Ingin Menggugah Tapi Mengganggu : Catatan untuk “Waktu Batu – Rumah Yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di ArtJog 2023
[Michael HB Raditya]. Pertunjukan terbaru Teater Garasi, Waktu Batu: Rumah yang Terbakar yang digelar pada gelaran ArtJog di JNM Bloc, Yogyakarta pada Senin (3/7/2023) tampak memukau, tampak hebat. Saya pikir kebanyakan dari Anda yang membaca tulisan ini juga mengangguk. Instagram milik Teater Garasi kebanjiran story yang kebanyakan berisi pujian, sanjungan. Hal ini terjadi sejak penampilan pertamanya, Minggu (2/7/2023). Pun keriuhan turut tercurah di akhir pertunjukan, khususnya ketika penonton dapat berinteraksi langsung dengan para penampil dan rekan-rekan di balik layar. Resonansi perayaan terpancar, karya ini memang menjanjikan.
Tak jauh berbeda dengan yang lain, saya terlena, tentu, terlena akan visual yang memukau. Ibarat lapar, sepulangnya saya dari pertunjukan terasa kenyang. Tiada terlintas di kepala saya atas bagaimana pemilihan dan penggunaan media ungkap Teater Garasi dalam mengartikulasikan duka ekologi dengan sebegitunya. Saya menyebut karya ini sebagai karya yang canggih dan mutakhir, baik secara ide (dengan elaborasinya pada ihwal ekologi, gender, dekolonialisasi), eksekusi (baca: silang-media antara teater, video game, dan sinematografi, video mapping, cahaya, musik), hingga dramaturgi (dengan menautkan pola dramaturgi video game, gerak robotik, joged TikTok, dan tentu teater).
Lebih lanjut, kemutakhiran Teater Garasi membawa isu ekologi tidak terjebak pada hal yang eksplisit, melainkan membentang duka hingga murka untuk menggapai keadilan ekologi. Duka ekologi itu pun diletakkan vis a vis dengan neoliberalisme dan krisis sosial global. Tak hanya itu, ia turut menautkan isu ketimpangan gender yang semakin meruncing karena sistem tersebut. Hal yang tak kalah menarik, Teater Garasi turut membentang narasi lokal untuk menggembosi realitas tersebut, dan meletakkan ulang gelagat-gelagat kemajuan yang [dianggap] serampang.
Watugunung, Murwakala, dan Sudamala, menjadi teks-teks mitologis dan narasi lokal yang ditatap secara lebih. Walau penerapannya, Watugununglah yang paling menyita perhatian. Ia dijabarkan secara harfiah, mengena dengan tepat tanpa adanya terma eufemistik atau figuratif. Pun, karya ini turut berbalut teori kritis, yang berupaya menyadarkan, bahkan membalik keadaan. Bahkan naskah Silvia Federici diartikulasikan secara eksplisit, jika dominasi laki-laki hanya bentukan belaka dan relevan untuk disadari, bahkan diakhiri. Saya bersepakat atasnya.
Sementara soal kecanggihan, keragaman teknologi seakan menjadi sangat mudah di hadapan mereka. Penggunaan layar di sisi belakang panggung atau layar dorong menjadi penegas adegan, gerak, dan pesan yang mangkus dan sangkil. Pada pelaksanaannya, baru kali ini saya merasa crew yang lalu lalang di dalam panggung tak terasa tanggung. Laser hijau yang membuat kotak-kotak di dalam layar pada penghujung pertunjukan juga tampak memukau. Saya terpukau bagaimana mereka meletakkan laser di dahan pohon beringin sebelah panggung. Tidak hanya yang ‘besar’, penggunaan teknologi untuk adegan-adegan yang ‘kecil’ juga terasa menarik, semisal penggunaan kamera di atas Enji ketika ia tergeletak di atas meja makan; ide membuat kelir di bawah meja makan, atau lampu pada wajah Syamsul Arifin ketika menggunakan topengnya.
Selain itu, semua lini juga bekerja secara pas, para aktor tampil dengan apik, sementara rekan-rekan di balik layar menunaikan tugasnya dengan sangat baik. Keelokan karya ini terbuat tidak hanya dari bagaimana karya dihelat, tetapi dari kerja sama yang dibuat. Salut pada para aktor, seperti Ari Dwiyanto alias Inyong, Erythrina Baskoro, Arsita Iswardhani, Tomomi Yokosuka, Enji Sekar, Wijil Rachmadhani, Putut Alit Panca Nugraha, Syamsul Arifin, Putri Lestari; kolaborator, yakni: Majelis Lidah Berduri dan Yennu Ariendra pada musik, Mella Jaarsma pada penggarapan visual, Deden Bulqini pada penata proyeksi visual, Tomy Herseta pada penataan panggung, Rimbawan Gerilya pada penataan visual game, A. Semali dan Muhammad Taufiq Hidayat pada pengarah kamera, Retno Ratih Damayanti pada penata kostum dan make up; serta sutradara Yudi Ahmad Tajudin, dramaturg Ugoran Prasyad, asisten sutradara Luna Kharisma, direktur teknik dan penata cahaya Ignatius Sugiarto, manajer panggung Gading Paksi, penata set dan properti Miftakul Efendi, sound engineer Yossy Herman Susilo, dan lain sebagainya.
Demikianlah adanya perasaan saya setelah menonton. Rasanya tiada celah hingga saya tersadar akan satu hal. Jika karya ini merupakan representasi realitas—atau paling tidak dimaksudkan untuk menstimulasi kesadaran—, jika aktor di panggung adalah titisan saya, kamu, atau kita; di mana posisi saya di dalam karya, di dalam realitas? Apakah saya memiliki daya dalam realitas? Apakah saya memunyai daya untuk melawan dan menempuh jalan lain dari realitas yang ada? Kok, rasanya tidak!
Larut, tapi meniadakan Saya juga Kamu
Tak dapat ditampik, lebih dari tiga kali saya dibuat terkesima dengan pertunjukan Teater Garasi. Beberapa kolase yang dihadirkan terasa dekat dan erat dengan kehidupan masa kini. Ia tak berupaya membahas ihwal kerusakan ekologi dengan cara menghadirkan muasal kerusakan, ia tak juga berupaya menyoal ketimpangan gender dengan menampilkan contoh besar, melainkan dari apa yang terjadi di sekeliling, yang sudah lekat dengan kehidupan kita.
Dari banyak kejadian, dua momen yang membuat saya larut adalah “Emak, lapar!” dan “Apalagi?” Momen “Emak, lapar!” terjalin ketika sebelum dan pada saat Enji membacakan naskah Silvia Federici. “Emak, lapar” dilafalkan oleh beberapa aktor laki-laki sejak meja makan di sisi belakang masih kosong. Mereka bergerak ke sini kiri dan kanan, membuat panggung seakan dipenuhi dengan rong-rongan patriarki. Suara-suara “Emak, lapar” seakan membuat yang mendengar menjadi risih. Laki-laki hanya meminta, tak sekalipun membantu. Bahkan ketika di sisi kanan panggung ketika dua aktor tengah memasak, laki-laki tetap hanya meminta, cenderung mengganggu. Namun di wajah para aktor perempuan, mereka tampak datar, tak lebih. Hal ini menjadi berlipat ganda ketika Enji membaca bak berpidato. Dengan dua latar perempuan memasak dan perempuan di meja makan dengan serbuan laki-laki yang mengemis, menjadi momen tragis yang sarat makna. Ditambah ketika Enji menampar Inyong dengan topeng berkepala penanak nasi listrik yang terus melafalkan “Emak, lapar!” sambil menarik-narik kakinya.
Momen lainnya adalah “Apalagi?” Momen ini terjalin ketika Tomo bersama Inyong dan Putu Alit di meja makan. Semula Tomo hanya mendengar Putu Alit yang bercerita banyak hal. Di setiap Putu Alit mengakhiri cerita, Tomo selalu bertanya “Apalagi?” dengan kata yang berulang. Tidak hanya itu, mereka memanfaatkan panggung yang miring condong ke penonton untuk membawa meja dan kursi bersama mereka menggeleser turun. Setelah di bawah mereka menarik lagi meja serta kursi ke sisi belakang panggung—yang notabene lebih tinggi—dan kembali melakukannya beberapa kali. “Apalagi?” di sini membuat kesan tragis tersendiri tentang dominasi hingga eksistensi. Namun dari dua momen ini, terbetik kesan berulang yang menyiratkan bahwa ihwal kerusakan ekologi hingga ketimpangan gender yang berulang hingga tak lagi disadari atau dipertanyakan. Naas!
Lebih lanjut, dua momen ini menjelaskan mengapa para aktor melakukan gerak yang nyaris setipe, seragam. Sejak pertunjukan dimulai, para aktor menunjukkan gelagat gerak yang tiada beda. Semisal pada gerakan robotik ala karakter di video game yang diterapkan para aktor di atas panggung. Entah melambai, bergerak, berlari, beradu jotos, hingga bicara semua pada muara gerak yang sama, robotik. Lainnya, ketika para aktor berjoget ala TikTok, mereka juga melakukan koreografi yang sama, tiada beda. Tidak hanya setipe, adegan satu aktor dengan yang lain juga saling mendukung. Semisal ketika aktivitas berfoto. Tepatnya saat mendekati penghujung pertunjukan, di mana mereka menggunakan kamera depan untuk selfie atau wefie, maupun kamera belakang untuk mengambil gambar orang yang lain—tentu tanpa izin. Para aktor di atas panggung turut serta dalam bagaimana melakukan aktivitas berfoto dengan caranya masing-masing. Sita, Enji, Wijil dan Putri yang asyik berwefie; Inyong yang tengah berjoget dengan diambil gambarnya tanpa izin; Tomo tengah berdandan di depan kamera, dan tersiar pada layar di atasnya, mendukung bagaimana manusia menggunakan kamera di era kiwari.
Tentu hal-hal di atas membuat penonton menjadi larut, pun saya demikian. Namun setipe, serupa, seragam, dan saling mendukung yang saya tautkan di atas justru membuat saya terasing. Membuat saya mempertanyakan posisi saya di dalam karya, atau bagaimana Teater Garasi memandang manusia pada karyanya. Adegan demi adegan yang ditampilkan rasanya membuat manusia menjadi pasif dan hanya mengamini tanpa punya pilihan lain. Lihat saja mereka ketika bergerak robotik, berTikTok, menggunakan kamera, dan seterusnya. Dari sini saya justru merasa karya ini meniadakan daya dari saya, kamu, atau kita. Ia mengebiri agensi—daya, kapasitas, kemampuan agen, manusia—untuk merespons sebuah fenomena yang terjadi.
Alasan ini menjadi semakin kokoh ketika Enji, Sita, Wijil, dan Ery di penghujung pertunjukan membacakan siapa-siapa saja yang tiada beda pada satu haluan standardisasi yang sama. Ketika pun ada, itu hanya semu—laiknya pseudo-individualisasi. Semisal pada tiga penonton yang diberikan ruang berpartisipasi, dengan diberikan masing-masing joystick. Tentu kita mengira jika mereka seakan-akan aktif menentukan, tetapi mereka tetap berada pada haluan cara main yang sama. Pun para penonton yang asyik memainkan joystick memijit tombol demi tombol tanpa tahu implikasi perintah yang muncul. Karena perintah pada ketiga joystick bersumber sama, yakni perintah pukul, tendang, lompat, dan seterusnya yang tak terbedakan. Lantas bagaimana mereka tahu perintah mereka masing-masing? Apalagi bagaimana mungkin ada tiga joystick mengendalikan dua karakter yang tengah beradu jotos alias senggel. Singkat kata, partisipasi semu ini membuat ruang keleluasaan dibuat seolah-olah saja. Lantas di mana agensi kita?
Pada awalnya saya mengira jika Erylah yang kelak meneguhkan agensi ini. Pasalnya Ery dapat melenggang dan memiliki keleluasaan di pertunjukan. Ia bisa menjadi penonton, bisa menjadi penampil; ia bisa menjadi bagian pertunjukan tetapi juga menjadi pertunjukan itu sendiri. Namun dari adegan ke adegan, ia berlaku justru sebaliknya. Ery diposisikan menjadi hantu dari kapitalisme, hantu dari duka ekologi, hantu dari ketimpangan gender. Lama kelamaan, Ery justru menjadi subjek penderita. Ia menjadi monumen korban, menjadi simbol dari kerusakan, ketimpangan, ketiadaadilan dari ulah entitas kuasa atau sistem. Dari sini, di hadapan Teater Garasi, manusia atau agen hanya diposisikan ke dalam dua golongan saja, pelaku atau korban. Tiada di antara, tiada opsi lain. Lantas, di mana saya, kamu, kita? Hmm! Apakah benar dalam realitas hanya ada hitam dan putih? Atas dasar ini, karya ini saya anggap pesimis. Ia tak melihat harap dan asa, atau bahkan meniadakan keragaman agensi dari satu, sekelompok, atau lebih manusia dalam menghadapi fenomena.
Semuanya sama, semuanya pada haluan sistem yang itu-itu saja. Namun apakah kita benar-benar seperti itu? Apakah kita hanya korban di hadapan teknologi, kemajuan, ekologi, ketimpangan gender? Atau, apakah kita selalu menjadi pelaku dari kerusakan, ketimpangan, atau ketidakadilan? Padahal, bukankah dalam satu sistem dan kekuasaan, tetap akan ada perlawanan. Lantas bagaimana mereka memandang aksi dan reaksi yang kecil dan subtil pada fenomena demi fenomena yang ada? Jika karya ini dimaksudkan sebagai respons realitas, bukankah agensi punya peluang untuk memberikan kesadaran jika langkah kecil pun bisa diambil? Atau, jangan-jangan Teater Garasi memang sudah pesimis melihat upaya-upaya kecil yang tidak dapat mengubah dunia dalam sekali jalan dan lebih mengharap perubahan besar yang terjadi tiba-tiba sebangunnya tidur siang.[]
- Tumbuh dan Mekar dari Ceruk tak Berdasar : Catatan atas “Ra Hina” — Kinanti Sekar di ISI Yogyakarta - 30 September 2023
- Ingin Menggugah Tapi Mengganggu : Catatan untuk “Waktu Batu – Rumah Yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di ArtJog 2023 - 15 Juli 2023
- Bertemu Rianto, Menjelajahi Lengger : Catatan dari Melbourne - 10 Juni 2023