Rabu, Mei 21, 2025
ULASANPanggung Teater

Wawancara Dengan Mulyono : Ketika Seni dan Pers Sudah Dianggap Bahaya

Jika seni diangggap berbahaya, maka negara dipastikan sedang tidak baik-baik saja! Kebenaran yang tampil dalam ekspresi seni bersifat simbolik dan hanya menukil fakta sesungguhnya yang boleh jadi lebih mengerikan. Peristiwa itu kerap terjadi belakangan ini ketika mendapati pelarangan pentas teater, konser musik, pameran lukisan, pembacaan puisi atau bentuk ekspresi seni lainya.

Ketidaknyamanan dengan segala bentuk karya seni itu belakangan banyak ditemui setelah muncul malu-malu pasca Orde Baru. Reformasi yang sempat menjadi babak baru dari iklim demokrasi di Indonesia kembali terancam. Gejala yang timbul belakangan dan menimpa kelompok seniman seperti pemberedelan pameran lukisan karya Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada Desember 2024 lalu. Juga penjegalan pentas teater Payung Hitam bertajuk Wawancara dengan Mulyono di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pertengahan Februari 2025 silam. Teranyar, Polri reaktif dengan lagu “Bayar Bayar Bayar” karya band bergenre punk Sukatani.

Bila kondisi ini terus berlanjut, boleh jadi akan ada pelarangan yang lebih agresif oleh kelompok orang yang merasa “pemilik sah republik” terhadap berbagai bentuk kritik dalam bentuk karya seni. Jika itu terjadi maka kita bisa katakana: selamat datang New Orba! 

Nasib serupa juga membayangi pers hari ini. Banyak bentuk intervensi kelompok-kelompok tertentu terhadap kebebasan pers di Indonesia. Rangkaian terror yang menimpa wartawan di daerah maupun di Jakarta menjadi tanda bahwa pilar demokrasi—jika meyakini pers sebagai pilar keempat—tengah “oleng” karena upaya kelompok tertentu yang sering bersembunyi dibalik nama negara.

Catatan Dewan Pers pada 2024, skor Indeks Kebebasan Pers (IKP) berada di level 69,36 atau turun 2,21 poin dari yang sebelumnya 71,57. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 73 serangan terhadap jurnalis. Sementara itu, dari Januari hingga Maret 2025, AJI mencatat 20 kasus yang berkaitan dengan serangan kepada jurnalis. Bangkai tikus dan kepala babi yang mampir ke kantor Tempo adalah salah satu bentuk kekerasan yang menimpa jurnalis yang bersikap kritis.

Dalam kondisi tersebut apabila jurnalisme dibungkam maka sastra berbicara. Sebaliknya jika seni dibungkam maka pers harus lantang menyalak. Sebab dari keduanya harapan dan kontrol terakhir publik terhadap jalannya kekuasaan. Tanpa itu penguasa akan melaju seperti juggernaut.

BACA JUGA:  Realitas versus Panggung: Ulasan Pertunjukan "Para Pensiunan 2049"

Kolaborasi Pers dan Teater

Pentas teater Payung Hitam berjudul Wawancara dengan Mulyono yang disiarkan di youtube Tempo, Kamis 17 April 2025 menjadi momentum kolaborasi seni dan pers menyuarakan kritik atas kehidupan bernegara. Dalam pertunjukan berdurasi kurang lebih 23 menit itu, penonton menyaksikan sosok yang mungkin kita kenal, mungkin juga tidak, tipikal penguasa yang ambisius terhadap kekuasaan namun menyimpan pribadi yang rapuh menghadapi kebenaran. Tokoh absurd. Dialah Mulyono yang diperankan oleh Dede Dablo.

Sebagai sutradara sekaligus aktor Rachman Sabur menggunakan dua bentuk komunikasi verbal dan non-verbal. Di sisi lain, teater yang kesohor dengan pertujukan “Masbret” (1994) ini masih mempertahankan tampilan simbolik pada peristiwa panggung. Panggung berlatar kain merah di kiri dan putih di kanan. Ada noda pada kedua sisi kain. Di tengah jeda kedua kain terpampang kepala babi merah jambu. Noda dan babi bisa pembaca maknai apa saja. Mungkin negara yang ternoda oleh teror dan upaya membungkam kebenaran, atau bisa apa saja.

Adegan dibuka dengan aktivitas mencuci Renny Handayani. Adegan ini berlangsung dari awal hingga akhir pementasan. Seolah menyampaikan sulitnya melepas noda dari sosok yang ada pada kain. Penonton juga bisa menafsirkan lebih bahwa sosok itu begitu sulit dibersihkan dengan detergen (proyek pencitraan/buzzer/influencer/dll).

Proses wawancara berlangsung dengan sederhana sekaligus simbolik. Tindakan verbal berbalas non-verbal. Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut pewawancara/wartawan (Rahman Sabur) seperti mewakili pertanyaan publik yang selama ini tidak pernah gamblang dan tuntas terjawab. Jawaban tokoh Mulyono menggunakan komunikasi tubuh yang bisa banyak tafsir.

Sebagai prolog, perjalanan karier Mulyono dari seorang pedagang meuble, walikota, gubernur hingga presiden. Dari gorong-gorong hingga istana. Ini tentu karier yang fenomenal sekaligus fantastis!      

“Bagaimana menurut Anda mengenai kekuasaan, apakah itu musibah atau anugerah?”.

Terhadap pertanyaan ini Mulyono menggunakan simbol kuda lumping yang menerjang liar tak terkendali hingga mati. Dalam alegori Plato, kuda hitam yang melambangkan nafsu seringkali bergerak liar mengalahkan kusir sebagai alegori untuk nalar manusia. Jika kuda hitam menjadi pemandu jalan seseorang tentu tidak ada lagi ruang untuk etika atau kepatutan dan tinggal menunggu kehancuran.

BACA JUGA:  The Amazing Suparman: Kosmopolitan Berbalut Kemiskinan

“Anda bisa menjelaskan tentang Parcok?”  

Dijawab dengan sikap tubuh sigap kaku terpatah-patah selalu siap menerima perintah apa saja. Partanyaan ini sering kali dikaitkan dengan gerakan politik (Partai Coklat) institusi negara yang sebenarnya bukan menjadi tugas kewenangannya. Overlap tugas tambahan ini hanya terjadi di Negeri Konoha. Sebagai peserta tambahan dalam pemilu dari pusat hingga daerah, Partai Coklat selalu siap memenangkan kandidat yang sejalan dengan penguasa pusat.

“Lalu bagaimana dengan bansos (bantuan sosial)?”

Suara bebek seketika riuh di tengah ruang pertunjukan. Bansos menjadi alat efektif untuk menjadikan masyarakat membebek, nurut-manut mengikuti petunjuk suara atau pilihan politik.

“Lalu tentang IKN?”

Tetiba suara gagak terdengar riuh berkoak-koak. Suara gagak bisa merepresentasikan apa saja. Misalnya tentang area kosong tempat pemakaman umum yang terbengkalai. Area kosong sepi yang berubah menjadi seram. Atau bisa juga proses Pembangunan yang mangkrak. Mulyono kemudian terbang menggunakan isu (IKN?) untuk mendulang dan menimba keuntungan dari hal itu.

“Selanjutnya dengan PIK 2, Pak Mul?”

Suara erhu menyayat memainkan simphoni wong fei hung. Sebagai Dewa Mabuk, Mulyono oleng sambil memainkan satu dua jurusnya. Di Negeri Konoha pengusaha-pengusaha dari bangsa naga bisa membeli apa saja, termasuk kebijakan negara. Namun investasi selalu dalam bentuk ijon atau janji pemerintah memberikan karpet merah setelah uang muka diterima. Meski untuk seorang Mulyono, muka berias putih sama dengan merasa tak memiliki muka. Tak lagi ada malu selama itu berlangsung dalam upaya melanggengkan kuasa.

“Tentang pagar laut?”

Mulyono tak menjawab. Hanya suara camar riuh di kejauhan.

“Sekarang tentang KPK?”  

Mulyono memilih untuk diam. Melarang orang bertanya banyak hal. Senyap.

“Sekarang tentang ijazah palsu?”

Mulyono langsung menjawab dengan Bahasa tubuh mengikuti prosesi wisuda. Namun di akhir adegan tak ada selembar ijazah yang ia terima.

“Coba jelaskan tentang kepala babi? Lalu bangkai-bangkai tikus itu, apa maksudmu?”

Mulyono menebar-nebar uang di atas kepala babi plastik. Mungkin ingin menyampaikan bahwa pesan terror kepala babi sengaja dikirim melalui orang bayaran. Sementara untuk bangkai tikus Mulyono mencoba mencari-cari dan hanya menemukan busuknya kekuasaan yang membuat mual seisi perut.

BACA JUGA:  Ara-ara Bubat dan Pencarian Wiswakarman : Catatan Atas Pertunjukan “Ara-Ara Bubat” — KKTT Wiswakarman

“Bagaimana penjelasan Anda tentang predikat Anda sebagai salah seorang terkorup di dunia?

Mulyono tertawa terbahak-bahak. Tak sedikitpun peduli dengan predikat dirinya, malah menebar-nebarkan uang ke udara. Adegan ditutup dengan tawa Mulyono diiringi alarm tanda darurat. Negara dalam kondisi darurat.

Pertunjukan Teater Payung Hitam berjudul Wawancara dengan Mulyono melalui kanal youtube Tempo menjadi bentuk kolaborasi menarik antara seni dan pers sebagai ruang kritik. Keduanya merupakan medium untuk tetap menjaga kekuasaan agar tetap berjalan pada relnya. Seni dan pers merupakan bagian wahana publik untuk bersikap dan bersuara. Seni dan pers menjadi suara bagi kaum yang tak punya kuasa untuk bersuara. Baik pers maupun karya seni, seperti alarm tanda bahaya yang tidak perlu dipadamkan atau dibungkam. Namun menjadi tanda bahwa negara tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja. 

Wahyu Arya

Wahyu Arya

Penulis bergiat di Kubah Budaya dan wartawan di Bantennews.co.id. tinggal di Kota Serang, Banten.