Trem Bernama Desire, Laki-laki itu Memang Seperti Babi
“Laki-laki itu seperti babi, mereka pergi berkeliaran, tidak pernah pulang, ingat rumah hanya ketika ingin makan dan tidur. Dan babi-babi itu selayaknya kita potong, panggang…”
(Cuplikan dialog pertunjukan Trem Bernama Desire oleh Salindia Teater)
Pada panggung yang di-set menyerupai suasana sub-urban Amerika, kalimat itu selintas muncul dari mulut dua perempuan bertetangga. Lewat relasi khas sisterhood, keduanya seakan sedang meneguhkan otonomi dalam teritori. Area rumah, yang kerap dikonstruksikan sebagai tempat perempuan membatasi diri, menjadi tempat di mana suara itu dikeluarkan. Suara yang ditujukan kepada suami mereka: lelaki yang kerap bertingkah seenak udel, merasa paling punya kuasa, merasa bisa melakukan apapun sesuka hatinya.

Presentasi panggung Salindia Teater di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Sabtu malam, 18 Januari 2025 lalu, langsung menggugat maskulinitas yang rapuh namun terasa menyebalkan sedari awal. Lihatlah adegan pembukanya, lelaki-lelaki sok jagoan bertingkah di sekeliling pemukiman; berjalan petantang-petenteng; menepuk pantat wanita yang lewat di depannya; merenggutnya ke dalam pelukan untuk kemudian tertawa terbahak-bahak bersama teman-teman lelakinya.
Nuansa yang mengganggu ini terus mengalami eskalasi hingga akhir pertunjukan. Membuat kita –setidaknya saya– mengamini ucapan bahwa laki-laki itu memang seperti babi. Kata “babi” di sini merupakan ungkapan makian, tentu saja. Bukan sekadar kata yang muncul untuk menggambarkan tingkah mereka yang jarang pulang dan hanya ingat rumah saat merasa lapar atau mengantuk. Kau bisa mengubahnya menjadi anjing, bangsat, monyet, buaya, kangguru atau apapun yang kau rasa bisa mewakili kegeramanmu.
“Trem Bernama Desire”, lakon yang ditampilkan malam itu, menggunakan naskah klasik karya Tennessee Williams “Streetcar Named Desire” yang diterjemahkan. Naskah ini bukan karya biasa. Dia lahir di tahun 1947, memenangkan penghargaan Pulitzer di tahun 1948 kemudian diadaptasi sebagai film di tahun 1951. Setelahnya, naskah tersebut menghinggapi panggung-panggung teater di berbagai belahan dunia dalam banyak variasi versi dan gaya.
Dalam versi Salindia, mereka memilih bersetia pada latar tempat dan waktu sesuai dengan naskah aslinya. Kalaupun kita merasakan relevansi yang teramat intens saat menonton, hanya ada satu alasan yang mendasari: kehidupan sosial kita memang belum beranjak jauh dari persoalan-persoalan yang ada di naskah klasik tersebut. Padahal Salindia tidak memasukan konteks-konteks kekinian yang lebih “modern”.
Salindia pun tidak mengadaptasi naskah penulis Amerika ini dengan memasukan unsur lokal ke dalamnya – seperti beberapa pertunjukan yang diambil dari naskah berbahasa asing lainnya. Kecuali, jika kau sudah menganggap penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan sepatah dua patah kalimat dalam bahasa inggris sebagai “unsur lokal” dalam pergaulan kita sehari-hari. I mean, ya lu tahu lah whats i mean.
Cerita dimulai dengan kedatangan Blanche Dubois (diperankan Nadine Nadilla – aktor sekaligus sutradara) ke sebuah pemukiman kelas pekerja New Orleans. Dengan menggunakan streetcar (trem) bernama Desire dia mencari adiknya, Stella. Busananya yang mentereng menegaskan kekontrasan dengan lingkungan kumuh yang didatangi. Ada keraguan yang terpancar dari sikap Dubois. Apakah dia telah salah alamat? Tidak, dia tidak salah.
Rumah tersebut memang tempat tinggal Stella. Eunice Hubbel, perempuan tetangga yang di awal tadi menyebut lelaki itu seperti babi, mengkonfirmasi kebenarannya. Jika ada yang salah di sini, itu adalah pikiran Dubois yang telah menempatkan imajinasinya terlampau tinggi. Dia membayangkan kehidupan adiknya yang bahagia, sementara baginya kebahagiaan itu haruslah berwujud kemewahan, pakaian yang bagus dan pasangan yang nyaris sempurna. Hal yang bertolak belakang dengan apa yang dia temukan dalam kehidupan adiknya.
Stella menikah dengan seorang buruh pabrik bernama Stanley. Seorang pria kasar, brutal, patriarkis juga manipulatif. Sikap aslinya ini terlihat seketika dia tahu bahwa rumah masa kecil Stella dan Dubois sudah bukan milik mereka lagi. Satu tuduhan pembuka dilancarkan. Stanley menghasut istrinya untuk mencurigai sang kakak yang menurutnya sedang berbohong dengan diam-diam menjual rumah itu untuk keuntungannya sendiri.
Stella tidak terhasut dan lebih mempercayai cerita kakaknya yang mengatakan bahwa rumah mereka telah disita oleh bank. Ego Stanley tergores dan sejak itu dia terus melancarkan perlawanan melalui satu-satunya cara yang dia tahu: pamer kekuatan. Di satu malam dia mengundang teman-teman lelakinya bermain poker di rumah, mabuk, menyetel musik keras-keras hingga larut malam. Stella yang terganggu coba merebut otonominya dengan meminta lelaki-lelaki itu pergi dari rumah. Bukan kedamaian yang ia dapat melainkan cacian sang suami.

Agak frustasi, Stella kembali ke kamar lalu coba menghibur diri dengan menyalakan musik kesukaannya sembari berdansa dengan sang kakak. Stanley kembali berulah, direnggutnya lagi kebahagiaan itu. Dia masuk ke kamar dan menghancurkan radio kesayangan Stella. Amarah Stella tak terbendung, dia memaki suaminya. Akibatnya, satu bogem mentah mendarat di tubuhnya yang tengah hamil. Tak tahan, dia berlari pergi dari rumah. Stanley, dengan kerapuhan yang manipulatif, merengek-rengek. Di kamar dia menangis, di jalanan dia berteriak meminta Stella kembali sambil berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya.
Stella luluh dan memutuskan datang menemui suaminya, si manipulatif itu. Mereka kemudian berpelukan, berciuman dan berakhir dengan seks hebat di atas ranjang. Keesokan harinya Dubois bingung, sang adik sudah tidak lagi mempermasalahkan kejadian semalam -padahal dia telah dipukul oleh suaminya sendiri!- dan berusaha meyakinkan Dubois bahwa ini hal yang biasa terjadi dalam kehidupan pernikahan. Dubois terus berusaha menyadarkan Stella bahwa kehidupan pernikahannya beracun. Dia coba mempengaruhi Stella untuk meninggalkan Stanley dan tinggal berdua saja dengannya.
Namun, Stella tidak merasa melihat sifat buruk suaminya. Tampaknya bagi Stella, kehidupan akan berjalan baik-baik saja selama kebutuhan seksnya terpenuhi oleh suami. Entahlah.
Seks, Hasrat dan Moralitas
Lakon ini, jika bisa disederhanakan, berkelindan diantara permasalahan seks, hasrat dan moralitas. Tiga hal tersebut, dalam genre teater realisme yang ditampilkan, praktis menantang para aktornya untuk bisa menyelami psikologis tokoh yang dimainkan. Salah sedikit saja pertunjukan akan terjebak pada tampilan klise belaka. Alhasil, tidak bisa memicu emosi penonton untuk ikut larut dalam tiap adegannya.
Sebuah teater yang realistik menuntut persyaratan akan permainan individu yang tinggi. Hal ini tidak semata terletak pada vokal atau hal-hal teknis lainnya, tetapi juga kematangan jiwa dan perkembangan watak tokohnya. Aktor-aktor Salindia tampaknya bisa dengan tangkas mengatasi masalah mendasar keaktingan mereka. Pada pertunjukan ini tidak ada show-stealer. Sebaliknya, setiap aktor saling mendukung penguatan karakter lawan mainnya. Dengan segala cara yang mereka bisa, perhatian itu terbagi sesuai porsi.
Konflik antara Dubois dan Stella memuncak setelah Stanley tidak sengaja mendengar Dobuis berkata di hadapan Stella bahwa tingkah suaminya seperti kera. Lelaki yang sudah penuh emosi ini makin tergores egonya. Satu siasat dia rancang untuk menghancurkan Dubois. Ndilalah, masa lalu Dubois ternyata memiliki banyak celah untuk diserang. Di balik gayanya yang mentereng ternyata perempuan ini begitu rapuh. Celah inilah yang kemudian jadi sasaran tembak Stanley.
Dari ceritanya kepada Smith (teman Stanley yang naksir kepadanya) diketahui bahwa kehancuran hidup Dubois dimulai sejak ia memergoki suaminya berhubungan dengan laki-laki lain. Setelah Dubois memutuskan untuk bersikap jujur, dengan mengatakan pada suaminya bahwa ia melihat langsung sang suami berhubungan seks dengan lelaki lain, suaminya itu memilih bunuh diri. Hal tersebut menimbulkan trauma yang mendalam terhadap Dubois. Dia menyalahkan dirinya karena telah berkata jujur.
Setelah kematian sang suami, Dubois coba mengalihkan dunia suramnya itu dengan menjadi guru di salah satu sekolah. Hasrat gelapnya tak terbendung, di sini dia malah terkena skandal yang menambah kehancuran dirinya. Dubois berhubungan seks dengan muridnya yang masih di bawah umur. Penyimpangan ini membuatnya dipecat dan kehilangan reputasi. Orang-orang memandangnya sebagai wanita murahan dan tidak lagi menghargainya.
Dia menjadi pecandu alkohol. Gangguan mental yang dialami membuatnya tidak bisa lagi menerima masa lalu dan hidup dalam imajinasi. Harapan Dubois untuk mendapatkan hidup yang lebih baik bersama Stella di New Orleans ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Hidupnya malah jadi semakin buruk semenjak bertemu dengan Stanley yang terus membully-nya.

Fakta-fakta yang didapatkan Stanley tentang Dubois ini membuatnya memiliki senjata untuk terus menyerang saudara iparnya ini. Dubois semakin tertekan, mentalnya jatuh dan dia kembali menjadi alkoholik.
Stanley merancang pengusiran Dubois dari rumahnya dengan menghubungi seorang dokter jiwa yang menyamar sebagai kekasih impian Dubois. Sesaat setelah Stanley memberi tahunya untuk pergi dari rumah, di tengah keadaan mabuk saat Stella tidak ada di rumah, Dubois diperkosa oleh ipar celakanya. Dubois tidak sepenuhnya hilang kesadaran, dia tahu bahwa Stanley memperkosanya malam itu.
Dia lalu memberitahukan kejadian tersebut kepada Stella. Stella marah dan bertanya pada suaminya. Stanley balik menuduh dengan mengatakan Dubois telah kehilangan akal sehat dan selalu berimajinasi. Perkataan bahwa dirinya telah diperkosa, dalam pembelaan Stanley, termasuk bagian imajinasi gila Dubois.
Seorang dokter jiwa –yang menyamar sebagai kapten kapal pesiar, sosok kekasih impian Dubois– datang menjemput. Dubois pergi dari rumah dan Stella meraung karena ditinggal sang kakak dalam keadaan yang tidak sepenuhnya jelas. Apakah benar dia telah diperkosa? Apakah itu imajinasi kakaknya semata?
Stanley kemudian “mengatasi” keadaan ini dengan sikap angkuh machoisme. Dia memeluk, mencium dan membawa Stella ke atas ranjang. Di tengah isak tangis Stella, tanpa peduli dengan apa yang ada di pikiran istrinya, Stanley menidurinya. Lampu panggung kemudian mati. Gelap. Pertunjukan selesai.
Dari kursi penonton, saya berbisik geram sembari bertepuk tangan: Laki-laki itu memang seperti babi!
Sudah baca yang ini?:
Pertunjukan Teater Karya Andy Sri Wahyudi "Puisi Energi Bangun Pagi Bahagia" dan Catatan Sejarahnya...
Mensyukuri Kebutaan bersama Pantomim “Buta” karya Pupuh Romansa
Srawung Tanpa Simbah
Hibah Seni Kelola 2018, dibuka!
Jarak Sebagai Medium dalam "Cerita Anak" Pappermoon - Polygot
Mimpi Buruk Teater Setelah Pandemi
- Trem Bernama Desire, Laki-laki itu Memang Seperti Babi - 7 Februari 2025