Tumbuh dan Mekar dari Ceruk tak Berdasar : Catatan atas “Ra Hina” — Kinanti Sekar di ISI Yogyakarta
[Michael HB Raditya]. Kinanti Sekar Rahina (Sekar) menari di antara tiga buah kain menjulur dari atap hingga lantai yang diposisikan membentuk ruang lingkar. Di setiap kain berisikan potongan demi potongan gambarnya dari masa ke masa, baik ketika berkarya ataupun terlibat dengan aktivitas bersama rekan dan keluarga. Melihatnya, seketika saya membayangkan berada pada sebuah mesin waktu. Apalagi ia kerap berputar di tempat dalam tariannya, seraya memasuki ruang ‘di antara’ yang membawanya pada masa lalu, membawanya ke dalam lika-liku atas hidup yang kadang ragu, tetapi harus bergerak maju. Tak hanya itu, di sepanjang karyanya, Sekar menghadirkan adegan demi adegan yang sentimental untuknya. Seperti meringkuk dalam lemari baju karena cemas tak berkesudahan; menari di ruang tamu “rumahnya” sebagai wujud komunikasi bersama keluarganya, dan seterusnya. Pun tangis demi tangis bersahutan dari mereka yang menonton. Takjubnya, Sekar terus terjaga dalam senyum, mungkin karena ia tahu tangis saja sudah tak cukup lagi menyudahi.
“Ra Hina” merupakan sebuah pertunjukan yang diniatkan sebagai tugas akhir penciptaan dari Kinanti Sekar Rahina di Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Karya ini dipentaskan tiga bulan lalu, tepatnya pada Rabu (14/6/2023), di Gedung Pascasarjana ISI Yogyakarta. Secara literer, “Ra Hina” dapat diartikan sebagai “dia yang tak hina”, tetapi tajuk tersebut juga tertaut dengan nama belakang Sekar, Rahina. Lebih lanjut, karya tugas akhir tingkat magister ini berangkat dari kisah perjalanan hidup sang koreografer, Sekar. Dari yang ditampilkan olehnya, walau tersurat hidup yang tak mudah, Sekar tentu tak memiliki intensi menjual kesulitan dan kesedihan. Sebagai gantinya, tersirat ucapan syukur dan terima kasih kepada semesta yang membersamainya.
Namun terdapat hal yang menarik, di mana Sekar tak hanya bersandar dari kisah hidupnya, melainkan turut menautkan buku Aburing Kupu-Kupu Kuning sebagai cara tafsirnya. Buku Aburing Kupu-Kupu Kuning ditulis Rm. Sindhunata pada tahun 1995. Buku tersebut berisikan kisah-kisah spiritual yang membuat pembacanya terus menjaga asa walau dalam keadaan tak berdaya. Pada sebuah kesempatan yang lain, saya sempat menyaksikan bagaimana Rm. Sindhunata menautkan bukunya pada perjalanan kehidupan Sekar. Hal yang masih terngiang adalah bagaimana keajaiban muncul dalam keadaan yang sulit. Lebih lanjut, keberadaan Sekar adalah keajaiban itu sendiri, karena ia terbentur dan terbentuk dari keadaan yang tak mungkin. Sebuah kertas yang diberikan Sekar di penghujung karya menjadi sangat berarti, di mana tertulis “Terima kasih. Aku tumbuh, sebab aku mekar.”
Dalam mewujudkan padanan kisah hidup dan karya sastra, “Ra Hina” dikoreografi dan ditarikan oleh sang empunya cerita, Kinanti Sekar Rahina. Namun ia tak sendiri, melainkan melibatkan banyak orang, di antaranya: pada kepenarian, yakni: Fetri Ana Rachmawati, Qovivah Nafiul Amini, Dena Anggraeni, Nur Diani Harjiyati; pada produksi, yakni: Koes Yuliadi (dosen pembimbing), Ihsan Kurniawan (dramaturg), Elnani Yuliana (pimpinan produksi), Bagas Arga Santosa (asisten), Nur Alfiyah (sekretaris), Mutiara (bendahara), Rahman Fuadi (make up), Driya Dipta Nisakara (kostum), Sania Safa (konsumsi); Eko Sulkan, Mike, Renal, dan Aldy (tim pencahayaan); Beni Susilo Wardoyo, Lanang Alfarisi, Naupal, Gelar, Rama Reziansyah, Zee, dan Wibi (tim setting); Dwi Adri Yulianto (operator bunyi), Hery Kristian Buana Tanjung dan M. Yoga Supeno (tim musik); Gabra Mikael Arda, Amirullah, Rivaldi Fajrul, Ramadhan Saddam, Agung Bangun Saputro, Daneial Wisnu Kinardi, Alarik Putra, Ulul Azmi Aziz, Nizar Miftah, dan Eko Sudarwanto (tim dokumentasi); Prihatmoko Moki (desainer grafis), Media Setiaji (publikasi), serta Marsha dan Dila (among tamu). Alhasil karya “Ra Hina” adalah kerja kekaryaan yang serius. Apalagi mereka tidak hanya menjadikan karya ini sebatas pertanggungjawaban tugas akhir, melainkan meniatkan menjadi tontonan untuk khalayak.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah Sekar dan tim berhasil mewujudkannya? Bagaimana Sekar dan tim membagikannya kepada saya, kamu, kita penonton?
Mengurai “Ra Hina” Sebagai Biografi Diri
Saya mulai dengan pertanyaan sederhana, jika kisah hidupmu diurai, mana yang kamu pilih untuk dipertunjukkan? Tentu sulit mengurasi kisah hidup apa dan bagaimana yang saya, kamu, atau kita pilih jika bersandar pada biografi diri. Tentu ini menjadi obrolan yang panjang dan patut dipertanyakan ketika Sekar tak memiliki landasan atau cara pandang. Namun Sekar menggunakan logika Aburing Kupu-Kupu Kuning, khususnya pemaknaan atas keajaiban sebagai cara tafsir atas kediriannya. Cara pandang inilah yang juga saya gunakan untuk melihat pilihan Sekar dalam mengartikulasikan keajaiban-keajaiban hidupnya dan membahasakannya ke dalam karya tari.
“Ra Hina” tentu berbicara tentang keajaiban dalam keadaan sulit, yang Sekar cobakan dalam melihat kehidupannya. Namun, menariknya, Sekar tak berpretensi untuk menunjukkan keajaiban macam apa yang muncul, melainkan mengurai bagaimana keajaiban itu muncul dan apa yang membuatnya muncul. Alhasil Sekar memilih momen dalam memperlihatkan keajaiban hidupnya. Dalam menerapkannya, Sekar memilih empat bilik, dua bilik terwujud dan dua bilik nirwujud dalam mengartikulasikannya.
Bilik-bilik itu diterapkan pada sebuah ruangan memanjang di Pascasarjana ISI Yogyakarta. Sisi terkanan dari ruangan, terdapat sebuah reka tempat dari ruang tengah keluarganya. Sementara di bilik sebelahnya terdapat sebuah lemari baju. Saya menduganya sebagai ruang kamar keluarganya. Di arena tengah bagian kiri, tiada dekorasi apa pun di antaranya, tetapi terdapat proyektor di depannya. Maka saya memutuskan akan adanya bilik di sisi itu. Sementara sisi terkiri dari ruangan adalah “mesin waktu”—seperti yang saya urai di awal tulisan.
Di setiap bilik, Sekar ingin membagikan keajaiban melalui interaksi dan detail pada ruang rekaan. Pun hal ini dikonfirmasi oleh suami—yang juga asisten dari karya—Sekar, Bagas; di mana beberapa barang memang merupakan barang asli, pun jika tidak, barang di ruang reka dibuat semirip mungkin. Semisal lukisan, meja, hingga kursi pada ruang tengah; lemari di bilik sebelahnya. Sudah barang tentu, barang-barang tersebut memiliki acuan semiotiknya masing-masing. Hal itu jugalah yang membuat saya percaya jika barang-barang tersebut tidak hanya sekadar dekorasi, melainkan memiliki ingatan—atau pemicu memori—tersendiri.
Setelah melihat Sekar merespons ruang dan benda di sekeliling, keyakinan saya semakin berlipat ganda jika benda-benda itu atau bilik tersebut memiliki ingatan tersendiri untuk Sekar. Di mana terdapat ingatan gerak dan interaksi yang Sekar buat bersama mendiang ayahnya, Jemek Supardi dan ibu, Threeda Mayrayanti. Hal ini terbukti ketika Sekar menirukan gerak pantomim ayahnya di bibir meja, duduk termangu di depan lukisan menirukan gerak ibunya, ketenangan ataupun kegundahan di antara gerak-gerak lainnya—yang saya duga menjadi akumulasi memori di kepala dan tubuhnya. Dari ruang pertama, terbetik kesan akan momen keluargalah keajaiban bernama Sekar itu muncul.
Pada bilik sebelahnya, terdapat ruang reka dengan lemari di dalamnya. Pada momen ini, Sekar menunjukkan ketakutan dan keraguan dari apa yang ia hadapi, sekaligus keberanian dan pilihan. Adegan Sekar bersembunyi di dalam lemari menjadi sangat sentimental. Di bilik ini, Sekar juga menghadirkan secara lebih tegas mengenai seni yang menjadi jalan hidupnya, tari—bukan pantomim seperti ayahnya atau lukis seperti ibunya. Pada momen ini, Sekar turut menampilkan secuil perjalanan tari yang ia arungi, yakni balet, dan beberapa gerak improvisasi. Saya jadi teringat pada salah satu video di Instagramnya, di mana Sekar kecil memang belajar balet, tetapi ia juga kerap melakukan gerak improvisasi yang simultan ketika mendengar lagu apa pun. Pun di kesempatan itu, sesekali Sekar juga menunjukkan adegan bersembunyi di dalam lemari. Menurut hemat saya, lemari menjadi ruang aman, sekaligus tempat di mana Sekar menyikapi kecemasan-kecemasan pada hidup, maupun tari itu sendiri. Bertolok dari ruang ini, saya menduga stimulan keajaiban kedua adalah tari.
Sementara pada dua bilik dari sisi kiri, bilik yang muncul adalah ruang nirwujud. Lebih lanjut, bilik ini tak berbatas sekat dan tanpa dekorasi apa pun seperti di dua bilik sebelumnya. Hanya ada tembok putih sebagai latar belakang dan sorot proyektor di seberangnya. Sekar dan para penari merespons ruang tersebut dengan gerak tari yang lebih eksploratif, tak hanya balet, melainkan gerak tari tradisi alusan maupun kreasi dengan pelbagai inovasi. Hal yang menarik, saya melihat penggunaan ruang ini sebagai momen penjelajahan diri; yang membentur sekaligus membentuknya. Semisal koreografi dengan empat penari berbaris di depan Sekar; penari yang menutupi keberadaan Sekar; dan seterusnya. Namun di beberapa kesempatan, hal positif juga muncul seperti, penari yang mendukung geraknya untuk lebih berani dan eksploratif; penari yang menjadi amplifikasi tubuhnya, jika ia tidak sendiri; Sekar yang bergerak statis di depan layar proyeksi yang menyiarkan gambar gelembung air; dan seterusnya. Singkat kata, saya menduga ruang penjelajahan sebagai motif dari bilik ini. Lagi pula, frekuensi interaksi Sekar dan para penari juga lebih erat dan acap, sehingga imajinasi akan penjelajahan memang lebih kentara terasa. Tak hanya itu, menurut hemat saya, ruang ini menjadi penanda akan alur yang bertingkat. Di mana setelah ruang keluarga dan tari, ia menjelma menjadi pribadi yang terus berjelajah.
Sementara pada bilik terkiri, ruang terakhir, saya mengibaratkannya sebagai mesin waktu. Pasalnya terpajang barisan foto dan seonggok orang-orangan sawah. Namun foto dan orang-orangan sawah tersebut terlepas dari fungsi aslinya, dan beralih menjadi petanda akan memori dan perjalanan yang Sekar arungi. Ketika pertunjukan, pun terdapat jeda sebelum memasuki ruang ini—yang ditandai dengan pemberian kertas dengan pesan ke penonton (lihat gambar kertas pink di awal tulisan). Lalu para penari mempersilahkan penonton untuk melihat dan memasuki bilik terakhir tersebut. Kebetulan saya menjadi penonton terakhir yang memasuki bilik itu. Melihat satu per satu foto, seonggok orang-orangan sawah, dan sebuah alas berbentuk lingkar dengan pasir di dalamnya.
Setelah penonton melihat foto-foto tersebut, Sekar memasuki ruangan tersebut. Ia memberikan sehelai kembang sedap malam ke setiap penonton. Setelahnya ia menari di tengah alas berpasir dan seketika tiga buah gulungan kain menjulur ke lantai. Ia menari di antaranya, membuat dada terasa sesak entah kenapa ketika melihatnya. Jelas ia tengah melakukan refleksi, tetapi tak luput rasa syukur terpancar. Dari sini, saya mengakui jika kedalaman emosi menjadi kekuatan dari karya terbaru Sekar, “Ra Hina”.
Isu kuat, tetapi apakah cukup?
Karya biografi diri sebagai tugas akhir di tingkat sarjana, master, bahkan doktor di kampus seni sudah banyak dibuat. Kecenderungan ini memang lumrah sejak tari kontemporer menjadi haluan dari para dosen dan/atau mahasiswa/i peserta didik. Tentu banyak pertimbangan atasnya, dari alasan teoretis—yang berkenaan dengan kajian tari kontemporer dunia ataupun sarana pembelajaran dan refleksi—; hingga praktik—yang memang dilakukan banyak koreografer tari kontemporer baik dalam maupun luar negeri.
Dalam konteks karya tugas akhir, toh siapa juga yang mau menampilkan karya tidak maksimal jika itu tentang dirinya, bukan? Singkat kata, biografi diri memang menjadi pendekatan yang lumrah dalam penggarapan tugas akhir tari di Indonesia. Pun dengan Sekar, ia mengangkat biografi diri untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusannya dalam mendapatkan gelar master dari perguruan tinggi negeri seni di Yogyakarta; sekaligus menjadi sajian pertunjukan—pasalnya karya ini turut dipublikasikan secara luas melalui sosial media.
Tentu sebagai tugas akhir, motif dan modus penilaian telah ditunaikan oleh mereka yang digaji negara. Namun jika dimaksudkan sebagai sebuah pertunjukan, atau Sekar memiliki niat untuk mempertunjukkan di khalayak yang lebih luas, agaknya sedikit catatan dari saya dapat berguna untuknya dan tim. Pertama, alur pertunjukan. Saya tidak memiliki soal pada bilik pertama dan kedua, bagi saya Sekar telah berhasil menyusunnya pada dua bilik awal dan satu bilik terakhir. Hal yang menjadi fokus saya justru pada bilik ketiga, bilik yang semestinya menjadi penentu. Menurut hemat saya, terlalu banyak yang ingin disampaikan Sekar di bilik ketiga. Padahal di bilik ketigalah, penjelajahan tari dan kedewasaan dirinya diuji. Memang betul perjalanan seorang memiliki kompleksitas yang berlapis, tapi bukannya, ia bisa dikurasi secara sinkronis?
Di lain sisi, jika meminjam telaah liminalitas Victor Turner, di tahap inilah seorang individu berada di dalam fase liminal menuju postliminal. Liminal dapat dimaknai sebagai fase ambang manusia dari satu fase ke fase lain. Contoh mudahnya adalah ketika seorang bujang melakukan pernikahan. Fase dan mekanisme dalam pernikahan itulah yang menjadi fase ambang buatnya, karena ia mengalami hal yang berada di luar kebiasaan. Sementara postliminal dari fase itu adalah status baru si bujang berserta kompleksitasnya bersama pasangan. Jika pada Sekar, justru ia tak menunjukkan bagaimana postliminal di dalam dirinya. Sederhananya, ia terus berada pada fase liminal. Pun jika ada, bagi saya Sekar kurang berani dalam menunjukkannya.
Kedua, ruang imajiner pada bilik ketiga. Jika pada bilik pertama dan kedua, terpancar energi Sekar dalam merespons ruang dan benda yang ada; di bilik ketiga, Sekar justru tidak menggarapnya serapi dua bilik sebelumnya. Tentu saya tidak menyoal bagaimana interaksi dengan benda di dua bilik sebelumnya, apalagi tidak ada benda di bilik ketiga yang terpajang, tetapi bagi saya, Sekar justru tidak menggarap ruang kosong di bilik ketiga secara lebih. Di ruang tersebut, terdapat lampu sorot yang sebenarnya dapat digunakan untuk mendukung ruang imajiner dari perjalanan Sekar. Lebih lanjut, seyogianya Sekar dapat memanfaatkan bayangan hasil dari interaksinya dan penari terhadap lampu sorot. Bayangan-bayangan itu bisa ia susun dalam membentuk ruang penjelajahannya. Apalagi terdapat banyak koreografi di depan lampu sorot, sayang rasanya melihat Sekar tidak mendayagunakan sumber itu untuk karyanya.
Ketiga, penggarapan sensori di bilik keempat. Hal ini terstimulasi dari interaksi saya ketika memasuki bilik terakhir. Mendapat kesempatan berjalan paling akhir, membuat saya dapat mengakses alas pasir yang berada di tengah arena. Saya rentangkan telapak tangan dan menempelkannya di bulir-bulir pasir. Pasir tersebut saya genggam sembari menyaksikan foto, memegang orang-orangan sawah, dan menyaksikan Sekar menari. Tak hanya itu, kembang sedap malam yang Sekar berikan sebelum ia menari saya hirup selama ia menari berjejak bulir-bulir pasir di penghujung pertunjukan. Karenanya, saya menyemai pesan yang mendalam ketika menyaksikan Sekar di bilik terakhir. Selain itu, dari pasir dan kembang, saya pikir hal ini juga dapat digunakan sebagai pembentuk ambience, bahkan sebagai bagian karyanya. Apalagi saya tahu jika pilihan Sekar dalam menggunakan pasir dan kembang bukan tanpa alasan. Maka itu, sayang rasanya jika ia tak dieksplorasi atau diterapkan secara lebih. Padahal, hal ini juga dapat menjadi cara Sekar untuk memangkas jarak dengan penonton yang tidak memiliki kedekatan dengannya. Cara pandang inderawi seperti ini, menurut hemat saya dapat menjadi cara Sekar dalam meresonansikan perasannya atau setidaknya dapat membagi cerita akan sisi personalnya kepada penonton. Dan mungkin, ide ini dapat menjadi cara untuk meretas jika jawaban dari persoalan mengapa penonton terbagi atas dua ruang berbeda, bukan sekadar alasan luas ruang yang terbatas.[]
- Tumbuh dan Mekar dari Ceruk tak Berdasar : Catatan atas “Ra Hina” — Kinanti Sekar di ISI Yogyakarta - 30 September 2023
- Ingin Menggugah Tapi Mengganggu : Catatan untuk “Waktu Batu – Rumah Yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di ArtJog 2023 - 15 Juli 2023
- Bertemu Rianto, Menjelajahi Lengger : Catatan dari Melbourne - 10 Juni 2023