Rabu, Oktober 9, 2024
ULASANPanggung Teater

Setelah “Pantomim dan Api Gagasan” : Percakapan Dua Penonton

[Galih Prakasiwi & Polanco S. Achri].

Galih             :   Halo, Mas Polanco, apa kabar? Kemarin, ketika acara Pantomime dan Api Gagasan, Mas menonton pertunjukan nomor berapa saja?

Polanco        :   Baik, Mbak. Kabar baik. Aku, kemarin, menonton tiga nomor pertunjukan yang disuguhkan acara Pantomim dan Api Gagasan; alias menonton semua seri.

Galih             :   Aku penasaran, bagaimana cara sastrawan melihat pertunjukan pantomim, nih… Apa imaji yang muncul?

Polanco        :   Aku kayaknya masih belum layak disebut sastrawan, deh, Mbak, hahaha… Lebih ke pemuda tukang ngarang yang agak rajin mencatat, kayaknya. Setelah kuingat-ingat, agaknya pertunjukan kemarin itu adalah pertunjukan pertama yang aku tonton setelah sekian lama tak benar-benar menonton pertunjukan—dalam pengertian formal: pertunjukan di atas panggung yang ada di gedung pertunjukan dengan setting lengkap dan menonton dari ruang gelap. Pengalaman menonton, setelah sekian lama tadi, secara pribadi, amat menyenangkan sekali, Mbak; meski jelas, ada beberapa catatan dan pertanyaan-pertanyaan di kepala ketika dan setelah menonton semua nomornya. Nah, kalau Mbak Galih sendiri, nih, sebagai praktisi menari dan juga seorang yang menulis tentang koreografi, bagaimana melihat pertunjukan kemarin hari?

Galih             :   Wah, sama Mas! Banyak hal yang berseliweran di kepala saat menonton. Ini nanti kalau kita urai satu-satu bisa tujuh hari tujuh malam, hahaha.. Kalau dari sisi aku, tiga nomor pertunjukan kemarin menarik, karena semakin menyadarkanku kedekatan antarbidang yang selama ini kita payungi dalam “seni”. Bayangan yang ku bawa dari rumah, kita akan bertemu dengan sosok berwajah putih dengan gerak tanpa properti, tetapi penonton bisa menebak sedang apa si aktor tadi. Nyatanya, praktik tari tak jauh juga dari situ, meskipun tidak semua gerak—dalam bahasa tari: maknawi. Tiga pertunjukan kemarin, kulihat bermain-main di batas ruang pantomim, tari, dan teater. Asyik!

Polanco        :   Iya, Mbak, aku sangat bersepakat dalam hal ini. Satu nomor pertunjukan saja kalau diobrolkan bisa panjang, lha ini tiga, ya, kan? Hahaha. Kalau tadi ditanya tentang bagaimana seorang pengarang, atau seorang yang biasa melihat teks tertulis, ketika menyaksikan pertunjukan, aku malah tertarik kembali melihat relasi antara tubuh dan bahasa; atau antara tubuh dan ruang. Kalau dari Mbak Galih sendiri, nih, pertunjukan nomer pertama bagaimana, karya dari Banyumili Art Performance x Anonimime yang berjudul Reset, karya yang disutradarai oleh Mas Megatruh Banyumili dan Mas Aldo Adriansyah?

Galih             :   Eh, menarik itu, Mas! Aku menanti penjelasan lebih lanjut, nih, perihal relasi tubuh dan bahasa, juga tubuh dengan ruang.

                          Pertunjukan pertama sebagai pembuka menawarkan banyak perlambang yang bisa kita cerap, ya… Namun sesungguhnya—karena aku bergelut di pertunjukan juga, yang terbersit malah teknisnya, hahaha. Maksudnya, dugaanku penampilan ini diletakkan di nomor pertama salah satu alasannya adalah pertimbangan teknis persiapan setting yang dibutuhkan. Kalau biasanya kita melihat proyeksi visual melalui layar putih besar persegi yang terbentang, nah pertunjukan ini menggunakan layar putih berbentuk figur seperti “manusia raksasa”. Hal itu tentu berefek pada imaji yang terbangun saat kita menontonnya, ya, Mas. Kalau aku menangkapnya, keberadaan manusia raksasa ini seperti ingin menggambarkan sisi manusia yang kompleks dengan menayangkan proyeksi berbagai gambar yang tumpang tindih, baik spektrum warna maupun objek yang bergantian seperti kartun, boneka, gedung, dan lain-lain. Kalau menurut Mas Polanco bagaimana? Adakah korelasi Reset dengan pernyataan Mas tadi mengenai relasi tubuh, bahasa, dan ruang?

Polanco        :   Soalan relasi antara tubuh dan bahasa, tubuh dan ruang, sebenarnya juga baru belakangan aku tilik, sih, Mbak; tapi asik juga kayaknya coba kita bincangkan. Dan melihat tanggapan Mbak Galih, aku merasa, ternyata asik juga, ya, melihat pertunjukan dari sudut pandang kesenian lainnya seperti ini: melihat pantomime yang sedang bereksperimen dengan pandangan dari seorang koreografi-penari dan seorang yang menulis puisi dan fiksi. Hahaha…

                         Kalau aku, soalan yang menarik berkait tubuh dan ruang atau tubuh dan bahasa, di pertunjukan pertama, adalah bagaimana tubuh para aktor pantomime bisa mencipta ruang, dan tubuh juga hadir sebagai “bahasa” yang bisa menyampaikan pikiran dan perasaan—bahkan mencipta kejadian. Di pertunjukan Reset, misal, ada adegan di ruang makan atau ruang tamu; yang itu dicipta dari gerak orang yang menyiapkan sarapan atau makan. Dan aku berpikir, ternyata gerakan-gerakan pantomim yang sederhana ketika dikomposisikan dengan sedemikian rupa punya daya gebrak yang besar juga, ya.

                         Nah, kalau tadi Mbak bilang perlambang, aku kira perlambang tadi muncul karena ada gerak yang memicu untuk ditafsiri. Aku kira, tubuh dan bahasa bekerja di sana, Mbak. Dan berkait hal ini, meski bisa menikmati, mataku yang terbiasa melihat teks dan rupa cukup dibuat bertanya-tanya: Ini tokoh yang mana dan mau ngomongin apa, ya? Walau di akhir, lumayan terjawab juga. Namun, aku kira, “seni tanpa kata” keasyikannya memang di sana.

                         Oh, iya, Mbak, penempatan pertunjukan “Reset” di bagian awal, sebab pertimbangan properti dan sejenis tangga dramaturgi, tidak benar-benar terbaca sama aku ternyata. Hahaha… Kalau perkara properti, aku terpicu dan terpancing buat membayangkan hal yang kurang lebih sama, Mbak, bahwa layar berbentuk manusia tadi memang menjelma tubuh manusia itu sendiri. Di dalamnya, ada banyak sekali tampilan, tayangan, dan bacaan. Namun, di perkara teknis, aku kira, kalau saja siluet dari para aktor pantomim bisa diberdayakan maksimal akan lebih asik, sih. Bayangan yang muncul di layar berbentuk orang itu akan hidup! Dan itu seperti menunjukan, bahwa di dalam tubuh manusia, di tubuh kita sendiri, ada banyak sekali wacana, ide, gagasan, pecahan, dan hal-hal enigmatik lainnya. Oh, iya, Mbak, jujur, musik ilustrasinya asyik dan makin membuat pertunjukan ada sisi gaib-mistiknya, sih. Hahaha…

                         Selain itu tadi, apa lagi yang menurut Mbak asyik di pertunjukan pertama?

Galih             :   Ngomong-ngomong soal musik, bagiku asyik sekali ketika ada adegan saat dua aktor bergerak dengan musik internal (yang diproduksi oleh tubuhnya sendiri) dalam hal ini suaranya menirukan bunyi kendang: “Tak tong tak dang.. dang..”. Alih-alih hanya dilakukan bersamaan (unisound), kedua aktor ini dalam satu momen tertentu juga saling mengisi suara dengan ritmis dan harmonis. Hal semacam ini kerap dilakukan oleh penari, Mas, bukan saat pentas, sih, melainkan ketika belajar menari. Adegan ini juga semacam penyegaran yang turut membangun dinamika pertunjukan. Di sisi lain, aku menafsirnya sebagai sebuah praktik bermain bersama dan menunjukkan relasi sosial antarmanusia. Jika ini dihubungkan dengan adegan selanjutnya, tampak membangun kontras; dari manusia dengan interaksi intimnya beralih menjadi manusia yang lebih individual (atau sosialisasinya terjadi di ruang maya) saat teknologi masuk.

                          Selain itu, aku melihat aktor yang terlibat dalam Reset ini, Mas. Eh, aku malah tidak terpikir soal siluet seperti yang Mas Polanco tadi utarakan; tapi tak dipungkiri itu bisa jadi tawaran menarik, Mas! Aktor yang terlibat, selain aktor dewasa, ada juga aktor usia sekolah dasar. Tubuh mereka saat berpantomim mumpuni. Panggung sebesar Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dengan kapasitas seribu penonton, dilalap habis dengan kemampuan mereka. Oh, ada satu sosok ikonik Mas, penampilan Mbak Putri sebagai aktor yang menirukan gerak gerik karakter game ini kuat sekali. Saking kuatnya, sampai membawa ku pada pentas Waktu Batu, sebab dalam pertunjukan itulah karakter tersebut pertama kali muncul. Mungkin, kalau pengkarya bisa menemukan potensi serupa yang lebih organik lebih menarik juga, ya.

                         Sebenarnya, aku bertanya-tanya, sih, Mas, mengapa teknologi sering dijadikan sosok antagonis dalam berbagai karya. Memang ini perkara efek adiktif yang menyerap perhatian kita lebih banyak, ya; tapi kebutuhan atas teknologi juga tidak bisa kita pungkiri. Mungkin pengkarya ingin menyampaikan soal pemanfaatan teknologi secara bijak dan mengingatkan fungsi dasar teknologi yang membantu/mempermudah manusia memenuhi kebutuhan hidupnya.

                          Bicara soal dinamika dan aktor tadi, ya, transisi antarpertunjukan ini menarik, lho, Mas. Kalau biasanya kita mendengar suara pembawa acara saja, kali ini panitia menghadirkan pertunjukan pantomim anak-anak hasil workshop. Menariknya lagi, pergantian setting panggung yang biasanya dilakukan di balik tirai, pada pementasan kali ini menjadi pertunjukan latar pantomim anak-anak itu. Aku membayangkan seandainya kru panggung itu juga memakai kostum dan sesekali ikut akting! Hehe. Terlepas dari itu, aku salut dengan kerja kru panggung yang cekatan dalam waktu 8 (delapan) menit, menghilangkan manusia raksasa lalu membuat panggung putar untuk pemain piano di pertunjukan kedua Kepada Waktu.

                          Kalu Mas Polanco, adakah kesan khusus pada pertunjukan kedua?

BACA JUGA:  Mak, belikan baju baru, nanti malam aku pentas Teater!

Polanco        :   Ah, iya, Mbak. Aku ingat. Adegan itu juga membekas dan terasa asyik sekali. Itu juga mengingatkan, bahwa tubuh manusia juga bisa membuat bunyi, bisa membuat musik. Kadang, bagiku, karena terbiasa dengan bunyi-bunyian yang diberi makna dan arti (bahasa), aku jadi lupa pada keasyikan untuk asal dan bebas berbunyi, untuk asal dan bebas mengeluarkan bunyi-bunyian dalam bertindak. Saat Mbak bilang tentang bunyi-bunyian saat latihan tari, aku jadi ingat waktu kuliah: saat bosan baca buku atau menganalisis karya, aku sering geser dari perpustakaan ke pendopo kampus: melihat kawan-kawan jurusan tari yang latihan. Asyik benar, hahaha… Dan kalau membicarakan pertunjukan, aku kira, di samping ruang ritus dan ritual, pertunjukan apa pun memang punya dimensi permainan. Atau malah, mungkin memang, pertunjukan, permainan, dan ritus-ritual memang menempati satu dimensi yang sama, ya, Mbak.

                         Aku juga jadi menimbang kembali, Mbak, ketika Mbak bilang tentang aktor anak tadi. Kayaknya tubuh anak ataupun tubuh orang dewasa, atau tubuh-tubuh yang lain, punya keunikannya sendiri-sendiri; terlebih ketika tubuh tadi diminta atau diajak, atau dalam ruang yang lain dipaksa, menjadi tubuh yang lain. Dan ketika membicarakan tokoh maupun aktor yang meniru gerak-gerik suatu tokoh, aku jadi terpancing buat sadar kembali, Mbak, bahwa pantomime memang dibangun dari mime, dibangun dari mimetik dan mimesis: meski terus dikembangkan dalam semangat kreasi. Dari tubuh yang mengingatkan kenangan dan ingatan, aku kira juga cukup meyakinkan lagi kalau tubuh bisa menampung memori, menciptakannya dan menunjukkannya kembali—bahkan sampai memicu tubuh yang lain (tubuh penonton) untuk mengingat dan mengenang lagi.

                         Memang, sih, Mbak, ketika dipandang maupun ditarik ke wilayah normatif maupun pengajaran, pertunjukan tersebut seperti mau bilang, bahwa teknologi mesti digunakan dengan bijak dan bajik. Namun, tanpa menolak soalan itu, aku merasa, menarik juga ketika dilihat relasinya dengan tubuh tadi. Tubuh yang selama ini dipahami organik, biologi-fisik, dihadapkan pada teknologi yang mekanik dan teknik. Aku kira, dialog antara dua hal tadi, di masa yang semacam ini jadi penting dan genting. Kita jadi bisa bertanya-tanya tentang apa itu manusia; apa manusia yang memakai teknologi sudah bukan manusia lagi, dan seterusnya-seterusnya. Gawai pintar yang awalnya alat, kini, jadi suatu hal yang sangat erat dengan manusia, ya, kan, Mbak? Dan itu susah sekali dipisahkan. Kalau pakai bahasa film fiksi-ilmiah, manusia dah jadi cyborg. Hahaha… Dan pantomime, atau bahkan tari dan teater pada umumnya, sedang menjalin dialog itu, Mbak. Bahkan, kalau mau lucu-lucuan, meski tidak lucu, kita bisa bertanya:

                         Apakah robot bisa menari, berpantomim, dan berteater?

                         Oh, iya, Mbak. Adegan transisi menurutku termasuk adegan yang asyik. Secara ketertulisan memang nggak muncul di poster—yang menyuguhkan tiga judul. Namun, adegan transisi tadi, di mataku, seperti membuka ruang tafsir yang lain. Adegan peserta workshop yang “bermain-main” dengan pantomim jadi kontras dengan gerak dari kawan-kawan yang sibuk memindah properti pertunjukan. Saat adegan itu, sepasang mataku melihat kawan-kawan yang memindah setting dan properti itu bukan hal yang terpisah dari pertunjukan soalnya, Mbak. Dan pertunjukan yang lucu dan main-main dihadirkan bersamaan dengan kawan-kawan yang bekerja memindah properti itu membuka percakapan di kepalaku dengan riuh. Pertunjukan itu main-main atau serius, serius yang main-main atau main-main yang serius? Hahaha…    

                          Kalau di pertunjukan yang kedua, aku masih sama, sih, Mbak: Sangat menikmati. Namun, kalau di pertunjukan pertama di kepalaku muncul sejenis pernyataan pertunjukan bergerak dari pantomime ke tari, nah, di pertunjukan kedua sebaliknya: dari tari ke pantomime. Musiknya, sekali lagi, harus aku akui, Mbak, memberi kemagisan dan kegaiban tersendiri: dan berhasil menunjang aktor pantomim mencipta ruang dan gerak. Kalau Mbak Galih sendiri, melihat pertunjukan kedua yang dibawa oleh Fireflies Collective, dengan sutradara Mas Ihsan Kurniawan dan Mbak Tiaswening Maharsi , bagaimana?

Galih             :   Pengayaan yang mantap, Mas!

                          Aku tertarik untuk menanggapi manusia cyborg tadi, Mas. Selain kita jadi manusia password (karena banyaknya akun), kita pun sebagai manusia ketika mau masuk ke laman tertentu perlu diverifikasi oleh robot bahwa kita bukan robot, ya. Lantas pada perkembangan saat ini, kecerdasan artifisial tampaknya menjadi menarik dibicarakan di berbagai lini, ya, Mas, mengingat peluang yang dapat dimanfaatkan sekaligus mitigasi pelanggaran etika yang kian diperbaharui. Nah, tapi, aku melihat pertunjukan berbasis tubuh ini menjadi krusial untuk hadir di masa kemelekatan teknologi ini. Kalau lukisan dan cipta lagu bisa dibuatkan oleh aplikasi kecerdasan artifisial hanya dengan menulis kata kunci, pada kasus tari, pantomim, dan teater tampaknya sulit untuk digantikan begitu saja (kecuali dalam bentuk video) sebab dalam pertunjukan normatifnya, tubuh pelaku bertindak sebagai medium ungkap utama.

                         Sebagaimana yang juga kita lihat pada pertunjukan kedua, tubuh laki-laki dan perempuan hadir di atas panggung lalu sesekali 7 orang yang menari membersamai mereka dengan busana abu-abu. Tampaknya aku sepakat lagi denganmu, Mas, bahwa dalam pertunjukan ini aku pun melihat banyak gerak tari. Bahkan gerak mikro, yakni gerak tangan, turut dieksplorasi pada bagian akhir. Pengolahan yang subtil dan mengena! Keterlibatan anggota tubuh (telapak tangan) menjadi “panggung” bagi jari yang menari.

                          Musik minus-one yang dimainkan oleh seorang pianis, bagiku juga terkesan menenangkan. Berawal dari bunyi instrumen tunggal mengiringi seorang perempuan secara repetitif memasak dan menyiram tanaman. Dari kenampakannya, aktivitas itu juga menenangkan dan memproyeksikan kebiasaan.

                         Pengolahan artistik apalagi yang Mas Polanco lihat sebagai daya tarik pertunjukan ini?

Polanco        :   Menarik sekali memang, Mbak, ketika berbincang tentang relasi tubuh dengan teknologi. Iya, kan, Mbak; di seni pertunjukan, seperti tari dan teater, maupun pantomim dalam hal ini, soalan teknologi, robot, maupun AI menjadi suatu hal yang mesti ditimbang dan didialogkan. Bahkan, kadang aku suka bergurau dengan beberapa kawan, atau dengan siswa ketika masih mengajar di SMK, tentang apakah manusia bisa kerasukan/kesurupan AI… Lucu dan getir; dan menarik, bukan, Mbak? Hahaha . . . Mungkin, di suatu kurun, Jathilan bukan kerasukan macan atau kuda, tetapi AI.

                         Kalau dipertunjukan kedua, secara keseluruhan, aku cukup dibuat bertanya-tanya dengan tujuh orang atau sosok tersebut, Mbak. Aku cukup menduga, sebab sepasang mataku lebih dibesarkan dengan teks, lebih dibesarkan dengan puisi dan fiksi, aku jadi bertanya-tanya sendiri: Tujuh orang itu simbol dari apa, atau tujuh sosok itu tokoh yang bagaimana dalam narasi besarnya, ya… Namun, soalan yang demikian tidak menghalangiku untuk menikmati, sih, Mbak; dan malah membuatku tetap sadar dan dibetahkan buat menonton. Tangan sebagai panggung itu asyik, Mbak… Gerakan yang kelihatan simpel dan sederhana memang punya dampak yang besar ternyata, ya.

                         Dan kalau bicara pertunjukan kedua ini, jujur, aku paling suka malah adegan awal yang berulang dan monoton—bahkan dengan musik yang berulang dan “itu-itu saja”. Mungkin, kebanyakan orang akan merasa itu membosankan; tapi buatku pribadi, adegan itu malah yang paling punya power, paling punya gema, dan paling punya bekas. Bahkan, setelah rampung pertunjukan kedua itu, kalau misal hanya adegan pengulangan itu yang muncul, aku tetap merasa itu pertunjukan yang mengasyikan. Aku kira, pengulangan dengan gerakan yang sama, dengan musik yang sama, dan dengan tempo yang pelan dan lirih, benar-benar membuat magis di kepalaku, Mbak; bahkan di dalam diriku; dan di bagian ini, aku merasa sangat subjektif sekali. Hahaha… Dan karena pengulangan tadi, yang juga hadir dengan kolaborasi antara gerak pantomim dan tari, serangkaian gerakan tadi pun malah jadi seperti ritus. Ah, iya, Mbak, piano di pertunjukan itu, yang tampil di atas panggung, jelas menunjang dan memberi ruh tersendiri…!

BACA JUGA:  Distorsi, Realisme dan Surealisme dalam Monolog "Prita Istri Kita" oleh Teater Nasional Medan

                         Tawaran narasi di pembuka pertunjukan aku kira juga menarik: sebab memberi pengantar tersendiri. Dan bagaimana penonton diminta untuk maju ke depan dan lebih dekat ke panggung, aku kira mesti ditilik sebagai nilai tawar dramaturgi dan koreografi tersendiri, Mbak. Namun, saat kesempatan itu, aku mencukupkan diri dengan tetap duduk di kursi penonton yang lumrah, Mbak. Aku ingin memberi sejenis jarak…; walau kalau diingat-ingat, agak menyesal juga, sih, tidak maju ke depan—sehingga bisa melihat pertunjukan dengan lebih dekat dan jadi lebih terhisap. Dan kostum yang dipilih agaknya cukup berhasil menunjang apa-apa yang mau disampaikan. Kalau kostum lain yang dipilih, aku kira dan cukup yakin malah, pernyataan “Kepada Waktu” akan lain lagi . . .

Galih             :   Hahaha, wah, Mas Polanco ini…, aku jadi membayangkan jathilan AI! Lama-lama mungkin penggunaan bahasa, seni, dan budaya kita bisa terpengaruh oleh kode/bahasa AI juga, ya. Ya, meskipun yang melakukan input dalam big data AI itu manusia juga; juga seperti didekatkan manusia. Tapi, meski demikian, aku melihat pola interaksi dan cara menjawab mekanis khas AI yang berbeda dengan manusia. Lha ini jadi manusia membuat AI; AI mempengaruhi manusia. Wah, imajinasi saya malah melanglang buana ini Mas…

                          Kalau membicarakan adegan awal mengenai pengulangan, pada titik itu aku juga merasa pernyataan “Kepada Waktu” -nya tebal. Adegan berulang tetapi sesungguhnya tidak sama persis. Penekanan itu juga semakin ditebalkan lagi dengan panggung putar sang pianis. Semakin menyadarkan kita bagaimana kita tetap berubah dalam keajegan. Persoalan perubahan ini mungkin juga bisa kita temui di repertoar ketiga, ya.

                          Bagaimana menurut Mas Polanco?

Polanco        :   Pengulangannya ketika diamati dengan lebih teliti memang tidak benar-benar sama. Ada perbedaan–yang dibangun dan diikuti dengan musik. Di kepalaku, muncul semacam rangkaian “pengulangan-kesinambungan-perubahan-perkembangan”; dan semua itu tadi dalam upaya mencari definisi bahagia. Ah, kebahagian…

                          Kalau di pertunjukan ketiga, aku lebih melihat perubahan sebagai gerak yang linear, Mbak; walau tidak benar-benar linear juga, sih. Perkembangan dari kanak ke dewasa; dan hal-hal yang membersamainya. Pertunjukan berjudul Belajar Menjadi Laki-Laki yang disuguhkan GMT Jogjadrama, dengan sutradara Ahmad Jalidu & Nisa Ramadani, menurutku mendialogkan pantomime juga, Mbak; sebab muncul dialog/percakapan yang lumrah dalam teater, tapi gerak karikatural muncul dan kental pantomime. Setelah adegan transisi yang sama menariknya dengan transisi dari pertunjukan satu ke pertunjukan dua, dan narasi pembuka, setting awal yang menunjukkan pakaian-pakaian seperti di Mall itu cukup mengingatkanku dengan pertunjukan Etalase Tubuh; terlebih ketika dipakai-cocokkan dengan anak laki-laki atau perempuan. Perkara Gender sepertinya memang sangat performatik, ya, Mbak. Hahaha… Kalau ditarik ke obrolan tentang tubuh dan ruang, atau tubuh dan identitas, masuk juga sepertinya.

                          Kalau curi-curi baca catatan kuratorial atau proses kreatif dari sutradara dan para aktor, muncul pernyataan bahwa naskah dan peristiwa pertunjukan tersebut dibuat dari dialog antaraktor: dialog dari lelaki yang telah mendapat peran suami. Kesadaran awal dari aktor dan segala komponen menjadi titik berangkat penciptaan. Aku kira, sebagai seorang yang cukup senang pada proses pra-produksi, aku senang dengan kerja macam ini.

                          Adegan awal Belajar Menjadi Laki-Laki, selain di mataku mengingatkan dengan drama “Etalase Tubuh”, juga menarik karena orangtua menawarkan pakaian dan juga identitas kepada anak-anaknya, kepada anak lelaki maupun perempuan. Beberapa stereotip muncul dan dialogkan kembali. Adegan meniru yang dimunculkan, menurutku, kembali menyadarkanku sekali lagi, kalau teater maupun pantomime berangkat dari mime, dari mimetik: peniruan. Oh, iya, dibanding nomor sebelumnya, musik yang muncul di pertunjukan nomor tiga ini lebih ada liriknya; dan lirik-lirik yang dimunculkan juga asyik dan lucu. Selain itu, adegan awal yang muncul seperti drama musikal juga cukup mencuri mata, Mbak.

                          Adegan-adegan pertemanan antaranak dan antarorangtua yang dimunculkan juga menarik. Pertengkaran anak menjadi pertengkaran orangtua yang dimunculkan di panggung lumayan menggelitik apa yang terjadi di luar panggung, ya, kan, Mbak? Hahaha… Larangan menangis bagi lelaki dan gerak gemulai bagi perempuan juga muncul untuk didialogkan. Adegan lain yang kukira cukup asyik adalah adegan bagaimana aktor-aktor merespon sapu. Bagaimana sapu, atau benda pada umumnya, direspon lain oleh lelaki maupun perempuan; seperti di tangan lelaki, sapu jadi senapan atau pedang; sedangkan di tangan perempuan jadi alat selfie dan hal-hal yang lebih feminim coraknya.

                          Oh, iya, Mbak, karena judul pertunjukannya Belajar Menjadi Laki-Laki bagaimana pandangan atau respon Mbak sendiri? Kalau tanggapanku barusan, kan, sebagai penonton lelaki–yang melihat pertunjukan “tentang lelaki”. Nah, aku yakin sudut pandang Mbak, sebagai perempuan, punya ruang yang menarik untuk didialogkan.

Galih             :   Aku malah jadi berselancar mengenai hak manusia, apakah ada dan dinyatakan secara tertulis “hak untuk bahagia”, mengingat ada negara seperti Bhutan yang memang mengukur indeks kebahagiaan bagi warganya. Persoalan kebahagiaan ini kompleks, ya, Mas; tidak melulu materi, melainkan kesejahteraan dan pemenuhan hak hidup manusia secara adil menjadi dua hal yang berperan signifikan. Nah, aku jadi melihat bahwa karya Ahmad Jalidu dan Nisa Ramadani juga tengah mengupayakan hal tersebut. Judul Belajar Menjadi Laki-Laki tampak seolah menuntut maskulinitas, tetapi pertunjukan ini justru menyuarakan kesetaraan peran gender mulai dari kesadaran personal hingga sosial.

                         Sama seperti dirimu Mas, aku juga melihat alur pertunjukan nomor ketiga ini memperlihatkan perkembangan manusia dari anak hingga dewasa. Adegan simbolis sepasang suami-istri yang menari dengan kosa gerak tari Jawa —pasihan (bermesraan), lalu “lahir” anak perempuan dan laki-laki dari sisi kanan dan kiri level. Setelah adegan tersebut, mulai tampak bagaimana proses “pembentukan” anak oleh orang tua terbaca, mulai dari berpose, memilih baju, hingga interaksi dengan kawan. Aku yang sudah jadi orang tua ini jadi terpantul refleksi Mas, apakah kami (atau akulah, setidaknya) sudah menemani tumbuh kembang anak dengan baik? Sudahkah menemaninya dengan menghormati hak anak atau sebenarnya berbagai hal yang kulakukan atas nama anak ini jangan-jangan ilusi obsesi semata.

                          Adegan interaksi antarteman dan orang tua turut menyadarkanku, Mas, bahwa tidak hanya orang tua yang bertanggung jawab penuh atas perilaku anak. Orang tua atau bisa jadi seorang caregiver memang mengasuh anak sehari-hari dari mulai bangun hingga tidur lagi, tetapi untuk mencapai kebahagiaan yang holistik (cieilah) tampaknya perlu kebersamaan dengan masyarakat yang turut mendidik anak. Jadi tanggung jawab penanaman nilai-nilai baik sampai pada konstruksi gender (jika itu terkait dengan pertunjukan ini), bukan semata milik orang tua saja. Aku lihat banyak penonton orang tua dan anak pada malam itu, Mas, tetapi apakah pesan yang ingin disampaikan sudah terkirim dengan efektif?

                          Menurutku, banyak adegan yang memproduksi ulang kejadian konstruksi gender di masyarakat. Aku membayangkan kalau belajar menjadi laki-laki yang “baik” — mampu memanusiakan manusia, bisa turut ditampilkan maka bisa jadi menebalkan suara yang ingin dinyatakan melalui karya ini. Puncak kerepotan seorang perempuan digambarkan dengan adegan mengambil barang hingga kewalahan, lalu ditutup oleh lagu terakhir dengan lirik yang jelas merujuk bahwa laki-laki harus berkontribusi dalam pekerjaan domestik seperti mencuci piring, mencuci pakaian sampai menyetrika, membersihkan rumah menyapu dan pel lantai. Baru di adegan terakhir ini pesan utama karya ini dinyatakan secara verbal dalam bahasa Jawa. Nah, ini menurutku kalau ditambah porsi dan/atau eksplorasinya (entah dalam adegan atau medium artistik lain) akan lebih manis dan semakin mengena. 

BACA JUGA:  Kontemplasi dalam Isolasi dan Emosi di Paradance ke-19

Polanco        :   Di bagian awal, aku cukup terbawa pada soalan maskulinitas tadi, Mbak; tapi makin ke belakang, yang terasa lebih ke upaya membangun ruang dialog—dan aku kira ini memang yang dibutuhkan. Nah, seperti yang kuduga, ya, kan, Mbak, ada cara pandang yang lain. Hahaha… Mbak Galih yang seorang perempuan dan telah menempati peran ibu dan istri akanlah lain cara memandangnya denganku yang lelaki dan masih bujang ini. Namun, aku kira, itu yang menarik. Bahkan, aku juga bertanya-tanya, bagaimana para orangtua yang menonton pertunjukan itu malam. Tentu, harapannya pertunjukan tidak berhenti hanya sebagai pertunjukan, ya, kan? Dan meski saya masih bujang, tapi menjadi guru di sebuah sekolah lumayan memberi sejenis pengalaman menjadi orangtua juga, Mbak. Dan seperti ucapan yang sering didengar, bahwa mengasuh anak bukan hanya urusan orangtua: tapi juga satu kota–bahkan negara! Dan dari sana, malah terbuka ruang renung lanjutan, bahwa belajar jadi lelaki ataupun perempuan tidak pernah final; terlebih peran-peran terus ditambah. Dari peran anak, peran pasangan, dan peran sebagai orangtua; dan peran itu tumpang tindih. Aku yakin, Mbak pasti karib sekali dengan ketumpang-tindihan peran ini–belum lagi ditambah kerja, ya, kan.

                         Menonton adegan puncak yang chaos dengan perlahan itu, tapi makin naik dan naik, lumayan mengingatkan ucapan simbahku yang juga diamini dan masih dipakai oleh ibuku, Mbak, bahwa pekerjaan rumah tak pernah selesai; atau bahkan lebih pas menyebutnya: menolak selesai. Akhirnya, belajar menjadi lelaki pun adalah dialog. Di sepasang mataku, yang juga “masih” belajar menjadi laki-laki, muncul sejenis pernyataan tak tertulis: Lelaki yang baik adalah lelaki yang membantu perempuan, membantu ibu dan pasangan. Namun, itu hanya salah satu tafsiran saja, ya, kan, Mbak. Dan dari serentetan adegan yang asik dan menarik, adegan akhir yang puncak dan klimak tadi memang sedap sekali: situasi chaos dan ngeri dan ruang-ruang yang karib, tapi dihiperbolakan, terasa menggema. Tiga pertunjukan kemarin gemanya cukup masih terasa hingga sekarang juga, Mbak.

                         Kalau dari Mbak sendiri, setelah menyaksikan tiga pertunjukan tadi ada kesan apa lagi?

Galih             :   Nah, betul sekali, peran guru dan masyarakat sangat krusial untuk membersamai tumbuh kembang anak, karena menurutku kadang kala interaksi antara anak dan orang tua perlu berjarak untuk memaknai kedekatan. Maka, pada saat itulah, anak membutuhkan orang lain. Eh, tapi aku kurang setuju dengan pernyataan Mas Polanco tentang laki-laki yang baik adalah dia yang membantu perempuan, membantu ibu dan pasangan. Kalau diksinya “membantu”, itu seolah ada yang utama; kalau menurutku bukan membantu, tapi memang secara bersama-sama melakukan tugas rumah tangga, mendidik anak dan seterusnya. Wah, kok, jadi panjang ini, hahaha… Dari pertunjukan, kita bisa terpantik bicara sampai ke mana-mana, ya, Mas.

                         Tiga pertunjukan ini asyik, Mas, menurutku; sebab mampu menimbulkan pertanyaan dan diskusi wacana baik artistik maupun interpretasi. Isu yang dilemparkan oleh pengkarya memang topik akrab dengan keseharian kita, ya, Mas, aku rasa; maka memungkinkan untuk dibicarakan secara panjang lebar oleh penonton berdasarkan pengalaman masing-masing. Sebagaimana yang kita diskusikan di awal, bahwa karya ini secara kebentukan menawarkan beragam pendekatan. Bahkan, kita dibuat bertanya-tanya “Ini pantomim?” karena mereka bermain-main dengan batas yang dipahami secara umum. Nah, ini jadi menarik menurutku Mas, selain menyegarkan, kita juga dibuat bertanya, kolaborasi atau bentuk seperti apa lagi yang akan dimunculkan pengkarya. Terbukti menurutku tiga nomor itu melakukan eksplorasi dengan pantomim dan mendekatinya dengan cara yang beragam. Kalau dari sisi Mas Polanco bagaimana? Apakah menangkap sesuatu yang lain?

Polanco        :   Ah, iya, Mbak, sepertinya memang lebih cocok dan pas diksi dan pemahaman yang disarankan Mbak Galih. Diksi “bersama-sama” memang lebih pas dan cocok. Dan contoh ketidaktepatan barusan pun menunjukkan bahwa pelajaran menjadi lelaki, atau bahkan menjadi manusia, memang perlu dan senantiasa mesti dipelajari. Dan menyaksikan tiga nomor itu memang memicu kembali pertanyaan dan dialog di dalam kepala: Ini pantomime atau bukan? Nah, tentu, harapannya, ke depan masih akan tetap diadakan dengan serentetan eksplorasi. Oh, iya, Mbak, sebelum kita sudahi perbincangan panjang ini. Menurut, Mbak, kalau tiga pertunjukan tadi ditampilkan lagi dalam lain waktu, dengan susunan yang tak serunut waktu kita menonton kemarin, apakah kesannya akan lain?

Galih             :   Wah, menarik juga ini pertanyaan Mas Polanco… Menurutku, sebagaimana sifat pertunjukan yang temporer, Mas, perbedaan dan perubahan itu selalu melekat. Meskipun pertunjukan yang sama, jika dipentaskan dalam waktu dan tempat yang berbeda, pertunjukannya bisa berbeda, mengingat yang membawakan adalah tubuh manusia (bukan AI), hahaha. Namun aku rasa meskipun bisa jadi ada perbedaan kesan, kurasa asyiknya tak kan jauh berbeda Mas, karena itu tadi.. ketiganya mengangkat wacana yang menarik dan aktual pada teks pertunjukan maupun gagasan yang ditawarkan. Eh tapi aku sepakat juga denganmu Mas, harapanku juga serentetan eksplorasi dapat dilanjutkan.

Polanco        :   Aku kira demikian, Mbak. Kalau diminta menyaksikan lagi, dengan situasi yang hampir mirip, aku tetap masih mau nonton juga, kok. Hahaha… Mungkin, demikian dulu kali, ya, Mbak. Tentu, aku berharap ada pementasan-pementasan lagi, sendiri atau kolaborasi, sehari atau serentetan beberapa hari. Dan aku kira, pementasan yang baik tidaklah pernah berhenti sebagai pementasan, tetapi mematik diskusi dan penciptaan lagi dan lagi. Semoga kalau ada pementasan lagi, kita bisa diskusi panjang-lebar macam ini, ya, Mbak. Hahaha… Sama mengasyikkan ternyata seperti menonton.

Galih             :   Aku juga menikmati tontonan pekan lalu dan diskusi ini. Terima kasih sudah menawarkan ide ini dan rasan-rasan bareng, ya, Mas! Sampai jumpa di pertunjukan dan tulisan lainnya, Mas!

Yogyakarta, 2024

Galih Prakasiwi, Dosen Tari ISI Yogyakarta
Polanco S. Achri, penulis dan pengamat pertunjukan.

Polanco S Achri

Polanco S Achri

Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998; dan menetap pula di kota tersebut. Seorang pengajar bahasa di sebuah SMK di Sleman. Menulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai pendek; serta sesekali menulis naskah pertunjukan dan memproduksi film. Mengelola Pendjadjaboekoe dan juga Majalah Astro. Bergiat di Komunitas Utusan Negeri Dongeng, sebagai penulis naskah dan pemusik; dan memimpin Sindikat Muda Liar Ngantukan. Sempat menjadi penulis untuk pameran Black Symptoms #2: Aksi/Re/Aksi (2023) dan pameran Jogja Ceramic Fest: Clayboration (2023). Beberapa tulisannya tersiar di beberapa media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.