Untuk Aku, Pertunjukan bukan sekedar “curhat”
[Nabilla Zainal]. Tanggal 15 Desember 2021 lalu aku menonton pertunjukan yang memang sudah kutunggu-tunggu sejak awal kemunculan posternya. Pertunjukan tersebut bertajuk “SEPANGGUNG”, menampilkan karya dari lima koreografer muda Lampung, yaitu Diantori, Ayu Permata Sari, Ari Ersandi, Ahmad Susantri dan Dian Anggraini. Tentu ini menjadi pertunjukan yang cukup fenomenal untuk mengakhiri tahun 2021, apalagi para penonton memang sudah rindu berkumpul dan menyaksikan pertunjukan secara langsung. Cukup lama kita terpisah karena badai pandemi covid-19. Begitupun aku, aku yakin sekali lima koreografer ini telah mempersiapkan karyanya dengan matang. Penonton yang hadir membludak memenuhi studio Gardancestory, malam itupun terasa begitu hangat.
Penampilan demi penampilan aku nikmati. Beberapa menyihirku beberapa juga menyisakan tanya. Aku dikejutkan dengan penampil yang menyebut namaku. Ahmad Susantri (Susan) sebagai penampil keempat mengucapkan terimakasih kepadaku di tengah pertunjukannya. Pada pertunjukan kali ini Susan membawakan karya dengan judul “Untuk Aku” sebuah ungkapan terima kasih dan cerita perjalanannya yang kemudian ia kemas dalam sebuah pertunjukan. Susan sahabatku itu memang senang bercerita. Selain sebagai penari dan koreografer dia juga sering dipercaya sebagai pemandu acara, sehingga dalam proses kreatif berkarya ia sering memadukan keduanya. Hal ini yang kemudian disebutnya dengan istilah dance theater.
Entah disengaja ataupun tidak, dengan menyaksikan beberapa karya Susan ia seperti mem-branding dirinya sebagai koreografer yang menyuarakan isu Bullyng. Karya-karya sebelumnya dapat teman-teman saksikan di youtube chanel : Ahmad Susantri. Pertunjukan kali ini diawali dengan sapaan kepada penonton. Setelah menyapa penonton, kemudian Susan membawa masuk beberapa properti yang diletakan di sudut kanan panggung dan ia juga membawa beberapa lembar kertas di tangannya, sepertinya kertas yang ditangannya itu berisi cerita yang akan dibacakan. Benar saja, ia membacakan cerita dari kertas yang ada di tangannya, cerita tersebut dibagi ke dalam beberapa Chapter.
Chapter pertama diawali dengan penjelasan tentang kegiatan Susan saat ini di Liwa, kota kelahirannya. Susan baru kembali dan tinggal di Liwa lagi satu tahun belakangan ini, setelah merantau dalam rangka menuntut ilmu dan bekerja di Yogyakarta, kota yang amat dia cintai dan mengajarkan banyak hal selama delapan tahun. Berdalih pemanasan, Susan mengawali rangkaian gerak dalam karyanya dengan senam poco–poco, ternyata hal ini merupakan informasi kepada penonton bahwa saat ini ia adalah seorang guru senam, profesi baru yang dinikmatinya. Dalam narasi yang dibacakan, selain karena senam juga gerak, melalui senam Susan dapat mengajak orang-orang untuk merasakan apa yang saat ini ia rasakan melalui lagu yang digunakannya. Dengan keahlian koreografi yang dimiliki, ia mampu membuat semua lagu menjadi lagu senam, tentu saja dengan pembawaanya yang unik.
Cerita ia lanjutkan dengan bagaimana ia menghabiskan waktunya di Liwa. Dengan mengutip semboyan “Mensana In Corpore Sano” yaitu di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Maka Susan tak hanya ingin menjadi ‘guru senam’ untuk memenuhi tubuh yang sehat tadi. Susan memenuhi jiwa yang kuat tersebut dengan memutuskan untuk juga membagikan ilmu tari yang dimilikinya. Kembali ke Liwa sejak merantau dari Yogyakarta berarti kembali ke Setiwang. Sebuah Sanggar tari di Lampung Barat yang pertama kali mengenalkannya pada dunia tari. Susan mengabdikan dirinya sebagai salah satu pengajar di Setiwang. Susan juga bercerita tentang bagaimana terimakasih dan rindunya kepada bapak dan ibu Nyoman, pemilik Sanggar yang saat ini sudah menetap di Bali. Hal ini ia ceritakan seraya berganti pakaian, dari yang sebelumnya mengenakan pakaian olah raga dengan warna yang begitu nyentrik, kali ini Susan menggantinya dengan kaos berwarna pink, kain berwarna biru cerah bermotif bunga lengkap dengan korset, seperti akan latihan menari. Setelah siap dengan pakaian latihan, pertunjukan dilanjutkan dengan penampilan salah satu karya tari dari Sanggar Setiwang, yaitu tari Sembah Batin. Sebelum mulai, Susan mengajak penonton untuk menari bersamanya. Terlihat sepertinya Susan ingin menularkan rindu, beberapa penari Setiwang yang kini merantau di Bandar Lampung pun seperti tersedot naik ke atas panggung dan ikut menari bersama Susan. Seusai menari mereka berpelukan, sepertinya Susan sukses mentransfer rindu itu kepada mereka.
Susan juga bercerita bahwa ia selalu dianggap sebagai pusat perhatian di setiap lingkarannya. Dugaannya mungkin karena ia selalu mengenakan baju-baju cerah bertabrak motif sehingga ia selalu menjadi perhatian banyak orang. Namun kemudian hal itu juga dibantahnya, menjadi perhatian ternyata tidak selalu baik. Terkadang dia tertuntut untuk selalu ceria, padahal Susan hanya manusia biasa yang juga memiliki mood swing. Hingga akhirnya di tahun 2021 ini Susan bersahabat dengan baju-baju berwarna gelap. Mungkin penonton atau siapapun hanya menganggap ini perihal baju, jauh di balik itu Susan memikirkan setiap makna dari pakaian yang ia kenakan. Ternyata dengan warna hitam Susan lebih bisa meresapi kedalaman, “hitam tak selalu kelam” ucapnya. Sesekali ia juga butuh merasakan kegelapan dari sekian banyak terang yang ia ciptakan. Tentu saja ini menstabilkan hidupnya. Cerita ini ia ucapkan seraya berganti pakaian, baju latihan yang semula begitu ceria berganti menjadi baju dan celana berwarna hitam.
Susan bermain dengan simbol, disadari atau tidak adegan berganti pakaian yang mungkin bagi kita adalah hal biasa bahkan menganggu ketika itu disaksikan di atas panggung, merupakan sebuah transisi alur pertunjukan. Seketika suasana pertunjukan pun berubah menjadi haru, hal ini didukung ketika Susan tampak sambil menahan air mata membacakan narasi yang berisi tentang ucapan dari seorang sahabatnya: “gak papa kok kalau kamu mau sedih, kalau kamu hancur, nikmatin saja toh kamu juga manusia”. Ya, Susan yang selalu ceria tak jarang mendapatkan bully dan pressure dari keunikan dan ke-feminime-an dirinya tersebut. Pressure yang ada di hidupnya kali ini mengingatkannya pada Yogyakarta, tempat di mana dia bisa bebas berekspresi tanpa hujatan dari sana-sini. Hal ini terlihat ketika Susan mengajak penonton bersama-sama menyanyikan lagu miliki Adhitya Soffyan dengan Judul “Sesuatu di Jogja”.
Seusai bernyanyi bersama, pertunjukan ia lanjutkan dengan penampilannya menari diiringi lagu kesukaannya, yaitu lagu miliki Yura Yunita dengan judul Tutur Batin. Pada koreografi lyrical dance kali ini Susan tak lagi ceria, ia menumpahkan perasaan yang sepertinya related dengan lirik lagu tersebut. Penonton terdiam, dia benar-benar curhat di koreografi ini. Keunikan ketubuhannya pun menambah kesan penonton. Setelah itu Susan melanjutkan narasinya dengan mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang menurutnya berjasa di hidupnya, terlebih belakangan ini. Ada beberapa nama yang dia sebut, nama-nama orang yang belakangan ini memang sering muncul di instastory-nya. Masih dalam suasana haru, Susan kembali berganti pakaian tabrak motif yaitu baju polkadot dan rok kotak-kotak. Untuk meredam perasaan harunya Susan mengalihkannya dengan menjelaskan harga dari setiap outfit yang ia kenakan.
Kemudian susan meletakan beberapa kursi menjadi setting yang sederhana, Susan seperti membawa penonton untuk masuk ke dalam sebuah club menikmati minuman bersama dan mendengarkan lagu kesukaannya. Kali ini ia memilih lagunya Tulus dengan judul Matahari, lagu yang cukup asyik untuk membangun suasana di ending pertunjukan. Ia juga meminta beberapa penonton untuk maju menemaninya menghabiskan pertunjukan yang sedari tadi ia mulai. Masih terbawa haru, kedua sahabat yang tadi disebut namanya pun naik ke atas panggung, aku adalah salah satunya. Disusul dengan seorang sahabatnya lagi yang kemudian menggenapi penampilan kami di panggung. Tanpa koreografi yang direncanakan, kami berempat larut dalam bahagia dan haru seperti sedang merayakan kebahagiaan Susan dengan sederet cerita panjangnya malam ini. Lagu berakhir, kamipun berpelukan dan setelah itu turun dari atas panggung menyisakan Susan sendiri. Ia mengakhiri pertunjukannya dengan ucapan terimakasih.
Itulah Susan, seorang mood influencer. Dia memang mampu meng-influence penonton dengan perasaan yang sedang dirasakannya. Memang tidak ada susunan gerak yang tampak dikonsep matang oleh Susan, namun karyanya mampu menjadi rehat dan hiburan kepada penonton yang sejak tadi sangat chaos dengan pertanyaan-pertanyaan pada karya-karya sebelumnya. “Untuk Aku” kali ini mungkin membingungkan banyak orang, apakah pertunjukan tersebut disebut tari? Apakah tidak ada susunan koreografi gerak yang dirancang dengan matang juga merupakan bentuk sebuah koreografi? Bukankah penampilan Susan kali ini tidak lebih dari sebuah bentuk pre-asosiasi atau dengan kata lain curhat? Silakan berpendapat apa saja.
Namun di balik itu semua dalam tulisanku kali ini ada hal yang cukup penting yang ingin aku sampaikan. Karya “Untuk Aku” mengingatkanku kepada buku ‘Unlimited Power’ milik Anthony Robbins. Di sana Robbins membahas NLP. Sudah pernah dengar kah teman-teman semua dengan NLP? Ya mungkin ini bukan hal baru bagi beberapa orang, namun apa hubungannya dengan tari dan dengan karya Susan kali ini? Mari kita selesaikan membaca tulisan ini.
NLP merupakan singkatan dari Neuro Linguistic Programing. Neuro mengacu pada syaraf atau otak, Linguistic mengacu kepada bahasa sedangkan Programing berarti sebuah perencanaan atau prosedur. Dengan kata lain NLP adalah studi tentang bagaimana bahasa, baik lisan maupun nonlisan yang kemudian mempengaruhi sistem syaraf kita. Dua orang yang paling bertanggung jawab akan NLP adalah Jhon Grinder dan Richard Bandler. Grinder adalah seorang ahli bahasa, salah satu yang paling terkemuka di dunia. Sedangkan Bandler adalah seorang ahli matematik, ahli terapi, Gesalt dan pakar komputer. Keduanya memutuskan untuk menggabungkan kemampuan mereka untuk sebuah tugas unik yaitu mempelajari model orang-orang yang terbaik di bidang apapun yang mereka tekuni. Model-model tersebut yang kemudian diterapkan polanya kepada orang lain, dengan harapan semua akan bisa mencapai tujuan dengan menggunakan model yang sama dengan orang yang telah mencapai sukses. Hal inilah yang kemudian disebut NLP.
NLP mempelajari bagaimana seseorang berkomunikasi dengan dirinya sendiri. kemampuan kita untuk melakukan apapun dalam kehidupan ini adalah didasarkan pada kemampuan kita untuk mengarahkan sistem syaraf kita sendiri. Mereka yang mampu menghasilkan suatu hasil luar biasa, melakukannya dengan menghasilkan komunikasi yang cukup spesifik kepada dirinya melalui sistem syarafnya. Kita bisa mengingat betapa Susan mengalami tekanan hidup yang cukup besar, dengan keunikan dan sifat feminin yang ia miliki tak jarang ia menjadi korban Bully. Ketika berhasil berdamai dengan tekanan yang ia alami dalam waktu yang cukup lama, Susan kembali menghadapi masalah. Yogyakarta yang dulu menjadi tempat tinggalnya selama menempuh pendidikan, yang kemudian menjadi support system terbaik untuk ia berdamai dengan bully yang dialaminya sejak ia kecil pun harus ditinggalkan. Tahun 2020 Susan harus pulang ke Liwa dan memulai kehidupan barunya (sekaligus kehidupan lamanya), tentu ini menjadi culture shock yang luar biasa. Telah diceritakan juga di atas bagaimana ia memulai kembali hidupnya di Liwa dan berdamai dengan semua itu melalui karya “Untuk Aku”.
Susan berhasil memprogram sistem syarafnya. Sadarkah kita bahwa metode bercerita yang diberikan Susan dalam karya kali ini bukan sekedar bercerita kepada penonton melainkan ia sedang berdiskusi dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Susan sedang memprogram sistem syarafnya untuk menerima hal-hal yang belakangan ini terjadi dalam hidupnya. Robbins mengatakan pada dasarnya kita semua memiliki neurologi yang sama, jadi jika seseorang dapat melakukan sesuatu yang mengubah hidupnya maka sudah seharusnya anda juga bisa melakukan hal tersebut, jika anda mengelola sistem syaraf anda dengan cara yang persis sama. Lalu proses menemukan kesamaan apa yang orang lain lakukan untuk menghasilkan hasil spesifik, disebut juga dengan mempelajari model.
Melalui sebuah karya seni tentunya kita mengharapkan mendapat sebuah informasi, baik tentang kemasan baru mengenai bentuk kebudayaan, perwujudan issue sosial dalam karya, kegelisahan seniman atau bahkan metode seniman dalam berkarya. Hal ini lah yang kemudian aku dapatkan saat menyaksikan “Untuk Aku” karya Ahmad Susantri dalam gelaran “Sepanggung”. Seringkali aku mendengar kata dance healing atau dance for healing, hal inilah yang kemudian aku baca sedang Susan lakukan untuk berdamai dengan segala pilihannya. Salah satu prinsip dari NLP adalah bahwa jika suatu hal “mungkin” bagi orang lain di dunia ini maka hal itu juga “mungkin” untuk kita. Begitulah juga dengan “Untuk Aku”. Ketika Susan dapat menempatkan karya-karyanya sebagai obat akan kejadian-kejadian yang dialaminya, kesedihan yang terus didialektika sampai kebahagiaan yang dirayakan dalam karyanya. Maka kita juga bisa melakukan hal tersebut dengan meniru apa yang Susan lakukan. Susan dan karyanya pun menyatu. Di sini aku memahami bahwa banyak cara untuk menikmati karya seni, termasuk bagaimana aku melihat Susan yang berhasil berdamai dengan dirinya, dengan terus menerus berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan memprogram sistem kerja syarafnya untuk bertahan dan terus maju. Hal tersebut yang kemudian dikemas dalam sebuah karya yang menghibur banyak orang.
Sudah baca yang ini?:
- Untuk Aku, Pertunjukan bukan sekedar “curhat” - 25 Desember 2021