Rabu, Februari 12, 2025
ARTIKEL & ESAIDramaturgiTeater

MENILIK “BENTENG TAKESHI” (1986)

“Bodoh sekali dia Yang Mulia.”

– Penasihat Kaisar Takeshi (dalam dubbing Indonesia).

Saat itu umurku kira-kira 6 tahun. Di tahun 2002-an, acara televisi melimpah baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sinetron, reality show, kuis, hingga game show – dalam ingatanku yang agak kabur – mewarnai jam tayang televisi nasional. Jika diingat-ingat, aku tak pernah menonton televisi di rumah walau di rumah memiliki televisi. Aku lebih asik menonton di rumah tetangga yang notabene ialah teman sebaya. Kebiasaan ini membangun kebiasaan menonton bersama dan tak luput dari obrolan yang membicarakan tontonan.

image001 | MENILIK “BENTENG TAKESHI” (1986)

Tontonan yang berkesan bagi kami (aku dan teman sebaya) banyak sekali. Mulai dari ”Teletubies”, ”Power Ranger”, hingga anime seperti ”Digimon”. Namun, ada satu tontonan ternyata memberi pemahaman lain pada diriku saat ini sebagai peneliti dan seniman seni teater. Tontonan itu adalah “Benteng Takeshi” yang terkenal dengan kata-kata ikonik ”bodoh sekali dia Yang Mulia” dari Penasihat Kaisar ketika kontestan gagal menghadapi wahana permainan. Acara yang tayang tayang di televisi TPI selama tahun 2002-2006 ini memberikan pengalaman unik yang diterima oleh penontonnya. Bagiku sendiri rasanya terus penasaran dengan kemampuan kontestan mengalahkan Kaisar di tiap episode. Ditambah permainan disajikan beraneka ragam, walau ada beberapa permainan ikonik yang wajib seperti menyebrang kolam dengan melompati batu, labirin pintu, jembatan gantung sambil ditembaki meriam, dan yang tak kalah penting ialah perang tank melawan pasukan Takeshi di akhir segmen acara.

Tiap episode selalu menawarkan daya tarik karena kontestan yang ikut berbeda-beda. Selalu muncul jagoan-jagoan yang menjadi harapan penonton untuk perlawanan terhadap pasukan Takeshi yang sulit dikalahkan. Hal tersebut membuat semacam ikatan antara penonton dan tontonan. Penonton tersihir ke dalam dunia ”Benteng Takeshi”. Ikatan itu berulang-ulang terjadi dan memberi sebuah candu tersendiri untuk terus mengikuti setiap segmen dan episode dari “Benteng Takeshi” – tak ada bedanya dengan menonton pertandingan sepak bola.

Takeshi’s Castle” (nama internasional) diperkenalkan oleh Tokyo Broadcasting System dan tayang pada tahun 1986 hingga 1989[1]. Sekitar 100 hingga 142 partisipan yang terdiri dari berbagai macam profesi seperti pekerja konstruksi, tukang kebun, pelajar, supir bis, dan lainnya[2]. Mereka berkompetisi dengan menyelesaikan tiap tantangan untuk mengalahkan Yang Mulia Kaisar Takeshi di bawah pimpinan Komandan Tani[3]. Permainan ini dikenal di Amerika Serikat sebagai Most Extreme Elimination Challenge (MXC)[4]. Uniknya menurut Takeshi Kitano, permainan ini terinspirasi dari video gim Super Mario Bros yang kala itu sedang populer[5]. Permainan ini berkaitan dengan pop culture Jepang. “Takeshi’s Castle” menjadi game show yang sukses dan disukai karena banyak diisi oleh aktor, komedian, hingga atlit Sumo[6]. Terlebih, penyajian yang komikal menjadi daya tarik. Ia bersifat slapsticks, kostum nyentrik, tantangan yang absurd, kekocakan dari performa pertandingan antara kontestan dan musuh.

Kepopuleran ini merambah ke seluruh dunia. Televisi membeli lisensi untuk menayangkan ”Takeshi’s Castle”, bahkan pihak televisi menambahkan dubbing untuk pendekatan kepada penonton lokal. Sementara itu seorang warga Filipina menuliskan kenangannya mengenai ”Takeshi’s Castle”. Ia menceritakan bahwa ”Takeshi’s Castle” tayang di televisi lokal Filipina pada tahun 1990 dan memiliki format dubbing[7]. Perlakuan tersebut diterima dengan baik oleh penonton. Impresinya ketika menonton ”Takeshi’s Castle” ialah menyenangkan, kocak, dan menegangkan ketika partisipan harus berhadapan dengan tantangan terutama mengalahkan Kaisar Takeshi dalam pertarungan langsung[8].

Pengalaman berbeda dituliskan oleh penonton dari Inggris. Ketika pertama kali tayang dengan dubbing lokal, “Takeshi’s Castle” menerima label ”orang asing (Jepang) itu aneh”. Kritik lainnya menyatakan bahwa acara tersebut hanya hiburan rendahan karena menikmati orang-orang terluka[9]. Seiring berjalannya masa tayang, “Takeshi’s Castle” hanya ditayangkan bagian-bagian yang menarik saja tanpa menpertimbangkan format yang kohesi[10]. Terlepas dari berbagai kritik negatif mengenai acara ini, nyatanya “Takeshi’s Castle” dikenal luas oleh penonton Inggis sejak tahun 2002[11].

Secara garis besar, “Takeshi’s Castle” merupakan variety show yang populer secara global. Ia bukan hanya ditayangkan di banyak negara, tetapi format acara ini menginspirasi format acara seperti “Total Wipeout”, “Ninja Warrior”, “Ultimate Beastmaster”, “Jackass”, hingga video gim “Fall Guys”[12]. Bahkan di Indonesia sendiri “Takeshi’s Castle” memiliki veris lokalnya. MNCTV mendapatkan lisensi untuk pembuatan ulang dan acara ini berjalan dari tahun 2017 hingga 2019[13]. Berita terbaru menyatakan bahwa “Takeshi’s Castle” mendapatkan reboot dan tayang pada tahun 2023[14]. “Takeshi’s Castle” bukan sebuah variety show biasa melainkan sebuah acara televisi ikonik.

Bagiku, “Takeshi’s Castle” atau “Benteng Takeshi” adalah memori masa kanak-kanak yang berharga. Ia menceritakan kisah bagaimana seseorang berjuang melewati tantangan dan merasa puas ketika berhasil menyelesaikan tantangan. Acara itu pun  menambah pengalaman menonton yang dahulu selalu diisi oleh kartun dan edukasi anak. Bahkan “Benteng Takeshi” ialah acara ”olahraga” yang aku minati pertama kali. Mereka berkompetisi untuk bertahan hidup dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesempatan dalam ”teater” bernama Benteng Takeshi”.

Doakan Aku Yah!

“Benteng Takeshi” merupakan muara performativitas dari kontestan. Schechner menyebut bahwa permainan merupakan bagian dari pertunjukan yang berlandaskan pada istilah restored behaviour berupa aturan untuk bermain[15], salah satunya ialah mengatur aksi yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Para pemain menunjukan kemampuannya dalam sebuah kompetisi. Kompetisi yang dimaksud ialah bagaimana seseorang dapat melewati tantangan dengan kemampuannya – terlepas dari kemampuan fisik, karena beberapa permainan memerlukan kecerdasan lain seperti pada permainan karaoke. Kata ”menunjukan kemampuan” ini yang Schechner nilai sebagai performativitas. Pandangan ini menjadikan “Benteng Takeshi” adalah ruang pertunjukan untuk kontestan. Ia adalah panggung berisi situasi-situasi yang memotivasi hadirnya laku performatif.

Jika teater memiliki unsur seperti akting dalam menunjukan sisi performativitasnya, “Benteng Takeshi” pun memilikinya. Contohnya mereka dari kubu Kekaisaran Takeshi bermain peran sebagai pemilik status quo dari sebuah sistem kerajaan. Sistem hierarki ini dipimpin oleh seorang kaisar bernama Takeshi. Diikuti oleh seorang penasihat, pahlawan atau pasukan khusus, komandan prajurit, dan prajurit biasa. Uniknya mereka bukan ditampilkan sebagai manusia semata, tetapi ada juga monster hingga hantu (yōkai dalam bahasa Jepang). Dua entitas tersebut adalah bagian dari pasukan Takeshi. Seperti contohnya pada permainan labirin pintu di mana kontestan harus keluar dari labirin tanpa ditawan atau diserang oleh penjaga labirin – mirip dengan mitologi yunani Minotaur. Semua memiliki peran atau tugas untuk mengeliminasi peserta, bahkan disegmen terakhir Kaisar Takeshi berhadapan dengan kontestan secara langsung. Semuanya berakting untuk melindungi status quo dari kekaisaran.

BACA JUGA:  Mimpi Buruk Teater Setelah Pandemi

Di kubu kontestan, tidak semua berakting atau bermain peran. Hanya Komandan Tani dan reporter yang bermain peran. Komandan Tani sebagai motivator dan fasilitator dalam permainan, sementara reporter bertugas memberi warta mengenai penghargaan (sebagai narator) dan menggali opini dari kontestan mengenai pengalamannya bermain. Sementara itu kontestan berada dalam posisi yang unik, ia berada dalam posisi berperan dan tidak berperan. Kontestan dapat diposisikan sebagai pemeran karena ia adalah prajurit Komandan Tani dengan tujuan mengalahkan Kaisar Takeshi. Tujuan tersebut membuat ikatan antara pemain dan peran yang dimainkan dari awal hingga akhir permainan. Walau sebenarnya ikatan tersebut secara etika dan aturan sudah terjadi ketika pendaftaran, yaitu sebagai penyelenggara dan kontestan. Kontestan mengitu aturan dari penyelenggara.

Sisi tidak berperan dari kontestan dapat dilihat saat permainan berlangsung. Mereka bukan prajurit yang bertempur dengan kekerasan, melainkan kemampuan – utamanya kemampuan fisik. Latar belakang mereka menjadi modal utama dalam permainan. Kontestan datang dari berbagai latar belakang, ia adalah seorang pekerja bangunan, sopir, guru, mahasiswa, dan lainnya. Tentunya kemampuan dan pengalaman mereka tidak sama. Dalam segi kemampuan, semua kembali pada diri masing-masing. Mereka tidak perlu berperan seperti halnya prajurit yang memiliki daya juang yang selalu membara. Mereka menjadi dirinya sendiri, ini adalah soal mereka dan tantangan yang dihadapi. Tidak ada yang mengarahkan mereka untuk mengalah atau terus berjuang, tetapi tujuan dan aturan permainan yang mengikat mereka.

image002 | MENILIK “BENTENG TAKESHI” (1986)

Di sinilah sisi organik terjadi tanpa embel-embel “staged” atau dramatisir. Seleksi terjadi begitu saja, yang kurang kompeten tereliminasi, atau kebetulan ia sedang beruntung sehingga dapat lolos sampai tahap akhir – walau tidak selalu terjadi. Sayangnya aku belum bisa menjelaskan bagaimana proses di balik produksi acara ini. Sehingga terlepas dari faktor bagaimana tayangan ini diproduksi, sebagian besar kontestan beraksi dengan kemampuan yang mereka miliki. Mereka tidak berakting jatuh, tetapi jatuh karena kesalahan dan pengaruh gaya gravitasi. Perfoma dan aturan adalah mutlak dalam “Benteng Takeshi”.

Keadaan antara berperan dan tidak berperan ini yang menjadi daya tarik untuk ditonton. Semua kontestan melakukan performa yang dilakukan dalam keseharian yang menyiratkan laku organik seperti berlari, melompat, menghindar, dan lainnya. Kontestan pun harus mampu beradaptasi dengan kondisi di lapangan misalnya medan yang becek, licin, berlumpur, basah, terjal, dan lainnya. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa kontestan melatih performa mereka terlebih dahulu sebelum ikut serta dalam acara “Benteng Takeshi”.

Masalah di lapangan sering terjadi secara insidental. Masalah ini tentu saja harus segera dibereskan, jika tidak kontestan bisa gagal dan tereliminasi. Misalnya ia tiba-tiba kehilangan keseimbangan karena salah memperhitungkan langkah. ”The show must go on” adalah jargon yang populer dalam seni pertunjukan. Jargon itu menjelaskan bahwa apapun yang terjadi pertunjukan harus tetap berjalan – dalam kapasitas yang masih bisa diselesaikan. Hal ini pun dapat terlihat dari performa kontestan “Benteng Takeshi”. ”The show must go on” berlaku pada “Benteng Takeshi”. Bagaimanapun kontestan harus tetap bertahan dan mampu menyelesaikan tantangan. Namun dalam perspektif permainan, keadaan antara gagal dan hal yang masih bisa diperbaiki terlihat sangat jelas. Misalnya kontestan dinyatakan gagal jika ia terjatuh ke dalam air. Keadaan tersebut dapat didukung juga oleh validasi dari wasit – lewat tiupan pluit, kibaran bendara, atau tanda lainnya.

Semua itu nampak berbeda dalam perspektif pertunjukan. Dalam pertunjukan teater, suatu kesalahan atau kegagalan tidak serta merta langsung diketahui. Terkadang aktor yang lupa dialog akan terdiam atau mengulur waktu dengan bisnis akting sambil mengingat-ingat dialog. Hal tersebut belum dikatakan gagal tetapi berpengaruh pada dramatik pertunjukan – secara implisit dapat dikatakan kegagalan menjaga dramatik. Namun, keadaan penonton sendiri memang bermacam-macam. Ada yang sadar dan tidak. Butuh waktu bagi penonton untuk tersadar dari ilusi pertunjukan dan menyatakan bahwa aktor tersebut melakukan kesalahan dalam permainannya.

Walau dipandang sebagai pertunjukan, ilusi pertunjukan tidak begitu berlaku dalam “Benteng Takeshi”. Peraturan permainan yang tegas dan minimnya laku akting mencegah ilusi pertunjukan mengikat penonton pada ilusi pertunjukan. Keadaan yang ambivalen ini justru memunculkan ketelitian penonton pada personal kontestan. Performa, kecerdikan, keberanian, kostum, ekspresi, dan latar belakang menjadi daya tarik bagi penonton. Penonton dapat menilai secara objektif tiap kontestan berdasarkan aturan yang berlaku. Walaupun pada akhirnya kontestan itu tidak berhasil sampai akhir, tetapi figurnya dapat penilaian yang jelas oleh penonton.

Benteng Takeshi: Sebuah Desain Dramaturgi

Apa yang penting dalam sebuah permainan ialah desain. Permainan memiliki sekelumit elemen yang hadir dalam penciptaannya. Tujuan (goals) adalah salah satunya yang mencakup bagaimana permainan menentukan menang dan kalah[1]. Dalam “Benteng Takeshi” yang bergenre eliminasi sudah begitu jelas bahwa pemenang ialah yang mampu bertahan dari semua tantangan yang diberikan. Setelah itu tantangan didesain berdasarkan tujuan yang sudah ditetapkan. Desain tantangan diarahkan untuk menghambat pemain untuk berhasil mencapai tujuan. Di sinilah hadir perlakuan leveling dalam desain atau biasa disebut desain tingkat kesulitan.

Pada tantangan pertama yaitu memanjat tembok pertahanan “Benteng Takeshi”, kontestan diharuskan memanjat dan melewati tembok untuk berhasil. Kekuatan fisik seperti tangan dan kaki diperlukan untuk memanjat. Jika tidak, mereka harus bekerja sama untuk melewati tembok. Terlihat dari tayangan segmen ini kontestan saling membantu satu sama lain. Beberapa dari mereka bersedia menjadi pijakan untuk kontestan yang kurang cakap secara fisik. Walaupun secara teori tantangan ini dapat dilewati dengan mudah, tetapi ada saja kontestan yang tereliminasi karena tidak bisa melewati tembok. Di sini sikap egois dapat terlihat dari kontestan yang menjadi peritiwa unik dalam “Benteng Takeshi”.

image003 | MENILIK “BENTENG TAKESHI” (1986)

Pada tantangan ini tidak begitu jelas aturan eliminasi yang gunakan. Aku pun tidak dapat memastikan hal tersebut apakah tantangan ini dibatasi oleh waktu atau menggunakan instrumen lain untuk mengeliminasi peserta. Jelasnya tingkat kesulitan dalam tantangan ini tergolong mudah. Namun, seiring waktu berjalan tantangan ini mengalami modifikasi, yaitu dengan menambahkan sasaran kertas di kepala kontestan dan tembok dijaga oleh prajurit Takeshi. Kontestan harus mempertahankan sasaran kertas tersebut ketika melewati tembok pertahanan sambil ditembaki menggunakan pistol air oleh prajurit Takeshi. Di sini barulah jelas terlihat bagaimana proses eliminasi itu terjadi.

BACA JUGA:  Aktor di Atas Panggung Perang

Tantangan kemudian bertambah sulit dan berlangsung satu demi satu kontestan. Dalam tantangan ini barulah kontestan dilihat dan dinilai secara personal. Proses eliminasi tergantung pada bagaimana kontestan menyelesaikan tantangan oleh dirinya sendiri. Tantangan ini bisa terlihat antara lain pada melewati kolam dengan melompati batu pijakan, labirin pintu, berseluncur dengan mangkok, melewati jembatan goyang, berselancar, dan lainnya. Pengecualian pada tantangan karaoke yang tidak menggunakan performa fisik melainkan talenta bernyanyi. Di sini proses eliminasi berjalan dengan landasan subyektifitas selera juri. Proses eliminasi tidak lagi objektif seperti aturan eliminasi jika jatuh ke dalam air/jaring atau tertangkap prajurit Takeshi.

Berdasarkan pandangan Cailliois mengenai kategori permainan, tantangan yang paling sulit dalam “Benteng Takeshi” justru bukanlah segmen perang tank melawan pasukan Takeshi. Tantangan menerobos pintu dan sumur takdir adalah tantangan paling sulit. Tantangan ini tidak mengandalkan kemampuan fisik ataupun kemampuan lainnya, melainkan keberuntungan. Tantangan ini hanya bisa ditaklukan dengan cara menebak. Layaknya bermain judi, kontestan hanya bergantung pada keberuntungan dalam memilih. Kemungkinan ia hanya diberitahu bahwa 2 dari 6 sumur terdapat setan yang akan menangkapnya. Kontestan hanya memiliki opsi untuk memilih 1 sumur. Jika beruntung ia akan lolos, jika tidak ia akan tereliminasi. Game of Chance adalah permainan yang sangat sulit karena semua bergantung pada keberuntungan [1]. Sehingga proses eliminasi pada permainan ini terkesan kejam karena tidak memberikan ruang pada kemampuan yang dimiliki kontestan.

Melihat desain tantangan dalam acara “Benteng Takeshi”, terbersit hadirnya desain dramaturgi. Produser acara ini paham bagaimana kontestan harus dieliminasi dari waktu ke waktu dengan menggunakan skema tingkat kesulitan. Ketegangan dan dramatik dikelola dari tantangan demi tantangan. Produser acara berperan sebagai sutradara merangkai permainan dari tingkat kesulitan mudah ke sulit. Hal biasa dalam desain permainan ialah menambah tingkat kesulitan agar tidak monoton selain memang tujuannya untuk mengeliminasi kontestan. Efeknya sendiri akan terjadi ketegangan baik untuk kontestan maupun penonton. Bagi penonton sendiri, mereka akan semakin fokus dan tertarik untuk mengikuti permainan karena penasaran siapa yang dapat menaklukan tantangan hingga akhir. Walaupun pada tantangan yang mengandalkan subjektivitas dan keberuntungan sebagai aturan eliminasi terkesan anti-klimaks. Hanya efek komikal slapsticks saja yang tersisa dari tantangan ini.

Rangkaian tingkat kesulitan ini menciptakan efek terhadap mental kontestan dan penonton. Semakin sulit, maka semakin menegangkan. Moral kontestan terus didorong untuk berjuang demi mendapatkan hadiah. Tentu bukan hanya berbentuk materil, tetapi juga sensasi ketika berhasil melawan ketakutannya dan menyelesaikan tantangan. Di sisi lain memang kontestan terikat oleh aturan eliminasi sehingga hadir motivasi untuk berkompetisi menjadi ”orang terpilih” sebagai lawan sepadan pasukan Takeshi. Sementara penonton merasakan ketegangan dari proses perjuangan kontestan. Selain dari sisi performa kontestan ketika menghadapi tantangan, ekspresi-ekspresi puas, semangat, kecewa, ketakutan, hingga kebahagiaan memberi kesan sendiri untuk penonton. Terlebih karena penonton lebih teliti pada segmen di mana diperlihatkan satu demi satu kontestan.

Walaupun banyak desain tantangan yang hampir mustahil untuk ditaklukan. Sistem eliminasi tidak sepenuhnya memperkirakan kontestan yang tersisa selalu sedikit. Semua kembali pada performa dan keberuntungan kontestan. Mau tidak mau produser acara harus siap menerima hasil yang di luar perhitungannya – terlepas produser acara berlaku curang dan tidak konsisten dengan peraturan yang mereka buat yang tentunya merusak keseruan dalam permainan.

Inilah menariknya dari desain dramaturgi permaian, begitu fleksible. Berbeda dengan dramaturgi dari seni pertunjukan yang biasanya memperhitungkan matang-matang input dan output-nya. Dramaturgi pada “Benteng Takeshi” dihadapkan antara apa yang bisa dikontrol dan tidak bisa dikontrol. Tingkat kesulitan merupakan instrumen yang dapat dikontrol, sementara kemampuan pemain dan nasib tidak bisa dikontrol tetapi hanya bisa diperkirakan. Bagiku – atau bahkan bagi desainer permainan – sebuah permainan memang harus begitu. Tidak menihilkan kemungkinan hingga 100%. Jika demikian maka tidak ada keseruan dan ketertarikan untuk mengikut kompetisi. Mengikuti persaingan dengan kemungkinan 0% untuk menang adalah kesia-siaan.

Hanya disayangkan dalam perhelatan “Benteng Takeshi”, sistem eliminasi memiliki setidaknya 3 macam yaitu objektif, subjektif, dan keberuntungan. Hal ini tidak konsisten, seharusnya sistem eliminasi memilih satu bentuk saja. Aku lebih setuju dengan menggunakan sistem eliminasi objektif. Di samping semua paham akan aturan eliminasi, semuanya terukur dan dipukul rata. Dibandingkan dengan sistem eliminasi subjektif yang mengandalkan selera di mana ukurannya abstrak. Apalagi yang mengandalkan keberuntungan yang jelas menihilkan kemampuan yang dimiliki peserta.

Terlepas dari aturan eliminasi, dalam acara tersebut kontestan mendapatkan hadiah saat gagal. “Benteng Takeshi” memberi apresiasi berdasarkan penilaian subjektif pada performa kontestan saat bermain. Jika diperhatikan, ada segmen reporter memberikan informasi bahwa salah satu kontestan mendapatkan hadiah karena performanya yang bagus. Misalnya ketika seorang kontestan dengan berani menerobos pertahanan seorang diri dan ”membantai” prajurit Takeshi, tetapi kemudian gugur di tangan Kaisar. Namun, ini bukanlah tujuan utama kontestan dalam bermain. Ini hanya apresiasi yang tidak kontestan duga atas aksinya. Hal ini kemudian berpengaruh untuk memotivasi kontestan lain untuk menampilkan performa terbaiknya dalam “Benteng Takeshi” baik pada saat itu maupun di kompetisi baru yang akan datang.

Permainan adalah Candu

Selain mengesankan, menonton “Benteng Takeshi” menimbulkan kecanduan bagi yang menyukai tontonan ini. Walaupun kemasannya sangat santai dan mengedepankan unsur komedi, tak dipungkiri hadir perasaan tegang, bersemangat, hingga simpati. Perasaan tersebut campur aduk ketika melihat kontestan menghadapi tantangan demi tantangan. Seiring acara berlangsung, penonton menemukan sosok-sosok pahlawan atau jagoan yang ia jagokan. Peristiwa tersebut membuat rasa simpati tumbuh dan seolah-olah membuat penonton masuk ke dalam dunia “Benteng Takeshi” padahal mereka tahu bahwa itu hanyalah permainan. Sehingga permainan ialah situasi ulang-alik antara ilusi dan kenyataan[2].

Berkat rasa simpati, hadir rasa bangga atas pencapaian jagoannya. Fenomena yang melibatkan psikis dan emosional penonton ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh pendukung sepak bola. Mereka justru lebih militan – kalah dan menang adalah urusan harga diri. Setidaknya “Benteng Takeshi” memiliki wujud tersebut walau berbeda level dengan pendukung sepak bola. Hal ini dipengaruhi oleh kehadiran kontestan yang berbeda-beda dan jumlahnya yang banyak setiap episode. Tidak seperti klub sepak bola yang memiliki pemain yang bisa dibilang tetap, kontestan dalam “Benteng Takeshi” selalu berganti-ganti. Karena sistem seperti inilah kontestan dalam “Benteng Takeshi” dilirik oleh penonton berkat performativitasnya yang baik atau menarik perhatian selama permainan berlangsung mulai dari nol. Hal ini seperti penonton mencari jagoannya tiap episode, karena pada dasarnya mengalahkan Kaisar Takeshi tidaklah mudah dan kubu Komandan Tani selalu dirundung kekalahan. Kekalahan ini secara tidak langsung menyimpan dendam dan nafsu untuk melihat kembali kontestan-kontestan di episode selanjutnya. Lalu pencarian pada jagoan baru dimulai kembali.

BACA JUGA:  Jogja, Geliat Koreografer Perempuan

Interpretasi di atas merupakan salah satu jawaban mengapa “Benteng Takeshi” dikagumi dan populer. Walau di bagian pertama tulisan ini menjelaskan kesaksian dari berbagai penonton di dunia yang pada dasarnya mengarah pada bentuk acara, permainan, hingga komedi slapsticks. Namun, hal tersebut boleh dikatakan sebagai performativitas yang membuat seseorang kecanduan untuk menonton “Benteng Takeshi” sama halnya menonton seni pertunjukan. Dalam seni pertunjukan seperti teater, plot dan aktor salah satunya menjadi daya tarik utama yang menjadi alasan penonton betah menonton dan mengikuti lakon hingga akhir. Asiknya ketika menonton “Benteng Takeshi”, tiap kontestan membuktikan bahwa dirinya layak untuk mendapat simpati dari penonton lewat perfomanya walau ia tidak tahu pasti siapa saja yang menaruh simpati kepadanya. Aturan eliminasi mempermudah penonton untuk mengerti dan menilai performa kontestan, ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyatakan bahwa kontestan ini layak atau tidak untuk diberi simpati. Walau terlihat beberapa aturan eliminasi dari tantangan bersifat tidak objektif sehingga membuat aktivitas menilai dari penonton tidak terasa. Seperti pada tantangan karaoke yang penilaiannya bersifat eliminasi subjektif juri dan sumur takdir yang bersifat eliminasi berdasarkan keberuntungan. Kelemahan tersebut diperkuat oleh alih wahana bahasa melalui dubbing sehingga terdapat perbedaan performa antara yang asli dan yang tiruan, contohnya pada tantangan karaoke.

image004 | MENILIK “BENTENG TAKESHI” (1986)

Dramaturgi yang digunakan dalam “Benteng Takeshi” pun menjadi salah satu unsur candu yang penting. Pada dasarnya bagaimana membuat penonton betah menonton dengan memberikan ketegangan dan keseruan di tiap tantangan. Berawal dari peserta yang jumlahnya banyak hingga tersisa hanya belasan atau bahkan hitungan jari. Penonton merasakan bahwa “Benteng Takeshi” sulit untuk ditaklukan. Dalam desain permainannya sendiri ya memang harus seperti itu, karena jika terlalu mudah maka permainan akan terasa monoton, jika terlalu sulit maka terasa tidak ada harapan. Walau sangat mungkin sekali terjadi keajaiban misalnya kontestan yang tersisa hingga segmen akhir begitu banyak. Namun, keajaiban tidak terjadi begitu sering. Produser acara harus pintar menyusun skenario walau pada akhirnya itu semua tidak sepenuhnya mengontrol output seperti yang diinginkan. Begitulah permainan, sengaja dibuat candu. Semakin candu maka semakin seru, layak, dan ditunggu-tunggu. Permainan memanfaatkan sifat manusia yang tak pernah puas. Dalam “Benteng Takeshi”, penonton tak pernah puas dengan performa kontestan yang selalu kalah di akhir dan selalu menanti performa yang melebihi ekspektasi, salah satunya yaitu mengalahkan Kaisar Takeshi. Jikapun suatu ketika berhasil memenuhi ekspektasi, “Benteng Takeshi” sudah memberi kesan bahwa acara ini layak untuk ditonton karena memberikan pengalaman menonton dan menilai performa kontestan yang unik dan mengesankan di tiap episodenya.


[1] Roger Cailliois, Man, Play and Games (USA: University of Illinois Press, 1958), hlm. 15.

[2] Schechner, Performance Studies: An Introduction, hlm. 89.


[1] George Skaff Elias, Richard Garfield, and Robert K Gutschera, Characteristic of Games (USA: The MIT Press, 2012), hlm. 71.


[1] Stuart Heritage, “Takeshi’s Castle Is Back! UK Television Gets Its Best Ever Version of the Japanese Gameshow,” The Guardian, August 30, 2023, https://www.theguardian.com/tv-and-radio/2023/aug/30/takeshis-castle-romesh-ranganathan-tom-davis-prime-video.

[2] Paul John Caña, “The Enduring Appeal of Takeshi’s Castle,” Esquiremag.ph, October 11, 2021, https://www.esquiremag.ph/long-reads/features/the-enduring-appeal-of-takeshi-s-castle-a00289-20211011.

[3] Chris Kincaid, “Takeshi’s Castle,” Japan Powered, January 30, 2012, https://www.japanpowered.com/japan-culture/takeshis-castle.

[4] Kincaid.

[5] Caña, “The Enduring Appeal of Takeshi’s Castle.”

[6] Kincaid, “Takeshi’s Castle.”

[7] Caña, “The Enduring Appeal of Takeshi’s Castle.”

[8] Caña.

[9] Heritage, “Takeshi’s Castle Is Back! UK Television Gets Its Best Ever Version of the Japanese Gameshow”; Stuart Heritage, “Takeshi’s Castle: Welcome Back to the King of Agony-as-Amusement TV,” The Guardian, October 5, 2017, https://www.theguardian.com/tv-and-radio/2017/oct/05/takeshis-castle-welcome-back-to-the-king-of-agony-as-amusement-tv.

[10] Heritage, “Takeshi’s Castle Is Back! UK Television Gets Its Best Ever Version of the Japanese Gameshow.”

[11] Declan Cashin, “Takeshi’s Castle Gets a Reboot and Gladiators Turns 25,” BBC.co.uk, October 10, 2017, https://www.bbc.co.uk/bbcthree/article/196c076a-4a3a-4599-856f-fb0df1f33fe3.

[12] Heritage, “Takeshi’s Castle Is Back! UK Television Gets Its Best Ever Version of the Japanese Gameshow.”

[13] Prasetyo Agung Ginanjar, “Asyik, Program Legendaris Benteng Takeshi Reboot Bakal Tayang Di Prime Video,” Hype Abis, April 3, 2023, https://hypeabis.id/read/22995/asyik-program-legendaris-benteng-takeshi-reboot-bakal-tayang-di-prime-video.

[14] Ginanjar.

[15] Richard Schechner, Performance Studies: An Introduction (USA: Routledge, 2013) hlm 35.

Rizal Sofyan

Rizal Sofyan

Rizal Sofyan (l. 1996, Rangkasbitung) merupakan seorang performer, sutradara, dan peneliti seni & budaya dari Rangkasbitung, Banten. Ia merupakan lulusan Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta (lulus tahun 2023). Memulai karir seninya di seni teater. Ia kemudian aktif mengerjakan proyek multi-disiplin seperti light novel, komik, Electronic Dance Music (EDM), desain grafis, film, dan boardgame yang kemudian mempengaruhi kerja artistiknya. Karya seni dan penelitiannya mencakup topik seni partisipatoris dan poskolonial. Ia memilih gim sebagai konsep artistik. Sejak tahun 2022 ia bergabung dengan Tilik Sarira Creative Process menjadi peneliti dan seniman kolektif. Tahun 2024 ia mendirikan Taman Ludens, proyek penelitian artistik seni partisipatoris.