fbpx
Sabtu, April 27, 2024
ARTIKEL & ESAIPersona

Sanggar Granggang, Arus Kecil yang Mengaliri Ponorogo

Ficky Tri Sanjaya.

AWAL LAHIR

Komunitas teater ini berdiri 2013   atas inisiatif Lihan Niadi yang awalnya berprofesi sebagai guru muatan lokal Reog, prakarya dan Seni budaya di sebuah sekolah SMA di Ponorogo. Tidak ia duga profesi sebagai pendidik seni tersebut kemudian  mendorongnya terlibat pada arus geliat teater di Ponorogo.  Lihan yang lulusan Senirupa ISI Jogja 2008, saat itu melihat adanya kekosongan ruang seni di sekolahnya. Pada umumnya di sekolah yang ia ajar materi seninya terbatas hanya pada Reog dan Rupa. Sebagai guru kemudian ia  mengusulkan terbentuknya ekstra kulikuler teater pada kepala sekolah. Ia berharap dengan tumbuhnya media berupa teater dapat menjadi wadah yang lebih utuh dalam pengembangan seni, terutama  aktualisasi diri bagi murid-muridnya agar menjadi lebih berani menyatakan pendapat di hadapan banyak orang. Hal itu didasari pula atas kedekatan Lihan dengan para murid yang tidak mampu dan orang tuanya bekerja sebagai TKI yang memiliki antusias tinggi di bidang seni. “Degan teater nantinya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri karena memiliki kreativitas yang beragam.”

WhatsApp Image 2019 07 11 at 10.01.04 | Sanggar Granggang, Arus Kecil yang Mengaliri Ponorogo

Ternyata usaha tersebut membuahkan hasil, anak-anak yang tergabung dalam ekstra teater yang ia ampu berhasil mendapatkan nomor penghargaan hingga tingkat kota untuk karya teaterny,  juga beberapa nomor lain turunannya seperti baca puisi. Selama menjadi guru seni tersebut membuat Lihan jadi lebih aktif memperhatikan perkembangan kesenian di Ponorogo. Kegandrungan pada berbagai jenis seni juga mendorongnya  turut terlibat dalam pergaulan karya dari para seniman,  terkadang juga sering ikut membantu berbagai even bersama beberapa organisasi dari para seniman Di Ponorogo.

Sebagai pendidik seni di sekolah dan juga memiliki pergaulan dalam ruang lingkup para seniman, membuat pengetahuan dan kepercayaan dirinya bertambah untuk selalu membuat karya yang baik. Hingga suatu ketika dia dan para muridnya kecewa pada sebuah hasil perlombaan yang menurutnya tidak bebas dari intrik dan politik dari berbagai oknum yang berkepentingan di Pemerintahan. Keyakinan tersebut ia dasari dari pendapat dewan juri yang menemui pasca perlombaan memberi keterangan dan sempat heboh juga di media massa.

BERPUTAR HALUAN

Setelahnya dari peristiwa perlombaan itu, muncul pula beberapa Kasus-kasus lain terkait ekstrakurikuler teater yang ia rintis di sekolah, yang membuatnya kemudian terlempar dari sekolah tersebut dan berpindah ke sekolah lain.

Banyak persoalan dan pengalaman yang bermunculan menjadi cambuk dan titik balik bagi dirinya. Laki-laki yang semasa kecilnya aktif sebagai penari Reog, Baca Puisi dan bermain teater dalam komunitas teater kelompok Pramuka ini, bermodalkan status Guru honorer kemudian menikahi seorang penari dan koreografer muda Ponorogo dan saat ini telah dikaruniai sorang anak perempuan cantik.

BACA JUGA:  Amanat World Dance Day 2021

Merasa ruang sekolah tak mencukupi kreativitasnya yang terus tumbuh seiring waktu, juga karena dorongan kuat naluri kesenimanannya, mulailah ia mendirikan sanggar Grangang Teater pada 2013. Ia menjadikan rumah orang tuanya sebagai sekretariat.

Kini sanggar Granggang Teater beranggotakan kurang lebih 50an orang. 20an orang aktif sebagai pengurus dan penggerak, 30 orang sudah silih berganti keluar masuk turut membantu. Granggang yang kemudian membangun kerja-kerjanya berbasis sanggar/komunitas.

WhatsApp Image 2019 07 11 at 09.58.31 | Sanggar Granggang, Arus Kecil yang Mengaliri Ponorogo

Sanggar/komunitas kemudian membuka seluas-luasnya anggota bagi umum dan siapa saja yang tertarik bermain teater, mulai dari anak-anak kampung, sekolah dasar hingga universitas yang berbeda-beda akhirnya ikut bergabung. Secara alami kemudian sanggar ini perlahan membangun kultur baru melalui berbagai proses penciptaan karya-karya pertunjukannya.

Beberapa lakon telah diproduksi secara fenomenal dan mandiri antara lain 2014-2015 berjudul “Sangkar Bejat” dan “Warok-an Meteng”. Lakon-lakon besutan Granggang berbasis naskah dari hasil riset, bersumber atas kondisi dan iklim nyata kebudayaan yang telah terjadi atau sedang berlangsung di Ponorogo. Riset tersebut ditulis menjadi naskah teater dan disutradarai sendiri oleh Lihan.

Begitu pula proses karya pertunjukkan terbarunya yang berjudul Lipen Sumi-Inten ditampilkan 5 Juli 2019 yang di panggungkan dengan model penggarapan “Sampakan”.  Pertunjukan ini memanfaatkan area dari sebuah cafe yang pemiliknya secara sukarela meminjami ruang terbukanya  untuk pentas produksi Granggang Teater

Modal produksi Mandiri yang ke -3 ini di gelar menggunakan dana sisa kas hasil dari pendapatan penjualan tiket pertunjukkan sebelumnya. Pada proses karya terbarunya kali ini, Grangang optimis karya komunitas akan diapresiasi penonton kurang lebih 300 orang, melaui penjualan tiket Rp.15.000. Setiap pembelian Tiket tersebut penonton akan mendapati bonus minuman dan makanan. Dan benar, malam itu 290 orang hadir mengapresiasi totonan mereka.

WhatsApp Image 2019 07 11 at 09.55.44 1 | Sanggar Granggang, Arus Kecil yang Mengaliri Ponorogo
MEMBIDANI LAKU MANDIRI, PERAN TEATER DAN TANGGUNG JAWAB

Betapa beratnya membangun proses penciptaan  dan kemandirian karya sebuah sanggar, dan Granggang teater telah berusaha dan berhasil mewujudkan eksistensi hasil proses budayanya yang dibangun selama hampir 6 tahun untuk bertahan dalam iklim komunitas teater Ponorogo. Sekecil apapun arus dan sumbangsihnya bagi perkembangan teater dan masyarakat Ponorogo geliat dan usaha sangar ini layak mendapat apresiasi. Betapaapun sebuah proses terkadang tidak ideal, namun hal tersebut menjadi catatan bersama.

Begitulah sanggar teater dan hasil proses kebudayaannya yang penuh perjungan untuk terus lahir. Tiba suatu hari nanti, ketika proses produksi kelompok ini dapat terus berjalan dan tumbuh terus melalui berbagai karya-karyanya yang lain, akan semakin akrab dan dikenal cirinya oleh publik yang mengapresiasi. Sejatinya sebuah sanggar/komunitas sudah tidak lagi milik perseorangan atau kelompok tetapi milik “publik” ketika telah terjun karyanya. “Publik”  yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak memiliki tanggung Jawab pula atas perkembangan hasil arah kebudayaan ini dengan atau melalui berbagai cara. Setiap orang yang  tulus berkomunitas sebenarnya hanya menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai porsi berdasar kesadaran dan kemampuanya dalam kelompok.

BACA JUGA:  Yogyakarta Sebagai Ruang, Kosmik dan Jiwa : Catatan untuk Parade Teater Linimasa #5

Di tengah arus utama berbagai produksi pengetahuan baru dan persoalan kemanusiaan yang tumbuh. Teater menemui banyak pesoalan dalam posisi dan peran pentingnya di dalam ruang hidup masyarakat. Padahal teater sebagai salah satu anak dari induk kebudayaan memiliki kekuatan dan peranan vital dalam mencipta proses dan peristiwa yang akan ikut membentuk masyarakatnya melalui berbagai  karya, turut memproduksi wacana dan  pengetahuan. Melalui karyanya secara terbuka dan terang-terangan seluruh gagasan, ide, sikap, tertuang sebagai pendapatnya pada “publik” mengenai berbagai persolan kemanusian yang tengah dihadapi. Melalui karya media teater sebenarnya mendorong terbentuknya ruang dialog kritis dan keterbukaan bersama di dalam ataupun di luar isu persoalan arus utama.

Maka dari itu arus kecil dari peristiwa yang sedang dibangun Granggang Teater menjadi semacam air pelepas dahaga, dan menontonnya mampu mendorong sekecil apapun efek keterlibatan baik aktif maupun pasif setiap orang yang berada pada radius  jangkauannya. Tergantung dan sejauh apa setiap orang ingin atau menjadi terlibat dalan teater tersebut dapat terjadi akibat seberapa besar dan kecilnya rancang bangun peristiwa yang disusunnya.

WhatsApp Image 2019 07 11 at 10.07.51 | Sanggar Granggang, Arus Kecil yang Mengaliri Ponorogo

Sifat kelangsungan peristiwa yang dimiliki teater ini berharga bagi yang mampu menggunakannya. Selain itu sifat kelangsungan teater juga memiliki potensi untuk membuka pintu-pintu dialog yang macet,  membuka kanal pertemuan dan perjumpaan dari berbagai latar belakang budaya, kepentingan, keyakinan, pengetahuan agar terus hidup dan berbaur secara harmonis.

Bagi para anggota Geranggang teater yang turut berproses di dalamnya. Teater menjadi ruang  “saling” belajar  kehidupan, etos kerja, gotong royong, tenggang rasa, persahabatan, cinta, kekecewaan, pengelolaan, tanggung jawab, ruang organisasi, mengoganisir ruang, interaksi dengan sesama dan publik, mengasah kemandirian, mengaktualisasikan diri sekaligus mengembangkan potensi kepribadian dalam seni secara inividu maupun kelompok.

“Banyak hal yang menyenangkan dari teater tetapi juga banyak yang tidak menyenangkan,” ujar beberapa anggota yang terlibat di dalam dinamika kelompok ketika ditanya pengalaman pribadi atas keterlibatanya dalam proses.

SEKOLAH DAN SANGGAR

Tidak terbayangkan jika semua hal pengetahuan mengenai kehidupan harus di tempuh hanya melalui jalur formal sekolah atau kursus. Berapa biaya yang harus dikeluarkan? Dan seberapa besar kekecewaan nanti akan di tanggung jika gagal? Dan betapa membosankan apabila banyak pengetahuan hidup harus dan mesti didapat dari institusi formal saja. Pengetahuan menjadi terukur, berkategori, jenjang, dengan tutorial-tutorial dan etika kaku, yang akhirnya memperlebar jarak pengetahuan dengan kehidupan nyata dan melahirkan manusia-manusia Gagap budaya.

BACA JUGA:  Hari Teater Dunia dan Lubang Kuburnya

Kerja-kerja kebudayaan melalui sanggar/komunitas teater mampu mencairkan gagab budaya tersebut. Oleh karenanya sanggar/komunitas/padepokan, dll, juga perlu didukung kelestariannya. Di sana bernaung hal yang bersifat formal dan non formal yang digodog, diurai dan disalurkan.

Kerja-kerja sanggar dan teater/seni adalah langkah kebudayaan bagi perkembangan pengetahuan  individu maupun kelompok ke arah masyarakat yang berbudaya. Proses berkomunitas mendorong dan menjadikan manusia mewujud sebagaimana habitat alaminya tumbuh, penuh spontanitas, kreativitas, improvisasi, dan adanya gairah produktifitas dalam menghadapi tantangan hidup yang keras.

Lihan secara autodidak belajar teater. Saya mengatakan seperti itu karena pengetahuannya mengenai teater terlepas dari pengalaman dan buku-buku yang dibacanya, justru banyak didapat melalui proses bersanggar/berkomunitas dan menghadapi segala keterbatasan kelompoknya secara langsung bersama para anggotanya. Sehingga tidak mengherankan jika cara, gaya, bentuk, serta petistiwa yang dibangunnya melalui sanggar Granggang Teater bersama para anggota memiliki gaya yang khas. Berbanggalah sebagai Grangang Teater yang mencari secara mandiri pengetahuan teater sebagai bahasa ucapnya yang natural dan terus tumbuh secara mandiri bersama.

LIPEN SUMI-INTEN DAN AJAKAN
WhatsApp Image 2019 07 11 at 10.07.53 | Sanggar Granggang, Arus Kecil yang Mengaliri Ponorogo

Sekilas mengenai karya Lipen Sumi-Inten yang di pertontonkan di ruang terbukar cafe kopi Wijsoen, jl Uler Kembang Tambak Bayan, tidak jauh dari alun-alun pusat kota Ponorogo. Seorang anak kelas 2 SD bernama Sabrina bermain apik dan menggemaskan tampil menjadi Inten. Ia adalah aktor paling belia di komunitas Granggang.

Inten adalah anak dari Sumi sang “Pelacur Kedung Banteng Ponorogo” yang pandai membuat puisi berjudul “Simbok”. Karena dia terlahir tanpa simbok. Sabrina bermain ditunggui oleh ibunya saat latihan dan pentas serta pamanya-pun turut bermain membantu musik dalam pementasan.

Teks naskah ini berlatar sosial Ponorogo di Tahun 1989, tepatnya mengenai peristiwa penggusuran komplek Lokalisasi Kedung Banteng yang menelan korban jiwa. Dikisahkan di lokasi tersebut tinggal seorang pelacur tua bernama Sumi yang dulunya seorang penari obyok (jathilan) yang terkenal di Ponorogo. Ia menjadi korban pemerkosaan oknum pejabat pemerintah hingga hamil dan terpaksa  menanggung malu, hal tersebut kemudian menjerumuskan Sumi ke komplek pelacuran. Dari sanalah kemudian skandal, intrik dan drama politik lahir atas kekejaman dan malapetaka yang bersumber dari kerakusan nafsu penguasa.

“Jika Politik sudah kotor, tugas sastra-lah untuk membersihkannya.” Ujar Inten Dewasa dalam salah satu adegan. Inten Dewasa (dimainkan oleh Arum, masih duduk di bangku SMA) akhirnya menjadi aktivis dan penyair sebelum kemudian di puncaknya ia bertemu ibunya di Lokalisasi Kedung Banteng yang digusur atas perintah pejabat penguasa yang tidak lain adalah ayahnya.

Sanggar Granggang selain menggelar pertunjukan mandiri secara berkala juga membuka ruang 4 bulanan bagi komunitas seni lain di luar Ponorogo untuk turut bergabung melakukan gelar karya bagi publik Ponorogo. Tentu saja ruang ini terbuka bagi kerja-kerja berbasis komunitas saling berinteraksi dengan bermodal alat dan  ruang yang disediakan dan dibangun bersama. Semoga lestari teater Granggang dan kemanusiaan.

Ficky Tri Sanjaya

Penulis dan Aktor mime teater. Aktif bersama Bengkel Mime Theatre Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *