung dimana Ayu juga merupakan salah satu bagian darinya. Dalam sesi tanya jawab latihan terbuka, ada salah satu pertanyaan yang sering muncul, “Jika budaya ini terasa merugikan bagimu sebagai anggota perempuan di komunitas ini, mengapa kamu masih di sini?” Dia tidak dapat menjawab pertanyaan ini di forum latihan terbuka, karena mungkin ini pertanyaan sulit untuknya. Memang kita dapat melihat Ayu sebagai orang dewasa yang dapat pergi begitu saja, memilih hidupnya sendiri, dan hidup bebas di suatu tempat jika terjadi sesuatu yang salah di tempat yang ia tinggali. Namun bagi Ayu, ini lebih rumit dari itu. Maka di momen seperti inilah, saya mencoba bekerja dengan Ayu tidak hanya pada lapisan intelektual, tetapi juga pada lapisan personal.
Keesokan harinya, kami mengobrol di halaman belakang. Saya tidak menanyakan apa pun selain bagaimana perasaannya tentang pertanyaan itu, dan dia mulai mengatakan sesuatu. Pada saat itu, kalimat yang saya kutip di atas keluar. Di situlah kami menyadari bahwa inilah suaranya untuk karya ini. Setelah itu, pekerjaan Ayu berkembang lebih cepat, semua keraguan hilang, dan dia tahu apa yang ingin dia lakukan baik dalam pekerjaannya maupun–yang mengejutkan,–dalam hidupnya. Saya bertemu Ayu pertama kali pada tahun 2013 saat kami berdua masih menjadi penari. Sejak saat itu, kami banyak mengobrol, baik secara profesional maupun pribadi. Obrolan kami sangat berharga bagi pekerjaan kami dalam produksi ini. Saling mengenal dengan baik selama bertahun-tahun telah membantu kami menghindari prasangka dan meminimalkan tantangan yang tidak perlu, dan yang terpenting, kami saling percaya. Saya telah belajar banyak darinya dan dari proses bersamanya.
Praktik dan proses pembelajaran saya dengan Ayu membuat saya menyadari bahwa membangun hubungan personal sangat membantu untuk mendukung seniman yang sedang bekerja bersama saya sekaligus menavigasi pekerjaan mereka dengan mempertimbangkan berbagai lapisan. Saya juga merasa lebih mudah untuk mengkritik pekerjaan mereka karena kami tahu cara berkomunikasi dengan mereka berdasarkan kepribadian mereka.
——————
“Selama mengerjakan ini, ada kemajuan dalam hubungan saya dengan ayah saya, dan saya bersyukur atas hal itu.” (Megatruh Banyu Mili, 2022)
Kalimat ini adalah pernyataan Megatruh ketika kami masih dalam proses mengerjakan karyanya, INI BAPAK BUDI. Megatruh adalah seorang seniman yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Ayahnya adalah seorang aktivis seni. Artinya, beliau tidak bekerja penuh di bidang seni, tetapi banyak bergelut dalam pekerjaan dengan pendekatan seni dan sastra. Misalnya, beliau mengelola perpustakaan untuk anak-anak di lingkungan sekitar dan pernah mengadakan pertunjukan kecil di sana. Saya mengenal keluarga mereka sejak tahun 2017, diperkenalkan oleh suami saya. Suami saya mengenal keluarga mereka sejak Megatruh masih duduk di bangku SD, dimulai ketika mereka sama-sama terlibat dalam salah satu pertunjukan teater. Secara pribadi, kami memiliki kedekatan ini.
Megatruh bekerja dalam serangkaian karya dengan penelitian tentang sistem pendidikan. Suatu kali, dia mengunjungi rumah saya dan mengatakan bahwa dia ingin mengerjakan sebuah karya. Saat itu, saya bertanya kepadanya tentang sistem pendidikan bagian mana yang ingin dia fokuskan? Dia berkata bahwa dia ingin melihat pendidikan dalam keluarga, karena saat itu, dia sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah dan sedikit cemas dengan ini. Percakapan panjang terjadi, sampai kemudian dari ruang kerja rumah kami, suami saya menyahut kepada kami, “Mengapa kamu tidak melakukan pertunjukan dengan ayahmu saja?” Ide itu sebenarnya sudah muncul di benak Megatruh, tetapi dia bingung bagaimana cara bekerja dengan ayahnya, mereka tidak terlalu akur pada masa itu. Termasuk juga bagaimana melakukan pekerjaan dalam kerangka sebuah karya. Dari sana Megatruh meminta saya untuk membantunya merancang pertunjukan sekaligus menjadi perantara komunikasi dengan ayahnya dalam proses latihan nanti. Kami telah lama berdiskusi tentang hal ini dengannya dan juga dengan ayahnya, sekali lagi lebih mudah bagi saya untuk menavigasi proyek ini karena saya mengenal keluarga mereka.
———————-
Pada tahun yang sama, 2022, saya membersamai Muhammad Safrizal, koreografer dari Aceh–sebuah provinsi di Indonesia yang menganut hukum Syariah–untuk Indonesian Dance Festival 2022. Ia secara khusus mengkaji praktik tarekat. Tarekat secara khusus bisa dibilang praktik spiritual dengan tujuan mencari hakikat atau “kebenaran hakiki”. Bisa dibilang ini adalah salah satu praktik sufisme. Setelah pertunjukan perdananya di Indonesian Dance Festival, beberapa platform tertarik mengundangnya untuk mempresentasikan karya ini dan pengembangannya. Hingga setahun kemudian ketika menonton pertunjukannya dalam presentasinya yang ke-4 di tahun yang sama, saya merasa ada yang terasa kurang. Beberapa hari kemudian, kami melakukan panggilan Zoom, ia ingin umpan balik untuk presentasi terakhir. Saya hanya bertanya kepadanya, apakah kamu masih bersemangat dan bergairah terhadap karya ini? Apakah kamu bahagia? Karena seperti yang saya katakan sebelumnya, ada cukup banyak platform dan orang yang antusias dengan karyanya, tetapi bagaimana dengan Safrizal sendiri? Sampai akhirnya dia mengatakan bahwa ia merasa sedikit demi sedikit kehilangan koneksi dengan karya tersebut, karena suara-suara di luar terlalu ramai, sedangkan tarekat sendiri sedang memproses ruang di dalam tubuh kita.
“Saya merasa perlu pulang kampung untuk sementara waktu.” (M. Safrizal, 2024)
——–
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, terkadang kita terlalu fokus pada karya, dan lupa bahwa seniman juga manusia, ada pertanyaan tentang koneksi. Kalau seniman tidak terhubung dengan apa yang ditampilkannya, mengapa penonton harus terhubung dengannya? Koneksi tidak mesti selalu personal seperti yang dialami Megatruh, tetapi bisa seperti Safrizal, yang koneksinya lebih pada karya dan dirinya sendiri.
Itulah mengapa saya merasa ada kerja yang tidak pernah berakhir meskipun proses karya sudah berakhir, ya karena saya merasa tidak adil memisahkan seniman sebagai manusia dengan perannya sebagai seniman. Khususnya dalam proses karya tari, kita berkarya dengan tubuh manusia dengan segala sejarah dan pengaruh yang membangunnya sebagai pribadi sekarang, pribadi yang berkarya di atas panggung. Berdasarkan strukturalisme genetik Lucienn Goldmann, dalam kehidupannya, manusia dipengaruhi oleh tiga kodrat dasar berupa beberapa kecenderungan batin. Pertama, kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan di sekitarnya. Kedua, kecenderungan yang menjadi ciri mendasar tindakan manusia yaitu kecenderungan ke arah ‘konsistensi’ sepenuhnya, yakni kecenderungan manusia untuk menciptakan pola-pola yang konsisten dalam pikiran, perilaku, dan perasaannya atau struktur-struktur pikiran, perilaku, dan perasaannya sebagai respons terhadap segala permasalahan di lingkungannya. Ketiga, sifat dinamis, yakni kecenderungan untuk mengubah dan mengembangkan struktur-struktur pikiran, perilaku, dan perasaan yang telah terbentuk sebelumnya. Dari sini kita tahu bahwa meskipun kita dapat memisahkan dunia profesional dan personal, tetapi keputusan profesional kita sebagian besar sangat bisa dipengaruhi oleh dinamika pribadi kita. Itulah sebabnya bagi saya bekerja sebagai dramaturg adalah laku seumur hidup, bukan sekadar pekerjaan yang bergantung pada jendela masa produksi. Menurut Pratikto (1965) laku adalah menjadi pangolah saha pangrengga atau ‘orang yang memproses dan mengiringi’ yang sangat selaras dengan kerja dramaturg. Bukankah jika kita tidak memproses memang akan lebih sulit untuk mengiringi? Lalu apa yang diproses? Bagi saya seluruh aspek yang mungkin mempengaruhi karya seniman dan bagaimana dia berkarya. Maka, memproses ini bisa jadi akan berlangsung seumur hidup karena dalam perjalanannya kita dan seniman tentu akan sama-sama bertumbuh dan mungkin berubah.
Dengan cara ini, saya merasa, menjadi dramaturg adalah proses belajar bersama seniman, seniman yang berbeda akan memberi saya proses belajar yang berbeda, dalam perspektif ini maka saya akan selalu belajar menjadi dramaturg dan bisa jadi tidak akan pernah benar-benar menjadi dramaturg. Bahkan makna dramaturg sendiri saya temukan bersama seniman yang bekerja bersama. Percakapan dengan Eka Wahyuni, seniman asal Berau, Kalimantan Timur ini adalah salah satu contohnya. Pada tahun 2018, saya dan Eka Wahyuni menempatkan nama saya di bawah judul “kurator,” yang kemudian kami tertawakan bersama. Namun, kami menerimanya dan menyadari bahwa karya ini lebih dekat dengan praktik dramaturg. Jadi, bekerja dengan seniman selama ini adalah proses learning dan unlearning. Dalam artian itu, saya dapat tumbuh bersama secara profesional dan personal bersama seniman.
——————–
Ini adalah bagian terakhir, suatu kali Ela Mutiara, koreografer asal Sukabumi, Jawa Barat berkata kepada saya:
“Aku tidak bisa membayar waktu dan ruang yang telah mbak Nia dan orang-orang di sekitarku berikan untuk mendengarkanku, tapi aku akan membalasnya dengan bekerja keras dalam proyek ini.” (Ela Mutiara, 2024)
Hal ini membuat saya berpikir bahwa “Jatuh cinta pada proyek dan juga seniman sebelum saya bekerja dengan mereka adalah kunci untuk mempertahankan relasi sebagai “Teman Ngobrol”. Kenapa? Karena uang tidak pernah ada dalam pembicaraan kami sejak awal, bukan kami tidak mau mengeluarkan uang, tapi memang karena kami tidak punya uang. Yang kami punya adalah waktu, ruang, dan kemauan untuk berbagi apa yang kami dapatkan dari proses ini bersama-sama.





[English Version]
What I Remember
By Nia Agustina
**This is a note regarding my presentation at the ACTive Encounter, specifically during the second session of the ACT Shanghai Contemporary Theatre Festival x Asian Dramaturg Network (ADN): “Dramaturgical Memory(ies): Case Studies from Southeast Asia”, September 22, 2024. The other speakers on this panel are Kok Heng Leun (Artist/Founder of Drama Box, Singapore) and Lim How Ngean (Founding Director of the Asian Dramaturgs’ Network, Malaysia/Australia). The session is moderated by Corrie Tan (Director of the Asian Dramaturgs’ Network).
“Disclaimer: All the quotes in this presentation have been obtained with permission from the artists.”
—————————————————————–
I’m in the backyard of Ayu’s (Ayu Permatasari) family house, and getting ready to accompany her for rehearsal. We usually take time to eat breakfast cooked by her mother and her sister in law and have conversation before we start, they are a good cook, but Ayu not. Something that embedded from the conversation is, Ayu said “I cannot just walk away from this culture and structure because my family and friends are here. Why can’t we make this work a dialogue that opens up possibilities to transform the culture, instead of just being about me leaving this structure, mbak*?”
In 2020 Ayu decided to come back and settle down in her hometown, Kotabumi, North Lampung after around 10 years had been study and work in Yogyakarta. In that return, she was aware that she has bring a body that undergone a transformation from her move in 2010. Ayu feels that she needs space to identify her position in the structure that she was born juxtaposed she is in the present who has experience on interactions with more complex narratives. What she said and I quote here in the presentation point coming from the questions of some people who watched her open rehearsal on work entitled LOAD?.
LOAD? Is a work that she created to make a space for this specific needs. This is a performance production that navigates the dialogue between the convention of Pepadun’s group (Lampung’s native group which Ayu is part of) and the struggles and resistance of the Pepadun’s women and girls that are firstly based on Ayu’s personal experience. In the open rehearsal question and answer session, some people asked with diverse kind of questions but we can resume it as, “If this culture feels harming you as female member of this community, why are you still there?” She can’t answer this question at the open rehearsal forum, because people are pushing this question on her. Maybe they see Ayu as adult who can just left, choose her ownlife and live freely somewhere if something wrong there. But for Ayu, this is more complex than that. In this moment, I tried to work with Ayu not just in the intelectual layer, but also in the personal layer.
The day after, we had a conversation in the backyard. I didn’t ask her anything other than how she felt about the question, and she began to say something. At that moment, the sentence that I quoted in the powerpoint came out. It was then that we had the realization that this was her voice for this work. After that, Ayu’s work progressed more quickly, all the hesitation was gone, and she knew what she wanted to do both in her work and surprisingly, in her life.
I met Ayu in 2013 when we were both dancers. Since then, we’ve had many conversations, both professional and personal. Our conversations have been valuable for our work on this production. Getting to know each other well over the years has helped us avoid prejudice and minimize unnecessary challenges, and most importantly, we trust each other. I have learned a lot from her and from the process with her.
My practice and learning process with Ayu has made me realize that establishing a personal connection helps me to support artists and navigate their work by considering various layers. It also feels easier for me to critique their work because we know how to communicate with them based on their personality.
——————
“While working on this, I’ve made some progress in my relationship with my father, for which I’m grateful.” (Megatruh Banyu Mili, 2022)
This is what Megatruh Banyu Mili said during our process on his work, INI BAPAK BUDI (THIS IS BUDI’S FATHER). Megatruh is an artist based in Yogyakarta, Indonesia, his father is an art activist, I mean he is not working in art but he does a lot of struff with art and literature approach, for example he was run a library for children in the neigborhood and have a small performance there sometime. I know their family since 2017 introduced by my husband, because he knows them since Megatruh in elementary school and have theater project together. Personally we have this closeness.
Megatruh working in series of creation with the research about education system. One time, he visiting my house and say that he wants to propose a work. In that time, I ask him which part of education system that you want to focus on? And he said that he wants to see the education on the family basis, because at that time, he is awaiting the birth of his first child. Soon he will be a father, and he a bit nervous about it. There was long conversation about it, but then from our home office room, my husband shout out to us, why don’t you just do a show with your dad? That idea hit him, but he confused how to approach the idea to work with his father, they’re not get along well and how to do this work as creation, in this moment he ask me to help him to design the performance as well as being medium on the communication with his father. We have long conversation on this with him and with his father too, again it’s easier for me to navigate this project because I know their family.
———————-
In the same year 2022, I work with Muhammad Safrizal choreographer from Aceh, Sumatra, a province in Indonesia that have Syaria law, for Indonesian Dance Festival 2022. He specifically examine his practice on Tarekat. A tarekat is a religious order of Sufism, or specifically a concept for the mystical teaching and spiritual practices of such an order with the aim of seeking haqiqa, which translates as “ultimate truth”. After his premiere on Indonesian Dance Festival, many platforms and people invite him to presenting his work, they’re excited with this work. Until a year later in his 4th time presentation in that year, I feel something is missing. Days later, we have a zoom call, he wants a feedback for the last presentation. I just ask him, are you still excited? Are you happy? Because like I said before, people are excited with his work, but what about him? And he said that he feels lose bit by bit the connection with the work, because the voices outside is too crowd, where Tarekat itself is processing inside space of our body.
“I feel like I need to go back home for a while.” (M. Safrizal, 2024)
——–
What I say here is, sometime we’re too focus on the work, and forget that artist ia also a human, there is a question about connection. If the artist not connect with what they present, why the audience have to connect with it? The connection not necessarily always personal like what Megatruh’s experienced, but it can be like Safrizal, which the connection is more about the work and himself.
This is why I feel that the work is never end even though the project end because I feel that it’s not fair to separating the artist as a human being with their role as an artist, because especially working on dance, we work with body of human being with every history and influences that build them as as person now, person who doing something on the stage. According to Lucienn Goldmann’s Genetic Structuralism, in their lives human beings are influenced by three basic natures in the form of some inner tendencies. The first is the tendency to adapt themselves to the reality in their surroundings.The second is tendency of the fundamental characteristic of human action is the tendency towards ‘consistency’ in its totality, that is, the
human tendency to create consistent patterns in their thought, behavior, and feeling or the structures of thought, behavior, and feeling as their responses to all the problems in their environment. The third is the dynamic nature, that is, the tendency to change and develop the structures of thought, behavior, and feeling that have been formed before.From this we know that even though we can separated professional and personal world, but our professional decision most of the time influenced by our personal dynamic. That’s why for me working as dramaturg is is a lifetime laku, not just a job that depend on the window of production period. According to Pratikto (1965) Laku is being pangolah saha pangrengga or ‘”Those who are processing and those who are companions” which very resonated with dramaturg work .It is essential to recognize that failing to process can make it more challenging to provide effective companionship to others. But what does “processing” entail? To me, it encompasses the knowledge of all factors that may influence an artist’s work and their methodology. This process is often ongoing and can extend throughout one’s life, as both the artist and those who engage with their work as well as us might be grow and evolve.
With this way, I feel, I’m being dramaturg is always a process that learn with the artist, different artist with give me different learning process, in this perpsective I always learn to be a dramaturg and maybe never be one. Even the meaning of dramaturg itself I found it with the artist. This conversation with Eka Wahyuni an artist from Berau, East Kalimantan was one of the example, In 2018, I and Eka Wahyuni put my work under the title of “curator,” which we later laughed about. But we embraced this and learned that the work is closer to dramaturg practice. So, working with the artist for along the way is learning and unlearning process for me. In that sense I can grow together professionally and personally with the artist.
——————–
This is the last part, one time Ela Mutiara, the choreographer from Sukabumi, West Java said:
“I can’t pay for the time and space that you and people around me gave to listen to me, but I will repay it by working hard on this project.” (Ela Mutiara, 2024).
It makes me reflect that “Falling in love with the project as well as the artist before I work with them is the key on sustaining the work as “Teman Ngobrol (Conversation Friends)”. Because money is never in our conversation since the beginning as we don’t have any. What we have is time, space, and a willingness to sharing what we get from this process together.”
Sudah baca yang ini?:
Pendaftaran Festival Tari Kontemporer di Singapura 2018.
Bagaimana Plastik Berbicara Melalui Pertunjukan : Catatan untuk “MetaTeater”—Institut Seni Budaya In...
Let Me Change Your Name: Rapuhnya Diri dalam Dunia yang Serba "Cepat"
DUKUN-DUKUNAN DAN MATINYA KEPAKARAN
Multiverse Dunia (Teater) Anak : Ulasan “Gadis Biji Timun” – Teater Bocah Jogja di Linimasa#5
Lengger Sebagai Arsip: Sebuah Usaha “Escape from Identity”
- Catatan dan Ingatan Dramaturgis - 23 April 2025
- PROSES ‘MENEMUKAN’: REFLEKSI MENGIKUTI FORUM PRODUSER - 2 Februari 2025
- (PERCAKAPAN) Kompleksitas Tatapan dan Kesadaran atas Kuasa pada PESONA - 18 Oktober 2021