Ara-ara Bubat dan Pencarian Wiswakarman : Catatan Atas Pertunjukan “Ara-Ara Bubat” — KKTT Wiswakarman
[Frengki Nur Fariya Pratama]. Perang Bubat merupakan satu peristiwa dari sekian cerita peperangan antara Pajajaran dan Majapahit di masa lalu. Konon, cerita ini mendasari mitos larangan bersatunya cinta antara masyarakat Sunda dan Jawa. Cinta manusia yang selalu terguncang badai cerita pilu masa lalu. Begitu pula, Patih Gajah Mada (Majapahit) selalu tersebut sebagai biang kelicikan strategi penguasaan wilayah lewat persuntingan Dyah Pitaloka untuk Hayam Wuruk. Yang ternyata hanya tipu muslihat pengepungan pasukan Pajajaran di tanah Bubat. Tanah yang konon menjadi saksi bisu kerelaan Dyah Pitaloka menerima pinangan utusan Hayam Wuruk. Demi kesejahteraan Kerajaan Pajajaran. Fragmen cerita inilah yang dipertunjukkan KKTT (Kelompok Kerja Teater Tradisional) Wiswakarman dalam Pentas Produksinya. Ara-ara Bubat begitulah judul pentas yang tersematkan dalam poster.
Mencari Pijakan Kethoprak di Zaman Modern
Pentas produksi yang disutradarai Rakha Al-firdaus digelar oleh UKM Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta (23 Desember 2022) berusaha menepis stagnasi pertunjukan kethoprak. Lewat beberapa kreativitas tim produksi. Ketika penonton memasuki ruang pementasaan, suguhan tata panggung bertingkat, juntaian kain Sifon berwarna putih, panji Gula-kelapa, dengan lambang Surya Wilwatikta Majapahit ditengah arena panggung. Kemegahan itu nampak menjadi sorotan yang menarik. Langsung membangun imajinasi penonton akan huru-hara yang terjadi di ara-ara (tanah lapang) Bubat. Dengan tegak berdirinya panji berwarna merah-putih (gula klapa) penanda Majapahit sebagai pihak yang menang.
Suguhan tata artistik panggung berusaha mempertegas posisi cerita yang ingin dipentaskan. Tata letak panggung yang sengaja dibuat statis, imajinasi netral dengan dominasi warna putih, dan panggung bertingkat memudahkan pergantian latar ruang seturut adegan yang dimainkan. Pentas KKTT Wiswakarman yang memainkan tata letak panggung tak selazimnya pertunjukan Kethoprak. Yang didaku sebagai pertunjukan kethoprak memakai pendekatan teater.
Pemain musik yang berada pada arena panggung utama dan menghadap penonton meunjukkan posisi pemusik ikut terpajang sebagai unsur yang ikut dipertontonkan. Arena panggung pemeranan adegan dengan pemusik hanya dibatasi rumbai kain Tile putih terawang. Dengan begitu, pemusik dapat mengamati alur adegan.Penonton pun masih dapat menyaksikan kelincahan permainan gamelan dan paras pe-sinden.
Latar musik hasil komposer Lucky Gusta yang disuguhkan melatari adegan pun ter-garap secara serius. Menonjolkan garap Gamelan, yang tentu saja lebih modern ketimbang latar musik pada umumnya. Yang ditandai penggunaan saxophone, nada-nada pelog dan vocal pe-sinden yang lebih modern.
Kesan itu tak perlu diragukan bahwa Kethoprak mahasiswa ini sedang mencari pijakan pengembangan kesenian Kethoprak. Yang seolah sedang mati suri di taman museum ke-adiluhung-an. Mengusahakan kontekstualitas kethoprak dengan kebutuhan pasar. Dengan sedikit mengesampingkan kekakuan pakem yang ada, dan memberikan sentuhan kreativitas padakomposisi musik, tata artistik, pembabagan, dan cerita.
Dalam urusan lakon, pengemasan peristiwa Bubat pun cenderung disesuaikan dengan alam kekinian yang lebih mudah diterima. Benedictus Billy sebagai penulis naskah menawarkan interpretasi sendiri terkaitperistiwa Bubat. Bahwa biang dari terjadinya penyerangan iring–iringan pasukan Pajajaran adalah ulah Rawedeng(Landhung). Pemunculan tokoh Rawedeng dengan sendirinya menyederhanakan polemik kebencian masa lalu antara Sunda dan Jawa.
Majapahit yang umum ditafsir sebagai pengkhianat atas maksud baik pertalian Kerajaan Pajajaran lewat pernikahan Dyah Pitaloka (Dinny) dan Hayam Wuruk (Dewa) ditepis dalam pentas. Rawedeng menjadi tumbal dalam pentas Ara-ara Bubat agar Patih Gajah Mada (Hendra) yang masyhur dengan tekadnya mempersatukan Nusantara, tak terendahkan. Sehingga, Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk terkesan sebagai sepasang kekasih yang terpisahkan oleh tragedi politik kekuasaan.
Hal itu ditonjolkan dari adegan kecurigaan Dyah Pitaloka merasa dengan perjodohan yang dilangsungkan. Adegan itu muncul dalam satu babag pertemuan Rawedeng dengan Dyah Pitaloka. Adegan itu memperkarakan tanya Dyah Pitaloka mengenai maksud Patih Gajah Mada yang memerintahkan iring-iringan kerajaan Pajajaran menunggu di Bubat. Pertemuan yang dirasa tak lazim diperuntukan bagi petinggi kerajaan.
Pada adegan peperangan Bubat, pertikaian dibuat dramatis. Hujan panah menjadi penanda peperangan dimulai. Adegan pertarungan yang silih berganti mempertegas suasana tegang peperangan. Di tanah Bubat itu Sri Baduga (Gusti) gugur di tangan Rawedeng. Rawedeng berhasil menggorok leher Sri Baduga. Namun, teriakan Patih Gajah Mada mengalihkan konsentrasi Rawedeng. Dalam keadaan sekarat, Sri Baduga memanfaatkan waktu membela harga diri kerajaannya. Di medan laga kali terakhir itu, Sri Baduga berhasil menikamkan keris ke tubuh Rawedeng. Keduanya meregang nyawa, meninggalkan sesal bagi Mahapatihnya.
Dyah Pitaloka pun muncul dengan penuh kesedihan. Merasa putus asa, Dyah Pitaloka pun melakukan bela pati (bunuh diri) dengan keris kebanggan yang di-anggar ayahandanya. Patih Gajah Mada begitu menyesali kejadian yang tak sesuai rencana. Dengan ceracau penuh sesal, Patih Gajah Mada pun menanggalkan satu per satu pakaian kebanggaannya. Tanda tak pecusnya Mahapatih memimpin diplomasi. Ending pementasan yang menandai cerita lengser-nya Gajah Mada dari jabatan Mahapatih Majapahit.
Pengemasan cerita peristiwa Bubat mendayu, sesuai dengan kondisi zaman. Mengembangkan sebuah asumsi lain dari beragam interpretasi kesejarahan yang salah satunya bersumber dari Pararaton. Tentu saja yang diperkaraan bukan prihal hipotesis kebenaran sejarah. Namun, pengemasan cerita perang Bubat dalam panggung pertunjukan. Sebuah otoritas penulis naskah untuk menonjolkan satu aspek dan menanggalkan kompleksitas interpretasi kesejarahan lainnya. Lebih pada kemudahan kemasan cerita yang sederhana dan ringan dicerna.
Penyederhanaan juga terjadi dalam pemakaian bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan lebih sederhana dan mudah diterima kalangan milenial. Yang sedang berjarak dengan identitas Kejawaannya sendiri. Mungkin, memang ditujukan untuk memperluas segmentasi penonton. Dengan konsep pertunjukan kethoprak yang lebih segar dan ringan. Tak terlalu anut runtut konsep pertunjukan masa silam. Terwujud pula pada suguhan tari kontemporer pembukaan acara. Tak seperti, tari tradisional sewajarnya pembukaan acara kesenian tradisional. Pergeseran yang ikut terbawa kondisi zaman yang bergerak modern.
Mencari Jalan Lain
Nampaknya, pertunjukan yang diselenggarakan KKTT Wiswakarman memang berada pada garis pembaharuan. Kesenian kethoprak berusaha diaktulalisasikan dengan alam pikir para kreator, yang umumnya mahasiswa. Stereotipe nalar kritis pada mahasiswa pun dibawa dalam garapan. Kepekaan melihat stagnasi kesenian Kethoprak dicoba untuk digerakan. Dengan berani mengambil langkah garapan yang berbeda. Begitu pula dengan keberanian mencoba mentradisikan peristiwa pasca pertunjukan yakni adanya jagongan karya.
Sayangnyam jagongan karya yang belum mentradisi dalam pertunjukan kethoprak mendapat porsi yang terlampau pendek. Belum lagi porsi pembedahan karya yang teramat fokus pada problematika internal organisasi. Bukan pada apresiasi dan interpretasi karya yang dipertunjukan. Namun, secara samar proses dan motif dibalik pertunjukan sudah diberikan ruang transmisi bagi penonton. Stigma kekakuan “tradisional” dapat diretas dengan adanya jagongan karya yang dipantik oleh Naufal Bahaudin Wafi sekaligus sebagai asisten sutradara. Penonton awam yang terlampau menganggap unsur kethoprak sangat kaku mendapat timbal balik jawaban. Bahwa segala macam aspek dalam pertunjukan kethoprak tak ubahnya pertunjukan lainnya. Urusan estetika dan fungsional dalam pertunjukan bersifat fleksibel. Nut ilining zaman. Hal tersebut disampaikan oleh Dwi Mustanto sebagai penanggap pasca pertujukan kala itu.
Pengembangan dalam kesenian Kethoprak adalah hal mutlak yang perlu dilakukan untuk menjaga antusiasme penonton. Begitu pula kritik evaluatif penyebaran anak panah saat adegan awal perngepungan pasukan Pajajaran di tanah lapang Bubat. Dwi Mustanto menilai, gebyar yang ditampilkan dari hujan anak panah terlampau beresiko. Arena pementasan Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta yang kala itu mengalami kebocoran sebab guyuran hujan, ditambah ceceran puluhan anak panah dapat menciderai pemain dan membatasi ruang gerak. “Mengapa anak panah tak dijatuhkan secara berkala?” Kata Dwi Mutanto.
Tokoh Rawedeng yang sebenarnya menarik untuk diulas mendalam pun hanya mendapat porsi sekadarnya dalam jagongan. Pembahasan itu hanya muncul dari Benedictus Billy saat mengungkapkan alasannya menambahkan tokoh Rawedeng. Sebenarnya, Rawedeng (Ra Wedeng) yang dalam kitab Pararaton disebut sebagai salah satu Dharma Putra dapat memantik perbincangan yang lebih panjang nan asyik.
Kehendak untuk sedikit bergeser ke ruang estetika modern inipun nampaknya menimbulkan beberapa problematika lain. Fokus tim produksi pun sedikit buyar, sebab harus memikirkan gebyar yang tak seperti umumnya. Sehingga, penggarapan aktor, kesatuan musik dan adegan, serta managerial pertunjukan kurang tersentuh maksimal.
Mulai dari pertimbangan resiko suara metal dari gamelan dengan vocal pemain, penghayatan keseluruhan pemain, mimik dan gestur aktor, kerapian make up dan kostum, bloking pemain, hingga kelaziman tokoh Sri Baduga yang memakai sandal merek Adidas. Begitu pula dengan keterkaitan tokoh banyolan sebagai salah satu babag khas kethoprak yang seolah terpotong dari narasi pertunjukan. Tokoh Dudung (Agus), Dadang (Andhika), Endang (Tyas), dan Darsinah (Icha) seolah melepaskan relasi kuasanya dengan sang Ndara. Terlampau melepas unsur normatif relasi antara bawahan dan majikan.
Di tengah fenomena hilangnya penonton kethoprak, memang perlu dilakukan pembaharuan. Yang tentunya memerlukan kerja dua kali. Kesenian tradisional kethoprak yang ber-pakem akan menimbulkan problematika tersendiri. Posisi kreator harus pandai-pandai menempatkan posisi atas tegangan tradisionalitas dan modernitas. Mengutip ulasan Tirto Suwando dalam koran Kedaulatan Rakyat (1989) bahwa kethoprak hendaknya tetap membawa nilai khas budaya, merakyat dan tetap bersejarah. Dengan jalan mengadakan kerja kolaboratif dengan ahli sejarah, ahli tata setting, ahli tata busana, ahli dramaturgi, dan tentu saja ahli bahasa[i].
Ada satu titik yang enak dipandang. Kethoprak Mahasiswa, KKTT Wiswakarman telah berani mengadakan jagongan karya, meminta khalayak ikut memikirkan proses kreatif sebuah pertunjukan kethoprak. Sekaligus nasib kesenian kethoprak di tengah arus perkembangan zaman. Keresahan yang juga pernah dicurahkan dalam pentas monolog oleh Gigok Anurogo[ii], dapat kembali dibaca ulang para penggiat kethoprak mahasiswa. Seingga, kethoprak dengan segala carut marut upaya pelestariannya dapat segera dirumuskan oleh kelompok kolektif mahasiwa. Dan semoga pentas kethoprak tak hanya disaksikan para bidadari di Swargaloka saja!
[i] Suwondo, T. (1989). Kethoprak Modern Tinggalkan Ciri Tradisional? Kedaulatan Rakyat.
[ii] Ardhi N, I. (2022, August 24). Monolog KIDUNG PANGGUNG: Nyanyian dari Sudut Bangkrut | gelaran.id. Gelaran.Id. https://gelaran.id/monolog-kidung-panggung-nyanyian-dari-sudut-bangkrut/