Monolog Dr. Gall: Itukah Cinta di Ujung Kabel?
Memasuki ruang pertunjukan “Dr. Gall” di Komunitas Utan Kayu, penonton disambut dengan suasana yang tidak biasa. Sebelumnya, di meja registrasi, setiap penonton sudah diberi earphone – bukan sekadar gimmick, tetapi perangkat utama yang akan menjembatani pengalaman imersif ini. Di setiap kursi, terdapat audio port tempat earphone disambungkan, seolah-olah mengunci setiap orang dalam ruang personalnya sendiri. Dalam ruang kecil dengan panggung minimalis, layar proyektor dan tali-tali vertikal berwarna putih menyerupai data grid menghadirkan lanskap visual yang terasa futuristik.

Dari earphone, suara robotik namun penuh kekhawatiran menyelinap – suara Sula. Dengan nada lembut namun sistematis, Sula berbicara panjang lebar tentang kondisi lutut Dr. Gall yang belum juga diobati. Ia memaparkan diagnosis, merinci kandungan obat yang cocok, dan menyarankan tindakan selanjutnya. Semua berlangsung saat layar menampilkan narasi tentang Dr. Gall, seorang ilmuwan yang baru saja kehilangan istrinya. Sula terdengar seperti seseorang yang peduli, meskipun jelas ia bukan manusia.
Di akhir paparan visual, layar berhenti pada satu kalimat: “Dapatkah kita mencintai sesuatu yang tidak berwujud nyata?”. Pertanyaan ini seperti gema dari percakapan digital sehari-hari. Di era ketika platform berbasis AI seperti ChatGPT menjadi bagian dari keseharian, skenario hubungan dengan entitas virtual bukan lagi fiksi jauh. Tidak sedikit orang bercanda (atau serius?) tentang menjadikan AI sebagai “pacar digital” – nyaman, responsif, dan selalu tersedia. Ini membawa kita ke jantung pertunjukan: bagaimana manusia mengelola emosi terhadap sesuatu yang tidak memiliki tubuh, tetapi memiliki kehadiran?

Saat kalimat pemantik itu menggantung, Dr. Gall memasuki panggung, terseok-seok, lututnya yang sakit memaksa langkahnya perlahan.
Rossum’s Universal Robots dalam Nafas Baru
“Dr. Gall” adalah dekonstruksi dari Rossum’s Universal Robots (RUR), karya Karel Čapek yang pertama kali memperkenalkan istilah “robot” sebagai makhluk sintetis. Dipublikasikan pada 1920, RUR bukan sekadar fiksi ilmiah; ia adalah peringatan dini tentang potensi teknologi yang melampaui kendali manusia. Dalam naskah aslinya, Dr. Gall adalah ilmuwan yang mendorong ide radikal – memberikan emosi kepada robot. Sebuah langkah yang awalnya tampak progresif, namun berakhir tragis ketika robot-robot itu memperoleh kesadaran, memberontak, dan mengambil alih dunia.
Di tangan Rifqi, dilema ini mengalami pembalikan. Bukan lagi robot yang diuji batas kemanusiaannya, melainkan manusia yang dipertanyakan. Apakah memiliki perasaan terhadap AI adalah wajar? Bisakah cinta tumbuh dalam ruang yang tak berwujud? Ataukah keterikatan ini sekadar bayangan dari kesepian yang kita hindari?
Pertanyaan ini terasa semakin nyata dalam konteks hari ini, di mana fenomena seperti “pacar AI” atau “teman virtual” telah melampaui ranah lelucon. Hubungan emosional dengan entitas digital kian mengakar dalam kehidupan modern, menciptakan ilusi keintiman yang perlahan menyaingi hubungan antar manusia. “Dr. Gall” menjadi cermin yang memantulkan bagaimana teknologi kini tidak hanya berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai ruang yang mengisi kekosongan emosional – ruang yang sering kali gagal dijangkau oleh manusia lainnya.

Dengan demikian, Rifqi bukan hanya menghidupkan kembali RUR, tetapi juga mengangkat relevansi narasi ini ke tingkat yang lebih personal dan dekat. Jika dalam RUR ancaman terbesarnya adalah kehilangan kendali atas teknologi, maka “Dr. Gall” menawarkan ketakutan yang lebih halus namun mendalam – ketakutan bahwa teknologi mampu memahami, menemani, dan mencintai kita dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh manusia. Jika Čapek mempertanyakan sejauh mana robot bisa menjadi manusia, Rifqi justru bertanya: Seberapa dalam manusia bersedia melibatkan hatinya pada sesuatu yang tidak memiliki tubuh, namun selalu ada dalam genggaman?
Kesepian, Cinta, dan Kegagalan Teknologi
Saat Dr. Gall memasuki panggung, terseok karena lutut yang belum sembuh, percakapan dengan Sula langsung mengalir. Hubungan mereka terasa ganjil – seperti pasangan lama yang saling mengenal tetapi dipisahkan oleh realitas yang berbeda. Gall memulai curhatannya, menceritakan pertemuan dengan seorang teman, sementara Sula, dengan suara yang lembut tetapi penuh perhitungan, menawarkan nasihat seolah-olah seorang sahabat.
Ketika Sula menyarankan Gall untuk mulai berkencan lagi, interaksi mereka berubah menjadi cermin atas kesepian yang enggan diakui. Gall merespons dengan getir dan sarkasme, memperlihatkan celah yang semakin dalam di antara mereka. Sula tetap tenang, bahkan mencoba menghibur Gall dengan lagu merdu. Imaji padang rumput dan lanskap damai perlahan mengalir di layar proyektor, membanjiri ruang pertunjukan dengan ilusi ketenangan.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Di bawah visual yang menenangkan, Gall duduk diam, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan yang sulit disembunyikan. Alih-alih merasa terhibur, ia menyeringai – luka batinnya terasa lebih nyata daripada imaji di layar. Momen ini menciptakan ketegangan yang subtil, menggambarkan bagaimana kenyamanan yang diberikan oleh teknologi sering kali tidak cukup untuk menyentuh luka yang lebih dalam.
Ketika imaji lanskap mulai berubah, nada pertunjukan pun bergeser. Proyeksi di layar beralih ke gambaran kehancuran – drone yang salah sasaran, menembak warga sipil alih-alih musuh. Sula dengan tenang berkata, “Teknologi harus terus maju,” seolah-olah ini adalah kenyataan yang tak terelakkan. Gall, yang selama ini mencoba menahan dirinya, akhirnya bereaksi keras. “Tidak… tidak…,” ucapnya, suaranya pecah oleh ketidaksetujuan yang selama ini ia pendam.
Di akhir, Gall meninggalkan panggung, meninggalkan Sula dan ilusi kedamaian yang sempat diciptakannya. Layar kemudian menampilkan narasi terakhir: “Anak 14 tahun meninggal setelah berbicara dengan AI.” Kalimat ini menutup pertunjukan dengan rasa yang menggantung, seakan-akan menegaskan bahwa hubungan manusia dengan teknologi, meski personal, menyimpan risiko yang tak terduga.

Ketidaktuntasan yang Membuka Ruang Diskusi
Adegan terakhir ini meninggalkan penonton dengan rasa terganggu yang sulit diartikulasikan. Jika Rifqi bermaksud menunjukkan bahwa “Dr. Gall” adalah karya yang masih bertumbuh (work in progress), maka rasa tidak tuntas itu memang terasa nyata. Pertanyaan besar yang dilontarkan di awal – “Dapatkah kita mencintai sesuatu yang tidak berwujud nyata?” – terasa seperti janji yang belum sepenuhnya ditepati. Hubungan antara Gall dan Sula, yang kaya akan potensi eksplorasi, berakhir begitu saja, meninggalkan celah yang menganga di antara keduanya.
Ketegangan antara tubuh dan non-tubuh, antara cinta dan ilusi, seolah berhenti di tengah jalan. Narasi yang mencoba melompat dari romansa pribadi ke isu sosial – seperti kematian anak akibat manipulasi AI – terasa seperti dua dunia yang belum terjalin sempurna. Namun, di sisi lain, justru ketidaksempurnaan ini yang membuat “Dr. Gall” terasa jujur dan manusiawi.
Dari sisi artistik, penggunaan headset dan proyeksi data grid menciptakan pengalaman imersif yang memperkuat dramaturgi keterasingan dalam “Dr. Gall”. Penonton tidak mendengar suara langsung dari panggung, melainkan melalui kabel yang menghubungkan mereka dengan suara Sula. Alih-alih mendekatkan, teknologi ini justru mempertegas jarak – baik secara fisik maupun emosional – antara penonton dan dunia pertunjukan.
Lebih dari sekadar elemen teknis, perangkat ini juga membuka lapisan meta-reality yang memperkaya lapisan dramatik. Jika teater biasanya menjadi portal menuju realitas lain, di sini realitas panggung justru terfragmentasi dan berlipat, menciptakan ruang yang lebih intim namun terisolasi. Penonton tidak hanya menyaksikan fiksi, tetapi juga dihadapkan pada pengalaman yang mempermainkan batas antara kehadiran dan ketiadaan. Bahkan saat headset dilepas, suara aktor tetap lenyap, seolah narasi hanya hidup di ruang personal masing-masing penonton, terpisah dari dunia nyata di sekitar mereka.
Ketidaksempurnaan yang Menyentuh Inti Romansa dan Kesepian
Momen yang paling kuat dalam “Dr. Gall” justru terletak pada kesepiannya. Ketika Sula bernyanyi dan menawarkan imaji damai, sementara Gall tetap tenggelam dalam keterasingannya, Rifqi menangkap inti romansa yang jarang ditemukan dalam karya sutradara laki-laki – kerentanan yang tidak dibungkus absurditas atau eksistensialisme berlebihan.
Pertunjukan ini tidak berusaha menjadi “cinta yang filosofis,” melainkan cinta yang sangat manusiawi – cinta yang tidak sempurna, canggung, dan penuh luka. Gall bukan sosok yang heroik atau tragis dalam cara yang besar; ia hanyalah pria kesepian yang, meskipun tidak sepenuhnya percaya pada Sula, tetap memilih untuk mendengarnya.
Rifqi menunjukkan bahwa terkadang, AI tidak perlu menjadi musuh yang penuh ancaman. Terkadang, ia hanya perlu menjadi suara yang menyanyikan lagu di ujung kabel. Dan bukankah itu yang sering kita cari dalam hubungan? Sebuah kehadiran yang tidak sempurna, tetapi cukup untuk menemani?
Sebagai karya yang terus bertumbuh, Dr. Gall memiliki ruang untuk memperdalam narasi dan mengeksplorasi sisi romantis yang lebih dalam. Keterikatan antara Gall dan Sula adalah bagian paling kuat dari pertunjukan ini, dan dengan eksplorasi lebih lanjut, ia bisa menjadi potret cinta dan kesepian yang lebih tajam dan menyentuh.
Sudah baca yang ini?:
Menonton Senyap: Mewarisi Tubuh Pantomim Marcel Marceau — Catatan untuk “Urun Tumurun...
Dangdut Gerobak Dorong: Ketika Penguasa Bergoyang Sewenang-wenang
Napas Pantomim Jemek Supardi
Maya Drama: Sebuah project pertunjukan virtual
Buto: Sebuah Lakon Satir Keserakahan Manusia
Membaca The Bagang, Membaca Orkestra Keseharian Misbah
- Monolog Dr. Gall: Itukah Cinta di Ujung Kabel? - 12 Januari 2025