ANAMANA-Insomnia Theater: Ritus Spiritual dan Hancurnya Simbol Tradisi di Sumbawa
[Yuga Anggana]. Pertunjukan teater “ANAMANA” karya Insomnia Theater, berhasil dipentaskan pada 2 Oktober 2024 di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat. Mengandeng Indra Saputra Lesmana sebagai sutradara, pertunjukan tersebut menghadirkan sebuah pengalaman estetis dari budaya tradisional yang kuat, dihiasi oleh unsur-unsur yang bersifat kontemporer.
Berfokus pada transformasi sosial dalam masyarakat agraris Sumbawa, pertunjukan ini mengajak penonton menyelami perubahan hubungan antara manusia dan alam. Dengan alur yang dipenuhi simbolisme gerak tubuh, visual dan musikal, “ANAMANA” menghadirkan transmutasi budaya—perpindahan ritus tradisi menuju seni pertunjukkan—yang menggugah kesadaran penonton tentang dampak politik pembangunan terhadap tradisi agraris di Sumbawa.

Ritus Magis Pada Pembukaan Tirai
Sejak awal, pertunjukan sudah membangun suasana yang magis dan transendental. Saya merasa seperti dibawa ke ruang yang berbeda begitu dua orang di pintu masuk menyambut dengan suara gemericik air yang dihasilkan dari alat bambu. Suara ini memberikan kesan alami yang kuat, seolah mensugesti penonton agar siap memasuki ruang perenungan yang dalam.
Saat penonton mulai duduk, pembacaan yang sinopsis menggema di dalam ruangan menjadikan saya semakin hanyut dalam suasana pentas dramatis. Gema suara sinopsis itu menjelaskan bahwa “ANAMANA” adalah sebuah peringatan tentang bagaimana pertanian yang dulu kultural telah berubah menjadi komoditas ekonomi. Tema besar ini mengisyaratkan bagaimana tatanan kosmologis masyarakat tradisional yang sakral kini beralih menjadi keos, akibat dominasi politik ekonomi pembangunan.
Setelah sinopsis dibacakan, suasana teater dipenuhi oleh alunan musik rebana bernuansa Islami yang dimainkan dari belakang penonton. Kejutan pertama ini membuat para penonton spontan menoleh ke belakang. Beberapa pria muda memainkan rebana dan menyanyikan lagu bernuansa Islamis, meskipun liriknya tidak saya pahami, sambil menuruni tangga menuju panggung dalam cahaya remang.
Ketika tirai panggung terbuka, pemandangan yang kaya visual memukau saya: alat musik tradisional seperti rebana, beduk, serunai, lesung, dan alu, berdampingan dengan laptop beserta kabel-kabel dan printilan sound modern lainnya. Secara visual, terdapat kontras antara gawai modern dan alat musik tradisional sangat tajam, apalagi ditambah dengan stiker-stiker yang menempel pada laptop sedikit mengganggu pandangan.
Namun, secara musikal, bunyi ambience dari laptop berhasil menyatu dengan harmoni alat musik tradisional. Selain instrumen musik yang juga sekaligus menjadi ornamen panggung, kehadiran para musisi yang sengaja ditempatkan di tengah panggung pertunjukan meyakinkan saya bahwa mereka bukan hanya sebagai pengiring, tetapi sebagai bagian penting dari ritus tradisi yang segera dimulai.
Ibu-Ibu Sejari, yang saya ketahui didatangkan langsung dari Desa Sejari, Kabupaten Sumbawa, memasuki panggung dan langsung menarik perhatian saya dengan performa mereka yang sangat autentik. Mereka mengenakan pakaian khas petani dan memainkan alat menutu padi dengan penuh keterampilan. Suara ritmis dari pukulan alu ke lesung disertai lantunan nyanyian berbahasa Sumbawa terdengar mistis, membawa penonton masuk ke dalam dunia spiritual yang kental. Hal kecil, jam tangan pada pergelangan tangan salah seorang ibu menjadi disonansi visual dalam adegan tersebut. kurang sesuai dengan atmosfer ritual tradisional yang ingin dibangun.

Bocornya Panggung Pertunjukan
Ada juga momen ketika saya melihat “kebocoran”— sebelum Ibu-Ibu Sejari muncul ke panggung, beberapa dari mereka terlihat oleh penonton di belakang kain tirai. Hal ini membuat saya dan mungkin beberapa penonton lainnya dapat dengan mudah menebak siapa yang akan masuk ke panggung selanjutnya. Bukan masalah serius tentu saja, tetapi lagi-lagi mengurangi unsur kejutan dalam pertunjukkan, mengingat di awal pertunjukkan kejutan demi kejutan begitu menarik perhatian: penyambutan penonton oleh dua orang membunyikan gemericik air, pembacaan sinopsis puitis yang menggema, kemunculan para pemain musik dari belakang kursi penonton, hingga setting panggung yang di luar dugaan.
Setelah ritual menutu padi, empat pemuda memasuki ruang pentas membawa ember berisi air di atas kepala sambil mengucapkan kata “Ho-Ham” secara berulang. Ini sebuah kejutan lainnya, para pemuda “Ho-Ham” tidak muncul dari belakang panggung seperti yang mungkin diduga, melainkan tiba-tiba membuka kedua pintu darurat di kiri dan kanan, yang terletak tepat di depan panggung.
Kemunculan mereka mengisi ruang pandang, memberikan kesan bahwa panggung meluas, seolah pertunjukan merambah ruang yang lebih besar. Dengan gerakan lambat dan teratur, mereka merayap naik ke panggung, tubuh bertelanjang dada, menampilkan gestur yang unik, mengingatkan saya pada seni Butoh, sebuah bentuk seni gerak tubuh yang sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan mendalam. Kehadiran mereka membangun suasana meditatif yang kuat, mempertegas dimensi spiritual pertunjukan.
Setelah berada di panggung utama, mereka bergerak melingkar mengelilingi lesung, berputar berlawanan arah jarum jam, seperti ritus tawaf dalam tradisi Islam. Namun, kekuatan meditatif ini kemudian agak terganggu ketika Asta Tabibudin—seorang aktor yang sudah lama tidak saya jumpai di dunia kesenian Lombok, apalagi di atas panggung—memerankan pemimpin kampung dalam adegan tarian Eropa bersama seorang penari wanita. Kekakuan gerakan Asta terlihat jelas, dan kecanggungannya saat mengikuti gerakan penari yang menggoda menunjukkan bahwa ia tampaknya sudah lama tidak mengolah tubuhnya.
Bagi saya, adegan yang dimaksudkan sebagai simbol perubahan budaya dan godaan modernitas ini membuat suasana menjadi kurang mulus, berlangsung begitu saja tanpa transisi yang halus. Hal lain yang saya soroti dalam pertunjukan ini adalah adegan monolog yang dilakukan oleh Asta, sang pemimpin kampung. Setelah selesai menari, ia mengambil mikrofon dan mulai berpidato tentang transformasi ladang menjadi lahan jagung.
Sebenarnya, agak ragu disebut monolog karena sifatnya yang interaktif dengan penonton. Kalimat-kalimat yang diucapkan Asta seolah memancing penonton untuk merespons. Meskipun interaksi ini membuka ruang bagi penonton untuk terlibat secara langsung, suasana simbolik yang sebelumnya terbangun dengan baik melalui bebunyian musikal, visual dan eksplorasi tubuh menjadi buyar.
Penonton yang tadinya terdiam, larut dalam refleksi atas adegan-adegan sakral, dengan cepat mulai merespons orasi Asta dengan teriakan-teriakan. Meskipun interaktif, respons ini justru terasa menghilangkan kedalaman emosional dan spiritual yang telah dibangun sejak awal pertunjukan. Saya merasa, monolog ini merusak keharmonisan alur pertunjukan, mengubah kesan simbolik yang mendalam menjadi sekadar narasi langsung.
Atau mungkin, sang sutradara memang sengaja memutus suasana sakral secara tiba-tiba, menggantinya dengan elemen-elemen profan: tarian menggoda, minuman dalam gelas anggur, jas ala pejabat hingga pidato yang diteriaki penonton. Seolah-olah Indra ingin menunjukkan bahwa perubahan dari tradisi ke modernitas selalu datang dengan cepat, mendadak dan destruktif.

Runtuhnya SImbol-Simbol Tradisional
Saya teringat, pernah di suatu waktu Indra menjadi aktor dan memerankan seseorang yang marah-marah, mengacak-acak loker penuh kertas, dan berteriak-teriak, saya bertanya, “Kenapa sih, teater di sini selalu harus teriak-teriak, meneror gendang telinga, merusak suasana hati penonton?” Indra malah balik bertanya, “Nah, coba pikirkan, kenapa seniman sampai harus teriak-teriak di pentasnya? Berarti ada banyak kegelisahan, ada hal yang tidak baik-baik saja” Jawabannya membuat saya merenung. Demikian pula dengan adegan kali ini. Jika saya mempertanyakan transisi adegan yang mendadak, juga pidato interaktif perusak suasana hanya untuk sekadar konfirmasi, saya yakin Indra punya jawabannya sendiri—entah berupa pertanyaan balik kepada saya atau jawaban lain yang kembali membuat saya merenung lebih dalam.
Setelah pidato Asta, biji jagung mulai jatuh dari langit-langit panggung menghujani sang pemimpin kampung yang berdiri di atas lesung, menyiratkan simbol tekanan politik ekonomi terhadap pertanian tradisional. Adegan ini diikuti oleh kekacauan yang diciptakan oleh para pemuda “Ho-Ham” yang mulai berguling-guling di atas jerami, membaluri diri dengan pasir, dan memukul kursi pemimpin kampung.
Pada titik ini, saya merasa pertunjukan benar-benar mencapai klimaksnya. Ibu-Ibu Sejari kembali ke panggung dengan mengenakan pakaian hitam, membawa payung dan disusul oleh guyuran air dari atap panggung, seolah menggambarkan alam yang ikut berduka. Guyuran air yang saya maksud benar-benar berasal dari atap langit-langit gedung, sebuah sentuhan kreatif dari tim produksi. Saya sempat khawatir aliran air tersebut akan mengenai kaki penonton di barisan terdepan, meskipun pada kenyataannya hal itu tidak terjadi dan tampak sudah diperhitungkan dengan sangat cermat.
Pada akhirnya, “ANAMANA” berhasil menggambarkan krisis yang terjadi di dunia pertanian akibat politik pembangunan. Pertunjukan ini memang hanya berhenti pada tahap menggambarkan realitas, namun menuntut tawaran solusi sepertinya akan menjadi hal yang terlalu naif. Sebagai sebuah karya seni, pertunjukan ini berhasil menyampaikan pesan bahwa krisis ini nyata—bahkan mungkin, peringatan itu sudah datang terlambat.

Secara keseluruhan, “ANAMANA” sangat mengesankan untuk saya. Membawa ritus pertanian khas Sejari Sumbawa ke panggung teater menunjukkan keberanian luar biasa, dengan tetap menjaga esensi spiritualnya. Indra yang juga merupakan kelahiran Sumbawa dengan cerdik menambahkan elemen teatrikal yang relevan tanpa menghilangkan kedalaman spiritual. Penataan visual pertunjukan sangat cermat, dari properti hingga penempatan dan gerak aktor yang simetris, menciptakan komposisi yang menenangkan dan meditatif. Gerakan melingkar pemuda “Ho-Ham” dan barisan Ibu-Ibu Sejari menegaskan simbolisme keteraturan kosmos.
Keunggulan lain terletak pada penggunaan simbol-simbol kuat melalui bunyi dan musik minim dialog. Pesan krisis pertanian dan perubahan sosial tersampaikan tanpa harus berkomunikasi verbal, menguatkan kesan mistis dan transendental. Totalitas tim produksi juga tak kalah mengagumkan—penggunaan properti seperti pasir, padi kering, biji jagung, dan air hujan dari atap menciptakan ilusi nyata kehidupan pertanian di atas panggung.
Pertunjukan ini tidak hanya mengelola ruang dan peristiwa, tetapi bertumpu pada gerak tubuh, juga mengolah titik, garis, warna, hingga bunyi menjadi satu kesatuan estetis yang menyentuh berbagai dimensi penonton. Setiap aspek dari pertunjukan, dari apa yang terlihat di mata, terdengar di telinga, hingga apa yang dirasakan di dalam hati, berkelindan dalam harmoni yang nyaris sempurna. “ANAMANA” adalah contoh nyata bagaimana seni teater bisa menjadi media yang kuat untuk menghadirkan pengalaman estetika dan pesan yang mendalam, membangkitkan perasaan dan pikiran penonton dalam satu kesatuan yang utuh.
Sudah baca yang ini?:
EVERYTHING YOU WANT IS PROCESS : Catatan atas pertunjukan Sally Dance Masstricht di Yogya 2017
SEEKING W, Jalan Bersama untuk Menyatakan ADA
Menyaksikan Pertikaian Simbolik Pemimpin Dunia dengan Jenaka: Catatan atas Pertunjukan “BullyBully” ...
Apakah Penari Bahagia? : Catatan untuk Paradance ke-27
Catatan dari Next Generation Producing Program dan Menonton TPAM 2017
PALU MENARI FESTIVAL 2022 : Kesadaran Tentang Tubuh Sebagai Kata Kunci
- ANAMANA-Insomnia Theater: Ritus Spiritual dan Hancurnya Simbol Tradisi di Sumbawa - 16 Oktober 2024
- Jazz dan Teater Itu - 27 November 2021
- Seni Kebangru’an; Seni dari Alam Gaib - 7 April 2021