PROSES ‘MENEMUKAN’: REFLEKSI MENGIKUTI FORUM PRODUSER
Refleksi ini dituliskan berdasarkan pengalaman dalam dua forum produser yang saya ikuti secara berturut-turut, Workshop Produser Seni Pertunjukan yang dilaksanakan di Yogyakarta dan Jakarta Producers Meeting yang dilaksanakan di Jakarta. Bagi saya meski kedua forum ini saling berhubungan, ada konteks dan pengalaman yang berbeda yang perlu dituliskan secara spesifik. Maka, saya membagi tulisan ini menjadi dua bagian.
Workshop Produser: Ruang Menemukan Teman Seperjalanan (Yogyakarta)
Pagi itu, saya dibayang-bayangi kekhawatiran tentang proses workshop yang akan saya hadiri di Yogyakarta. Hampir tidak pernah dalam proses kerja selama ini saya melabeli diri sebagai produser. Ini bukan hal yang baru, diskusi semacam itu seringkali muncul dalam obrolan-obrolan warung kopi dengan beberapa teman. Ada banyak pertanyaan yang hadir, namun salah satu yang mengganjal adalah bagian mana yang harus saya ceritakan dalam sesi presentasi praktik?
Dalam prosesnya kemudian, saya melihat bagaimana fasilitator, Muhammad Abe dan Keni Soeriaatmadja (Bubu Keni), mewadahi praktik-praktik keproduseran peserta yang konteksnya berbeda-beda itu. Keberagaman yang muncul justru menyadarkan bahwa kita tidak sendiri dalam perjalanan ini dan justru masing-masing dapat memetakan praktik mana saja yang terasa terhubung. Ini menjadi penting dalam praktik keproduseran kami karena keterhubungan tersebut bisa jadi dapat mendukung apa yang sedang kami kerjakan. Maka, meski dengan perasaan yang asing dan berjarak atas label ‘produser’, saya merasa lingkaran ini memberikan ruang untuk menerima perasaan asing itu dengan hangat.
Di hari pertama, Pak Lorens Hardi Pranoto memberikan materi seputar konsep manajerial dan perancangan proyek: bagaimana suatu proyek dikerjakan secara ideal dan rapi. Saya merasa sesi ini seakan menjadi cermin bagi praktik saya selama ini, yang jauh dari ideal. Tapi cerminan ini tidak terasa negatif. Justru pengetahuan dari sesi ini membawa pada kesadaran bahwa selama ini sudah banyak negosiasi yang kami lakukan untuk menutup celah-celah ketidakidealan yang ada.
Ini kemudian terhubung dengan sesi di hari kedua oleh Mas Yudi Ahmad Tajudin yang menawarkan sudut pandang kerja produser sebagai katalisator. Artinya, produser diharapkan menjadi sebab terjadinya perubahan, menimbulkan kejadian baru, atau mempercepat suatu peristiwa. Mungkin salah satunya berstrategi dan bernegosiasi dalam situasi yang tidak ideal tadi. Namun apakah posisi katalisator ini satu arah? Bahwa produserlah yang selalu berperan sebagai katalisator dalam satu peristiwa kesenian atau kebudayaan? Menariknya, jika dilihat dari contoh yang dihadirkan oleh Mas Yudi dalam salah satu bagian proyek Antar Ragam di Kecamatan Lewolema, Flores Timur, katalisator ini justru adalah posisi yang ‘saling’ serta tidak hierarkis antar orang-orang yang bekerja di dalam produksi tersebut. Bukankah produser terkadang menemukan gagasan dan strategi karena bertemu dengan orang-orang yang terlibat di dalam proses itu? Maka, dari sini terbaca bahwa produser juga membutuhkan katalisator yang dapat mempercepat kerja-kerjanya.
Salah satu cara menemukan katalisator yang juga diamini oleh narasumber di hari ketiga, Mbak Helly Minarti, adalah dengan berjejaring. Menariknya, dalam sesi ini Mbak Helly juga memberikan tawaran bagaimana berjejaring itu harus dimulai dari proses mengenali tubuh sendiri terlebih dahulu sehingga mampu menemukan posisi diri dalam semesta ruang kerja kita. Juga menerima bahwa terkadang momentum memainkan peran penting dalam kerja ini meskipun kemudian ada yang perlu diusahakan ketika momentum tersebut muncul agar dapat berkelanjutan. Hal lain yang menarik dari sesi ini adalah Mbak Helly menyoroti bahwa kerja produser merupakan kerja dengan energi karena kita berhadapan dengan manusia. Kadang kala kita perlu merelakan jika ada energi yang tidak beresonansi dengan kita. Bisa jadi suatu hari kita akan bertemu kembali dengan jejaring ini di resonansi yang tepat, bisa juga tidak akan pernah bertemu, tidak apa-apa. Kesadaran ini terasa sangat subtil, yang kemudian akan terkoneksi dengan pengalaman dalam sesi selanjutnya di Jakarta.
Jakarta Producers Meeting: Praktik Keproduseran yang Melebihi Pengetahuan (Jakarta)
Saya menikmati sarapan pertama menjelang forum di Jakarta, semeja dengan Sekar Putri Handayani dan Mbak Rama Thaharani. Sekar, bagi saya, adalah teman perjalanan yang nyaman untuk berbagi banyak hal baik dalam kerja kesenian maupun hal personal. Mbak Rama Thaharani, salah satu inisiator forum ini, secara personal saya baru benar-benar berkenalan tatap muka beberapa bulan lalu, namun bagi saya ada kehangatan yang selalu hadir ketika ‘ngobrol dengannya. Di meja itu entah kenapa saya selalu melontarkan ketidakpercayaan diri atas apa yang saya lakukan selama ini. Saya merasa apa yang kami lakukan selama ini terlalu kecil dan tidak patut dibicarakan terus-menerus, apalagi dipresentasikan di forum semacam ini.
Tiba-tiba Mbak Rama mengatakan, “Kalau kamu tidak percaya dengan kerja- kerja yang telah kamu lakukan berarti kamu tidak percaya dengan orang- orang yang membersamaimu, bekerja denganmu, dan mendukungmu?” Pertanyaan yang tidak hanya memprovokasi tapi juga mengusik kesadaran. Bagi saya ini benar-benar merupakan penanda awal bagaimana keseluruhan forum kali ini menjadi perjalanan “menemukan” yang sangat personal bagi saya.
Di hari pertama forum, ada pertanyaan kunci yang menarik dari Mas Ade Darmawan, “Ada di manakah posisi dan peran kita di tengah semua yang berjalan?” Setelah selesai sesi ini tiba-tiba saya merasa lega dan ringan. Dalam sesinya, Mas Ade Darmawan mengarahkan pemetaan posisi kita melalui penjelasan bahwa ekologi seni pertunjukan ini akan lengkap jika ada tiga hal yang terpenuhi: posisi kreasi, edukasi, dan apresiasi. Dalam setiap konteks kita perlu melihat mana posisi yang belum lengkap dan perlu dilengkapi. Mas Ade mencontohkan situasi di Jogja: seniman banyak, karyanya juga mungkin banyak, sehingga posisi kreasi sudah terpenuhi; namun bagaimana dengan edukasi dan apresiasi? Saya langsung merasa terkoneksi dengan penjelasan Mas Ade dan sangat berterima kasih karena merasa seperti dibantu dalam memetakan posisi saya dan hal-hal yang saya lakukan. Sejak lama pula saya memikirkan soal ruang: apakah ruang harus ideal dulu baru kita bisa melakukan sesuatu? Ternyata memang tidak; sampai kapan kita akan menunggu ruang menjadi ideal? Alih-alih menunggu bukankah akan menjadi lebih produktif jika memanfaatkan ruang yang ada dan belum ideal ini? Saya, sekali lagi, merasa terkoneksi dengan penjelasan ini. Tahun 2014 saya mulai mengerjakan ruang presentasi kecil di Yogyakarta, yang kami beri tajuk Paradance : Festival Mini Seni Gerak dan Tari. Saya ingat betul kenapa saat itu memutuskan membuka ruang ini, yaitu pada dasarnya seperti yang Mas Ade ceritakan: ada posisi yang belum lengkap di lingkaran tari saat itu di Yogyakarta. Mungkin puluhan seniman tari baru hadir dari lembaga-lembaga pendidikan di Yogyakarta setiap tahunnya, yang berarti bisa jadi ada potensi puluhan karya dapat dihasilkan setiap tahunnya. Lalu apa atau di mana kanal yang bisa menampung presentasi-presentasi karya baru ini? Yang masih raw (mentah), dengan seniman tari yang masih sangat awal berproses sehingga hasilnya belum diminati oleh festival-festival mayor? Dari sanalah kemudian Paradance dihadirkan, sebagai sebuah “festival mini” untuk seni gerak dan tari.
Saat itu, kendala yang kami hadapi seketika adalah ruang (baca: gedung, tempat pentas-red). Sumber daya keuangan yang tidak seberapa tentu tidak memungkinkan kami menyewa ruang ideal untuk pertunjukan tari yang visinya lebih ke arah kontemporer. Kemudian kami dibantu oleh komunitas dan warga di Balai Budaya Samirono–yang setahun kemudian peran dukungan ini disulih oleh Balai Budaya Minomartani–yang secara terbuka memperbolehkan kami memanfaatkan ruangnya. Ruang dalam bentuk pendopo dengan banyak tiang dan lantai keramik ini memang bisa jadi tidak representatif, namun kami bertanya ke dalam diri tentang pilihan mana yang ingin dibela: keberadaan ruang ideal secara harafiah (fisik-red) atau ‘ruang’ presentasi? Pada akhirnya kami merasa ‘ruang’ presentasi inilah yang lebih penting. Soal di mana dia dihadirkan, bisa dimulai dari sumber daya yang dimiliki dulu. Semuanya serba apa adanya, maka muncul pertanyaan: kenapa penting bagi seniman tari muda mengakses Paradance? Akhirnya dari sana pula kesadaran berjejaring hadir di diskusi kami. Kerja bersama jejaring inilah yang harapannya mampu mendukung proses teman-teman seniman tari muda mengembangkan karya dan mengakses jalan di skena tari. Pembahasan ini hadir juga dalam penjelasan Mas Ade belakangan bahwa jejaring tidak perlu dipaksakan tumbuh melainkan akan terjadi dengan sendirinya karena kebutuhan. Ini terkoneksi dengan penjelasan Mbak Helly di sesi forum di Yogyakarta: berjejaring adalah soal energi. Kalau kesadaran akan ‘tubuh kita’—dalam arti pemetaan posisi, tantangan, dan potensi kita—sudah utuh, maka dengan mudah kita akan dapat memetakan jejaring yang saling membutuhkan dan berpotensi terkoneksi.
Hari kedua dalam forum ini menghadirkan Mas Ugoran Prasad, yang berbicara tentang produser dan produksi wacana. Dalam sesi ini, June Tan, kolega kami dari Malaysia, melontarkan pertanyaan, “Jika produser dianggap sebagai enabler dalam suatu produksi, maka produksinya akan disabled jika produser tidak ada?” Ini bisa jadi benar di situasi tertentu karena memang ada produksi-produksi yang awal mulanya bertumpu pada produser. Sehingga ketika produser tidak ada, bisa jadi produksi atau inisiatif itu pun tidak terjadi. Namun, dalam prosesnya, bukankah akan lebih baik jika ada proses tumbuh bersama? Ini yang memungkinkan masing-masing pihak dalam suatu inisiatif menjadi berdaya dan saling memberdayakan seperti yang disampaikan oleh Happy Salma dan Nicholas Saputra dalam sesinya. Dengan demikian, posisi masing-masing pihak memang sebaiknya setara. Kita tidak dapat memungkiri adanya hierarki, pasti ada hegemoni. Barangkali pada dasarnya, di suatu konteks, kita berada dalam posisi kuasa tertentu, namun bukankah ada-tidaknya masalah yang ditimbulkan oleh kuasa bukan disebabkan oleh kuasa belaka, melainkan merujuk pada kontrol dan kesadaran diri atas kuasa tersebut?
Dalam sesi Mas Ugo, Bubu Keni juga memberikan pandangan bahwa bisa jadi forum produser ini pun menjadi hegemonik, maka kita harus menyadari bahwa keberadaan kita di ruang ini bisa terjadi karena absennya orang lain yang tidak ada di sini. Ini menjadi penutup yang buat saya secara personal ‘mengganggu’, tidak hanya dalam praktik keproduseran tapi juga dalam laku keseharian.
Forum hari ketiga dibuka untuk publik. Sesi ini mendiskusikan tema advokasi dalam seni pertunjukan, dengan tiga presentan: Sasapin Siriwanij (Bangkok), Myra Beltran (Quezon City), dan Hafez Gumay (Jakarta), dengan moderator June Tan (Kuala Lumpur). Dalam perjalanan kerja saya selama ini, seringkali saya bersikap tidak peduli tentang bagaimana negara hadir dalam ekosistem seni pertunjukan kita. Tapi dalam sesi ini saya merasa diingatkan bahwa sudah bukan waktunya lagi bagi saya untuk tidak peduli. Saya disadarkan tentang adanya ‘bahasa’ yang berbeda antara kita yang bekerja dalam praktik di lapangan dengan mereka di kantor-kantor pemerintahan. Bahasa inilah yang sebaiknya dikomunikasikan—secara terus menerus—sehingga harapannya di kemudian hari nanti kedua pihak dapat bertemu pada suatu pengertian yang sama.
Ngomong-ngomong soal bahasa, faktor ini adalah salah satu lapis yang tersulit bagi saya secara personal. Secara geografis, forum kali ini diikuti oleh teman-teman tidak hanya dari Indonesia namun juga dari wilayah Asia Tenggara. Dalam sesi presentasi praktik Producers’ Takeover, kami diminta melakukan presentasi dalam bahasa Inggris tanpa penerjemah bahasa. Saya sendiri merasa tidak cukup fasih berbahasa Inggris; dengan Bahasa Indonesia pun terkadang ada konteks yang tidak terjelaskan dengan baik karena kekhasannya, apalagi dengan bahasa yang lain. Setelah ‘ngobrol dengan beberapa teman peserta, kami menemukan kesamaan: tantangan menjelaskan konteks masing-masing dalam bahasa yang tidak sehari-hari kami gunakan. Belum lagi—di luar bahasa secara harafiah—‘bahasa’ praktik kami masing-masing pun sangat beragam, yang tentu butuh waktu untuk kami saling memahami.
Dengan adanya tantangan ini, saya menyaksikan betul bagaimana teman- teman berusaha untuk tetap mencoba saling terhubung. Kadang kala saya secara personal merasakan energi keterhubungan yang lebih besar dari perkara bahasa. Kami sama-sama tahu bahwa ada hal-hal yang masih sulit dibicarakan dalam bahasa lisan, namun secara energi dapat menangkap gestur-gestur seperti, “I got you.” Bagi saya, hal-hal yang melampaui bahasa lisan semacam inilah yang akhirnya terasa penting dalam forum kali ini—lagi-lagi ini soal energi.
*****
Dalam enam jam perjalanan kereta untuk pulang ke Yogyakarta, saya sempat menulis jurnal pribadi. Forum ini secara personal menjadi penanda penting dalam perjalanan kerja saya, karena saya tidak hanya mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru tentang teori dan ragam praktik keproduseran saja, tapi ada kesadaran yang melebihi itu. Bisa dibilang forum ini benar-benar membantu saya menemukan ‘spiritualitas’ dalam perjalanan kerja yang sedang dilakukan sekarang.
Tulisan ini merupakan salah satu catatan yang ikut serta diterbitkan dalam buku “Jejaring Produser Seni Pertunjukan Indonesia: Merimpang dan Menjalar dari Balik Layar”. Buku ini merupakan kumpulan catatan para peserta Workshop Produser Seni Pertunjukan (Sesi Yogyakarta) dan Jakarta Producers Meeting.
Buku ini bisa didapatkan secara gratis, silahkan mengisi form berikut dan tautan buku akan dikirim melalui surel: https://forms.gle/yT5RTErgcZoxJuVCA
Sudah baca yang ini?:
- PROSES ‘MENEMUKAN’: REFLEKSI MENGIKUTI FORUM PRODUSER - 2 Februari 2025
- (PERCAKAPAN) Kompleksitas Tatapan dan Kesadaran atas Kuasa pada PESONA - 18 Oktober 2021
- (PERCAKAPAN) Ingatan Tubuh, Dokumentasi, dan Keberlanjutan dalam Karya Museum I: Waves - 15 September 2021