Rabu, Januari 22, 2025
ARTIKEL & ESAIBERITAInterkulturalTradisional

Seni Kebangru’an; Seni dari Alam Gaib

[Yuga Anggana]. Selain dikenal sebagai pulau yang memiliki pesona alam indah nan menawan, Pulau Lombok juga memiliki beragam bentuk kesenian. Dari sekian banyak jenis kesenian yang saya temui di Pulau Lombok, Pertunjukan Seni Kebangru’an dari Lombok Timur adalah salah satu yang menarik perhatian saya. Kebang’ruan, begitu masyarakat Desa Telagawaru, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur menyebut gelaran tarian dan musik khasnya. Seni Kebangru’an dimainkan sebagai hiburan masyarakat pada waktu senggang di pelataran rumah warga. Penampilan Seni Kebangru’an terbilang sederhana, dengan menggunakan tata busana sehari-hari, tanpa tata rias khusus, serta beralaskan karpet seadanya sebagai panggung, Seni Kebangru’an digelar di tengah-tengah masyarakat.

image001 | Seni Kebangru'an; Seni dari Alam Gaib
(Pentas Seni Kebangru’an. Foto: Yuga Anggana)

Bentuk sajian Seni Kebangru’an adalah tarian diiringi musik. Musik yang mengiringi tarian tersebut dimainkan oleh tujuh orang yang terdiri dari pemegang alat musik: dua buah Penteng, Piul (Biola), Gendang, Jidur, Rincik dan Gong. Penteng dan Piul menjadi alat musik utama yang membentuk pola melodi, sedangkan alat musik ritmis lainnya berfungsi sebagai pembentuk irama (beat) dan menjaga tempo. Perpaduan irama ritmis dan pola melodis tersebut menjadi pengiring bagi seorang penari wanita yang dengan lincahnya bergerak meliuk-liukan tubuh kesana kemari mengikuti irama musik, bergerak secara acak, tidak terpola, dan mengeksplorasi setiap sudut ruang. Selayaknya rata-rata musik tradisi di Indonesia, musik Kebangru’an adalah musik sederhana dengan struktur motif melodi yang pendek namun berulang-ulang. Terdapat enam gending dengan pola melodi yang berbeda-beda. Judul-judul dari gending tersebut yaitu: Cempaka Kuning, Cempaka Putih, Cempaka Layu, Jeruk Manis, Layang, dan Stonda.

Peristiwa Mistis Kebangru’an

Sebenarnya bentuk sajian pertunjukan Seni Kebangru’an seperti yang saya gambarkan di atas merupakan pertunjukan Seni Kebangru’an dalam versi hiburan, versi tersebut adalah hasil transformasi dari sebuah peristiwa tradisional yang dekat dengan hal-hal mistis. Kata “kebangru’an” adalah kata dari Bahasa Sasak yang artinya kesurupan atau kerasukan. Namun khusus pada fenomena kebangru’an di kalangan masyarakat Desa Telagawaru fenomena kebangru’an yang terjadi tidaklah sama seperti kasus kesurupan atau kerasukan pada umumnya. Dibanding dengan fenomena kesurupan pada seni-seni tradisi di Jawa pun sangat berbeda. Pada kesenian seperti Jathilan, Reog, Angguk, Soreng, Kubra Siswa dan lain-lain, seorang penari kesurupan setelah musik dimainkan dan ia menari cukup lama, tidak demikian yang terjadi pada peristiwa “kebangru’an” di Lombok Timur. Pada fenomena Kebangru’an di Desa Telagawaru orang yang mengalami kerasukan adalah pasti perempuan. Ia akan tiba-tiba pingsan tanpa sebab dan peristiwa yang jelas, lalu ia akan bergumam melantunkan nyanyian khas sebagai tanda bahwa ia sedang mengalami Kebangru’an. Senandung yang ia gumamkan berisi permintaan untuk dipanggilkan pemain musik, karena dirinya hendak menari selama beberapa waktu ke depan. Waktu yang ia sebutkan biasanya berkisar paling sebentar tiga hari tiga malam, tujuh hari tujuh malam, hingga paling lama satu bulan penuh tanpa henti. Namun permintaan mengadakan gelaran tarian selama satu bulan penuh hanya sesekali terjadi. Peritiwa Kebangru’an dengan menghadirkan music kerap  terjadi di kalangan masyarakat Desa Telagawaru, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur.

image002 | Seni Kebangru'an; Seni dari Alam Gaib
(Seseorang pingsan karena Kebangru’an. Foto: Yuga Anggana)

Dalam kondisi tidak sadar seorang yang kebangru’an meminta untuk dipanggilkan para pemusik. Pada saat seperti itu beberapa orang lainnya mulai bergegas menyiapkan properti-properti lain sesuai kebiasaan, yaitu: pedang (klewang), bunga-bunga, beberapa baju, perhiasan, kasur, kursi, sesaji, kelapa, kacamata hitam dan mengundang para pemain musik. Kemudian seorang yang kebangru’an akan memilih baju yang akan ia gunakan untuk menari.

BACA JUGA:  Aksi Nyata Penyelamatan Hutan Habitat Hewan dalam Bentuk Drama Musikal.

Setelah berganti pakaian dan didandani sedemikian rupa oleh beberapa orang, seorang yang Kebang’ruan – penari – mengambil pedang dan mulai menari mengeksplorasi setiap sudut ruang, sesekali berlari kesana kemari mengkuti irama gending musik Kebangru’an. Musik dan tarian berlangsung sekitar 10 sampai 15 menit hingga penari jatuh pingsan. Beberapa orang membopong penari ke kasur yang sudah disediakan, lalu penari ditutup oleh sehelai kain. Selang beberapa menit seseorang akan membakar dupa, mengasapi penari untuk kemudian membangunkannya dari pingsan. Pemusik memainkan gending yang kedua berjudul Stonda. Penari terbangun dan kembali menari.

image003 | Seni Kebangru'an; Seni dari Alam Gaib
(Seorang perempuan (Kiri) yang mengalami “kebangru’an” menari diiringi para pemusik (kanan). Foto: Yuga Anggana)

Jika ada peristiwa kebangru’an, para tetangga akan berdatangan dan terutama mereka-mereka yang mengalami masalah kesehatan (sakit atau cacat). Di tengah-tengah tarian dan gending kedua beberapa orang yang sedang sakit akan mendekat ke arena atau ruang di mana si penari berada; ada yang didorong menggunakan kursi roda, dibopong oleh tandu, dan sebagainya. Kemudian penari mengobati orang-orang yang sakit dengan cara menggosok beberapa bagian tubuh orang yang sakit, juga menyemburkan air dari mulutnya kepada orang yang sakit. Masyarakat meyakini hal tersebut akan menyembuhkan setiap penyakit.

Setelah orang-orang yang sakit pergi, penari memilih baju kedua lalu kembali ke ruang ganti baju untuk berganti kedua kalinya. Pemusik mulai memainkan gending ketiga, penari kembali hadir bersama beberapa orang yang juga berdandan seolah-olah berperan sebagai para dayang.  Para dayang hadir dengan membawa sesaji-sesaji lainnya yang kemudian disimpan di tengah-tengah ruangan. Penari akan menari secara agresif lalu penari pingsan untuk keduakalinya. Musik pun berhenti dimainkan. Selang beberapa menit, penari menggerakan salah satu anggota tubuhnya sebagai tanda ia akan bangun. Pemusik lalu memainkan gending keempat. Penari terbangun, menari sebentar, lalu penari berfokus pada sesajen, kemudian melakukan ritual dengan gerakan tertentu dan seperti merapalkan mantra-mantra di depan sesajen. Dengan gerakan tertentu penari meminta dayang-dayang untuk membawa sesajen. Sesajen dibawa ke tempat pemain musik oleh dayang-dayang. Musik kemudian dihentikan, dan dayang-dayang kemudian pergi.

image006 | Seni Kebangru'an; Seni dari Alam Gaib
(Dayang-dayang yang membawa sesaji. Foto: Yuga Anggana)

Para pemain musik memainkan gending kelima. Penari kembali agresif menari mengikuti alunan iringan musik bertempo cepat. Penari kembali ke ruang ganti baju untuk berganti pakaian menggunakan pakaian awal yang digunakan untuk menari di sesi pertama. Hal tersebut menjadi tanda bahwa rangkaian acara sakral Kebangru’an telah selesai.

Roh Leluhur: Pemusik dan Penyembuh

Di beberapa daerah di Indonesia seni tradisi memang selalu identik dengan hal-hal mistis, misalnya saja seni Tarawangsa, Ebeg, Jathilan, Sintren, Bambu Gila, Karinding, dan lain sebagainya yang selalu terhubung dengan dunia spiritual dan metafisis. Kesenian-kesenian tersebut biasanya digelar pada pesta-pesta perayaan masyarakat sebagai bentuk ekspresi rasa syukur. Selain mengundang orang-orang untuk hadir pada perayaan, pelaku tradisi selalu melakukan ritual tertentu untuk mengundang makhluk-makhluk tak kasat mata agar bergabung dalam pesta perayaan tersebut. Pada beberapa kejadian banyak anggota masyarakat yang menyaksikan kemudian mengalami kerasukan dan menari-nari tak terkendali. Berbeda dengan Kebangru’an, makhluk tak kasat mata yang dipercaya sebagai roh leluhur hadir tanpa diundang, tanpa bisa diprediksi. Lalu seorang yang kerasukan roh leluhur tersebut yang memanggil para pemain musik serta menyebut berbagai macam benda sesaji yang ia inginkan ada di dekatnya. Perbedaan alur antara seni pertunjukan tradisi dengan seni Kebangru’an itulah yang menjadi menarik. Pada Seni Kebangru’an, makhluk metafisik – roh leluhur – menjadi tampak lebih superior dibandingkan masyarakat. Segala permintaan yang ia sebut harus diwujudkan. Jika tidak, ia mengancam akan mencelakakan tubuh yang dirasuki. Selain mempercayai bahwa yang merasuki tubuh seorang yang Kebangru’an adalah roh leluhur yang harus dituruti kemauannya, seorang yang Kebangru’an dipercaya dapat menyembuhkan orang-orang yang sakit.

BACA JUGA:  Rembesan "Mili" Mbah Mantri: Transformasi Tradisi dalam Ekspresi Kontemporer "Kala-Kili"

Ada satu kejadian menarik yang saya saksikan pada salah satu peristiwa Kebangru’an. Pada malam kedua salah seorang pemain biola tampak sangat mengantuk, sehingga pola permainan alat musiknya menjadi berantakan. Seorang yang Kebangru’an tetiba menghampirinya dan merebut Biolanya. Di luar dugaan orang yang kebangru’an itupun memainkan biola dengan sangat mahir, begitu lancar dan jauh lebih rapi daripada pemain biola sebelumnya. Pemusik lainnya mengatakan bahwa seorang akan menjadi sangat mahir memainkan alat-alat musik saat mereka mengalami Kebangru’an. Bahkan beberapa kalangan masyarakat menyebutkan bahwa konon musik Kebangru’an memang diajarkan langsung oleh roh leluhur yang merasuki tubuh seseorang. Bagi saya tentu saja hal itu tidak benar, karena organologi dan bentuk sajian musik pada Kebangru’an tampak merupakan hasil difusi dari alat musik yang berasal dari Cina, Arab, Bali, dan beberapa daerah lainnya. Saya mencurigai bahwa alat-alat musik tersebut dulunya adalah alat musik yang dibawa para pedagang yang berasal dari luar Pulau Lombok.

Pemusik Dusun Benyer sedang memainkan musik Kebangruan untuk hiburan 2 | Seni Kebangru'an; Seni dari Alam Gaib
Para pemusik seni kebangru’an dalam sebuah momen hiburan.

Kebangru’an Jalan Kesempurnaan

Peristiwa Kebangru’an bernilai sakral bagi masyarakat di Lombok Timur, sedangkan hasil tranformasinya berupa Seni Kebangru’an berfungsi hiburan. Namun keduanya membuat saya berkontemplasi lebih jauh, betapa fenomena Kebangru’an yang berbeda dengan kerasukan pada umumnya seolah mengatakan bahwa dirinya tidak sedang kerasukan makhluk astral dari luar, melainkan mengalami trance karena sedang ingin mengenal diri, bermeditasi melalui jalur seni. Musik iringan yang monoton, berulang, dengan frekuensi bunyi yang cenderung mendengung di telinga adalah gelombang stimulus yang mempengaruhi otak untuk fokus pada suatu hal. Konsep ini sama dengan brainwave, terapi bebunyian yang bisa membawa orang masuk ke gelombang otak intuitif, inspiratif, dan meditatif secara instan. Hal tersebut juga dipraktikan di beberapa ajaran agama dan kepercayaan: dzikiran agama Islam, bebunyian atau mantra-mantra pada Samatha Bhavana agama Budha, penggunaan lonceng pada meditasi agama Hindu dan lain sejenisnya. Tarian digunakan oleh kaum sufi dalam upayanya mencapai titik Makrifat. Musik dan tarian menjadi media dalam upaya menuju titik kesempurnaan hidup manusia. Jika titik itu kemudian mampu teraih, maka manusia dapat memiliki berbagai kelebihan, dalam hal ini menyembuhkan penyakit adalah salah satunya.

BACA JUGA:  Perang dan Teater

Tafsiran tersebut tentu saja masih berupa cocokologi saya. Pemaknaan soal peristiwa tradisi Kebangru’an juga Seni Kebangru’an harus diteliti lebih jauh menggunakan metode-metode dan pendekatan-pendekatan ilmiah. Namun terlepas dari berbagai hal ilmiah untuk sesuatu yang mistis, menggali nilai serta kearifan yang terkandung dalam sebuah peristiwa tradisi adalah sesuatu yang penting dilakukan sebelum peristiwa tradisi tersebut bertransformasi atau bahkan berevolusi menjadi sesuatu yang memiliki bentuk sajian dan fungsi sajian yang lain. Jika makna, nilai dan kearifan dari sebuah peristiwa tradisi tidak didapatkan, maka hasil inovasi darinya hanya akan menjadi suatu hiburan yang ‘kosong’ tak bermakna.

Yuga Anggana

Yuga Anggana

Yuga Anggana Sosani lahir di Ciamis, Jawa Barat, tahun 1988. Lulus dari Program Studi Pendidikan Seni Musik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan berhasil menyelesaikan studi Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Menjadi pengajar mata kuliah Pendidikan Seni di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Nusa Tenggara Barat dan Universitas Mataram (UNRAM) sejak tahun 2015 hingga 2019, serta menjadi dosen tetap untuk mata kuliah Pendidikan Seni di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram mulai 2019. Aktif menjadi pengelola Komunitas Seni Erkaem di Meninting, Lombok Barat sejak 2016 dan kerap terlibat program-program kesenian bersama dinas pemerintahan terkait di Kabupaten Lombok Barat hingga Provinsi Nusa Tenggara Barat.