Membongkar Kubur Pentas Sagaloka : Keluarga Yang Dikuburkan
[Ekwan Wiratno]. Sejak pentasnya pada tanggal 20 dan 21 Juli 2022, pertunjukan kelompok teater Sagaloka ini terkubur jauh di kedalaman tanah. Setelah lewat sebulan lamanya, baru saya mampu menggali kembali kuburan yang juga dilatarbelakangi naskah Anak Yang Dikuburkan karya Sam Shepard yang telah dipotong-jahit oleh Afrizal Malna.
ANAK ATAU KELUAGA YANG DIKUBURKAN
Berangkat dari sebuah naskah, pertunjukan umumnya digarap dengan proses panjang yang menyakitkan seperti sebuah proses kelahiran anak. Pertunjukan merupakan pertemuan saripati penulis naskah dan sutradara. Pada kasus Naskah Keluarga Yang Dikuburkan, maka ada tangan ketiga: pengadaptasi.
Peran pengadaptasi, dalam hal ini adalah Afrizal Malna, menjadi krusial untuk mampu menjembatani kepada penulis aslinya atau justru menyesatkannya. Afrizal—sebagaimana dikenal dari berbagai karya sastra dan esai yang ditulisnya—seringkali menggunakan cara yang tidak linier dalam mengungkapkan idenya. Pada naskah Keluarga Yang Dikuburkan, Afrizal menyerap naskah Anak Yang Dikuburkan, lalu memuntahkannya menjadi naskah yang memiliki perspektif Afrizalisme. Hal ini tentu saja bukan hal baru dan aneh sebab sangat umum terjadi ketika proses adaptasi dilakukan, baik dalam skala sederhana hingga ugal-ugalan.
Pertanyaannya kemudian, apakah lebih tepat Anak atau Keluarga yang dikuburkan?
Pertanyaan ini tentu sangat sulit dijawab, sebab keduanya punya perspektif sendiri-sendiri. Ketika Sam Shepard menulis Buried Child atau Anak Yang Dikuburkan, ia menitikberatkan pada kisah “anak” dalam metafora kebuntuan hidup, dosa masa lalu dan kegagapan menghadapi perubahan. Sementara Afrizal, dengan mengubahnya menjadi Keluarga Yang Dikuburkan, secara umum tetap bicara hal yang sama, hanya saja lebih fokus pada kondisi keluarga yang amburadul akibat perang dan krisis ekonomi. Anak dan Keluarga sejatinya tidak bisa dimaknai secara denotatif, tapi harus digunakan cara konotatif untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas.
Secara pribadi, bagi saya keduanya sama-sama penting dan tetap mengakar pada peristiwa yang sama. Sepertinya ada usaha Afrizal untuk memberikan cap jarinya di pojok naskah ini. Hal ini tentu hal yang sangat wajar dalam upaya memberikan perspektif dan memperkaya tafsir. Hanya saja, bagi saya, naskah yang ditulis Kembali Afrizal cenderung terlalu banyak terjebak dalam pidato-pidato puitik yang justru membocorkan banyak tangga dramatik dan unsur-unsur cerita. Hal ini agak merugikan karena justru menjadi tukang spoiler di dalam gerombolannya sendiri. Terlebih—sebagaimana kita kenal karakter Afrizal—maka kata-kata menjadi bertumpuk-tumpuk, tumpang-tindih. Serpihan-serpihan kata-kata dalam naskah Keluarga Yang Dikuburkan menjadi jebakan bagi siapa saja yang mementaskannya, apakah mampu menitinya menuju puncak gemilang atau terperosok dan terkubur di bawahnya.
NYANYIAN KEMATIAN YANG BERLEBIHAN
Sebuah artikel yang diterbitkan Radar Malang 23 Juli 2022 menyajikan judul yang bombastis: Pementasan Rumah Yang Dikuburkan, Embrio Kebangkitan (Lagi) Teater di Malang?[i] Di dalamnya diuraikan bahwa Malang telah mengalami penyurutan kesenian teater. Hal ini tentu saja berlebihan, bagai nyanyian kematian yang dinyanyikan secara serampangan dan tanpa nada dasar yang pas.
Malang, sebagai salah satu kota yang sangat pesat perkembangan teaternya, selama ini telah terus bergiat. Gempita teater ditandai dengan berbagai aktivitas di level pelajar, mahasiswa hingga umum. Untuk tetaer pelajar dan mahasiswa tentu banyak sekali jumlahnya. Yang membedakan dengan tempat lain, Malang memiliki beberapa kelompok teater independent yang terus bergerak dan menghasilkan kolaborasi, parade hingga pentas tunggal masing-masing.
Pandemi yang memaksa semua seniman untuk berhenti pun, tidak membuat Malang benar-benar berhenti. Dengan berbagai keterbatasannya, kelompok teater independent terus berlatih dan berpentas. Buktinya, di tengah gelombang pandemi digelar berbagai pentas teater dengan jumlah penonton terbatas. Pada tahun 2021, bahkan diadakan Parade Teater berjudul Udara Segar yang digelar pada tanggal 1-8 April 2021.
Geliat dan pergerakan yang luar biasa ini tentu tidak bisa disederhanakan sebagai “Sunyinya pentas teater di Malang.” Pembacaan yang sembarangan ini tentu saja terjadi akibat sempitnya radar sang penulis dan pendeknya langkahnya untuk mencari lebih jauh tentang perkembangan teater Malang.
Sebagai salah satu pertunjukan yang dihadirkan di tengah pandemi, pertunjukan Sagaloka ini merupakan pesta bagi seniman teater. Hal ini membuatnya istimewa bersama berbagai pertunjukan teater lain yang digelar selama pandemi dan setelahnya.
MEMBONGKAR YANG DIKUBURKAN
Sekali lagi, saya memerlukan waktu cukup lama untuk mampu menulis omelan singkat ini. Tentu saja karena saya sulit sekali melihat sisi menarik dari pertunjukan ini. Sebagai sebuah pertunjukan yang bertumpu pada teks, tentu saja usaha Sagaloka perlu diacungi jempol, meskipun tidak perlu berlebihan sebab tebal naskah dan durasi pentas merupakan pilihan penyaji itu sendiri. Hal itu bukanlah sebuah prestasi. Yang seharusnya dianggap prestasi adalah kualitas pertunjukan yang bagus.
Bagi saya—mungkin akan berbeda dari sudut pandang orang lain—pentas Sagaloka kali ini terjerembab dalam kubur kata-kata Afrizal. Para aktor terjebak pada usaha menghafal tanpa mampu mengurai keruwetan kata-kata Afrizal menjadi laku yang kontemplatif. Sebagian besar di antara mereka seperti diburu-buru oleh keharusan menghafal puluhan halaman naskah. Beberapa memang sudah mencoba meresapi kata-kata, tapi sisanya masih termuntahkan dalam bentuk mentah. Hal ini sangat jelas terlihat, bahkan bagi penonton awam sekalipun. Dan diakui sendiri oleh sang Sutradara bahwa pertunjukan ini merupakan eksperimen sekaligus media belajar pola naskah yang berbeda dari yang selama ini digarap oleh Sagaloka. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa ini adalah pertunjukan hasil workshop.
Belum lagi persoalan determinasi tokoh, sehingga nampak seringkali aktor kehilangan kontrolnya pada tokoh yang dimainkan. Hal ini adalah kekurangan paling sulit mendapatkan pemakluman.
Hanya saja, sang Sutradara, Doni Kus Indarto, telah mempraktekkan apa yang disampaikan oleh Sam Shepard:
“Seseorang yang meninggalkan aktor sendirian, yang tidak ikut campur, yang membiarkan mereka memainkan semua hal yang perlu mereka mainkan sebelum mereka mendapatkan bayaran.”[ii]
Sang Sutradara telah memberikan ruang yang cukup luas bagi aktornya untuk menemukan cara dan dirinya sendiri. Hanya saja, cara ini tentu bukan tanpa resiko, aktor yang belum siap cenderung akan melakukan semaunya tanpa dasar yang kuat. Sementara bagi aktor yang terlatih, anjuran Sam Shepard ini akan memberikan ruang eskplorasi yang tak tarbatas.
Apa yang dilakukan oleh Sagaloka kali ini tentu sebuah usaha melampaui kenyamanan diri sendiri. Mereka mau mencoba hal baru bagi mereka. Hanya saja, itu juga bukan alibi yang cukup untuk mendapat maaf. Usaha mereka perlu terus ditingkatkan untuk mencapai target yang layak. Tahap paling awal adalah dengan bangun, merangkak keluar kuburan, lepaskan pandangan dari bunga-bunga pujian palsu dan murah, lalu bergeraklah lebih giat.
[i] https://radarmalang.jawapos.com/opini/23/07/2022/pementasan-rumah-yang-dikuburkan-embrio-kebangkitan-lagi-teater-di-malang/
[ii] https://www.nytimes.com/2016/01/31/theater/sam-shepard-takes-stock-of-buried-child-and-the-writers-life.html
- DUKUN-DUKUNAN DAN MATINYA KEPAKARAN - 1 Agustus 2024
- MANA SOLIDARITAS SENIMAN TEATER UNTUK GAZA? - 25 Januari 2024
- Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024 - 18 November 2023