Pengalaman Menonton TAI
Teater akan menjadi tempat di mana orang-orang dapat memahami misteri-misteri suci alam semesta dan pada saat yang bersamaan akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi orang mabuk dan kesepian. (Peter Brook, 1925-2022)
[Andy SW]. Di dunia ini tak ada yang lebih indah dari melakukan kegiatan menyenangkan bersama orang-orang tersayang. Entah sudah berapa tahun kegiatan itu dilakukan dan diulang berkali-kali, seperti tak ada bosan-bosannya. Bahkan, terkadang melupakan hal-hal lain yang mungkin juga menyenangkan. Jangan-jangan kita hanya sekali melakukan kegiatan menyenangkan itu, selanjutnya repetisi atau pengulangan-pengulangan saja, hingga tak lagi merasakan senang, tetapi kita terus melakukannya.
Pada satu titik perlu merenungkan dan mempertanyakan secara berulang-ulang hingga pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya tanpa kita sadari. Apakah kegiatan itu masih menyenangkan? Itu sangat relatif, semua orang akan berbeda-beda dalam merenungkannya. Dan akan menemukan jawaban yang berbeda-beda pula, semua akan kembali pada diri. Kembali berada pada ruang-ruang sunyi yang tak menentu.
Kegiatan menyenangkan, renungan, dan pertanyaan berulang-ulang itu menjadi sebuah tradisi. Ketiganya dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti sebuah perayaan. Bahkan, kadang hanya lewat begitu saja, kemudian semuanya akan kembali biasa lagi, hanyut dalam kehidupan dengan sistem menyebalkan atau sibuk memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari. Lantas apa perlunya menyenangkan, merenungkan, dan menanyakan?
Jelas perlu, dong! Buat meramaikan kehidupan. Andaikan menjadi sekadar perayaan yang berlalu, tidak masalah. Hidup memang tersusun dari perayaan demi perayaan.
Saat ini Teater Api Indonesia (TAI) tengah merayakan ulang tahunnya, usia berapa itu tidaklah terlalu penting karena kreativitas tak dapat diukur dengan angka-angka. Jauh lebih penting mengingat sejauh mana TAI mengisi rentang waktu itu dengan daya ciptanya; dengan karya-karyanya; dengan kebahagiaan-kebahagiaannya hingga kebosanan yang ternikmati dan termaknai. Dan saya turut merayakannya sebab sedikit banyak pernah bersinggungan. Merayakan ingatan dan pertemuan-pertemuan.
Ingatan Menonton
Tanggal 31 Januari 2019, saya menonton pementasan TAI yang berjudul DOR karya Putu Wijaya, di Gedung Cak Durasim, Surabaya. Baru pertama kali saya melihat pementasan TAI. Sebelumnya hanya mendengar cerita-cerita tentang TAI dan hanya berupa lintasan-lintasan cerita tak jelas. Setelah melihat, saya menjadi tahu bagaimana garapan visual TAI, setidaknya mengerti pada tataran permukaan penggarapannya, apakah pementasan itu akan terapresiasi pada pertemuan pertama atau tidak. Jika terapresiasi saya akan menulis, jika tidak pasti akan berlalu begitu saja. Namun, apa pun itu, kedatangan saya di Surabaya berniat untuk mengapresiasi.
Pada menit-menit pertama menonton, entah mengapa kebosanan sudah melanda dalam diri. Maka waktu itu saya putuskan untuk menonton dengan rileks dan cenderung semena-mena. Kebetulan Joko Porong, teman dari Solo yang lama tak berjumpa, mencolek pundak saya untuk duduk di sampingnya. Tentu saja kami merayakan pertemuan kecil tersebut dengan menenggak Drum bergantian selama pertunjukan berlangsung. Selama hidup, baru sekali ini saya menonton pentas teater sambil minum alkohol. Saya semakin pesimis dengan pementasan TAI, bahkan semakin yakin hanya akan berlalu begitu saja.
Pulang nanti, sudah saya siapkan kata-kata untuk Halim Hade yang mengajak saya jauh-jauh menonton, bahwa saya tak akan menulis pementasan tersebut karena mabuk. Namun, saya tertidur di sepanjang perjalanan dan tak sempat ngobrol sama beliau. Beberapa hari setelah pementasan TAI, tiba-tiba saya ingin menulis pertunjukan tersebut. Malam itu saya mengetik dengan serius, kepala saya hanya berisi ingatan tentang pementasan DOR. Segera saya kirim ke media masa nasional beserta foto-foto yang dikirim Halim Hade.
Tulisan itu dimuat di Koran Tempo tanggal 7 Februari 2019 dengan judul “DOR Keadilan dari Kaleng Rombeng”. Saya bertanya-tanya lagi, mengapa bisa lahir sebuah tulisan dan mengapa ingatan pementasan itu hadir dengan sendirinya dalam kepala saya: lelaki gondrong yang meracau, tumpukan kaleng di bawah kaki, lelaki bertubuh perempuan, temaram lampu panggung, tubuh-tubuh telanjang dada, seng berbalut police line dan suara-suara kaleng rombeng itu. Bukankah saya semena-mena saat menontonnya dan sudah bosan sedari awalnya? Biasanya sebuah pementasan tak akan menjadi tulisan jika digarap sekenanya, apalagi membuat saya malas mengapresiasi. Bagaimana mungkin pementasan TAI yang baru sekali saya lihat bisa terapresiasi dengan sendirinya. Diam-diam saya penasaran dengan pementasan TAI yang akan datang. Pasti akan saya lihat lagi, tetapi karena terjadi pandemi, sampai saat tiga tahun ini belum ada kabar lagi.
Dari tulisan itu saya mendapatkan honor untuk tambahan uang saku jalan-jalan. Terima kasih TAI. Rasanya tak perlu meminta maaf atas cara saya menonton dengan semena-mena. Andaikan saya melihat dengan niatan mengapresiasi, tak akan melahirkan tulisan pementasan. Di luar suka atau tidak suka, bagus tidaknya garapan Sutradara Luhur Kayungga itu, senyatanya dapat terapresiasi dan membuahkan tulisan. Saya semakin meyakini kebenaran cara saya menonton dengan “semena-mena”, tetapi kali ini saya tulis dalam tanda kutip.
Menonton dari Layar HP
Setelah tiga tahun berlalu, kembali saya dipertemukan dengan karya TAI. Tanggal 2 Juli 2022, Cak Wiji, salah satu anggota TAI, meminta saya untuk menulis tentang TAI, tetapi bagaimana mungkin saya menulis jika tak ada data lengkap sementara secara pengalaman baru sekali menonton karya TAI. Saya mengajukan usul untuk menonton dokumentasi karya TAI dan Cak Wiji merekomendasikan SRI MINGGAT dan MAX via Youtube. Saya mulai merasa terbebani saat diminta menulis tentang dua karya TAI tersebut, sebab rasanya bakal bosan ketika saya mengapresiasi lewat layar HP.
Saya meminta perpanjangan deadline menulis yang semula tanggal 10 Juli menjadi 15 Juli. Selain sedang banyak pekerjaan, perpanjangan waktu itu untuk berpikir bagaimana harus mengakali agar tidak bosan dan dapat menulis secara efektif. Pada akhirya, saya menemukan cara menonton secara singkat, seperti menonton trailer film. Saya akan menulis impresi-impresi yang tertangkap dalam pikiran dan perasaan, sebab dengan cara itu akan mempersingkat waktu serta mengurangi beban dalam melihat dan menulis. Pekerjaan saya yang lain tak akan terganggu. Sebuah rencana yang menurut saya cerdas dan mengasyikkan, toh teman-teman TAI tak akan tahu akal-akalan saya dalam mengapresiasi.
SRI MINGGAT adalah video pertama yang saya lihat dengan sangat cepat, pementasan yang berdurasi 43 menit tersebut dapat terselesaikan hanya dalam waktu kurang dari seperempat jam. Setelahnya saya mengerjakan pekerjaan yang lain dengan amat ringan dan tak ada gangguan. Malam berikutnya karya berjudul MAX yang suasananya mirip dengan karya sebelumnya. Tentu saja cara saya menonton masih sama dengan mempercepat waktunya. Pertunjukan yang berdurasi 1 jam 16 menit itu saya selesaikan dalam waktu hampir sama seperti yang kemarin. Tetapi saya merasa ada adegan yang harus saya lihat ulang dan mencermatinya.
Saya mengulangi beberapa adegan awal seperti adegan empat lelaki bermain baskom sambil bernyanyi; adegan perempuan memainkan daun pohon pisang; adegan empat lelaki berbaju putih dan seorang perempuan, dengan suara gelas beradu bersama nampan. Kemudian saya percepat lagi waktunya. Setelah hampir selesai, saya putar ulang adegan yang rasanya terlalu cepat saya lihat. Begitulah saya mengulang-ulang adegan-adegan yang ingin saya cermati. Tanpa saya sadari cara saya menonton tidak secara linear, tetapi secara bebas memilih adegan. Selama menonton dua karya itu saya seperti dihantui suara-suara, tubuh-tubuh, benda-benda dan garis-garis. Perlahan mata menjadi berat, terasa agak panas, dan mengantuk. Ketika saya menengok jam dinding, ternyata dua jam lebih saya menontonnya. Capek rasanya, saya pun tertidur pulas.
Keesokan harinya, pagi hari setelah bangun tidur, saya langsung membuka laptop untuk menulis SRI MINGGAT, sesuai ingatan saya. Sialnya tak ada satupun yang saya ingat dalam video yang saya tonton. Mungkin karena sudah lewat satu hari atau terlalu cepat saya melihatnya. Maka segera saya buka Youtube untuk melihat ulang dan berulang-ulang. Hasilnya saya menghabiskan waktu satu setengah jam lebih. Mata kembali berat dan kepala yang agak nyit-nyut membuat saya enggan untuk menulis ulasan pementasan. Tak disangka saya merasakan keasyikan tersendiri dalam menonton.
Hari-hari berikutnya, saya kadang masih memutar ulang dua video tersebut dengan selintas-lintas saja. Tetapi tetap memakan waktu dan membuat pekerjaan yang lain terbengkalai. Jujur saya tak lagi minat menulis ulasan dua karya tersebut, lantaran telah memakan banyak waktu dan energi. Tak perlu memaksakan diri jika tak sanggup menulis sebuah ulasan sebagai hadiah ulang tahun. Rencana mengakali TAI rupanya telah gagal saya lakukan, yang terjadi malah sebaliknya, saya menontonnya dengan serius dan lama. Ternyata menonton TAI tak bisa direncanakan, tak dapat sekadar menonton, tak sekadar datang mengapresiasi, tak sekadar memutar video. Menonton TAI seperti menemukan dan ditemukan. Karya-karya itu akan menuntun ke sebuah jalan untuk dilewati. Di jalan itulah petualangan dimulai dan akan menemukan misteri-misterinya atau sebaliknya akan dibuatnya mabuk dan kesepian, lalu tak menemukan apa-apa. TAI pada akhirnya berkata pada diri saya: Prasaja saja.
Desa Tirto, Yogyakarta, 12 Juli 2022
- Mantra-Mantra Yang Bergerak : Catatan atas “Magic of Women” oleh Studio Taksu - 30 Desember 2023
- Riwayat Aksara dan Langkah-Langkah Ibnu Sukodok - 27 Mei 2023
- Surat Cinta Untuk Dik Yogix dan Layer yang Terbengkalai: Catatan Atas Pertunjukan Julius Caesar – Shakespeare Project X RKBBR - 20 November 2022