Sarkem yang Bernoda, Sarkem yang Berdoa
Sebutlah satu kata; “Sarkem”, maka yang akan terbayang di benak kita adalah sebuah lokasi di lipatan kota Yogyakarta yang identik dengan segala yang busuk, rombeng, najis, juga lumpur salah dan dosa. Namun justru tempat itulah yang akan “diziarahi” Nano Suharno, seorang Sutradara dari komunitas Young Artis From Yogyakarta (YAFY). Terasa ada semacam kontradiksi pada diksi “Ziarah” di sana. Sebab sebiji kata yang akrab di lidah para “Pencari Berkah” ini, identik dengan perjalanan ke tempat-tempat yang dianggap suci, keramat, wingit atau sembarang lokus yang dipercaya mengandung energi-religiusitas. Tapi dalam project pertunjukan yang digagas YAFY ini, kata itu justru digunakan untuk menyambangi Sarkem. Mungkinkah ini semacam alegori atau malahan ironi dari apa yang sedang mereka kerjakan? Atau “menziarahi” Sarkem bisa kita maknai bahwa di tempat-tempat yang di mata sebagaian besar manusia; Rahmat tak akan turun itu, justru ada nilai-nilai dan kemuliaan yang bisa diperah dan dibagikan kepada khalayak yang terlanjur memposisikan Sarkem semata sebagai tempat hasrat berceceran dan dosa tumpah-ruah.
Sebagai komunitas yang menghimpun orang-orang muda yang didirikan oleh Nano Suharno dan Khoirul Anwar pada tahun 2016, YAFY berfokus pada kerja-kerja teater, performative, dan aktivisme. Maka, cukup bisa dimengerti bila para seniman muda ini memiliki perhatian pada tema dan isu-isu yang tak lumrah. Sebab, seni memang bukan cuma berurusan dengan estetika ala kaum borjuasi yang selalu “licin”, “bersih” “elok” dan “penuh martabat”. Seni bisa saja menempuh jalan kecil yang berliku dan masuk jauh ke dalam lubuk-lubuk gelap dan busuk yang hidup di tengah masyarakat. Seni tidak mesti selalu men zoom-out gincu pada bibir perempuan cantik di sebuah rumah atau restaurant mewah. Seni—dengan segala daya kritisnya—bisa mendekap tubuh-tubuh luruh dan gemetaran di pinggir jalan, atau menghidu bau sengak ketiak para pelacur yang telah termakan usia dan kemiskinan.
Sejak 18 agustus 2024, Nano bersama seluruh awak YAFY melakukan ziarah mereka; menyusuri gang-gang becek dan lorong-lorong pengap dan remak di Kawasan Sarkem demi menjumpai para pekerja seks komersil yang ada di sana. Semua ini mereka lakukan demi mendapat gambaran lebih jelas dan lebih dekat tentang nasib para pekerja seks komersil itu dari dekat untuk mendapatkan bahan penciptaan bagi karya yang akan dipentaskan pada 18 Oktober 2024, di Taman Budaya Yogyakarta. Sebuah karya yang mencoba memadukan dramaturgi teater (pertunjukan) dengan dramaturgi film (dokumenter).

Dalam program ini konsep film dokumenter, akan membantu mem-back-up Sarkem dari berbagai sisi dan dimensinya yang artifisial (Visual), sedang sisi batin atau jiwa dari denyut hidup di lingkungan Sarkem akan dituangkan ke dalam teks pertunjukan (teater).
Dari “ziarah” yang tak panjang itu, secara empiris terjadi perjumpaan dengan denyut hidup para penghuni Sarkem. Jelas terpatri dalam benak dan ingatan, bagaimana para perempuan yang juga mahluk Allah itu tetap bisa terenyum, bercanda, bahkan bersyukur di balik lumpur hidup yang menyelimuti setiap hela nafas mereka. Bagaimana mereka juga mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka dengan cinta dan kasih yang tak kalah tulus dengan para Ibu lainnya yang nasibnya lebih beruntung dan hidupnya “lebih bersih”. Namun, perjumpaan juga terjadi dalam ranah konseptual dan sejarah; di mana Sarkem di masa lalu juga menyimpan teks-teks kuno yang bersinggungan erat dengan Keraton dan perkembangan modernitas kota Yogyakarta. Hingga kini Sarkem masih bertahan dari segala gempuran arus zaman yang tak terbendung. Bahkan Sarkem seolah memiliki daya hidup dan daya tahan yang tak banyak dimiliki oleh lokus-lokus kota lainnya.
Sarkem; bagaimana pun dia dianggap sebagai noda, tak akan bisa terlepas dari perubahan dan pertumbuhan sebuah kota. Dia adalah sebuah fakta yang tak terbantah. Sebuah “the others” atau yang ‘lian” dalam struktur masyarakat dan kota. Sarkem seperti sebidang rumput ilalang yang tak bisa begitu saja dilenyapkan dari taman indah di halaman peradaban Yogyakarta. Sebab di semak ilalang itu, di lingkup perdu dan belukar liar itu, ada kehidupan yang lain; ada jantung yang berdenyut, ada mulut-mulut yang menganga lapar, ada benak yang juga punya impian dan harapan, ada doa yang bilapun tak tertangkap telinga wadag manusia, tapi selalu dipanjatkan dari hati yang rombeng dan koyak; dari jiwa para pekerja seks komersil. Sekelumit hidup yang penuh luka dan sering dicibir dengan percikan ludah itu, direkam sebagai film dokumenter melalui POV (sudut pandang) seorang pekerja seks komersil (PSK). Dari alasan bertahan hidup hingga berkelindan dengan berbagai kepentingan sosial politik yang pelik.
Melalui sudut pandang ini pula, masa kini akan dibaca dan dimaknai dengan memautkannya kembali pada masa lalu, pada historisitas yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan Sarkem yang bagaimana pun telah ikut menggerakkan roda perekonomian, bukan saja para PSK di sana, melainkan juga denyut hidup sebuah kota bernama Yogyakarta. Dari sini, muncul pula rasa gamang dan pertanyaan yang membentur batok kepala kita; bagaimana nasib orang-orang marginal ini di masa datang?
Maka, melalui karya ini, Nano ingin mengajak penonton merenungkan bahkan meragukan kembali soal kepastian kita dalam menilai salah dan benar perihal Sarkem. Pola pikir yang terlanjur baku di tengah masyarakat mengenai Sarkem adalah sebuah dunia gelap dan ruang zina. Tetapi mengapa Sarkem bisa bertahan dan lestari hingga hari ini? Sementara banyak tempat pelacuran besar di Pulau Jawa seperti gang Dolly, Kali Jodo, Sari Tembanung, ditutup. Ini bukan soal baik-buruk, atau salah-benar sebagaimana lumrahnya cara pandang yang dikotomis dan acap menghakimi. Ini soal kelangsungan hidup sejumlah nyawa manusia. Para PSK itu, tentulah tidak akan memilih profesi ini seandainya mereka memiliki pilihan lain yang lebih menolong dan masuk akal. Penutupan tempat-tempat seperti ini bukanlah solusi tunggal yang dengan sendirinya akan membereskan masalah pelacuran. Kita harus melihatnya secara lebih adil dan terbuka dengan memandang banyak sisi.
(Rarai Masae Soca)