“Sila Ke-6”; Pertunjukan Dokumenter dari Pengalaman Berbangsa di Masa Pandemi Covid-19
[Akbar Yumni]. Menurut Antonin Artaud (1896-1948) teater itu seperti wabah, ia harus menularkan kepada siapapun tanpa mengenal strata sosial dari penontonnya. Analogi tersebut, menjadikan teater memiliki potensi memberikan pengalaman tubuh secara langsung pada penonton dari berbagai arah, mengaburkan pengalaman teater dan pengalaman yang nyata. Konsep penularan bagi Artaud menjadi penting di dalam pertunjukan teater, karena merujuk pada ritual-ritual kuno yang mampu membuat penularan ‘kepercayaan’ dan ekstasi. Tubuh bagi Artaud bukan sesuatu yang murni organik, tubuh seperti wahana dan tanda, tubuh medis yang dihuni tak terpisahkan dari moda mahluk psikosomatis yang lebih metafisis[i]. Wabah, oleh Artaud dianggap efektif, karena bisa mematerialkan situasi psikis, mengubah hal-hal yang nyata, dan mewujudkan kembali ke hal yang metafisis melalui proses transformasi di dalam teater.
Pertunjukan berjudul “Sila Ke-6” pada 2 Juni 2022, Di Goethe-Institut Jakarta lalu, merupakan pertunjukan yang mengangkat isu utama tentang pengalaman warga di masa puncak gelombang pandemi Covid-19, yang masih kita alami sampai sekarang. Sebagaimana analogi wabah dan pertunjukan teater di dalam konsep penularan, “Sila Ke-6” adalah pertunjukan yang menghadirkan pengalaman-pengalaman traumatis di masa pandemi Covid-19, dengan seorang aktor yang ‘real’, yang merupakan seorang penyintas post Covid-19 di dalam pertunjukan. Kehadiran aktor yang ‘real’ ini merupakan pendekatan ‘penularan’ itu sendiri di dalam pertunjukan “Sila Ke-6”, yang mempengaruhi penonton melalui peristiwa teater sebagai kehadiran peristiwa yang nyata dari pengalaman-pengalaman traumatik di masa puncak pandemi Covid-19.
Pertunjukan diawali suara sirene dari sebuah alat yang diputar oleh seniman dan aktivis, Alexandra Karyn. Suara sirine tersebut sebagai semacam pembuka pertunjukan yang mengingatkan kembali akan pengalaman-pengalaman di masa puncak pandemi Covid-19―suara sirine menandakan adanya korban terjangkit. Pertunjukan “Sila Ke-6” sendiri berlangsung dalam enam bagian, sebagaimana jumlah sila pada judul pertunjukannya, untuk merefleksikan dan mengkritisi penerapan-penerapan lima Sila dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia oleh pihak pemerintah, dalam menangangi para korban Covid-19. Judul “Sila Ke-6” menjadi semacam adendum atas kegelisahan pilar-pilar bangsa yang goyah karena pengalaman di masa pandemi bagi banyak penyintas Covid-19, yang jauh dari kemanusiaan. Berdasarkan catatan pada katalog pertunjukan “Sila Ke-6”, adendum tersebut dimaknai sebagai kegelisahan, kemarahan, keterpurukan, kedukaan, kesedihan dan kerapuhan. Sedimentasi tersebutlah yang kemudian dalam pertunjukan yang terdiri dari enam bagian di mana lima bagian merefleksikan sila-sila pada Pancasila, sementara bagian keenam, atau sila adendum itu sendiri dari pertunjukan ini adalah semacam refleksi atas pengalaman-pengalaman negatif dalam berbangsa di dalam situasi pandemi Covid-19.
“Sila Ke-6” disertai pengantar pertunjukan berupa pameran arsip dan instalasi tentang pengalaman-pengalaman traumatik warga selama masa pandemi Covid-19, berdasarkan laporan yang diterima oleh lembaga LaporCovid-19. Pameran tersebut memajang materi arsip teks yang berisikan ribuan laporan keluhan-keluhan warga terhadap ketidakpuasan penanganan pemerintah selama masa pandemi Covid-19 yang sangat tidak memadai, juga menghadirkan instalasi suasana ruang kamar rumah sakit para korban Covid-19 yang cukup mencekam. Beberapa yang dipamerkan juga berupa suara, berdasarkan pengalaman soundscape di ruang rumah sakit penyintas Covid-19, dan terdapat pula rekaman suara pengalaman-pengalaman personal dari situasi yang traumatik di masa pandemi. Dari data yang dihadirkan di pameran, dan beberapa diantaranya hadir dalam pertunjukan, banyak mengungkap perihal penanganan covid-19 oleh pemerintah yang dianggap tidak memadai, sehingga malah menimbulkan banyak korban jiwa. Beberapa arsip teks di pameran tersebut menghadirkan pengalaman warga, dan mengajak penonton untuk mendapatkan pengalaman personal dari tingginya angka statistik keluhan yang berjumlah ratusan. Irwan Ahmett sebagai sutradara pertunjukan “Sila Ke-6”, dalam pameran ini memberikan semacam konteks yang dibangun kepada para penonton, sebelum mereka memasuki pertunjukan.
Pada bagian pertama atau Sila Ke-1, direfleksikan tentang bagaimana kesedihan personal seorang anak yang harus kehilangan ibunya karena sulitnya mendapatkan layanan penanganan para pengidap Covid-19. Pertunjukan yang dipresentasikan oleh Irma Hidayana dari LaporCovid-19 ini berupa suara, tentang narasi saat-saat sang Ibu harus meninggal karena kesulitan mendapatkan kamar rumah sakit. Sang anak sendiri terus berusaha mencari kamar rumah sakit yang kosong, sampai lebih dari 24 jam baru akhirnya mendapatkan kamar. Pertunjukan yang berbasis bahan dokumenteris ini, semacam mengingatkan kembali pada trauma-trauma di masa pandemi Covid-19, khususnya melalui drama pengalaman personal dari seorang anak yang harus kehilangan ibunya akibat penanganan pasien Covid-19 oleh pihak pemerintah yang tidak memadai dan kemudian berdampak pada banyaknya korban jiwa. Pertunjukan ini menjadi semacam lorong memasuki drama traumatik dari realitas pengalaman di masa pandemi, dengan memasuki relung-relung pengalaman personal melalui angka statistik korban Covid-19. Dalam konteks pertunjukan pada bagian pertama ini menjadikan pertunjukan sebuah proses mentransformasi data statistik menjadi pengalaman personal yang dramatik sebagai usaha untuk mengingatkan kembali bahwa pengertian korban selalu menjadi kehilangan yang besar secara personal.
Bagian kedua pertunjukan atau Sila Ke-2, menghadirkan penyintas Covid-19 yang kini menderita “Long Covid”, Juno Simorangkir. Isu Long Covid sendiri, pada saat ini belum menjadi isu yang signifikan di Indonesia. Sementara di banyak negara sudah menganggap bahwa Long Covid merupakan tanggung jawab dari pemerintah sebagai bagian dari kelanjutan kebijakan Covid 19. Pertunjukan pada bagian kedua Sila Ke-2 ini di antaranya berupa presentasi data penderita long covid 19 di Indonesia. Juno sebagai penyintas long covid19, secara personal banyak berkisah tentang bagaimana tidak semua orang, termasuk perusahaan tempat ia bekerja, memahami kondisinya sebagai penyintas Covid-19. Dalam konteks pertunjukan, kehadiran Juno semacam pertunjukan yang menghadirkan realitas langsung karena subyek Juno sebagai penyintas. Kehadiran Juno menjadikan pendekatan dokumenteris dalam pertunjukan ini juga semacam investigasi, karena Juno sebagai penyintas memberikan gambaran data baik teks maupun visual statistik untuk menganalisa situasi paska pandemi Covid-19, khususnya para penyintas Long Covid19 yang masih menjadi bagian dari pandemi Covid-19 dan membutuhkan tanggung jawab negara di dalam penanganannya. Juno sendiri mendirikan komunitas Covid Survivor Indonesia (CSI) pada 1 Agustus 2021, yang kini anggotanya berjumlah lebih dari 2.700 anggota yang terdiri dari para penyintas Covid-19, dan juga para individu yang merawat penderita Covid-19.
Bagian ketiga, yakni Sila Ke-3, merefleksikan pemaknaan persatuan sebagai salah satu sila di dalam dasar negara Pancasila, dalam penerapan berbangsa di tengah situasi pandemi Covid-19. Pertunjukan bagian ketiga ini yang dilakukan oleh seniman Tita Salina. Ia mempertanyakan kembali apa makna kolektivitas yang marak di masyarakat Indonesia ini, dan pengertian persatuan pada Sila Ke-3 Pancasila. Dalam presentasinya, Tita menganggap persatuan adalah misi utama seluruh umat manusia, semakin beragam manusianya maka semakin besar upaya yang harus dilakukan. Persatuan telah dituliskan oleh para pendahulu kita, di dalam ‘kutukan’, prasasti, persatuan dilafalkan dengan sumpah, persatuan diperjuangkan dengan darah. Persatuan juga diekspresikan dengan ideologi yang juga memiliki benturan secara keji, juga dilakukan dengan senjata yang anggarannya cukup mahal. Tita menyebutnya dengan istilah ‘post-colective’, sebuah frase yang juga berangkat dari pengalaman Long Covid sebagai post-Covid, sebagai kritik terhadap pengertian kolektif yang selama ini berlangsung di dalam masyarakat.
Pada pertunjukan bagian keempat, yakni Sila Ke-4, Muhamad Isnur―aktivis dan Ketua Umum Pengurus Yayasan LBH Indonesia (YLBHI)―melakukan pertunjukan yang melibatkan para penonton secara interaktif. Pertunjukan pada bagian keempat ini dilakukan dengan melakukan pertanyaan tertutup (siapa atau bukan, setuju atau tidak, dst) kepada para penoton. Pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan oleh Isnur sendiri berupa refleksi dari dasar negara Sila ke-4 Pancasila, apakah sila ke-4 tersebut sudah menjadi pengalaman berbangsa selama pandemi Covid-19. Dalam konteks pertunjukan yang bersifat interaktif ini, secara tidak langsung menjadikan pertunjukan semacam ‘kolektif’, dimana pembentuk teks berlangsung di atas panggung melalui tanggapan dan interaksi penonton atas pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan kepada mereka.
Di bagian kelima, pertunjukan dihadirkan oleh Lalola Easter Kaban, seorang aktivis dari Indonesia Corruption Watch. Pertunjukan yang dilakukan oleh Lalola berupa pembacaan sebuah arsip surat dari salah seorang penyintas, sebagai sebuah pengalaman berbangsa di masa Pandemi yang jauh dari semangat Sila ke-5, dari Pancasila. Pertunjukan ‘Sila Ke-6” diakhiri dengan satu pertunjukan suara dan musik yang ekspresif dari seniman Monica Hapsari dan Kuntari yang juga terhubung dengan pengalaman-pengalaman batin dan soundscape di masa pandemi. Pada pertunjukan di bagian akhir ini, Monica banyak membunyikan suara-suara yang ekspresif, atau pengalaman-pengalaman sensori baik dari trauma, rasa kehilangan, rasa sakit dan seterusnya yang dialami para penyintas dan warga yang kehilangan kerabatnya. Pertunjukan suara oleh Monica dan Kuntari ini menjadi semacam ‘penularan’ secara sensori, dari pengalaman-pengalaman traumatik penyintas Covid-19.
Sebagai sebuah pertunjukan yang berbasis dokumenteris, “Sila Ke-6” merupakan sebuah adendum yang performatif dengan menghadirkan subyek-subyek yang ‘real’ sebagai aktor dan presenter dalam pertunjukan, selain juga bahan-bahan arsip data dan pengalaman personal yang traumatik di masa pandemi Covid-19. Kehadiran Juno Simorangkir di dalam pertunjukan, sebagai penyintas Covid-19, beserta Long Covid-19 yang diidap sampai dengan pertunjukan, menjadikan pertunjukan adendum ini mendapatkan efek dari kontak langsung penonton dengan ‘kenyataan’ dan orang-orang ‘nyata’ yang traumatik di masa pandemi. Presentasi Juno bermuara pada tubuh, yakni tubuhnya sendiri yang masih mengalami gejala sampingan paska menderita Covid-19. Pengalaman ‘real’ Juno ini juga dikembangkan dalam beberapa transisi dari satu bagian pertunjukan ke bagian pertunjukan yang lain, seperti suara-suara personal, dan juga pemandangan visual dari situasi Juno ketika mengalami efek samping paska menderita Covid-19.
Sebagai sebuah platform pertunjukan, “Sila Ke-6” yang sutradarai oleh Irwan Ahmett ini merupakan pertunjukan kolektif yang melibatkan kolaborasi seniman dengan komunitas-komunitas yang terkait dengan isu-isu sosial politik di masa pandemi Covid-19. Pengertian kolektif dalam konteks pertunjukan ini pun sebagai sesuatu yang mengalami perluasan, karena kehadiran komunitas-komunitas seperti LaporCovid-19, YLBHI, ICW, Lokataru dan komunitas lainnya menjadi semacam ‘penciptaan kolektif’, sebuah teater kolektif yang juga melibatkan aktor non professional, para penyintas, penonton kolektif di dalam ruang pertunjukan, dan juga menghadirkan realitas teater yang dibaurkan dengan realitas pengalaman keseharian traumatik dari warga di masa puncak pandemi Covid-19. Praktik seni Irwan Ahmett menjadi semacam ‘labolatorium sosial’ karena melibatkan banyak komunitas, dan juga penonton, terkait dengan pengalaman traumatik dari isu Covid-19.
Adendum melalui pertunjukan “Sila Ke-6” ini adalah sebuah teater yang real, sebagaimana dibayangkan Artaud dari analogi teater seperti wabah, yang mempunyai realitas virtual yang menularkan ke tubuh penonton. Melalui kehadiran orang-orang real, serta banyaknya data arsip dan statistik serta pengalaman-pengalaman personal yang traumatik di masa pandemi Covid-19, baik berupa suara, visual, tubuh real, menjadi semacam efek real dari trauma di masa pandemi yang ditularkan kepada penonton bersama pertunjukan “Sila Ke-6”. Dalam menghadirkan realitas keseharian ke atas panggung, menjadikan penonton sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang kolektif, selain pengalaman negatif di masa pandemi merupakan pengalaman bersama di dalam pertunjukan.
[i] Stanton B. Garner, Jr. “Artaud, Germ Theory, and the Theatre of Contagion”. Theatre Journal, Vol. 58, No.1, Maret 2006, hlm. 11