fbpx
Jumat, April 26, 2024
Lintas DisiplinULASAN

Meresapi Pertunjukan dan Pameran “Les Bonnes” Ferdy Thaeras

[Ficky Tri Sanjaya]. Jumat, 23 Desember 2022 di Institut Français Indonesia (IFI), Pameran dan Pertunjukan dari Ferdy Thaeras berjudul “Les Bonnes” yang di kuratori oleh Joned Suryatmoko dibuka. Pameran ini berlangsung 23 Desember – 14 Januari 2023 dengan rangkaian pertunjukan dari Ferdy Thaeras, pembacaan untuk umum naskah Les Bonnes, serta diskusi. IFI dahulu lebih dikenal dengan Lembaga Indonnesia perancis (LIP), tentunya pergantian nama dari lembaga menjadi Institut ini juga membawa perubahan ruang dan fasilitasi relasi lembaga ini dengan publik seni utamanya di Yogyakarta. Tetapi lepas dari hal tersebut IFI sebagai ruang pertunjukan dan pameran yang telah berdiri sejak 1975, masih eksis dan aktif serta terhubung dengan seniman dan publik Yogyakarta hingga hari ini. Meski pada praktiknya, relasi ini tidak hanya di bidang seni saja, namun merambah pula pada bidang pendidikan.

Membaca ruang dan relasi penonton 

IFI sebagai ruang bagi seniman dan publik seni memiliki tempat yang cukup strategis di Yogyakarta. Ia terletak hampir di tengah kota dengan akses transportasi yang mudah dijangkau bagi sebagian orang. Yang menarik dari tawaran ruang  kreatif di IFI adalah karena tempatnya tidak terlalu kecil dan besar. Sehingga cukup intim sebagai ruang jumpa bagi pengkarya dan penonton, pun layak untuk sebuah kegiatan seni yang bertumbuh ataupun sudah final. Iklim Ruang IFI meski kecil tampaknya hampir menyerupai  Salihara di Jakarta atau Rumah Banjarsari di Solo, yang akrab, gaul, ramah dan nyaman bagi seniman dan umum.

Malam itu dalam pemeran dan pertunjukan Ferdy para penonton yang datang tampaknya tidak banyak penonton umum dan baru, meski ada beberapa. Wajah-wajah tidak asing yang aktif dalam kesenian di Yogyakarta, hadir. Mungkin sebagaimana umumnya pembukaan, terhubung melalui  undangan  lebih terasa secara personal daripada publikasi tanpa undangan, yang bisa jadi acak dan tidak bisa diprediksi. Melalui undangan, setiap orang merasa masih terhubung secara personal. Namun pilihan ini tentu bergantung pada sasaran dan tujuan dari pergelaran karya. Pemetaan kepenontonan seni ini menarik untuk ditelisik guna melihat sejauh apa niat dan tujuan karya tersebut dihadirkan, akan sejauh apa keterhubungannya dengan publik yang dituju, serta bagaimana publik merespon dan berinteraksi  dengan karya dan pengkarya tersebut saat acara. Malam Pembukaan tersebut terasa seperti malam perjumpaan dan perayaan, meski nama Ferdy adalah nama baru dalam jagad seni rupa Jogja, tetapi nama kuratornya cukup dikenal oleh publik seni khususnya Jogja. Mungkin ini yang membuat acara terasa sangat intim, dekat dan mesra meski tidak ramai. 

BACA JUGA:  Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara

Apa yang menggerakkan seseorang menonton atau menghadiri suatu acara? Sangkaan pribadi saya, pada umumnya orang-orang tergerak karena adanya motif ketertarikan, penasaran, atau hanya sekedar iseng mengisi waktu luang. Selain itu, kemungkinan adanya relasi pertemanan ataupun mendapatkan undangan dari yang empunya acara juga berpengaruh. Intinya  adalah adanya keterhubungan personal pada dunia di luar  secara komunal.  Lalu bagaimana setiap orang terhubung dan menghubungkan diri pada sesuatu? Itu pertanyaan lain, setiap orang pasti memiliki cara dan gaya masing-masing untuk saling terikat, terusik atau mengasingkan diri dari segala ikatan. Ikatan tersebut dapat dimaknai sebagai ruang berpijak, bertindak dan bergerak  pada sebuah kehendak, dimana di dalamnya ada relasi kultural penting bagaimana seseorang bisa saling terhubung. Secara pribadi setiap orang  bisa saling terhubung bahkan meniadakan keterhubungan tersebut. Disinilah karya bisa mendapat muara, kehadiran penonton dapat dibaca sebagai sesuatu yang terhubung atau dihubungkan. Ini penting agar karya memiliki dan menemukan konteks ruang yang pas secara dramaturgi dengan publiknya.  

Ruang Pamer dan Pertunjukan 

Malam itu, acara pameran dibuka dan disambut oleh MC, kemudian disambut oleh Direktur IFI : Francois Dubin.  Kemudian sedikit pengantar kurator dari Joned Suryatmoko, ucapan perkenalan serta selamat datang dan terimakasih oleh Ferdy. Setelahnya, dilanjutkan pembukaan pameran dengan dibarengi pertunjukan dari Fitri Setiyaningsih. Malam itu secara bersamaan pertunjukan dari Fitri dan juga Lukisan dari Ferdy yang terhampar di lorong pamer IFI dapat ditonton.  Karya lukis Ferdy  bergantung dengan berbagai ukuran,  di kanan kiri tembok, atau tergeletak di bawah lantai, ada pula yang di atas kepala menghadap ke bawah. Lebar ruangan ini kurang lebih hanya dua meter setiap sisinya. Cenderung sempit, dengan kehadiran lumayan banyak penonton dan barang,  seketika ruang tampak penuh. Malam itu pertunjukan Fitri yang hadir dengan kostum berwarna merah menyala, membuatnya kontras dengan ruang yang serba putih dari lantai hingga tembok pamer. Pertunjukan ini juga bersanding dengan berbagai gantungan lukisan Ferdy yang tampak berwarna muram namun tegas. 

BACA JUGA:  Mother or Earth, Tinjauan dari Kursi Penonton Mother Earth Produksi Mila Art Dance

Penonton dan ruang yang riuh sesak, seakan terus secara organik bergerak menyesuaikan Fitri yang mengaris, mengukur, dan menghubungkan ruang dengan tangan dan gerak kaki, bergulung atau sesekali menumpahkan cairan dari tube berwarna hitam ke kain putih yang bergantung di tengah ruangan. Beberapa pergerakan membuat penonton menyesuaikan bentuk dan diri dengan ruangannya. Baik secara tubuh dan ekspresi, mungkin juga perasaan. Pergerakannya tampak acak tertata. Di sini terlihat, bagaimana ruang menjadi ikatan pola dan daya tarik dalam menyaksikan pameran ini. Seluruh elemen yang saling terhubung atau mencoba dihubungkan satu dengan yang lain; ruang, lukisan, pertunjukan, dan penonton diusahakan menjadi suatu narasi. Tidak berapa lama pertunjukan Fitri ditutup dengan hormat dan tepuk tangan. Setelahnya, penonton berhamburan sesuai yang diinginkan, baik untuk menonton lukisan atau keluar. Pembukaan ini secara resmi diakhiri dengan potong tumpeng dan makan kudapan di dekat café di luar ruang pamer. 

Pameran lukisan ini tampaknya berusaha menggabungkan serangkaian kegiatan terhubung dan selaras secara lintas disiplin, tanpa batas, dengan seni yang multi disiplin. Seluruh rangkaian acara, baik lukisan, pembacaan naskah, pementasan, maupun diskusi terkait dan merujuk secara langsung dengan judul pameran. Judul pameran Les Bonnes, bersumber dari Naskah Drama Perancis berjudul Les Bonnes, bercerita tentang dua pembantu wanita yang  terus-menerus melakukan role play sambil merencanakan pembunuhan pada majikannya.

Tulisan ini hanya akan fokus pada dua kegiatan pameran dan pertunjukan dari Ferdy pada tanggal 12 Januari 2023. Sebelum lebih jauh masuk pada lukisan dan pertunjukan, kita akan sedikit membaca latar belakang  Ferdy  sebagai seniman. Ferdy dulunya menempuh kuliah jurusan DKV di Institut Kesenian Jakarta. Dari apa yang dipamerkan pada  karyanya,  Ferdy tampak menyukai lukisan “abstrak”. Malam itu lukisan yang dipamerkan cenderung tampak tidak berbentuk, penuh goresan tebal dan tipis, dengan beberapa kecenderungan permainan warna, seperti merah, hitam, atau putih. Semacam ada nada dan kata dalam goresannya yang tebal dan tipis yang kadang tumpang tindih. Pada pertunjukannya, Ferdy menarasikan lukisannya, yang menceritakan perjumpaan dengan seseorang yang berlangsung intens,  terus-menerus, dan dalam berbagai pertemuan di berbagai lokasi dan tempat, baik ruang publik maupun rumah. Dari sana muncul banyak pertanyaan dan pernyataan, juga perubahan  muncul seketika dalam setiap ceritanya yang terangkum melalui judul-judul lukisan pada pameran tersebut. 

BACA JUGA:  Tukang Obat dalam Bingkai Gawai : Catatan dari Monolog Tukang Obat oleh Kahfi Nur Asror.

Yang terserap dari pameran dan pertunjukan tersebut adalah adanya usaha  mempertanyakan keberlangsungan  dan kemelekatan  diri yang terhubung dengan tubuh, orang lain, benda, ataupun ruang. Apakah yang mengikat kesemuanya? Jiwa? Energi? Atau keberlangsungan mengada dalam seluruh relasi yang menerus dan selalu berubah? Kemelekatan terikat erat dengan identitas. Di alam ruang pikir kreatif terdapat pula ruang ilusif. Bagaimana setiap manusia dapat memanipulasi atau bermain di dalam dan dengan dirinya melalui seni. Dengan  otaknya manusia dapat bekerja merangkai kata, memproduksi visual, mengelola emosi  atau bermain-main secara intuitif. Sementara tubuh, benda, dan ruang adalah bagian dari properti dan pelengkap permainan dalam menumbuhkan narasi yang terhubung dengan diri dan identitas yang melekat atau dilekatkan pada setiap manusia. Ruang pamer dan pertunjukan, adalah salah satu ruang seni menjadi wadah dan arena bermain bagi identitas yang cair. Sebuah ruang tampung bagi  pertanyaan, pernyataan, yang tak kunjung usai bagi manusia. Bagi setiap manusia  ruang seni adalah  pintu masuk untuk bermain-main dengan kenyataan, memberlangsungkan setiap permainan dengan bermain dengan diri sendiri, orang lain, tempat, benda, secara menerus hingga usai. 

Ficky Tri Sanjaya

Penulis dan Aktor mime teater. Aktif bersama Bengkel Mime Theatre Yogyakarta.