Sabtu, Desember 14, 2024
ULASANLintas DisiplinPanggung Tari

(Percakapan) Pendekatan Matematis dalam Another Body – Another Space – Another Time

[Nia Agustina]. Saya mengenal Densiel sudah beberapa tahun (2018 sepertinya pertama kali bertemu dan ngobrol). Berinteraksi dengannya, saya mengerti ada kedalaman yang seringkali sulit diungkapkan dalam sekali waktu obrolan. Ini salah satu yang membawa saya menghubungi Densiel untuk menulis bersama tentang karyanya yang berjudul Another Body – Another Space – Another Time setelah presentasinya di Helatari Salihara 2021. Karya tersebut masih dapat ditonton melalui tautan: https://www.youtube.com/watch?v=krHNyqzxp6o

image001 | (Percakapan) Pendekatan Matematis dalam Another Body - Another Space - Another Time
Foto oleh Damar Rizal Marzuk, arsip Pribadi Densiel Lebang.

Nia (06 Juli 2021):

Aku akan mulai dari berbagi beberapa hal yang secara spontan aku rasakan ketika melihat karyamu, Another Body, Another Space, Another Time. Aku merasa material yang kamu pilih khas sekali seorang Densiel yang aku lihat beberapa tahun terakhir, kamu juga sudah membuka dalam diskusi setelah pemutaran karya, memang kamu suka menaruh material-material keras di dalam karya-karyamu, hanya bedanya kali ini ada laser sebagai material lembut yang kamu cobakan, mengutip yang kamu katakan di sesi diskusi. Dalam karyamu di IDF (Indonesian Dance Festival 2018) meskipun ada batas-batas yang kamu berikan kepada penari melalui material scaffolding dan tali, tapi perasaan tubuh yang leluasa masih muncul. Sedangkan dalam karya ini aku sebagai penonton merasakan sesak, terbatas, dan setelah sekian menit muncul emosi tertekan. Tapi kemudian aku tersadarkan oleh satu pintu kecil yang digunakan oleh penarimu untuk keluar masuk, bahwa di sana ada pintu keluar, itu melegakan.  Di dalam diskusi kamu menyatakan bahwa chaos selalu muncul dalam karya-karyamu. Aku jadi ingat, tahun 1990 dua orang matematikawan, Mike Field dan Martin Golubitsky menerbitkan sebuah penelitian berisi eksperimen gambar tatanan simetris dalam chaotic system (merujuk pada chaos theory). Melalui percobaan tersebut mereka menyimpulkan bahwa Dalam beberapa hal koeksistensi dari chaotic dynamic dan pola simetris mungkin tampak kontradiktif; tapi ternyata tidak dalam percobaan ini, perkawinan antara dua hal tersebut justru luar biasa. Aku melihat perkawinan dua hal yang kontradiktif ini juga di karyamu, terutama dalam caramu menyusun kolase frame. Gerakan penari, sudut yang diambil, dan masing-masing frame secara terpisah sebenarnya terasa sekali chaos-nya. Tapi, ketika kamu menyatukan beberapa chaotic frame ini jadi satu, kamu menyusun kolase-kolasenya dengan sangat simetris. Bagiku ini menarik, seringkali di tengah satu kekacauan kita punya harapan akan keteraturan yang bisa jadi termanifestasi dalam karya-karya kita, seperti kondisi kita hari ini hidup berdampingan dengan pandemi. Hahaha…

Dari sini pertanyaan yang muncul dariku, apakah ini memang pilihan artistikmu? Atau hal ini muncul begitu saja secara intuitif? Aku mendengarkan juga soal self-analisismu dalam diskusi setelah pemutaran karya soal bagaimana “kekacauan” selalu muncul dalam karya-karyamu. Mungkin ini juga bisa dijelaskan ulang secara singkat di sini, supaya kita punya gambaran latar belakang. 

Densiel (21 Juli 2021) :

Dimulai dengan premis bahwa tubuh adalah konstitusi, saya melakukan self-analysis tentang di mana posisi tubuh di dalam urgensi yang dihadirkan oleh pandemi saat ini? Representasi apa yang dihadirkan tubuh di dalam situasi ini? Pertanyaan ini membawa saya pada sebuah kesimpulan (setidaknya menurut saya pribadi) bahwa kita sedang berada pada era pasca-tubuh;

  • Dimana tubuh memediasi (active) dan termediasi (passive).
  • Dimana tubuh bisa menjadi cara, alat, dan sarana.
  • Dimana tubuh juga bisa menjadi konteks, waktu bahkan menjadi hal yang sangat subtle dan tidak terlihat secara kasat mata (seperti Big Data, algoritma, virus dll).
  • Dimana teknologi menciptakan intervensi budaya dan memungkinkan eksperimentasi identitas yang radikal melalui praktik pengupasan, pemintalan, dan penyambungan terutama pada tubuh manusia.
  • Dimana teknologi menciptakan gangguan temporal dan spasial dengan memisahkan tubuh dari keberadaannya.
  • Dimana teknologi juga memberikan tubuh kemampuan untuk melakukan perjalanan melintasi ruang dan waktu.

Dari poin-poin diatas, membuat saya tertantang untuk menyadari kehadiran tubuh-tubuh lain (yang disebut bukan tubuh) yang juga memiliki gesture dan movement – hal yang sangat ironi pada karya-karya saya sebelumnya yang berfokus kepada hal-hal physical dimana tubuh menjadi medium utama yang menghasilkan gesture dan movement bahkan juga sering menghadirkan elemen interaksi fisik dengan penonton.

Berbicara soal chaos, saya menyadari hal ini ketika membaca tulisan seorang teman yang bernama Keiza tentang karya saya No Limit di IDF (Indonesian Dance Festival) 2018. Saya menyadari fenomena “kekacauan” yang dihadirkan oleh tubuh-tubuh urban (mungkin termasuk tubuh saya sekarang yang sudah menetap di Jakarta selama 9 tahun) banyak mempengaruhi karya-karya saya–karya-karya yang merepresentasikan atau bermain-main atas landscape situasi kota, karya-karya yang dibuat berdasarkan ketertarikan pada kompleksitas dari konteks urban yang menawarkan narasi keseharian yang dinamis. Dari referensi yang Mba Nia berikan, saya membaca sedikit tentang teori chaos yang pertama kali terobservasi dalam sebuah sistem yang dikenal dengan nama sistem dinamis.

BACA JUGA:  Param Kotjak: Suara-Suara yang Mendarat, Suara-Suara yang Melesat

Sejujurnya dalam proses karya ini saya tidak banyak membaca tentang teori chaos tapi secara intuitif mendesain karya ini (khususnya pada tahap pengeditan yang dibantu oleh editor saya Richard Kalipung) dengan hitungan matematis. Contohnya pada bagian akhir karya, pilihan artistiknya menggunakan 72 (9×8) frame yang sebenarnya hanya terdiri dari 3 frame yang dibuat 4 arah dan disusun sesuai dengan perhitungan yang kami buat sendiri (contoh: 1.1, 2.1, 3.1, 1.2, 2.2, 3.2, dst) yang ternyata hasilnya membuat suatu garis simetris (seolah-olah membuat algoritma sendiri hehehe).

Tapi bagaimana menurut Mba Nia sebagai orang yang memiliki background matematika tentang fenomena tubuh digital yang punya perhitungan (karena teknologi memiliki algoritma) bekerja sebagai perpanjangan tubuh fisik yang kompleks. Bagaimana kemungkinan kolaboratif kedua tubuh ini?

Nia (26/07/2021)

Menarik sekali Densiel self-analysismu soal posisi dan representasi tubuh. Dari sini akhirnya aku juga bisa menemukan logika dari yang kamu sampaikan di dalam diskusi setelah pertunjukan soal bagaimana kamu menempatkan kamera di dalam karyamu. Dalam karya ini memang terlihat bahwa kamu menempatkan kamera dan hasil rekaman kamera sebagai bagian kehadiran tubuh lain. Aku akan menulis lebih lanjut soal ini mungkin di bagian paling bawah sekaligus untuk menavigasi pertanyaan terakhirku untukmu.

Lalu soal pendekatan matematis, mungkin memang kebetulan saja sebagai penonton aku punya background di sana, sehingga asosiasiku terhadap karyamu kemudian juga dipengaruhi itu. Bisa jadi penonton yang lain punya asosiasi-asosiasi lain yang sama sekali tidak terhubung dengan apa yang kubicarakan. Bahkan aku sebenarnya sudah siap juga ketika jawabanmu atas kerja ini lebih kepada intuisi dan pendekatan-pendekatan koreografi tari. Tapi aku cukup kaget ternyata seperti dugaanku ada pendekatan yang sangat matematis yang kamu lakukan.

Dalam proses menyusun frame itu misalnya, kalau di matematika kita menamainya permutasi dan kombinasi. Permutasi lebih kepada susunan seperti yang kamu lakukan tetapi mempertimbangkan urutan susunan, sedangkan kombinasi bisa saja acak. Ini juga kemudian jika diaplikasikan komputasinya bisa membentuk grup simetri juga dan nantinya terkait dengan pendekatan geometri. Nah, mungkin kamu tahu tari Bharatanatyam, koreografi ini juga dapat dibongkar dengan permutasi dan kombinasi dalam menyusun motif-motif tarinya. Oleh karenanya kalau kita lihat tariannya sangat presisi secara geometris. Dan sudah ada beberapa penelitian yang mempublikasikan ini, misalnya paper dari Sangeeta Jadhav dan Sasikumar Mukundan yang berjudul “A Computational Model for Bharata Natyam Choreography” . Dari sini kita melihat bahkan tubuh tari yang sudah cukup tua dapat dibongkar dan didekati dengan matematis, apalagi jika kita membicarakan bagaimana tubuh dengan teknologi digital. Kita semua tahu bahwa teknologi digital yang hadir di antara kita hari ini sebelum dia terbentuk menjadi benda seperti, kamera, laptop, dan lainnya, mula-mula ada perhitungan matematika dan fisika untuk menemukannya. Maka melakukan kerja antara tubuh dengan teknologi digital melalui pendekatan matematika tentu sangat memungkinkan. Apakah harus? Nggak selalu menurutku. Kita tentu masih sangat butuh intuisi, kepekaan atas keindahan, sentuhan-sentuhan yang lebih manusiawi dalam satu karya tari, itu yang membuat karya menjadi hidup dan relate dengan manusia yang lain. Pendekatan matematis seperti yang kita coba bongkar di sini, kalau menurutku menempati kepentingan pada pengembangan dan produksi pengetahuan sekaligus salah satu alat eksplorasi dalam masing-masing ilmu pengetahuan itu sendiri (misalnya kalau di sini kita membicarakan tari dan matematika).

Ada satu koreografer yang dulu ketika awal mula masuk ke tari aku banyak baca artikel tentangnya, namanya William Forsythe. Bagiku (dari mengamati karya-karyanya) dia juga salah satu koreografer yang menempatkan proyek koreografinya sebagai produksi pengetahuan juga. Dia membuat proyek koreografi hybrid yang dinamakannya “Choreographic Objects” , di sana dia bekerja dengan objek-objek yang mempengaruhi dan dipengaruhi koreografi. Melihat karyamu mengingatkanku pada karya-karya William Forsythe. Salah satunya karya Nowhere and Everywhere in The Same Time, dia menginstal banyak pendulum yang digantung dengan tali. Karya ini pendekatannya saintifik menurutku, dia mempertimbangkan psikologi manusia, pergerakan, momentum dan gaya, hingga gravitasi. Di karya seri pertama dia menggunakan penari dan seri 2 instalasi ini dipamerkan di satu galeri museum yang pengunjung dapat berinteraksi dengannya. Di sini kemudian baik tubuh orang-orang maupun instalasi pendulum ini saling mempengaruhi, tidak ada pihak yang pasif dalam pembentukan koreografi. Meskipun kesannya seru dan main-main tapi ada tujuan penting dalam karya-karya William Forsythe ini, salah satunya soal kesadaran tubuh. Bahwa bisa jadi selama ini kita take it for granted tubuh dan segala kemampuannya. Lalu ketika lingkungan berubah dan menuntut tubuh kita berubah pula, terkadang kita kebingungan menavigasi tubuh kita sendiri karena ternyata kita tidak mengenalnya. Selain itu di tahun 1990an (aku agak lupa tepatnya) William Forsythe sudah membuat video serangkaian lecture yang berjudul Lectures from Improvisation Technologies yang pendekatannya antara teknologi, tari, dan geometri. Aku tidak mengatakan bahwa kamu harus mengikutinya, hanya sekedar sebagai salah satu dari sekian banyak koreografer yang seperti aku bilang tadi, bagiku ada cara-cara kerja yang sepertinya terkait denganmu.

BACA JUGA:  Open Call : Magang Tata Cahaya Pertunjukan

Nah kaitannya dengan paparan di atas soal objek-objek yang saling mempengaruhi koreografi, juga pendekatan cara kerja, dalam karyamu ada lingkungan yang kamu bangun secara khusus, kemudian ada kamera yang punya kemungkinan mengisolasi frame. Dengan situasi semacam ini, apakah kamu dan penarimu menggunakan pendekatan atau mitigasi khusus yang mungkin berbeda dengan karya-karyamu sebelumnya? Kemudian dengan lingkungan khusus baik soal instalasi maupun frame kamera yang kamu ciptakan untuk penari ini, apakah kamu dan penari sempat berdiskusi soal kesadaran baru apa yang didapat oleh para penari dan mungkin kamu sebagai koreografer, baik terkait fisik maupun psikis?

Densiel (29 Juli 2021):

Terima kasih banyak atas paparan yang Mba Nia tuliskan di atas, membuka perspektif artistik yang lain buat saya. Mungkin saya akan menjelaskan sedikit tentang pendekatan artistik saya dalam karya-karya saya sebelumnya dan membandingkan dengan pendekatan artistik pada karya Another Body – Another Space – Another Time ini untuk menginisiasi kesadaran baru apa yang muncul atau bahkan yang akan muncul?

Proses penciptaan karya-karya saya adalah inkubasi gagasan di dalam wilayah riset. Isu materialitas menjadi salah satu kata kunci dalam riset ini karena proses berkarya saya berangkat dari ekspresi material apa yang terjadi pada tubuh penari atau peristiwa tubuh apa yang terjadi ketika tubuh berinteraksi dengan material. Isu materialitas itu tidak sederhana, ia terlihat sederhana tetapi ketika dia dihadirkan, dia membuka kemungkinan-kemungkinan dramatis yang kemudian dramaturgi bisa dibangun melalui penggunaan material tersebut (dramaturgi material) atau kemungkinan-kemungkinan makna yang dimunculkan dari benda yang dipilih atau dari material yang digunakan. Memiliki kesadaran bahwa tubuh dan material menjadi objek, hal tersebut mampu menciptakan jarak antara medium dengan kreator. Sebagai kreator, saya tidak mau terjebak dengan ide dan narasi di awal sehingga menghalangi saya untuk melihat apa yang mampu dibuka oleh peristiwa visual atau peristiwa fisik yang dihasilkan oleh medium yang digunakan. Bisa saja peristiwa fisik atau peristiwa visual tersebut lebih menarik dan menawarkan ruang tafsir baru. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah proyeksi apa yang dibuka selama riset tentang isu materialitas. Isu Materialitas sangat liberal, karena dari isu ini kita bisa berbicara tentang apa saja. Saya juga tidak mau terjebak di dalam intensi membangun metafora dengan pilihan metaforing, tetapi mempertanyakan jangan-jangan pilihan medium atau material tersebut adalah strategi untuk memetaforakan sesuatu atau untuk mengecek jarak antara metafora dan yang dimetaforakan atau sebagai sebuah produksi pengetahuan.

Dalam riset ini posisi Tubuh berfungsi sebagai sentrifugal, jika intensi tubuh berfungsi sebagai sentrifugal maka pemakaian material dalam riset ini berbicara tentang sifat-sifat dan sistem kerja materialnya, seperti: Daya, beban, gaya, energi, volume, luas, momentum dan sebagainya – Sebuah usaha untuk merumuskan riset artistik saya melalui pendekatan fisika yang pada umumnya dikenal sebagai ilmu yang mempelajari materi beserta gerak dan perilakunya dalam lingkup ruang dan waktu (salah satu mata pelajaran yang paling saya suka ketika masih sekolah, hehehe). Pendekatan ini (selain pendekatan intuitif) yang saya coba gunakan dalam mengolah kembali “material” baik dalam pelatihan maupun dalam mengerjakan materi ketubuhan yang disusun kembali menjadi materi adegan sehingga nantinya dapat diintegrasikan ke dalam pertunjukan. Melalui pendekatan ini juga, memungkinkan menerapkan metode koreografi dalam sistem kerja material dan secara bersamaan kedua hal itu dapat ditransfer ke ranah karya koreografi. Salah satu contohnya dalam karya saya sebelumnya, Inhibition yang menggunakan tali derek dengan panjang 4 meter dengan kuat beban 1 ton, jika penari A menarik penari B yang memiliki massa berat 55 kg dari keadaan diam hingga mencapai kecepatan 1,2m/s dalam waktu 3 detik maka gaya yang dihasilkan penari a adalah senilai F (Force) = 22 N (pendekatan yang akhirnya membawa karya ini pada kata kunci forceful physicality). Usaha produksi pengetahuan seperti contoh tersebut yang sedang saya riset dalam karya-karya saya belakangan ini.

BACA JUGA:  Rembesan "Mili" Mbah Mantri: Transformasi Tradisi dalam Ekspresi Kontemporer "Kala-Kili"

Pada Another Body – Another SpaceAnother Time, ruang pada frame maupun ruang fisik dengan Volume 4,8 m3 menjadi salah satu elemen penting dalam karya ini selain pendekatan matematis pada pengeditan frame, pendekatan ini juga kurang lebih saya terapkan pada ruang fisiknya yang memiliki panjang 2 m tinggi 1,2 m dan lebar 2 m – ukuran ini juga tentu memperhitungkan tinggi badan dan jangkauan maksimal penari (dimana ketiga penari dalam karya ini memiliki ukuran tinggi badan dan jangkauan yang kurang lebih sama) jika tangan direntangkan ke samping maupun ke atas di dalam box sehingga view pada frame diharapkan mampu memanipulasi gaya gravitasi di beberapa bagian dalam karya ini, seperti yang saya jelaskan pada diskusi di akhir pemutaran karya ini ada usaha untuk menampilkan karya ini secara hybrid – secara physical dan digital yang menurut saya pada akhirnya menghasilkan 2 karya yang berbeda karena sistem kerjanya yang berlayer-layer.

Usaha untuk bekerja secara hipertekstualitas (meminjam salah satu karakteristik new media) yaitu menyatukan teks baru dengan teks lama atau mengkaji hubungan teks lama dan teks baru, hal ini membawa saya kepada sebuah kesadaran bahwa persoalan materialitas tidak hanya berbicara tentang objektivitas melainkan juga bisa menjadi pengungkap hal-hal lain melalui relasi fisik dan juga relasi spasial – ruang dapat mempengaruhi peristiwa dan juga dapat memberi makna (apalagi perkembangan teknologi saat ini membuat penggunaan ruang publik dapat diinisiasi melalui ruang-ruang privat). Dalam karya Another Body – Another Space – Another Time, penelitiannya pada akhirnya tidak hanya berbicara tentang hubungan antara tubuh dan material, tetapi juga tentang hubungan antara tubuh dan ruang (fisik dan digital) dengan jarak dan temporalitas (kewaktuan) – yang membuat saya berpikir secara kalkulatif dan meditatif pada saat yang sama.

Referensi:

Mike Field & Martin Golubitsky. Symmetri Chaos: A Pictorial Eksploration of an Order Imposed By Symmetri Within Chaotic System. 1990. https://aip.scitation.org/doi/pdf/10.1063/1.4822939

Sangeeta Jadhav & Sasikumar Mukundan. A Computational Model for Bharata Natyam Choreography. 2010.

International Journal of Computer Science and Information Security (VL  – 8). https://www.researchgate.net/publication/47690207_A_Computational_Model_for_Bharata_Natyam_Choreography


Densiel Lebang adalah seniman, koreografer dan penampil yang aktif sejak 2013. Karya-karya mutakhirnya antara lain Inhibition 2.0 (2019) yang ditampilkan di Yogyakarta dan Korea; Miss (2019) di Asia Tri Yogyakarta; Bodily/Physical/Material (2020) di Sanskar International Dance Festival, India dan Online Performance Arts Festival, Amerika Serikat. Ia juga menciptakan film-tari Chaotic (2020) yang menjadi Official Selection di Kalakari Film Festival, India dan Reeling: Dance on Screen Festival oleh Mile Zero Dance, Kanada, serta ditampilkan di Dance in Asia pada 2020. Selain koreografer, saat ini ia juga bekerja sebagai program manager di StandArt Foundation.

Nia Agustina

Nia Agustina

Producer dan pendiri Paradance Festival di Yogyakarta. Bekerja sebagai kurator Indonesian Dance Festival 2017-2020.