Perhelatan Resepsi: Kilasan dan Ulasan Sandiwara Sandilara
[Imamah Fikriyati Azizah]. Aku larut dalam cerita sampai ragu-ragu untuk mengulasnya. Sembari menulis, sembari kucari larutku di mana. Padahal, alur cerita yang disuguh sesungguhnya tidak spektakuler, tidak juga mewah, tidak dibalut dialog-dialog melankolis nan romantis. Alur cerita yang bagiku sungguh biasa saja sebab biasa terjadi pada para dewasa perempat abad, para usia produktif yang dianggap siap untuk berumah tangga. Aku termasuk salah satunya.
Namun demikian, sembari bersila menikmati adegan demi adegan teater Sandilara, saat muncul tokoh Bagus yang sedang gelisah lantas kedatangan para mantan di benaknya, aku merasa tergerak untuk berbagi perasaan dan pendapatku saat menyaksikan lakon “Resepsi: Sandiwara ‘Baiknya Bagaimana’ atawa Rembugan” yang dihelat oleh teater Sandilara di kedai teater Triyagan, Sukoharjo.
Perhelatan tersebut digelar dua hari, Rabu dan Kamis, pada 24 dan 25 Juli 2024. Kusebut “helat” alih-alih “pentas” sebab rasanya seperti menghadiri satu acara dalam dua makna: ya resepsi pernikahan, ya resepsi pementasan. Aku memilih hari pertama; datang tanpa terlebih dahulu membaca booklet, sengaja ingin untuk tidak diantar oleh latar belakang, sengaja ingin untuk tidak mengenal satu per satu pemain kecuali yang sudah terlanjur kukenal. Cukup bagiku informasi teater Sandilara berpentas untuk kali pertama usai salah satu pendirinya, Idnas Aral, tak lagi bujang. Maka, aku datang. Lalu tulisan ini barangkali tidak akan benar-benar terbaca seperti ulasan.
Sandilara yang Lalu, Kini, dan yang Akan Datang
Kelompok teater Sandilara terbentuk pada 2013, sedangkan pentas pertama yang kusaksikan adalah lakon “Mlarat” pada tahun 2016. “Mlarat” adalah pementasan paling kontemplatif yang pernah kulihat, saat itu usiaku masih awal 20-an. Barulah “Sri! Sebuah Mencari” pada 2017 yang tidak kalah kontemplatif, sebuah renungan bagi manusia yang memijak bumi.
Tahun 2017 adalah tahun pertama bagi Sandilara melebarkan ketersampaian gagasan melalui media tulis secara cetak. Kelompok ini selalu meyakini bahwa seni adalah media, bukan tujuan itu sendiri. Segalanya bermula dari gagasan yang kemudian diungkapkan melalui berbagai cara. Sandilara memilih mewujudkannya dalam lakon drama, mencetak koran cilik Medan Prihatin, serta mendirikan penerbitan bernama Ad Hoc Pustaka. Kiranya ada belasan buku yang lahir melalui Ad Hoc Pustaka, buku-buku yang ditulis oleh para anggota Sandilara. Mereka tidak hanya unjuk diri di panggung drama, tetapi juga di halaman demi halaman, di kata demi kata.
Ad Hoc Pustaka tidak panjang usia. Buku terakhir yang diterbitkan Ad Hoc Pustaka, tahun 2020, berjudul Lelaki yang Tinggal di Selangkangan Kota, buku yang ditulis oleh Idnas Aral; penulis, sutradara, dan tokoh Bagus pada lakon “Resepsi: Sandiwara ‘Baiknya Bagaimana’ atawa Rembugan“. Cerita tentang Sandilara yang lalu ini mengantarku tiba di kini. Pada Rabu sore, saat aku melintas jembatan Mojo dari arah Surakarta menuju Sukoharjo untuk menonton perhelatan Sandilara, aku teringat salah satu judul cerpen Idnas Aral, “Lelaki yang Tinggal di Selangkangan Kota” yang termaktub di buku dengan judul yang sama. Ada kalimat begini:
Jadi, dulu kalau dari Surakarta mau ke Bekonang di siang hari, setelah melintas jembatan Mojo, dapat kita rasakan perubahan suhu udara secara drastis. Langsung adem. Aku sampai mengumpamakan Surakarta itu Padang Mahsyar, terus jembatan Mojo itu Sidratulmuntaha, kali ya. Nah, sesampai di jalan ini, yang dulu dilingkungi sawah, kita boleh, dong, merasa sedang menghirup udara surga. Tapi itu dulu (Aral, 2020:44).
Persis. Saat melintas, meski tidak terjadi pada waktu dahulu, aku merasa adem. Jembatan ini seperti melegakanku dari keramaian Surakarta menuju jalanan Sukoharjo yang membelah sawah. Dan ingatan tentang tulisan di buku yang telah kusebutkan, ternyata tidak berhenti pada demikian. Saat tokoh Bagus dikeroyok para mantan yang lalu-lalang di pikiran, aku justru teringat May, Rinjani, Gita, Wigati, atau juga Re. Mereka adalah nama-nama tokoh perempuan di buku-buku tulisan Idnas Aral. Hahaha, padahal jelas-jelas Bagus menyebut deretan para mantan dengan nama Cyan, Magenta, Yellow, dan Key yang sekaligus menjadi kodebagi bagian perlampuan.
Setelah tiga tahun tidak mengikuti pementasan-pementasan Sandilara, menyaksikan Sandilara bereksperimen dan mengeksplorasi panggung “Resepsi: Sandiwara ‘Baiknya Bagaimana’ atawa Rembugan“, rasanya seperti memutus rentang panjang berpuluh bulan tak menyaksikan. Semula, kukira akan membandingkan Sandilara yang lalu dan kini; seumpama dengan tega mencacat pemain yang lidahnya terpeleset satu huruf saja, misalnya berharap ada musik gamelan mengalun saat tokoh Bagus dan Ayu duduk di kursi pelaminan, atau menanti-nanti dialog mencekik yang biasanya sampai menyerang psikis. Aku tidak begitu. Rupanya, Sandilara yang kini tetap memiliki kekhasan yang tak dimiliki Sandilara yang lalu. Sandilara yang kini terasa lebih membuka diri, lebih membaur, dan terdapat kesan lebih muda.
Sandilara tetap mengangkat kisah seputar masyarakat kelas menengah ke bawah (bila boleh mengotakkan), realita sosial, dan kegelisahan yang akrab dirasakan, tetapi kerap sulit diartikulasikan. Sandilara, utamanya Idnas Aral, satu-satunya pendiri yang masih menghidupkan Sandilara, masih bertahan menggunakan formula penulisan naskah bertolak dari anggota yang ada. Naskah ditulis dengan segar sembari membayangkan si A jadi siapa, si B orang yang bagaimana. Modal kreatif yang dipertahankan ini, membuatku yakin bahwa Sandilara yang akan datang akan terus tumbuh sebagai kelompok yang lebih luwes, baik dalam hal garapan, maupun identitas kelompok.
Resepsi yang Fiksi dan yang Fakta
Sandilara berhasil mendobrak jarak antara pemain dan penonton. Panggung yang mulanya proscenium centris, berhasil dieksplorasi dengan menjadikan penonton terlibat sebagai aktor dan/atau aktris dalam skenografi circular layaknya posisi rembukan. Meski pola peleburan pemain dan penonton bukanlah hal baru, tetapi tetap mengejutkan ketika mendapati penonton menjadi pemain dadakan yang terlibat langsung meski tanpa naskah tertulis. Pelibatan ini tentu sudah masuk skenario sutradara. Untuk menjaga alur cerita dan ke(b)utuhan visual, maka telah tersebar undangan kepada calon penonton “Resepsi: Sandiwara ‘Baiknya Bagaimana’ atawa Rembugan” yang berisi imbauan untuk mengenakan “baju batik/ formal atau baju yang sekiranya dipakai untuk menghadiri rapat atau musyawarah desa” (dikutip dari undangan yang dikirim oleh Ketua Muda-Mudi Sandilara).
Hal yang paling tidak henti mengundang tawa adalah ketika tokoh pakdenya Bagus mendadak menunjuk penonton untuk memerankan bapaknya Bagus. Dalam situasi rembukan pra-pernikahan, sudah pasti bapaknya Bagus dilibatkan dalam rembukan. Situasi menjadi tegang karena Ayu, mempelai wanita, enggan ikut rembukan. Ayu yang berharap menikah dalam sakralitas akad harus menelan ludah karena bapak-ibunya tergiur rayuan wedding organizer untuk me-wah-wah-kan pernikahan. Ironisnya, bapak-ibunya juga berniat mengambil untung dari prosesi ini. Sementara itu, keluarga Bagus tidak mau membebani diri dengan berutang atau jual harta demi membantu terkabulnya keinginan bapak-ibunya Ayu.
Ayu yang mendengar keributan di rembukan, menerobos untuk mengembalikan cincin pertunangan pada Bagus. Ayu merasa malu, merasa harga dirinya terbeli oleh keserakahan bapak-ibunya untuk mengadakan pesta pernikahan. Terdesak situasi, Bagus pun memohon pada bapaknya agar diizinkan menjual tanah. Bapaknya Bagus, si penonton yang barangkali tidak mengira akan dijadikan aktor dadakan, hanya bisa turut bersandiwara sambil menahan tawa.
Bapak dan ibu Ayu kebingungan, pernikahan mewah terancam batal, sedang bayangan memiliki banyak uang dari sumbangan sudah terlanjur diharapkan. Dalam suasana rembukan, bapaknya Ayu meminta pendapat hadirin dengan melontar tanya baiknya bagaimana. Si aktor dadakan, bapaknya Bagus, akhirnya angkat bicara, “Niki wau padu niku kěpénginé jěněngan napa kěpénginé Ayu?” (Pertengkaran ini sebetulnya keinginan Bapak atau keinginan Ayu?). Bapaknya Ayu, aktor Sandilara, dengan ekspresif dan profesional menjawab, “Nèk padu nggih mbotěn kěpénginané sintěn-sintěn, ta, Pak.” (Kalau bertengkar ya bukan keinginan siapa pun, Pak). Seolah dibuat sadar atas kelucuan percakapan yang dilontar si aktor dadakan, gelak tawa sontak menyambut dan mewarnai suasana rembukan. Kemampuan Naim, pameran bapaknya Ayu, perlu diacungi. Ia tidak terdistraksi lawan mainnya, tetap bijak mengelola emosi, memiliki kesadaran percakapan, dan bertanggung jawab atas peran yang ia lakoni. Meski aku yakin betul, dalam hatinya pun juga bergejolak ledakan tawa.
Pada akhirnya, cerita ditutup dengan bapak dan ibu Ayu yang menyerah pada keinginan mereka. Maka menikahlah Bagus dan Ayu dalam kesederhanaan, dalam sakralitas yang tidak perlu neka-neka, tidak dalam budaya resepsi yang sudah tidak hanya hilang adat, tetapi juga asal ikutan tren. Pernikahan menjadi objek kecemasan bagi para muda-mudi yang takut bila dianggap berbeda dan tertinggal, alias fear of missing out (fomo).
Kurasa, aku sudah tahu mengapa aku larut di cerita, atau lebih tepatnya larut di suasana. Kupikir, inilah pesan sekaligus energi terbesar yang disampaikan oleh Idnas Aral, si penulis, sutradara dan pemain di lakon ini. Ia dengan berani mendobrak budaya resepsi yang hilang sakralitas, tetapi kerap dipaksakan untuk diada-adakan. Sandilara, melalui Bagus (Idnas Aral atau Idham Ardi) dan Ayu (Ijo atau Dewi Asih), mempelai pria dan wanita dalam lakon “Resepsi: Sandiwara ‘Baiknya Bagaimana’ atawa Rembugan” sekaligus dalam kehidupan nyata, berhasil mengkreasi dan mengemas perhelatan pernikahan dengan cara mereka sendiri. Maka sebagai penutup, aku yang larut dan turut berbahagia mengucap selamat menikah, semoga sakinah, pada Bagus dan Ayu, pada Idham Ardi dan Dewi Asih.
- Perhelatan Resepsi: Kilasan dan Ulasan Sandiwara Sandilara - 9 Agustus 2024